Deskripsi
Populisme sebagai konsep politik muncul seiring dengan kehadiran pemimpin populis di beberapa negara. Mulai dari Bolivia, Venezuela, Brazil, hingga Ahmadinejad di Iran. Namun Di skala yang lebih luas, populisme mendapat tempatnya dengan kemenangan Trump di Amerika dan Brexit di Inggris. Di Eropa, populisme mendapat tempat di Prancis dengan kehadiran Marine Le Pen, Fortuyn dan Wilders di Belanda, termasuk kemunculan Kanan Jauh di Swedia, Finlandia, dan Norwegia. Di Australia, Pauline Hanson dari Partai One Nation merupakan cerminan dari partai politik yang mengusung populisme.
Secara sederhana, populis dipahami sebagai politik representasi, mobilisasi dan ideologi dan sering kali dipahami sebagai tantangan terhadap pemahaman liberal politik representasi dan demokrasi. Hal ini tercermin dari retorika tuntutan keadilan sosial, anti-kapitalisme barat, dan menyalahkan dominasi Barat ini atas berbagai masalah yang terjadi di negara tersebut. Retorika ini secara jelas menekankan kesatuan nasional untuk menghadapi ancaman dari negara asing. Dapat dikatakan, populisme bisa dilihat dari ‘makin terkaitnya kebijakan atau rencana kebijakan dengan kehendak khayalan atau orang banyak.’ Para pemimpin atau politikus dituntut untuk dapat mendekatkan janji-janji politiknya saat kampanye dengan realitas kebutuhan masyarakat banyak. Kebutuhan akan lapangan pekerjaan, pendidikan, dan biaya hidup yang tinggi menjadi masalah-masalah yang harus diselesaikan oleh para pemimpin politik dan pejabat publik. Merujuk Laclau (2005), populisme menyajikan suatu diskursus yang dapat menyatukan kepentingan yang berbeda-beda di dalam suatu masyarakat. Inilah yang disebut dengan chain of equivalence. Diskursus itu dibentuk oleh shifting base of social support.
Populisme bukanlah konsep yang berdiri sendiri. Konsep tersebut tergantung pada basis sosialnya sehingga bisa saja digunakan oleh berbagai kelompok dan aliran, kerakyatan atau elit. Trump bukanlah sosok yang berasal dari kalangan populis, ia adalah billioner. Ia menggunakan isu populisme untuk memperoleh dukungan politik dari rakyat Amerika yang merasa terancam oleh orang asing (imigran) dan ancaman kehilangan pekerjaan (akibat perdagangan bebas dan globalisasi, sehingga pekerjaan disubkontrakkan ke negara ketiga). Faktanya, perusahaan Trump juga merupakan pengguna jasa negara ketiga untuk bisnis-bisnisnya. Saat referendum Brexit, salah satu faktor kemenangan kelompok Brexit adalah isu imigran yang berdatangan dari Eropa Timur ke Inggris dan ancaman hilangnya pekerjaan penduduk lokal serta kerugian yang diderita oleh Inggris akibat kerja sama perekonomian dengan Uni Eropa. Sedangkan Populisme kerakyatan umumnya merujuk pada rezim Hugo Chavez di Bolivia, Ahmadinejad di Iran dan Duterte di Filipina. Populisme juga dapat disebut sebagai populisme konservatif.
Populisme adalah mobilisasi sosial yang cross-alliance, yang sifatnya asimetris. Tidak semua elemen memiliki posisi yang sama. Ada satu-dua kelompok dalam aliansi tersebut yang cenderung dominan atas yang lain. Pada kasus aksi bela islam beberapa bulan lalu, populisme Islam berhasil mengumpulkan lautan manusia dari berbagai kelompok masyarakat. Pegawai kelas menengah, buruh, warga biasa, aktivis organisasi kemasyarakatan, aktivis partai politik, kelompok majelis taklim, kesemuanya turun ke jalan. Namun, apakah memang aliansi ini multikelas sebagaimana yang diungkap di media massa dan para pengamat? Sebagian lain tidak berpendapat demikian. Aksi kemarin bukan aliansi multikelas, namun hanya sekedar dihadiri oleh kelompok-kelompok sosial yang berbeda-beda. Selain itu, tidak ada komunikasi dan koordinasi yang intensi di antara kelas yang berbeda. Umumnya komunikasi terjadi di antara ormas-ormas Islam. Bagaimana dengan komunikasi dengan kelas menengah terdidik yang umumnya berasal dari kalangan profesional? Bagaimana dengan kelas lumpenproletariat yang—menurut data LBH Jakarta—berjumlah 16.000 orang yang menjadi korban penggusuran? Apakah mereka terjalin sebagai satu kesatuan aliansi gerakan?
Politik adalah konflik antara massa rakyat yang baik (penuh nilai-nilai yang bijak), tapi tertindas terus, menghadapi elit kecil yang eksploitatif dan secara kultural tidak dimengerti. Massa merupakan kelompok orang yang diverse, baik itu etnis maupun kepentingannya. Maka untuk merangkul kelompok massa ini, harus dengan membangun isu yang universal daripada yang partikular. Dapat dikatakan perlu mengkanalisasi tuntutan (demand) dari massa melalui mekanisme chain of equivalence menjadi demand yang sifatnya universal. Isu seperti anti imigran, anti-Cina, ancaman pekerjaan warga lokal yang direbut oleh pendatang, hingga ancaman agama kian santer dengan maraknya pilkada. Politisi menggunakan isu-isu populisme untuk menarik dukungan dari warga yang tidak tahu mengenai isu-isu politik.
Beberapa kajian-kajian teoretik tentang populisme berangkat dari ketidakpuasan, kekecewaan atau perlawanan terhadap the establishment. Establishment dalam konteks, baik elit-elit establish ataupun lembaga politik demokrasi itu sendiri, yang kemudian memunculkan gerakan-gerakan, dalam beberapa hal, yang menghubungkan aliansi-aliansi lintas kelas, yang merepresentasikan diri sebagai kekuatan populi melawan the establish.
Bagaimana kemudian kita melihat konteks populisme islam di Indonesia? Apakah kemudian kelompok-kelompok yang sangsi, yang menolak, yang melawan the establish ini kemudian akan menjadi sebuah kekuatan dominan baru dalam konteks tatanan Indonesia pasca otoritarianisme? Pembacaannya harus melampaui pemahaman tentang aktor politik atau agency politik, yakni melihat dalam konteks relasi kekuatan-kekuatan sosial. Dalam konfigurasi politik oligarki, hubungan relasi kekuatan-kekuatan populisme islam yang direpresentasikan, Bachtiar Nasir, Habib Rizieq dan lain-lain, mereka itu hanya menjadi tool bagi kekuatan-kekuatan oligarki yang tengah bertarung. Sehingga kita bisa melihat bahwa artikulasi-artikulasi politik itu dimainkan dan muncul, menjadi massif dalam momen-momen politik sektoral Jakarta. Atau ketika terjadi krisis pemerintahan di beberapa dinamika politik lokal sebagaimana terjadi di Bogor. Bima Arya memainkan isu-isu populisme itu. Artinya dominan barrier dari kebangkitan populisme ini adalah pada lapak-lapak kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok-kelompok oligarki ini.
Lebih jauh, dalam konteks bela islam atau Jakarta ini bukan semata-mata politisasi agama, tapi komodifikasi agama. Jadi dalam konteks tidak ada otoritas-otoritas politik islam yang dominan, terjadi proses-proses pelemahan atau tidak menjadi bagian dari kekuatan yang dominan. Maka kelompok-kelompok oligarki ini melihat ada sentimen yang sangat naif dari kelompok-kelompok yang sebetulnya ini adalah artikulasi aliansi kelas juga. Tapi artikulasinya adalah kelas-kelas menengah muslim yang tengah mengalami proses pemiskinan sosial dengan kelas-kelas marjinal yang menjadi target atau yang dirugikan dalam proses-proses pembangunan yang berlangsung sehingga memunculkan sentimen. Kelompok oligarki melihat suatu celah yang dapat dimainkan (dalam hal ini agama). Problem ke depan itu adalah pada komodifikasi. Artinya bukan proyeksi ideologis, bukan proyeksi politik dari kekuatan-kekuatan politik islam yang dominan, tapi bagaimana sentimen-sentimen ketidakpuasan terhadap establishment tadi dimanfaatkan oleh kelompok kekuatan-kekuatan oligarki.
Lantas bagaimana perbedaan antara populisme islam dengan populisme di Amerika Latin, Eropa, dan juga Amerika. Ernesto Laclau melihat bagaimana artikulasi-artikulasi diskursus ketidakpuasan yang muncul, yang membentuk populisme itu memiliki pijakan-pijakan materialnya dari aliansi-aliansi kelas. Jadi populisme sebagai bentuk klaim terhadap rakyat dan perlawanan terhadap establishment. Dinamikanya tidak linier, tetapi tergantung pada konfigurasi sejarah yang berlangsung di tiap-tiap masyarakat. Misalnya di Amerika Latin, perkembangan yang berlangsung ketika klaim terhadap rakyat didinamisir (motor penggeraknya) oleh kelompok-kelompok petani, masyarakat adat, dan kekuatan-kekuatan buruh. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini kembali kepada konteks sejarah dimana otoritarianisme yang berlangsung di Amerika Latin tidak seganas Indonesia. Di Amerika Latin, penghancuran terhadap kekuatan-kekuatan kiri masih memberikan ruang bagi artikulasi politik buruh. Fasisme menyebar dari gerakan-gerakan buruh tadi. Jadi hanya ganti ideologi saja. Di Indonesia, gerakan buruh, kelompok adat, dihancurkan semua. Itulah kenapa populisme islam berkembang ketika terjadi krisis basis-basis kekuatan politik demokrasi.
Lantas bagaimana skenario populisme Islam pasca serangkaian Aksi Bela Islam? Vedi berargumentasi bahwa populisme di Indonesia belum berhasil sebagaimana di Turki, apalagi Mesir. Apa penyebabnya mengapa hal ini terjadi? Merujuk kasus di Turki, pengusaha Anatolia berhasil menggeser pengaruh dan peran pengusaha Kemalis. Ekspor-ekspor raksasa dari Turki ke Eropa dan Kawasan Mediterania lainnya dilakukan oleh pengusaha-pengusaha ini. Mereka memperoleh keuntungan yang besar. Ketika AKP muncul dan membutuhkan kekuatan ekonomi untuk menopang gerakan politiknya, pengusaha Anatolia ini dirangkul oleh AKP untuk membangun basis massa di kelas bawah yang multikelas. Kelas bawah inilah yang disebut sebagai lumpenproletar, orang-orang urban yang datang ke kota, namun hidup tidak jelas. Pada prosesnya, berbagai kelompok berhasil dirangkul oleh AKP untuk membangun aliansi multikelas ini. AKP juga tidak mendorong untuk mendirikan negara islam, namun menggunakan kekuatan elektoral untuk memperoleh dukungan massa. Dengan kekuasaannya, AKP juga mendorong kebijakan ekonomi kapitalis-neoliberal dan perdagangan bebas. Proses membangun aliansi ini membutuhkan waktu 10 tahun.
Di Mesir, Ikhwanul Muslimin yang telah lama malang melintang menguasai civil society melalui layanan sosial di bidang kesehatan dan pendidikan. Di kelas borjuis, tidak banyak pengusaha Ikhwanul Muslimin yang memiliki kekuatan modal dan bisnis yang kuat—tidak sebagaimana di Turki. Ketika hendak menguasai negara, dan kemudian berhasil memenangkan kekuasaan sehingga bisa mendorong Morsi naik ke tampuk kekuasaan, aliansi antarkelas belum berjalan baik saat Morsi memaksakan untuk amandemen UUD. Sehingga yang terjadi kemudian adalah katastropi. Ikhwanul Muslimin berupaya untuk membangun aliansi lintas kelas dengan mencontoh praktik Turki yang melakukannya selama 10 tahun, namun Mesir ingin melakukannya dalam setahun. Akibatnya, kekuasaan Morsi usai dalam rentang seumur jagung. Bisa dikatakan, Populisme Islam di Mesir berjalan terlalu cepat dan hanya mendominasi di civil society—dengan layanan sosial kesehatan dan pendidikan yang tersebar di seantero Mesir.
Bagaimana dengan di Indonesia? Populisme Islam tidak pernah menguasai negara dan tidak pernah menguasai Civil Society. Lantas, bagaimana dengan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang sering kali disebut sebagai representasi kelompok Civil Islam oleh Hefner? Faktanya, kedua ormas ini tidak membangun aliansi lintas kelas walau keduanya merupakan representasi dua kelas sosial yang berbeda—urban dan rural.
Kegagalan aliansi lintas kelas di Indonesia dikarenakan tidak adanya kelas borjuis sebagai pemegang kekuasaan ekonomi. Kelas borjuasi dalam hal ini adalah etnis Cina. Kekuasaan di bidang ekonomi, karena faktor historis sejak masa kolonial hingga pasca reformasi, terdistribusi di kalangan etnis minoritas. Di sisi lain, kelas menengah terdidik mulai mengalami peningkatan jumlah yang signifikan pasca dibukanya akses pendidikan sejak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Walau kelompok ini secara status sosial dan politik mengalami kebuntuan karena struktur-struktur ekonomi politik masih dikuasai kekuasaan lama. Sementara lumpenproletar mengalami marjinalisasi terus menerus oleh berbagai kebijakan pemerintah.
Jurnal MAARIF edisi kali ini ingin mengangkat topik mengenai Skenario Populisme Islam di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab melalui jurnal ini antara lain apa yang dimaksud dengan Populisme? Apa basis sosial Bagaimana kontekstualisasinya dengan situasi terkini di Indonesia? Bagaimana masa depan Populisme Islam di Indonesia? Apakah populisme Islam merupakan bentuk frustrasi politik islam di tengah sistem demokrasi formal? Atau malah merupakan breakthrough politik Islam menghadapi kompetisi politik kontemporer? Apa yang harus dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil dalam mengatasi kesenjangan ekonomi masyarakat? Apakah kegagalan populisme Islam mendorong terjadinya illiberalisme demokrasi? Bagaimana umat Islam bisa memperluas konsep umat menuju citizenship, yang memungkinkan untuk merangkul kelas borjuasi yang berasal dari etnis minoritas? Apa yang dimaksud dengan Post-Islamisme? Adakah organisasi politik/ ormas yang bisa menjadi representasi populisme Islam? Bagaimana masa depan populisme Islam di Indonesia? Faktor-faktor apa yang mendukung keberlangsungan Populisme Islam?
Ulasan
Belum ada ulasan.