Indonesia dikenal sebagai negara terbesar dengan sistem Demokrasi, ketiga setelah Amerika dan India. Tak hanya itu, Indonesia juga dikenal dengan negara berpenduduk mayoritas Muslim. Fakta menyebutkan bahwa jumlah penganut agama Islam adalah tertinggi di Indonesia. Dari data yang ada, pada tahun 2010 umat Islam Indonesia berjumlah 207 juta jiwa atau 87,2% dari total penduduk Indonesia. Sebuah fakta kuantitatif yang tidak bisa diabaikan.Kaitan antara demokrasi dan masyarakat Muslim tentu menjadi diskursus yang masih tetap menarik hingga hari ini.

Diskursus ini membentang dalam banyak hal, seperti dalam konteks relasi antarumat beragama dan intra umat beragama dan juga pada relasi mayoritas dan minoritas. Dan keduanya akan semakin kompleks jika dikaitkan dengan konsekuensi demokrasi di Indonesia. Oleh karenanya, tak jarang ummat harus dihadapkan pada realitas sosial dan politik yang tidak mudah dan memerlukan telaah yang mendalam untuk menyikapinya.

Dalam relasi antarumat beragama, ada banyak cerita sukses (success story) tentang bagaimana Toleransi berkembang di masyarakat kita. Pada 5 Oktober lalu, publik terhenyak dengan pernyataan permohonan maaf imam masjid besar kota Malang kepada umat Kristiani. Permohonan maaf ini dilakukan lantaran peribadatan gereja harus ditunda karena jalan menuju gereja dipenuhi jamaah sholat Idul Adha, yang kebetulan berdekatan dengan gereja (Kompas, 10 Oktober). Tak hanya itu, di Solo, masjid Al-hikmah dan gereja GKJ dibangun berdempetan, bahkan menggunakan satu nomor alamat. Sebelumnya, di Jogjakarta publik dibuat terharu dengan adanya foto yang marak di social media tentang seorang perempuan berjilbab tengah menggandeng seorang suster Katholik menyeberang di bilangan jalan Malioboro. Publik begitu terharu dangan situasi ini. Toleransi adalah fakta yang hidup dalam masyarakat kita.

Meskipun demikian, fakta-fakta ini tak tunggal. Selain toleransi yang begitu kuat, Indonesia juga memiliki persoalan pelik dalam relasi umat beragama dalam konteks mayoritas dan minoritas, utamanya jika dikaitkan dengan politik atau power relations dan soal kepemimpinan. Dalam beberapa daerah yang mayoritas penduduknya Muslim dan dipimpin oleh pemimpin non Muslim, biasanya timbuk gejolak penolakan terhadap pemimpin itu. Bahkan, penolakan itu kadang berujung pada aksi kekerasan.

Alasan-alasan SARA kembali digunakan untuk aksi-aksi politik segelintir orang. Ini adalah realitas politik yang dihadapi ummat hari ini. Ummat juga terkadang seperti tak memiliki rujukan tentang bagaimana menyikapi realitas politik yang demikian. Mereka kebanyakan larut dalam suasana emosional dan hanya mengikuti pemimpinnya tanpa sikap yang kritis. Seyogyanya diskusi dan musyawarah lebih didahulukan dibandingkan tindakan kekerasan. Sebuah ijtihad baru mesti dilakukan, untuk mendapatkan sebesar kemaslahatan ummat.

Masih terjadinya penolakan terhadap pemimpin yang berasal dari golongan yang berbeda, baik dari sisi agama maupun etnis, termasuk kelompok minoritas itu tentu menjadi sebuah keprihatinan sendiri. Hal ini membuktikan bahwa persoalan komitmen terhadap kebhinnekaan, pluralisme, toleransi, dan perlindungan terhadap minoritas, adalah beberapa persoalan serius yang masih terjadi di Indonesia hingga hari ini. Terutama jika dikaitkan dengan persoalan kepemimpinan politik dan pengambil kebijakan. Demokrasi sebagai sebuah pencapaian, masih harus diperjuangkan dalam konteks kesetaraan antar warga. Demokrasi tidak bisa ditegakkan tanpa ada pengakuan kesetaraan dan penghormatan pada perbedaan dan kemajemukan. Bahkan, Konstitusi Indonesia menyatakan bahwa Negara melindungi segenap warga negaranya dan semuanya berhak mendapatkan hak-hak ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang sama.

Berdasarkan pada realitas yang ada saat ini, tentu kita perlu menelaah kembali dan menafsir ulang atas berbagai pemahaman dan pandangan para ulama klasik yang tertuang dalam disiplin Fikih, terutama agar pandangan-pandangan fikih yang bersifat temporer itu dapat sesuai dengan tuntutan persoalan-persoalan kontekstual-kontemporer masyarakat Indonesia dewasa ini. Salah satunya adalah terkait persoalan kepemimpinan dalam masyarakat majemuk dan hubungan sosial antar umat beragama. Sejauh mana pandangan-pandangan yang tertuang dalam Fiqh al-siyasah dan Fiqh al-mujtama’ kompatibel dengan realitas sosial-politik hari ini, patut untuk kita pertanyakan kembali.

Oleh karena itu, berdasarkan beberapa fakta persoalan di atas, maka penting kiranya digelar sebuah Halaqah yang memberikan ruang pada gagasan-gagasan barupa kontekstualisasi Fikih, terutama Fiqh siyasah dan Fiqh imamah yang akan menuntun ummat dalam menyikapi realitas politik kekinian, dalam kaitannya dengan kepemimpinan dalam masyarakat majemuk, juga tentang isu mayoritas dan minoritas. Melalui halaqah ini, harapannya dapat disusun sebuah kerangka Fikih Kebhinnekaan yang akan memberikan panduan pada ummat untuk menakar problematika kekinian tanpa menghilangkan nilai dan pesan-pesan penting agama (Maqashidus Syari’ah). Untuk itu, sangat penting untuk melibatkan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai ormas Islam terbesar dan sekaligus memiliki kesamaan visi pada Keislaman dan Keindonesiaan.

Halaqah ini digelar untuk turut memecahkan persoalan kontemporer keumatan yang berkaitan dengan isu kepemimpinan politik dalam masyarakat majemuk, hubungan antara mayoritas dan minoritas agama, dan persoalan-persoalan keumatan lainnya yang perlu segera diselesaikan. Agar ummat dapat melihat persoalan dengan jernih dan mampu menjadi bagian dari solusi. Seperti kata Buya Syafii Maarif yang menyitir ungkapan Nabi, “agar ummat tak hanya menjadi buih”.

Tanggal