Pada 2015 yang lalu, tepat pada Muktamar yang ke-47 di Makassar, Muhammadiyah secara lebih formal dan semarak, memproklamirkan gagasan Negara Pancasila sebagai Dar al-Ahd wa al-Syahadah. Negara Pancasila disebut sebagai Dar al-Ahd (negara perjanjian atau negara kesepakatan), karena berdirinya di tahun 1945 (Halil Inalcik: 2018) dan perumusan dasar-dasarnya dihasilkan dari sebuah konsensus nasional. (PP. Muhammdiyah, 2015: 12). Lantas kemudian, penambahan Dar al-Syahadah (negara persaksian) setelah Dar al-Ahd, bermakna bahwa implementasi mengenai (nilai-nilai luhur) Pancasila memerlukan peran aktif Muhammadiyah. Karena itulah maka Muhammadiyah akan menyaksikan dirinya sebagai bagian dari Indonesia dan menjadi Indonesia itu sendiri (Muhammadiyah adalah Indonesia). Gagasan itu menegaskan pentingnya nasionalisme, menjaga NKRI dan menjunjung Pancasila sebagai ideologi bangsa yang Islami. Upaya ini tidak lain adalah Jihad Kebangsaan Muhammadiyah untuk menegaskan bahwa Pancasila merupakan ideologi negara yang sudah final. Pancasila yang menjadi dasar Negara diyakini sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Konsep Negara Pancasila sebagai Darul l-Ahd Wa al-Syahadah ini didasarkan pada pemikiran-pemikiran resmi yang selama ini telah menjadi pedoman dan rujukan Muhammadiyah, seperti Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH), Kepribadian Muhammadiyah, Khittah-khittah Muhammadiyah, Membangun visi dan Karakter Bangsa, serta hasil Tanwir Muhammadiyah di Bandung tahun 2012 dan Tanwir Samarinda tahun 2014. Hal itu bertujuan untuk memberikan pedoman bagi para aktivis Muhammadiyah mengenai hubungan negara dan persyarikatan, sebagai fondasi pertahanan ideologis, sebagai alat harmonisasi politik, dan manifestasi intelektual dan politik yang menekankan pentingnya nasionalisme kebangsaan.

Proklamasi Muhammadiyah bahwa Negara Pancasila adalah Darul l-Ahd Wa al-Syahadah berakar pada Kepribadian Muhammadiyah yang secara resmi diputuskan pada Muktamar ke-35 tahun 1962 di Jakarta. (Republika, 26 Agustus, 2019). Muhammadiyah memandang bahwa Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia adalah ideologi negara yang mengikat seluruh rakyat dan komponen bangsa. Secara tegas Muhammadiyah mengatakan bahwa Pancasila bukan agama, tetapi substansinya mengandung dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam, yang menjadi rujukan ideologis dalam kehidupan kebangsaan yang majemuk. Ini artinya, usulan sejumlah kelompok radikal untuk mengganti ideologi negara, karena dinilai tidak Islami ditolak oleh Muhammadiyah. Bagi Muhammadiyah, Pancasila itu Islami karena substansi pada setiap silanya selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Menurut Haedar Nashir, dengan alam pikiran itu Muhammadiyah tidak bersetuju dan tidak memberi ruang bagi adanya ideologi, pemikiran, sikap, dan pandangan yang ingin mewujudkan bentuk dan ideologi lainnya yang bertentangan dengan pandangan Negara Pancasila Darul l-Ahd Wa al-Syahadah. (Republika, 26 Agustus, 2019). Lebih jauh, pemikiran tentang Negara Pancasila sebagai Darul l-Ahd Wa al-Syahadah itu dimaksudkan untuk menjadi rujukan dan orientasi pemikiran serta tindakan bagi seluruh anggota Muhammadiyah dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Muhammadiyah juga telah menjadikan Islam Berkemajuan dan aktualisasi Darul l-Ahd wa al-Syahadah dalam penyampaian materi-materi pelajaran di lembaga pendidikannya. Pada saat yang sama, Muhammadiyah terus berupaya mendorong pemerintah untuk menggunakan pendekatan moderasi dalam menangkal radikalisme dan teorisme, bukan hanya dengan pendekatan keamanan dan kekerasan.

Tanwir di Bandar Lampung tahun 2009 merumuskan konsep “Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa: Agenda Indonesia Ke Depan”. Muhammadiyah memandang bahwa perumusan konsep visi dan karakter bangsa merupakan agenda penting dan strategis untuk melihat dan memproyeksikan masa depan Indonesia. Muhammadiyah berpandangan bahwa Indonesia sesungguhnya memiliki potensi dan peluang untuk menjadi bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat di hadapan bangsa-bangsa lain. Dalam rumusan konsep tersebut, Muhammadiyah menyoroti realitas kebangsaan di bidang sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya. Pada saat revitalisasi karakter kebangsaan Muhammadiyah juga menawarkan empat karakter bangsa yang salah satunya adalah moderat: “Moderat; yang dicirikan oleh sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan ruhani, serta mampu hidup dan kerjasama dalam kemajemukan”. (PPM: 2015)

Namun, setelah hampir setengah dekade lamanya, implementasi gagasan ini perlu diperhatikan secara lebih serius, terutama ketika bangsa ini harus menghadapi merebaknya Islamisme yang ekstrem (radikalisme Islam). Konsekuensinya, hal ini menimbulkan pertanyaan serius bahwa, “Apakah implementasi Dar l-Ahd wa al-Syahadah di akar rumput berhasil, mengingat bahwa sebagian sarjana mengklaim bahwa beberapa orang yang terpapar radikalisme keagamaan berasal dari Muhammadiyah?”

Menjawab pertanyaan tersebut di atas sangatlah penting dalam rangka menyelesaikan masalah kekinian yang dihadapi oleh Indonesia secara umum dan Muhammadiyah secara khusus. Di samping itu, mendalami hal ini, sebenarnya juga berfungsi untuk menutup lubang-lubang kajian (gaps of study) yang belum tersentuh pelbagai kerja kesarjanaan, misalnya: pertama, meskipun kajian radikalisasi keagamaan di Indonesia bertebaran di mana-mana, namun yang secara khusus membahas Muhammadiyah dewasa ini masihlah sedikit; kedua, kajian mengenai pandangan Muhammadiyah terhadap syariat Islam, negara, Pancasila dan radikalisme keagamaan masih jarang; ketiga, kajian yang secara khusus mengevaluasi implementasi Dar al-Ahd wa al-Syahadah, belum dilakukan; keempat, kajian bagaimana Muhammadiyah sebagai promotor Islam moderat dan Islam berkemajuan menghadang Islam ekstremisme-radikal, juga belum dilakukan.

Peringatan Mitsuo Nakamura—seorang antropolog, yang sangat serius meneliti pergerakan Muhammadiyah—pernah mengatakan bahwa masalah yang akan dihadapi organisasi Muhammadiyah setelah satu abad sangat besar dan mendalam. Muhammadiyah, pesannya, tak boleh redup dan terus memberikan pencerahan bagi bangsa. Untuk tujuan itu diperlukan energi dan pemikiran yang sungguh-sungguh dan mendalam. Hal yang sama juga pernah dikatakan oleh Cak Nur, bahwa Muhammadiyah dapat terancam menjadi tawanan dari bayangan keberhasilan dirinya pada masa lampau karena rasa puas diri (complacency) yang biasanya menjadi pangkal konservativisme dan kebekuan (jumud).” (Madjid, 1997: 107-108)

 

Penelitian Terdahulu

Dalam beberapa tahun terakhir ini, sejumlah penelitian yang dilakukan oleh para kader Muhammadiyah dan para akademisi menunjukkan bahwa arah gerakan Muhammadiyah masih belum menyentuh persoalan-persoalan sosial-kemasyarakatan yang dihadapi oleh bangsa ini.

Hasil temuan Pradana Boy (2010) dalam “In Defence of Pure Islam: The Conservative-Progressive Debate Within Muhammadiyah” menunjukkan bahwa pluralisme, kesetaraan gender dan dakwah kultural, ternyata bukan sesuatu yang mudah diterima di Muhammadiyah. Bahkan, pluralisme tidak bisa tumbuh dengan sehat di lingkungan organisasi Islam yang mengklaim paling modern ini. Fakta bahwa masyarakat atau suatu bangsa itu plural tidak serta merta menjadikan Muhammadiyah memahami dan menghargai pluralisme. Penolakan ide-ide kemajuan, seperti pluralisme, terjadi hampir di semua kalangan Muhammadiyah. Pluralisme adalah salah satu contoh saja di mana Muhammadiyah menunjukkan resistensinya.

Studi ini diperkuat dari hasil penelitian Biyanto (2012), yang menemukan dua varian pemikiran dan sikap Kaum Muda Muhammadiyah terhadap wacana Pluralisme agama, baik yang menerima maupun yang menolak gagasan tersebut. Belakangan, Zuly Qodir, (2017) seorang intelektual Muhammadiyah, melakukan penelitian tentang Sikap Politik Muhammadiyah Era Presiden Jokowi. Penelitian ini menjelaskan bahwa warga Muhammadiyah dari Surakarta, Yogyakarta, Padang dan Bandung, termasuk penyumbang terbesar pasukan demo super damai 4-11-2016. Jumlahnya mencapai puluhan ribu warga Muhammadiyah. Padahal, PP Muhammadiyah telah memberikan edaran bahwa kader Muhammadiyah tidak perlu melakukan demo lagi karena masih banyak masalah bangsa yang harus diselesaikan.

Belakangan, MAARIF Institute bekerjasama dengan INFID, melakukan riset Peran Organisasi Islam Moderat dalam Menangkal Ekstremisme Kekerasan ; Studi Kasus Muhammadiyah (2019). Dengan mempertimbangkan pelbagai temuan lapangan yang ada, penelitian ini menyimpulkan bahwa implementasi Dar al-Ahd wa al-Syahadah di akar rumput, relatif berhasil. Para aktivis Muhammadiyah menolak keras radikalisasi keagamaan dan mengecam terorisme. Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa mereka yang merasa tidak puas dan pada akhirnya memilih keluar dari Muhammadiyah, maupun mereka (Islamis) yang menginfiltrasi Muhammadiyah, telah terpapar dan terlibat dalam aksi-aksi radikalisasi keagamaan.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa dalam menyebarkan dan mengimplementasikan gagasan Dar al-Ahd wa al-Syahadah ada pelbagai tantangan yang harus dihadapi Muhammadiyah yakni: Muhammadiyah harus berhadapan dengan tumbuh-suburnya ideologi Islamisme (Islam yang skripturalis, konservatif dan bahkan radikal yang ada di Muhammadiyah), munculnya populisme Islam(is), dan masalah-masalah lainnya.

Penting pula dijelaskan di sini bahwa para aktivis Muhammadiyah memiliki perhatian yang besar terhadap segala tantangan kekinian, khususnya merebaknya Islam radikal. Dalam konteks ini Muhammadiyah ingin memerjuangkan Islam Indonesia yang tengahan (washatiyyah), terbuka, toleran dan cinta damai. Masalahnya adalah di hadapan tantangan kontestasi politik elektoral, isu-isu keagamaan seringkali dijadikan alat untuk meraih kekuasaan. Konsekuensinya, hal tersebut menyebabkan pengerasan sikap keberagamaan sebagian masyarakat, termasuk warga Muhammadiyah. Baik itu menyangkut masalah ideologi dan politik, hal yang dianggap berbahaya oleh Muhammadiyah adalah dehumanisasi. Wujud daripada dehumanisasi tersebut adalah radikalisme keagamaan dan bahkan terorisme.

Berkaitan dengan kompleksitas kontestasi politik, ideologi, fragmentasi sosial dan perkembangan teknologi informasi, dakwah Muhammadiyah belum menyentuh kalangan millennial yang sudah sangat akrab dengan teknologi canggih tersebut. Kendati demikian, secara umum daya tahan Muhammadiyah menghadapi islam radikal masih kokoh. Para kader Muhammadiyah (kader asli dan para anggota inti) tidak bisa terinfiltrasi oleh Islam radikal. Walau demikian, di antara warga Muhammadiyah yang dianggap radikal, itu semua terjadi oleh karena mereka bukan kader asli yang mengikuti berlapis-lapis sistem perkaderan yang ada, tetapi pendatang dan bahkan infiltran, yang mencoba mempengaruhi internal Muhammadiyah.

Dalam riset ini tidak ditemukan Muhammadiyah memiliki upaya spesifik atau program khusus untuk menangkal atau menghadapi radikalisme. Sebab itu terdapat dua pandangan terkait situasi Indonesia saat ini. Pada satu sisi ABI 212 dianggap gajala konservatisme baru yang melebur dengan Islamisme, pada saat yang sama gerakan 212 dianggap tidak radikal atau ekstrem, karena masih dalam koridor hukum negara.

Karena memilih pendekatan moderasi, maka dalam riset ini tidak ditemukan program atau upaya khusus Muhammadiyah melawan, membendung, dan menghadapi ekstremisme. Dalam riset ini memberikan kesimpulan beberapa hal:

Pertama, posisi Muhammadiyah sebagai organisasi Islam moderat terhadap gerakan Islam-Islam non-mainstream cukup dilematis. Di satu sisi Muhammadiyah berpotensi menjadi penengah atau jembatan, di antara berbagai kelompok Islam yang ada di Indonesia. Karena Muhammadiyah relatif bisa bekerja sama dengan berbagai kelompok Islam, bahkan dengan non-Muslim. Pada sisi yang lain, secara ideologi Muhammadiyah beresiko dapat tergerus atau terpengaruh ideologi lain, sehingga menjadi tantangan bagi warganya karena terlalu terbuka dengan berbagai kelompok, maka sistem organisasi dan manhaj pemikiran Muhammadiyah harus kuat supaya tidak terpengaruh ideologi ekstremisme dan radikalisme.

Kedua, Muhammadiyah tidak kokoh memegang satu ideologinya: Islam Berkemajuan. Kadang ideologi Muhammadiyah itu tidak banyak dipahami warga Muhammadiyah sendiri. Secara umum orang Muhammadiyah adalah puritan sehingga rentan terpengaruhi oleh ideologi Islamisme, namun daya tahan Muhammadiyah menjadi budaya kerja pada koridor organisasi, institusi dan kelembagaan. Karena itu, sekonservatif-konservatif-nya orang Muhammadiyah tetap bergerak pada koridor hukum negara. Dengan kata lain, karena budaya Muhammadiyah adalah budaya organisasi yang memiliki doktrin kuat teologi amal (kerja), maka orang Muhammadiyah menilai radikal, konservatif dapat dilihat dari perilaku-amaliyahnya.

Ketiga, Karena budaya organisasi Muhammadiyah cukup solid, maka Muhammadiyah cukup power full pengaruhnya di masyarakat, terutama kebermanfaatan di berbagai bidang kehidupan. Tetapi sebagai gerakan yang mempromosikan wacana, ideologi Muhammadiyah tidak cukup kuat berkontestasi dengan kelompok Islam lainnya. Muhammadiyah lemah dalam bidang pengelolaan pengajian keislaman, mengelola jamaah masjid, dan mempromosikan wacana keislaman di dunia maya. Berbagai kelemahan yang ada selain narasi yang elitis (di luar mainstream), terbiasa tampil secara institusi, padahal masyarakat menyukai sosok individu, selain pembawaan yang serius dll.

Dari hasil riset di atas, MAARIF Institute punya tanggungjawab moral-intelektual untuk turut berkontribusi dalam membangun gagasan-gagasan progresif ke depan. MAARIF Institute, memandang perlu Muhammadiyah untuk menelaah kembali dan menafsir ulang kajian tentang Islam Berkemajuan, baik secara konseptual, pemahaman dan pandangan para ulama, cendekiawan, para ahli, sesuai dengan tuntutan persoalan-persoalan kontekstual-kontemporer masyarakat Indonesia dewasa ini. Pula, perlu merumuskan strategi-aksi dalam melandingkan gagasan-gagasan itu agar bisa diterima oleh kader-kader Muhammadiyah dan masyarakat secara umum.

Perhelatan Tanwir Muhammadiyah di Bengkulu beberapa waktu lalu, yang mengangkat tema “Beragama yang Mencerahkan”,—dan menjelang Muktamar Muhammadiyah Ke-48, Juli tahun 2020 di Solo, Jawa Tengah—harus mampu memberikan perspektif baru. Muktamar Muhammadiyah mendatang harus menghasilkan pemikiran-pemikiran baru yang otentik dan cerdas terkait dengan berbagai ragam persoalan. Antara lain, Muhammadiyah dilihat dari bidang dakwah, pemikiran Islam, kepemimpinan, pendidikan, pemberdayaan masyarakat, filantropisme, isu gender serta keunikan-keunikan kasus yang berkembang di masyarakat.

Namun, terlepas dari masalah di atas, pertanyaan yang layak dikemukakan adalah apakah usaha modernisasi (pembaruan) yang digagas oleh Muhammadiyah dalam perjalanan historisitasnya mengalami kemerosotan—jika tidak boleh disebut kemunduran? Apa usaha usaha yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah dalam melakukan moderasi Islam? Apa yang mesti dilakukan oleh Muhammadiyah dalam menghadapi Muktamar, Juli tahun 2020 mendatang?

Berdasarkan kenyataan tersebut, Maarif Award Fellowship (MAF) tahun ini  mengangkat tema “Muhammadiyah Dan Penguatan Semangat Keindonesiaan; Sosial, Ekonomi, Pendidikan”. Adapun subtema dalam MAARIF Award Fellowship (MAF) 2021 adalah sebagai berikut:

  1. Peran Muhammadiyah dalam Pembaharuan Pendidikan dan Sosial Keagamaan
  2. Muhammadiyah dan Penguatan Sosial Ekonomi
  3. Muhammadiyah dan Tantangan Dakwah di Era Media Sosial
  4. Posisi Muhammadiyah dalam Konstalasi Paham Keagamaan (Islam) di Indonesia
  5. Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Al-Syahadah: Wawasn dan Kontribusi Muhammadiyah bagi NKRI