“Membumikan Pesan-pesan Keislaman, Kemanusiaan dan Kebangsaan Ahmad Syafii Maarif dalam Konteks Pemikiran Islam dan Keindonesiaan Kontemporer”

TAHAPAN PENDAFTARAN SKK PERIODE 3

  1. Silakan daftar melalui link berikut ini : DAFTAR
  2. Selanjutnya silakan isi Need Assessment melalui link berikut ini : NEED ASSESSMENT 
  3. Seluruh kelengkapan dokumen dikirimkan melalui email:  [email protected]

PENDAFTARAN DITUTUP 10 NOVEMBER 2019

PENGUMUMAN HASIL SELEKSI 20 NOVEMBER 2019

Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah (1998-2005) adalah sedikit di antara tokoh-tokoh lain yang paling peduli tentang isu hubungan agama dan Negara. Sepeninggal tokoh-tokoh besar seperti: Cak Nur (Prof. Nurcholish Madjid), Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), mungkin hanya Buya Syafii-lah yang kini menjadi guru bangsa yang tersisa—tanpa bermaksud menafikan nama dan tokoh lainnya. Pria kelahiran Sumpur Kudus, Minangkabau, yang dijuluki “Makkah Darat”, ini terus berkarya, terutama dalam bentuk tulisan di media-media massa. Buya laksana pelita di tengah gulita bangsa yang sarat dengan pelbagai persoalan keagamaan, kebangsaan dan kemanusiaan. Melalui tulisan-tulisannya, Buya selalu mengumandangkan moralitas dan keadaban publik. Agama (Islam) menurutnya adalah sumber moral, jadi agama harus menjinakkan politik agar politik berorientasi pada keadilan, kejujuran dan persatuan. Tetapi yang terjadi belakangan, justru agama dipakai sebagai alat untuk tujuan politik. Krisis dan keterpurukan yang dialami bangsa ini di semua lini kehidupannya, sesungguhnya akibat diabaikannya moralitas dan keadaban publik ini.

Untuk tujuan itu, Buya ingin agar Islam yang dikembangkan di Indonesia adalah sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi terhadap berbagai persoalan bangsa dan negara. Agar bisa mengembangkan Islam seperti itu, umat Islam harus bermental terbuka, semangat untuk maju, optimis dan tidak putus asa, serta tidak bermental minoritas. Buya juga tak pernah canggung bergaul dan menjalin hubungan baik dengan pemuka dan tokoh-tokoh agama; Kristen, Budha, Hindu, Tionghoa, kalangan nasionalis, NU dan juga tokoh-tokoh dunia. Menurutnya, ini semua merupakan modal yang sangat besar untuk membangun toleransi dan dialog dengan kelompok lain.

Pergulatannya dengan tema seputar Islam dan politik serta keinginannya untuk menjaga nilai-nilai keagamaan—seraya mengadopsi konsep-konsep kenegaraan modern—terus mengganggu pikirannya. Tak heran, jika pertanyaan-pertanyaan seputar dasar Negara, model pemerintahan, sistem ekonomi, dan konsep-konsep penting seperti kebebasan, keragaman, persamaan, dan keadilan kerap menjadi sorotan utama dalam banyak tulisannya.

Tulisan dan pernyataannya tak jarang menuai dukungan dan penolakan, bahkan di lingkungan organisasi yang membesarkan dan pernah dipimpinnya, Muhammadiyah. Tapi, agaknya, Buya tidak hirau dengan persetujuan atau perlawanan. Yang ia pedulikan adalah orang harus jujur pada hati nuraninya sendiri, bersikap adil pada siapa pun, termasuk pada orang yang tidak kita sukai, berani menyuarakannya ke publik dengan membuka topeng beragam kepentingan dan menjadikan sebuah isu menjadi tunggangan. Tak heran jika, Martin van Bruinessen yang menyebut Buya Syafii sebagai “Indonesia’s last remaining public wise old man” dan “a unique paragon of moral leadership”. Buya telah mengalami perubahan pemikiran dari yang awalnya tokoh Muhammadiyah fundamentalis-puritan menjadi progresif. Perubahan itu terutama setelah ia belajar langsung dari tokoh neo-modernis muslim asal Pakistan, Fazlur Rahman, di Universitas Chicago.

Saat pertama kali mengikuti kuliah Fazlur Rahman, Buya Syafii dengan percaya diri berujar: “Professor Rahman, please gives me one fourth of your knowledge of Islam, I will convert Indonesia into an Islamic state”. Keyakinan semacam itulah yang dulu kukuh dipegangnya meski kakinya tak lagi menginjak bumi Indonesia. Namun setelah beberapa kali mengikuti perkuliahan Fazlur Rahman, kata-kata semacam itu tidak pernah terlontar kembali. Inilah tonggak awal perubahan cara pandang Buya Syafii dari Islamis-tradisionalis ke modernis-progresif.

Untuk menyebut beberapa kegelisahan Buya Syafii yang sampai dengan hari ini terus-menerus dipikirkannya adalah, pertama, mengentalnya budaya arabisme di masyarakat. Buya Syafii menilai dunia Arab kontemporer menjadi referensi global dari segala bentuk kekacauan selama ini. Pemakaian simbol-simbol arab di ruang publik bisa dimaknai sebagai wujud ketidakpercayaan diri umat Islam Indonesia akan entitas budayanya sendiri. Meski begitu bukan berarti Buya Syafii anti-Arab. Hanya saja ia selalu menyerukan agar bersikap kritis bahwa Arab dan Islam adalah dua variabel yang berlainan dan harus dibedakan.

Kedua, anomali kehidupan demokrasi. Bagi Buya Syafii demokrasi tak selalu berbanding lurus dengan tingkat pembangunan manusia. Yang paling menyita perhatian Buya Syafii adalah tingkah pongah para elit yang “tuna visi dan misi”. Para politisi hanya mengedepankan kepentingan pragmatis, sembari dalam waktu yang bersamaan, abai terhadap hak-hak hidup masyarakat. Apalagi yang paling membuat geram tatkala sekelompok elit itu menggunakan isu-isu SARA demi memenuhi syahwat politiknya.   

Ketiga, rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Menurut Buya, umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas secara kuantitas, namun minoritas secara kualitas. Faktanya umat Islam malah terisolir dan tak mampu bersaing di kancah global. Hal ini terjadi karena lemahnya etos dan miskinnya kreativitas. Bagi Buya, untuk mendongkel manusia Indonesia dari lubang keterpurukannya maka memperbaiki kualitas pendidikan adalah cara paling ideal yang bisa ditempuh.

Dengan demikian, tak heran jika Prof. Dr. Amin Abdullah menyebut Buya Syafii Maarif, termasuk dalam kategori pemikir “the progressive ijtihadists”, yaitu para pemikir modern atas agama yang berupaya menafsir ulang ajaran agama agar dapat menjawab kebutuhan masyarakat modern.

Terus Memikirkan Indonesia

Sebagai salah satu intelektual Muslim terkemuka, Buya menilai Indonesia merupakan bangsa yang belum sepenuhnya jadi. Sehingga bangsa ini sering kali diuji dengan berbagai konflik. Mulai dari kepentingan ideologi, kepentingan politik, dan belakangan ancaman pemisahan diri. Sebagai sebuah bangsa, usia Indonesia belum genap 100 tahun. Artinya bangsa ini masih mudah. Karena itu menurut Buya, bangsa ini perlu dirawat, bahkan kalau perlu juga diruwat. Untuk merawat Indonesia yang besar ini, perlu orang dengan pemikiran besar dan berwawasan jauh ke depan—bukan pikiran pikiran partisan.

Salah satu hal penting yang sering disampaikan oleh Buya, adalah bahwa “Indonesia harus tetap bertahan satu hari sebelum kiamat.” Ungkapan itu menunjukkan kepeduliannya bahwa di tengah situasi krisis moral dan krisis kewarasan yang membahayakan NKRI ini, masih sangat mungkin diselamatkan dengan menyalakan lilin kewarasan. Buya, juga selalu menegaskan bahwa literasi perjalanan bangsa dan negara perlu dibaca ulang dan direnungkan dengan cara yang lebih mendalam, khususnya oleh kelompok elite yang biasa main di panggung politik nasional dan lokal. Tanpa asupan bacaan yang luas, pasti mereka akan gagap dalam berpolitik karena tidak punya tempat berpijak yang kokoh di kedalaman lautan sejarah bangsa.

Mensosialisasikan Pesan-pesan Keislaman dan Kebangsaan

Pemikiran-pemikiran Buya Syafii di atas, dapat dijadikan sebuah ide yang sangat menarik yang tentu saja perlu dikembangkan, yakni bagaimana menerjemahkan pemikiran-pemikiran besar Buya Syafii dalam tataran praktis yang lebih aplikatif. Maka, terkait dengan itu, MAARIF Institute, menyelenggarakan Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif, yang kini sudah memasuki periode kedua. Kegiatan inimerupakan gerbang pengembangan dan penguatan untuk menyebarkan pemikiran Islam yang inklusif, toleran, moderat serta berpihak pada kemanusiaan, kenegaraan serta keindonesiaan. Sekolah ini diharapkan menjadi energi baru dalam upaya melembagakan gagasan dan cita-cita sosial Buya Syafii, baik di ranah keislaman, kenegaraan, yang mengusung nilai-nilai keterbukaan, kesetaraan dan kebhinnekaan yang dapat diwariskan kepada anak-anak bangsa.

Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif ini adalah sebuah ruang sekaligus arena yang memungkinkan generasi muda dapat berjumpa, berbagi pengetahuan dan pengalaman antarsesama yang berasal dari daerah berbeda di seluruh Indonesia yang memiliki latar belakang identitas beragam, baik agama, etnis, suku, bahasa maupun budaya. Melalui program ini pula diharapkan generasi muda Indonesia memiliki perspektif, sikap dan pendirian yang relatif sama dalam memotret dinamika, perubahan dan perkembangan kehidupan keberagaman di Indonesia. Kegiatan ini juga merupakan momentum bagi generasi muda Indonesia untuk menjelaskan dan menegaskan komitmen dan konsistensi mereka untuk menjadi bagian dari pemecah masalah (problem solver) berbangsa dan bernegara. Dengan komitmen ini generasi muda Indonesia diharapkan mampu memainkan peran strategis serta mengambil tanggung jawab secara proporsional dalam mendorong dan mengakselerasi proses pembangunan bangsa.

Tujuan kegiatan

  • Mensosialisasikan dan menyemai pemikiran Ahmad Syafii Maarif kepada publik dengan mengacu pada tema-tema pokok pemikirannya, utamanya tentang keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan.
  • Menyebarkan pemikiran Islam Indonesia kontemporer dengan cara melakukan kaderisasi intelektual, baik di lingkungan akademis, LSM, komunitas-komunitas intelektual dan masyarakat secara umum.
  • Memformulasikan peta intelektualisme dan aktivisme Ahmad Syafii Maarif dalam kontek perkembangan pemikiran Islam Indonesia kontemporer.
  • Menginternalisasi dan mendiseminasi pemikiran dan nilai-nilai yang dikembangkan oleh Ahmad Syafii Maarif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Output kegiatan

  • Adanya rumusan strategi dan kerangka aksi untuk pelembagaan gagasan-gagasan Ahmad Syafii Maarif ke dalam lembaga-lembaga pendidikan, atau lembaga-lembaga politik, dan lain-lain.
  • Terformulasikannya materi-materi dan silabus atau kurikulum terkait pemikiran Ahmad Syafii Maarif, tentang tema keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan.
  • Adanya komunitas dan jaringan epistemik (intelektual, ilmuwan dan penulis) yang memproduksi pemikiran Islam dan perkembangan keilmuan kontemporer.

Outcome Kegiatan

  • Tersusunnya sistematika pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang persoalan keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan dalam bentuk tema-tema dan gagasan-gagasan yang menjadi kata kunci pemikirannya.
  • Terlembagakannya pandangan dan nilai-nilai yang dikembangkan oleh Ahmad Syafii Maarif tentang keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sekolah Pemikiran Ahmad Syafii Maarif

Sekolah ini diselenggarakan dalam rangka untuk memahami peta intelektualisme dan aktivisme Ahmad Syafii Maarif dalam kontek perkembangan pemikiran Islam Indonesia kontemporer. Kegiatan ini menghadirkan beberapa pakar yang ahli tentang perkembangan pemikiran Islam kontemporer. Di sisi lain juga mengikuti perkembangan pemikiran Ahmad Syafii Maarif dari masa ke masa).Adapun mekanisme kegiatan sekolah ini adalah :

  1. Setiap peserta mempunyai waktu untuk berbicara dan menjadi narasumber untuk menyampaikan makalah yang ditulisnya.
  2. Setiap peserta merangkum tema-tema yang disampaikan oleh narasumber selama kegiatan berlangsung.
  3. Setiap peserta memperbaiki makalah berdasarkan saran dan masukan selama proses kegiatan berlangsung.

Penerbitan Buku

Setiap peserta diberikan waktu selama sebulan untuk menyempurnakan makalahnya. Makalah yang sudah disempurnakan akan diterbitkan jadi buku oleh MAARIF Institute

Pendekatan yang digunakan dalam program ini adalah sebagai berikut:

  • Presentasi
  • Diskusi kelompok
  • Sharing pengalaman
  • Refleksi kritis
  • Permainan (games)

Kelas Sekolah Pemikiran Maarif diikuti oleh 15 peserta terpilih dari berbagai Propinsi yang tersebar di seluruh Indonesia. Beberapa hal terkait kepesertaan yaitu:

  1. Memperoleh undangan dari panitia
  2. Usia minimal 25 tahun dan maksimal 40 tahun.
  3. Mengisi formulir kesediaan menjadi peserta aktif dan dikirimkan secara online (format PDF) kepada panitia.
  4. Mengisi form need assesment dan dikirim secara online (format PDF) kepada panitia bersamaan dengan formulir kesediaan.
  5. Membuat dua makalah dengan tema yang berbeda. Satu tema wajib tentang tentang Sikap Intelektual, Spiritualias dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif, dan yang kedua tema pilihan sesuai dengan minat intelektual.
  6. Tulisan makalah antara 10 – 15 halaman (font times new roman, size 12, spasi 1 dan ukuran margin standar).
  7. Makalah sudah dikirim secara online kepada panitia bersamaan dengan formulir kesediaan dan form need assesment.
  8. Dinyatakan lulus oleh panitia
  9. Membawa surat mandat (asli) dari organisasi yang mengutus
  10. Membawa laptop/notebook
  11. Membawa pakaian olah raga

Adapun tema-temanya meliputi:

  1. Sikap Intelektual, Spiritualias dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif
  2. Hak Asasi Manusia ; Pengertian, Sejarah dan Perkembangannya
  3. Islam dan Pluralisme
  4. Islam dan Pancasila
  5. Islam dan Hak-hak Perempuan
  6. Metode Pembacaan Kritis al-Qur’an
  7. Peta Pemikiran Islam Indonesia : Sejarah, Karakteristik dan Perkembangannya
  8. Jihad, Terorisme dan Khilafah : Reformulasi Ajaran Islam
  9. Penguatan Kapasitas Sumber Daya Manusia
  10. Model-model Negara Kesejahteraan
  11. Politik Hukum dan Ketatanegaraan
  12. Hak-hak Kewargaan Kaum Minoritas

Pengajar :

Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif

Prof. M. Amin Abdullah, Ph. D

Prof. Dr. Azyumardi Azra

Prof. Dr. Siti Musdah Mulia

Prof. Dr. Mahfud, MD

Prof. Sumanto al-Qurtuby, Ph.D

Prof. Dr. Syamsul Arifin

Sudhamek AWS., SH., MH.

Dr. Romo Haryatmoko

Usman Hamid, MA

Dr. Yusuf Rahman

Najib Burhani, Ph.D

Herry Johanes

Husein Muhammad

Luthfi Assyaukanie, Ph. D

Abd. Rohim Ghozali

Fasilitator :

Zuly Qodir

Moh. Shofan

Saepullah

0Weeks0Days0Hours0Minutes0Seconds