Tag Archive for: Maarif Award

Aba Rasyid, Tokoh Muhamadiyah, Pejuang Kemanusiaan dari Maumere Meninggal Dunia

MAARIF Institute – Abdul Rasyid Wahab atau biasa disapa Aba Rasyid, seorang tokoh Muhammadiyah dan pejuang kemanusiaan dari Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, meninggal dunia di usia ke-86.

Atas dedikasinya terhadap kemanusiaan beliau dianugrahi MDMC Award pada 2014 oleh Muhammadiyah dan MAARIF Award pada tahun 2018 oleh MAARIF Institute.

Kabar meninggalnya Aba Rasyid disampaikan oleh Iksan Wahab Ketua PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) Kab. Sikka

“Ya betul, Ia meninggal di RS Sikka, Maumere hari ini (4/10) pukul 16.00 WIB, Ujar Iksan yang juga anak kandung dari Aba Rasyid.

Sosok yang sederhana dan bersahaja ini mempunyai prinsip kebersamaan dalam perbedaan. Prinsip yang ia pegang teguh itu ia berlakukan untuk semua urusan termasuk urusan keumatan, kebangsaan dan juga kemanusiaan.

Aba Rasyid merupakan tokoh Muhammadiyah yang berperan penting dalam memimpin tim relawan kemanusiaan beraksi saat pendampingan bencana letusan Gunung Rokatenda tahun 2013. Beliau juga adalah tokoh lokal yang merawat kebersamaan dalam kebinekaan lewat kegiatan-kegiatan di FKUB bersama tokoh non-muslim di Maumere.

“Kebersamaan dalam perbedaan saya jadikan prinsip hidup saya dalam semua urusan, urusan keumatan, kebangsaan dan kemanusiaan. Dalam kebersamaan itulah saya merasa diri bermakna dan bermanfaat,” tulis Aba Rasyid dalam sambutannya saat menerima MAARIF Award 2016.

Dilansir dari catatan David Krisna Alka dalam buku MAARIF Award 2016, Aba Rasyid menjadi salah satu tokoh Muhammadiyah Sikka yang memiliki peran besar dalam membentuk Pimpinan Cabang Muhammadiyah di Kab Sikka, termasuk pendidikan dan amal usaha di setiap cabang Muhammadiyah.

Sampai sekarang, sulit mencari tokoh sepuh Muslim yang mengayomi dan menjadi tokoh masyarakat seperti Abah di Maumere, Kab Sikka. Aba Rasyid yang lahir di Maumere, 5 April 1937 ini menjadi tokoh utama dan rujukan pertama bagi masyarakat, pemerintahan, dan ormas, tatkala ada kegiatan, penelitian, dan terkait peristiwa sosial keagamaan di Kab Sikka, tutup David.

Profile Abdul Rasyid Wahab

Lahir di Maumere, 5 April 1937, Sebelum Indonesia Timur merdeka (1945-1947) Aba Rasyid menempuh Pendidikan di Sekolah Desa Katolik Maumere dan Algemeene Laager School, Maumere (1948-1949). Kemudian Sekolah Dasar Maumere (1949-1953). Aba Rasyid menempuh Pendidikan di sekolah Katolik di SMP Yapentom, Maumere dan SMA Suryadikara, Ende. Pada tahun 1960 sempat kuliah dan bekerja di Universitas Atmajaya, Jakarta yang didirikan Tokoh Nasional dari Flores, Frans Seda. Abah hanya setahun di Jakarta.

Saat peristiwa G30 S/PKI Abah pulang ke Maumere. Kemudian menikah dan mulailah Aba Rasyid menjadi pengurus masjid, aktivis masjid, membangun masjid, dan berperan aktif di Sikka.

Pada tahun 1968 Aba Rasyid masuk pemerintahan Maumere. Ia menjadi anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) Kab. Sikka dari utusan umat Muslim, menjadi pembantu Bupati dalam urusan tertentu.

Usianya saat itu baru 26 tahun. Kemudian setelah di BPH, tahun 1970 Pemilu di Sikka ada dua Partai Islam, Partai NU dan Parmusi. Aba sebenarnya Parmusi, tetapi saat itu Partai NU tidak ada kader yang menjadi calon anggota DPRD Kab Sikka. Kemudian, Partai NU dan Parmusi bergabung mengutus Abah menjadi anggota DPRD utusan NU dan Parmusi.

Cuma setahun Aba Rasyid menjadi anggota DPRD (1972-1973). Setelah itu Aba Rasyid menjadi PNS Tingkat II Sikka. Bupati Sikka saat itu, L. Say (Katolik), banyak menuntun dan membuat Abah menjadi lebih aktif serta diajak dalam berbagai kegiatan. Aba Rasyid banyak mendapat pencerahan dari Bupati L. Say (L. Say menjadi nama pelabuhan di Maumere).

Aba Rasyid lalu menunaikan tugas belajar di APDN, Kupang (1973-1976). Lulus dari APDN, bertugas di bagian Kesra, Kab, Sikka (1979-1981), menjadi Koordinator Pemerintahan Kota (Kopeta) Maumere (1982-1987), BAPPEDA Kab Sikka (1987-1992). Tahun 1993, Aba Rasyid pensiun.

Tahun 1982 Aba Rasyid sudah aktif di Pemuda Muhammadiyah Kecamatan. Sejak menjadi Kopeta Abah sudah menjadi Pengurus Cabang Muhammadiyah Sikka. Abah menjadi pengurus tidak memaksakan diri tapi memang dibutuhkan. Kemudian diangkat menjadi Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Sikka (1985-1981). Aba Rasyid menjadi Ketua PDM Sikka dari tahun 1991 sampai 2015.

Aba Rasyid juga menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kab, Sikka dari tahun 1996-2001. Menjadi Wakil Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kab. Sikka (2005-sekarang). Di mana Ketua FKUB adalah dari Keuskupan. Di usianya yang lebih 70 tahun, Aba Rasyid menjadi Ketua Dewan Penasehat MUI Kab Sikka dan Ketua Dewan Penasehat PDM Kab Sikka. (DM)

PENERIMA MAARIF AWARD 2022 CEGAH POLARISASI DAN PERKUAT KOHESI SOSIAL-EKONOMI

Jakarta, 17 Desember 2022 – MAARIF Institute kembali menggelar Penganugerahan MAARIF Award di Grand Studio Metro TV, Sabtu, 17 Desember 2022. Penyelenggaraan tahun ini merupakan pemberian penghargaan ke-9 sejak diberikan pertama kali tahun 2007.

Tujuan award ini mencari figur para pejuang tangguh di tingkat akar rumput, baik individu atau institusi yang memiliki komitmen perjuangan dan keberpihakan terhadap isu-isu kemanusiaan, kelompok marjinal, minoritas, toleransi, dan penguatan kapasitas kepemimpinan lokal. Mereka merupakan aktivis pelopor dan penggerak proses perubahan sosial yang memiliki pemikiran inklusif dan aksi kemanusiaan sebagaimana perjuangan Buya Syafii Maarif. Almarhum dikenal luas sebagai guru bangsa yang lantang membela pluralisme, keadilan sosial, dan mengkampanyekan koeksistensi antar kelompok yang berbeda.

Dalam sambutannya, Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Abd. Rohim Ghazali mengatakan bahwa MAARIF Award bertujuan untuk mengangkat model-model keteladanan dan kepemimpinan lokal dengan komitmen terhadap nilai-nilai kebinekaan, anti kekerasan, dan anti diskriminasi. Kegiatan ini berikhtiar menemukan pribadi-pribadi penggerak dan tangguh yang berjuang untuk kemanusiaan di tingkat akar rumput.

“MAARIF Award dianugerahkan kepada individu atau lembaga yang kiprahnya dalam melembagakan nilai-nilai kebinekaan sudah teruji konsistensinya dan eksistensinya diterima oleh ragam pihak masyarakat. Proses penetapan peraih penghargaan MAARIF Award 2022 ini, menurutnya, tak berlangsung singkat. Dewan juri MAARIF Award 2022 melakukan proses persidangan dan investigasi yang ketat”, ujar Rohim.
Rikard Bagun, salah satu Dewan Juri yang juga Dewan Pengawas MAARIF Institute, menjelaskan bahwa nama-nama yang lolos untuk menerima MAARIF Award tahun ini telah melewati tahap seleksi administratif, kemudian dipilih oleh Dewan Juri untuk diobservasi dan diinvestigasi secara empirik di lapangan/daerah oleh Tim MAARIF Award 2022 untuk memastikan kelayakannya.

“Calon penerima penghargaan adalah pihak yang mencerminkan pemikiran Buya Syafii tentang kemanusiaan, keindonesiaan, dan kebinekaan. Kami lebih fokus mencari calon penerima anugerah ke daerah, orang yang belum pernah mendapat penghargaan”, ungkap Rikard.

Setelah melalui proses pencarian dan penjaringan yang cukup panjang, MAARIF Award 2022 ini telah menemukan figur, baik individu maupun institusi, yang dapat menjadi role model dalam membangun kohesi sosial dan membangun optimisme ditengah ancaman polarisasi politik dan resesi ekonomi global.

Dewan Juri telah memutuskan untuk memberikan MAARIF Award 2022 kepada dr. Athaillah A Latief, Sp.OG. Ia merupakan tokoh Muhammadiyah yang berperan penting dalam memperjuangkan kemajemukan dan nilai-nilai toleransi di Bireun, Aceh, melalui pendidikan dari berbagai jenjang, pemberdayaan ekonomi masyarakat, advokasi pendirian rumah ibadah, pendampingan kesehatan, dan pencegahan aborsi. Aksi kriminal sekelompok warga terhadap pendirian mesjid yang telah mendapat IMB di Samalanga tidak menyurutkan kegigihan dr. Athoillah. Ia setia menempuh perlawanan secara konstitusional, tidak menganjurkan cara-cara kekerasan.

Kedua, award diberikan kepada Badan Pertimbangan Kesehatan Daerah (BPKD) Manggarai Barat. Sebuah lembaga kesehatan yang diinisiasi bersama masyarakat sipil dan pihak pemerintah melakukan kerja kemanusiaan melalui program rumah tunggu bersalin. BPKD berupaya mengurangi kematian ibu dan anak baru lahir di Manggarai, yang selama ini menjadi problem yang sangat tinggi.
Ketiga, Inkubator Bisnis (INBIS) Permata Bunda Bontang, merupakan unit usaha dari Sekolah Luar Biasa (SLB) Permata Bunda Bontang Kalimatan Timur. Sejak Tahun 2013, program kewirausahaan berkelanjutan bagi ABK telah memberi manfaat kepada 11.460 orang di Bontang terhitung sampai tahun 2021.

Ditemui di sela-sela penganugerahan MAARIF Award, dr. Athaillah menyampaikan terimakasih karena MAARIF Institute telah mengapresiasi kerja-kerja kemanusiaan dan perjuangannya menegakkan hak konstitusi umat beragama di Bireun. Saya memaknai apresiasi dan penghargaan ini bukanlah sebagai sebuah kebanggaan yang lebih, tapi memaknainya sebagai satu kelanjutan amanah baru untuk melanjutkan kerja-kerja keIslaman dan kemanusiaan yang tidak pernah boleh berhenti sampai akhir hayat”, ungkapnya.

Para penerima MAARIF Award ini adalah orang-orang yang tidak hanya berkomitmen pada keragaman, tetapi juga mampu memajukan kemandirian warga negara untuk meningkatkan kualitas hidup dan memuliakan martabat manusia.
Malam Penganugerahan MAARIF Award 2022 ini dihadiri oleh sejumlah tokoh seperti Ketua Komisi Yudisial Mukti Fajar Nur Dewanta, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Wakil Menteri ATR/BPN Raja Juli Antoni, Ketua Yayasan Ahmad Syafii Maarif Rizal Sukma, Clara Joewono, Suyoto, Rikard Bagun, Fajar Riza Ul Haq, Direktur Eksekutif MAARIF Institute Abdurrohim Ghazali dan sejumlah tokoh lainnya.

MAARIF Award 2022: Mencari Orang Biasa dengan Karya Kemanusiaan Luar Biasa

Jakarta, 3 Agustus 2022. Tahun 2022 mesti dimaknai sebagai tahun pemulihan dalam berbagai sektor. Hal ini didasarkan pada situasi global yang melanda dunia yakni pendemic virus Severe Acute Repiratory Coronavirus-2 (SAR-COV-2) yang menyebabkan penyakit Corona Viruses Disease-19 atau lebih dikenal dengan Covid-19. Hampir semua negara terdampak, dan tidak semua mampu menghadapinya dengan baik. Seluruh daya upaya digelar untuk melawan pandemi ini hingga kini, termasuk di Indonesia. Di tengah upaya tersebut, situasi semakin diperparah dengan banyaknya misinformasi, disinformasi, dan kabar bohong  yang menyeruak, termasuk di dalamnya pemikiran irasional dan cenderung fatalis dalam merespon bencana wabah ini dalam perspektif keagamaan masing-masing.

Banyaknya misinformasi, disinformasi, dan kabar bohong  ini tak jarang juga menyentuh isu primordial masyarakat seperti isu agama, ras, ormas keagamaan dan suku. Bangunan persaudaraan antaranak bangsa turut terkoyak karena banyaknya kabar bohong/hoak.  Kegaduhan ini mesti segera diakhiri dengan penguatan persatuan bangsa di atas kepentinagan apa pun. Pandemi Covid-19 mestinya menjadi momentum untuk kita berbenah diri dan membuat lompatan besar dalam urusan pengelolaan kesehatan, kesejahteraan masyarakat, teknologi, dan lain-lain.

Di tengah persoalan besar tersebut, kehadiran para pemimpin lokal yang memperjuangkan nilai-nilai keindonesiaan dan kemanusiaan ibarat oase yang menyuntikkan harapan baru (new hope) dan menumbuhkan model-model alternatif (role models) untuk penguatan dan pemberdayaan masyarakat sipil dalam upaya mencegah terjadinya perpecahan dan sekaligus mampu menjembatani hubungan antar-agama di kalangan masyarakat akar rumput. Mereka merupakan aktivis pelopor dan penggerak proses perubahan sosial di tingkat akar rumput dengan komitmen tinggi terhadap pluralisme, moderasi, koeksistensi, dan keadilan sosial.

Setelah terlaksana dengan baik pada 2020, MAARIF Award kembali digelar tahun 2022 ini. MAARIF Award adalah program penghargaan dua tahunan yang diselenggarakan MAARIF Institute sejak tahun 2007. Penghargaan ini diberikan untuk mengangkat model-model keteladanan dan kepemimpinan lokal yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai kebinekaan dan Pancasila yakni spiritualitas, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial.

Kehadiran award pada tahun ini memiliki makna tersendiri ketika bangsa kita tengah dihadapkan pada berbagai tantangan: bangkit dari pandemi Covid-19, menjaga keutuhan anak bangsa dari ancaman perpecahan pasca dan menjelang tahun politik, menjaga kewarasan publik di tengah gelombang informasi –terutama pemanfaatan media sosial– yang tidak selalu konstruktif, dan tantangan-tantangan lain seperti intoleransi, radikalisme, perundungan, dan kekerasan seksual. “Penyelenggaraan award tahun ini diharapkan mampu menemukan sosok, baik individu maupun institusi, yang bisa menjadi teladan sekaligus panutan dalam membangun kohesi sosial di tengah ancaman perpecahan yang kini membayangi masyarakat Indonesia, dan mampu membangun optimisme di tengah keterpurukan sosial-ekonomi akibat pandemi,” papar Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Abd Rohim Ghazali.

MAARIF Award kali ini telah memasuki penyelenggaraan yang kesembilan, setelah sebelumnya diadakan pada tahun 2007, 2008, 2010, 2012, 2014, 2016, 2018 dan 2020. Dari delapan kali penyelenggaraan itu, terdapat empat belas individu pejuang kemanusiaan di tingkat lokal dari pelosok Nusantara dan sekarang di antaranya sudah menjadi tokoh nasional: Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty (Ambon), Arianto Sangaji (Poso), Cicilia Yuliani Hendayani (Blitar), TGH. Hasanain Juaini (Lombok Barat), Tafsir (Semarang), Romo Vincentius Kirjito (Magelang), Ali Al Habsyi (Martapura), Ahmad Bahruddin (Salatiga), Romo Carolus (Cilacap), Masril Koto (Padang), Budiman Maliki (Poso), Rudi Fofid (Ambon), Abdul Rasyid Wahab (Sikka, NTT), dan Ibnu Kharish atau Ustadz Ahong (Tangerang Selatan-Banten); serta dua institusi: Yayasan Pendidikan Sultan Iskandar Muda (Medan) dan Mosintuwu Institute (Poso).

Di tiap penyelenggaraan MAARIF Award, komposisi Dewan Juri selalu beragam dan berubah. Hal ini semata ditujukan untuk memberikan kepastian obyektifitas dalam menilai calon penerima MAARIF Award. Untuk tahun 2022 ini, Dewan Juri terdiri atas Clara Joewono, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, Rikard Bagun, Gaundensius Suhardi dan Ahmad Bahruddin.

Para calon penerima MAARIF Award akan dinilai dari kerja-kerja kemanusiaan yang dipeloporinya untuk publik dan berpengaruh secara positif dalam lingkup yang lebih luas;  kemampuannya mendorong partisipasi warga untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat; kemampuannya menjembatani perbedaan dan kebinekaan di tengah masyarakat; peran aktifnya dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui penguatan akses pendidikan, kesehatan, pembedayaan ekonomi, pemeliharaan lingkungan, dan rekonsiliasi konflik demi kedamaian dan kesejahteraan hidup masyarakat. “Penerima MAARIF Award haruslah orang-orang yang tak hanya memiliki komitmen pada kebinekaan, tapi juga mampu mendorong kemandirian warga untuk peningkatan kualitas hidup serta pemuliaan harkat dan martabat manusia,” terang Clara Joewono Dewan Juri MAARIF Award 2022.

Segenap masyarakat bisa turut andil  dalam program ini dengan cara merekomendasian atau mengajukan nama-nama yang dianggap layak untuk mendapatkan MAARIF Award. Caranya dengan mengisi formulir pencalonan yang bisa akses di https://maarifinstitute.org/about-maarif-award/. Pengisian form pencalonan diterima selambatnya pada 15 September 2022.

Oase di Tengah Konflik Poso: Mosintuwu Institute Gerakan Perempuan dan Perdamaian

Dodoha Mosintuwu, tempat di mana Mosintuwu Institute berada di wilayah kecamatan Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Kota ini memiliki keindahan alam yang luar biasa. Tetapi dalam dekade terakhir, citra keindahan tersebut musnah dengan terjadinya kerusuhan 1998 yang kemudian disebut konflik Poso.

Konflik Poso dianggap sebagai pemicu kemunculan gerakan radikal-terorisme di Indonesia. Faktor-faktor yang dipercayai sebagai penyebab utama konflik di Poso ada tiga; 1) persaingan politik, yaitu perebutan jabatan Bupati dan Sekretaris Daerah Kabupaten Poso; 2) persaingan di bidang ekonomi antara penduduk asli dan pendatang; 3) pergeseran struktur-sosial budaya serta komposisi penduduk asli dan pendatang.

Konflik itu diawali dari konflik komunal sampai menjadi konflik SARA. Pertama, pada 25 Desember 1998 pemuda muslim dibacok oleh Roy Runtu Bisalemba yang beragama Kristen di dalam masjid Darusalam Poso. Kedua, pada 16 April 2000 dua pemuda mabuk dan tanpa alasan yang jelas terlibat pertikaian.

Kedua belah pihak yang bertikai berasal dari desa yang berpenduduk muslim dan Kristen. Kejadian ini menyebabkan bentrokan antar kelompok terulang kembali. Ketiga, pada 24 Mei 2000 desa berpenduduk muslim diserang oleh sekelompok pemuda Kristen dari luar Poso, kemudian menyulutkan konflik yang meluas dan menimbulkan aksi balasan yang kemudian disebut aksi terorisme bom natal.

Sejak itu, aksi-aksi teror lainnya terus terjadi karena penyelesaian tidak kunjung dilakukan oleh pemerintah secara tuntas. Konflik masih terus terjadi dari kedua belah pihak sampai diputuskannya Deklarasi Malino I tahun 2001. Tujuan deklarasi ini untuk mempertemukan kedua belah pihak dan menyelesaikan konflik yang ditengahi oleh Menko Kesra, Jusuf Kalla.

Meski demikian, riak-riak konflik masih seringkali muncul. Pengeboman di Poso terus terjadi di tahun 2003 yang sedikitnya 8 kali peristiwa, tahun 2005 sebanyak 11 kali peristiwa dan salah satunya di wilayah Tentena, dan 2006 terjadi sebanyak 9 kali peristiwa.

Di tengah-tengah situasi tersebut, muncul suatu Oase yang sedang tumbuh untuk mendamaikan Poso, yakni Mosintuwu Intsitute. Lembaga yang didirikan oleh Lian Gogali ini, bermula dari rasa keprihatinan atas peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama, dan adanya kepentingan ekonomi politik dibalik konflik kekerasan yang berakhir pada pengelolaan sumber daya alam yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin dan marginal yang terjadi di Poso.

Dalam perkembangannya, Mosintuwu mendapat banyak simpatisan. Anggotanya berasal dari berbagai latarbelakang suku dan agama yang ada di Kabupaten Poso dan Morowali.4Tulisan ini menceritakan khazanah lokal, dari salah satu aktor perdamaian di Poso, Mosintuwu Institute. Lembaga ini mendapatkan anugerah Maarif Award 2016, yakni program pengakuan dan penghormatan kepada aktor-aktor lokal yang bergerak untuk kemanusiaan.

Lembaga ini dinilai mampu mentransformasikan kekuatan perempuan menjadi gerakan pembaruan di Poso. Salah satu juri Maarif Award 2016, Endy bayuni mengatakan, “Mosintuwu adalah bukti bahwa perempuan-perempuan penyintas konflik Poso mampu menjembatani konflik, mengurai dendam dan memahami perbedaan untuk kemudian bersama membangun Tanah Poso melalui desa”.

Selain Mosintuwi Institute, Maarif Award 2016 juga diberikan kepada Budiman Maliki, pejuang hak dasar layanan masyarakat Poso. Budiman merupakan aktivis yang pernah terlibat dalam rangka penanganan pengungsi konflik Poso. Aktivitasnya melampaui batas-batas primordial agama dan etnis. Kini, dia berkutat pada pemberdayaan masyarakat.

Kemudian penghargaan ini juga diberikan kepada Rudi Fofid. Dia seorang aktivis, seniman yang juga wartawan. Melalui sastra hingga music hip-hop, ia menyuarakan perdamaian. Dia penyintas konflik kekerasan di Ambon yang meyakini bahwa perdamaian adalah jalan hidup. Dan baginya, Ambon yang damai adalah obat untuk semua orang yang telah menjadi korban dalam konflik di Ambon, termasuk ayah dan kakaknya.

Untuk diketahui, Maarif Award terselenggara enam kali: 2007, 2008, 2010, 2012, dan 2014. Penerima Maarif Award pada tahun 2007 yaitu Pdt Jack Manuputty dari Ambon, Arianto Sangaji dari Poso. Pada tahun 2008 TGH Hasanain Juaini dari Lombok, M. Tafsir dari Semarang, Cecilia Yuliani Hendayani dari Blitar. Tahun 2010 penerimanya adalah S. Ali Habsyi dari Magelang, tahun 2012 Ahmad Bahruddin dari Salatiga, Romo Carolus dari Cilacap, dan tahun 2014 Maril Koto dari Sumatera Barat.

Dari Teologi Pembebasan hingga ke Politik Ingatan

Teologi Pembebasan, Kajian Budaya, Ekonomi-Politik, dan Politik Ingatan merupakan empat disiplin ilmu yang pada akhirnya mengantarkan Lian Gogali menulis tesis tentang Politik Ingatan Perempuan dan Anak dalam Konflik Poso.

Aktivitas Lian untuk mendampingi para korban konflik bermula dari perasaan berhutang kepada para perempuan yang diwawancarainya ketika menyelesaikan tesis tersebut. Pertanyaan paling menohok yang didapatnya ketika itu adalah, “apa yang terjadi pada kami setelah Lian pergi?”. Lian banyak membaca dan berdiskusi tentang Teologi Pembebasan ketika menempuh studi sarjana di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.

Dalam suatu wawancara, Lian mengungkapkan bahwa dirinya sangat terbantu oleh ST. Sunardi dalam hal Kajian Budaya. ST. Sunardi merupakan salah seorang pengajar ketika Lian menempuh studi master di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Kajian komprehensif ihwal Ekonomi-Politik banyak Lian dapatkan dari George Aditjondro. Selama menempuh studi master, Lian menjadi asisten peneliti George Aditjondro selama 2 sampai 3 tahun.

Bahkan, Lian mengungkapkan bahwa dirinya adalah anak angkat dari Geogre Aditjondro. Dr. Budiawan, salah seorang pengajar di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, disebut oleh Lian sebagai orang yang paling berjasa dan mempengaruhinya tentang kajian Politik Ingatan. Hingga ia akhirnya memutuskan untuk menulis tesis tentang itu.

Pada tahun 2007, Lian kembali ke Poso dan beraktivitas di Asian Muslim Action Network (AMAN) dan Poso Center. Setelah melewati banyak diskusi dengan sesama kawan aktivis dan menyelami konteks Poso, guna membumikan cita-citanya, akhirnya pada tahun 2009 ia mendirikan Institut Mosintuwu atau Mosintuwu Institute yang anggotanya terdiri dari para survivor konflik Poso.

Pada mulanya, Mosintuwu Institute diharapkan dapat menjadi suara alternatif dari perempuan dan anak tentang pembangunan perdamaian yang berkeadilan dan setara. Mosintuwu Institute berharap perempuan dan anak memiliki ruang untuk berbicara dan memperkuat kapasitas, sehingga dapat membuka gerakan alternatif dalam memperjuangkan pembangunan perdamaian, keadilan dan kesetaraan di wilayah pasca konflik Poso.

Kelahiran Mosintuwu Institute diilhami oleh kondisi sosial masyarakat Poso yang patriarki dan feodal yang masih memandang perempuan sebagai warga kelas dua dan hanya memiliki fungsi reproduksi. Oleh karena itu, dalam konflik, perempuan mengalami dampak yang mengerikan. Setidaknya terdapat tiga dampak yang ditimbulkan akibat itu, yakni perpecahan keluarga, kekerasan seksual yang diikuti dengan diskriminasi sosial yang sangat rentan dialami oleh perempuan ketika dan pasca konflik, dan pelecehan seksual.

Di tengah kondisi patriarki dan feodal tersebut, Lian melihat peran lain yang dimainkan oleh perempuan dan kadang dilupakan, yaitu menghidupi anak-anak dan komunitasnya. Kekuatan lain yang yang dilihat Lian adalah inisiatif perempuan untuk melakukan perdamaian. Akan tetapi, dalam pertemuan-pertemuan antar komunitas yang memutuskan kebijakan perdamaian atau pembangunan, perempuan tidak pernah dilibatkan.

Akibatnya, kebijakan penanganan konflik dan pembangunan pasca konflik sangat bias gender. Pembangunan pasca konflik yang bias gender tersebut menempatkan perempuan mengalami kekerasan baru dan didiskriminasi terus-menerus, termasuk menenggelamkan narasi perempuan dalam konflik yang berbeda dari laki-laki.

Nama Mosintuwu diambil dari Bahasa Pamona (salah satu suku di Poso) yang berarti bekerja bersama-sama. Mosintuwu Institute mempunyai program yang terdiri dari: (1) Bidang Pendidikan, yang memiliki program: Sekolah Perempuan Mosintuwu; Project Sophia (Perpustakaan Keliling untuk Anak); dan Perpustakaan Sophia. (2) Bidang Pengorganisasian, yang memiliki program: Organisasi Perempuan Interfaith; Advokasi Perlindungan Perempuan dan Anak; Lingkar Diskusi dan Aksi. (3) Bidang Media dan Kampanye, yang memiliki program: Koran Perempuan, Radio Komunitas; Media Internet. (4) Bidang Ekonomi Solidaritas, yang memiliki program: Bank Perempuan; Eko-Wisata; dan Bamboo Project.

Program-program tersebut tidak hanya menjadikan perempuan sebagai agen perdamaian, tetapi juga menjadikan perempuan berdaya secara ekonomi, sosial, budaya dan melek politik. Melek politik di sini tidak sekedar memperkenalkan persoalan-persoalan politik tetapi juga mengadvokasi kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kesetaraan perempuan. Untuk melihat jejak langkah sebagai karya nyata Mosintuwu Institute, tulisan ini disusun secara kronologis dari sejak pendiriannya hingga saat ini.

Perdamaian Sebagai Pintu Masuk

Sekolah Perempuan merupakan salah satu program yang digalakkan untuk mewujudkan visi dan misi Mosintuwu Institute. Dipilih karena Mosintuwu melihat bahwa pendidikan bagaimana pun menjadi kunci utama untuk membuka pandangan para perempuan.

Angkatan Pertama dan Kedua Sekolah Perempuan menitikberatkan pada proses perdamaian sebagai pintu masuk menuju kedaulatan rakyat yang dicita-citakan. Perdamaian memang kata yang tak mungkin dilepaskan sekaligus konsekuensi logis akibat konflik Poso.

Isu perdamaian dipilih karena Mosintuwu melihat kondisi alam bawah sadar para perempuan dan anak-anak masih rentan akan nuansa konflik.“Proses tidak dirancang sendiri, melainkan pemahaman terhadap konteks. Jadi konteks awalnya memang harus dilihat, tahun ketika pertama kali Mosintuwu dibangun. Itu adalah tahun dimana hubungan antar agama sangat renggang. Lalu juga berdasarkan tesis saya.

Memang kelompok perempuan sangat potensial untuk proses membangun perdamaian”, ujar Lian memberikan alasan.Perdamaian sebagai pintu masuk menuju kedaulatan yang dicita-citakan juga diamini oleh Martince Baleona, seorang ibu rumah tangga yang bermetamorfosa menjadi aktivis berkat Sekolah Perempuan Angkatan Pertama.

Dirinya merasa bahwa Sekolah Perempuanlah yang sepenuhnya mengubah pandangannya tentang Islam dan Perdamaian ketika penyampaian materi “Islam, Toleransi dan Perdamaian” dan kunjungan lapangan ke masjid.Ibarat kondisi jalan raya di Poso, di mana selalu ada batu dan kerikil, bahkan longsor, yang tiap saat bisa menghadang. Begitupun dengan apa yang dikerjakan oleh Mosintuwu.

Kendala yang dialami ialah ketika para peserta Angkatan Pertama Sekolah Perempuan yang beragama Kristen akan mengunjungi masjid. Ustadz setempat mengungkapkan keberatannya karena khawatir para perempuan Kristen tersebut sedang tidak suci (haid).

Selain itu, ustadz tersebut juga menganggap bahwa acara yang diselenggarakan oleh Mosintuwu Institute merupakan bagian dari Kristenisasi.Mencari jalan keluar dari masalah tersebut, Mosintuwu menghubungi Darwis Waru, Ketua Gusdurian Poso, dan memintanya untuk membantu menyelesaikan perkara tersebut. Ditemui di kediamannya yang disulap menjadi menjadi Griya Gus Dur, Darwis mengatakan langkah yang diambil oleh Mosintuwu tersebut sebagai salah satu kecerdikan politik strategis.

Senada dengan Darwis, Ibrahim Ismail, Ketua GP Anshor Poso, yang pernah dimintai bantuan serupa untuk kasus yang berbeda mengatakan bahwa kecerdikan Mosintuwu untuk menyelesaikan beberapa masalah dengan meminta bantuan kepada orang atau lembaga yang kompeten dan sesuai dengan segmennya.

Selain tentang diskriminasi yang dialami perempuan, perdamaian masih menjadi isu utama pada modul dan materi yang disampaikan dalam Sekolah Perempuan Angkatan Kedua yang dilaksanakan pada kurun waktu 2012-2013 di 8 desa dan kelurahan. Hal ini seperti yang dituturkan Yurlin Pamoso, perempuan desa yang bermetamorfosa menjadi aktivis perempuan dengan menjadi staff Mosintuwu, di sela-sela Monitoring dan Evaluasi Sekolah Perempuan Angkatan Ketiga di Desa Gincu, daerah Bada.

Ulin, begitu ia biasa disapa, menyampaikan bahwa isu perdamaian masih menjadi bahasan utama di Angkatan Kedua Sekolah Perempuan lewat modul yang diajarkan. Dengan demikian, bisa disebut jika fase pertama dari Mosintuwu Institute adalah mewujudkan perdamaian yang sesungguhnya.

Konsolidasi Perempuan

Untuk pertama kalinya dalam sejarah perempuan di Poso dilaksanakan Musyawarah Perempuan Desa dari tanggal 3-17 Maret 2014. Musyawarah Perempuan Desa ini diinisiasi oleh Mosintuwu Institute yang khusus diikuti oleh perempuan akar rumput, yang terdiri dari para perempuan lintas profesi seperti ibu rumah tangga, petani, nelayan, dan buruh, dan terdiri dari lintas agama seperti Islam, Kristen, Hindu, serta lintas suku.

Mosintuwu memilih para perempuan akar rumput ini karena mereka yang selama ini memberi makna pada kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik. Dan pada saat yang bersamaan mereka juga adalah yang selalu terpinggirkan, terdiskriminasi, terabaikan, juga tidak didengar.

Musyawarah Perempuan Desa dilaksanakan dalam 10 wilayah berdasarkan karakteristik daerah, yaitu: Wilayah I Kecamatan Poso Pesisir Utara; Wilayah II Kecamatan Poso Pesisir dan Poso Pesisir Selatan; Wilayah III Kecamatan Poso Kota, Poso Kota Utara, Poso Kota Selatan; Wilayah IV Kecamatan Lage bagian Timur; Wilayah V Kecamatan Lage bagian Selatan; Wilayah VI Kecamatan Pamona Utara; Wilayah VII Kecamatan Pamona Puselembah; Wilayah VIII Kecamatan Pamona Selatan dan Pamona Barat; Wilayah IX Kecamatan Pamona TImur dan Pamona Tenggara; dan Wilayah X Kecamatan Lore Selatan.

Kongres Perempuan Poso: Antara LSM dan Organisasi Rakyat

Setelah melaksanakan Musyawarah Perempuan Desa, Mosintuwu Institute kembali menyelenggarakan acara yang pesertanya adalah para perempuan akar rumput. Pada tanggal 25-27 Maret 2014 diselenggarakan Kongres Perempuan Poso di Dodoha Mosintuwu. Kongres ini dihadiri oleh kurang lebih 450 orang perempuan yang berasal dari 70 desa, 14 kecamatan di Poso.Ratusan perempuan menguatkan solidaritas sebagai sesama perempuan di hari pertama kongres.

Pada hari kedua, para perempuan dibagi kedalam enam topik dan bersama-sama berpikir, menganalisa, dan menyusun poin-poin penting yang telah didiskusikan. Keenam topik tersebut adalah Hak Perempuan atas Layanan Publik, Perlindungan Perempuan dan Anak, Partisipasi Politik Perempuan dalam Pembangunan Desa, Perempuan dalam Adat Budaya, Perempuan membangun Ekonomi Solidaritas, dan Perempuan Membangun Perdamaian.

Di hari terakhir, semua kelompok melakukan sidang kongres yang membahas semua usulan untuk menjadi rekomendasi. Walhasil, rekomendasi pun dihasilkan yang ditujukan kepada Pemerintah Daerah Poso, Pemerintah Desa/Kelurahan, organisasi masyarakat, dan masyarakat itu sendiri. Kongres Perempuan Poso mendapat perhatian dari publik luas dan di antaranya dihadiri oleh Andy Yentriyani (Komisioner Komnas Perempuan), perwakilan Gerakan Desa Membangun, dan fasilitator yang tersebar di Nusantara.

Selama Kongres berlangsung, tak jarang dan tak sedikit suara perempuan yang menghendaki perubahan, baik secara individu maupun kolektif. Teriakan?teriakan itu seperti, “Jangan 30%, jadikan 50%. Kita perempuan Poso pasti bisa, jangan memandang enteng kekuatan kita sendiri. Tulis saja disitu 50%, jadi kita setara dalam kesempatan dengan laki-laki”.

“Sudah, kita buat saja partai politik perempuan Poso. Kita bisa. Kita merdeka”. “Ayo, bikin partai perempuan”. “Hentikan pengiriman TKW”. “Merapat, kita teriak perempuan berdaulat atas tubuhnya”.

Jalan Menuju Organisasi Rakyat

Mosintuwu Institute lagi-lagi membuat gebrakan. Kali ini dengan menyelenggarakan Festival Sekolah Perempuan yang berlangsung dari tanggal 5-7 November 2015. Sekitar 300an perempuan dari 40 desa yang berasal dari Poso dan sebagian Morowali hadir dalam acara tersebut. Festival Sekolah Perempuan ini merupakan yang pertama kali diadakan sebagai wujud syukur setelah serangkaian proses belajar di sekolah perempuan sejak 2009, yang telah menghasilkan tiga angkatan.

Angkatan Pertama Sekolah Perempuan tahun 2009-2011. Angkatan Kedua Sekolah Perempuan tahun 2012-2013. Dan Angkatan Ketiga Sekolah Perempuan tahun 2014-2015.Festival ini dihadiri oleh Pejabat Bupati Poso; istri Duta Besar Amerika Serikat; perwakilan PBB urusan perempuan, perdamaian dan keamanan; jajaran Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta beberapa aktivis.

Kehadiran para perempuan akar rumput dan pembesar tersebut kian menguatkan daya tawar Mosintuwu Institute di mata pengambil kebijakan. Juga menggemakan suara perempuan ke seluruh jagat raya. Dalam festival ini, diselenggarakan serangkaian kegiatan seperti olahraga, kesenian tradisional, talkshow dan workshop yang memperkaya wawasan, pameran produk desa dan pameran foto perempuan desa. Diluar seremonial yang menghiasi dan meramaikan acara, Festival Sekolah Perempuan menjadi langkah akhir menuju organisasi (perempuan) rakyat yang dicita-citakan pendiri Mosintuwu Institute, Lian Gogali.

Festival ini menjadi semacam evaluasi jejak langkah Mosintuwu dari awal berdiri.Setelah Sekolah PerempuanSelama dua hari, Tim MAARIF Institute berkesempatan mengikuti aktivitas Mosintuwu Institute di wilayah Bada (Kecamatan Lore Utara dan Kecamatan Lore Selatan).

Tim MAARIF mengikuti rangkaian kegiatan yang dilakukan Mosintuwu Institute di 3 desa: Gintu, Badangkaia, dan Bakekao. Masing-masing kegiatan berlangsung selama 3 jam, yakni dari jam 09.00-12.00 WITA, 14.00-17.00 WITA dan 19.00-22.00 WITA.Untuk sampai ke Bada dari Poso Kota, tempat dimana terdapat Megalitik Palindo (Sepe), dibutuhkan waktu sekitar 4 jam menggunakan mobil Avanza yang disulap menjadi angkutan umum.

Orang-orang yang berangkat ke Bada selain membayar ongkos untuk duduk, juga membayar pegangan tangan, karena setengah jalan menuju Bada belum di aspal dan kondisi jalannya rusak cukup parah. Jika menggunakan sepeda motor bisa menghemat waktu karena bisa sampai dalam waktu 3 jam.

Para perempuan Mosintuwu menggunakan mobil kijang untuk sampai ke sana. Sementara tim MAARIF menggunakan mobil Avanza.Kegiatan ini tidak diikuti oleh semua alumni Sekolah Perempuan Angkatan Ketiga. Hal ini disebabkan beberapa hal seperti sedang ada ibadah, sedang ada duka (orang yang meninggal), sedang pesta, dan alasan-alasan lain yang memang sangat logis.

Akan tetapi kami menangkap spirit yang luar biasa dari para perempuan desa yang notabene tersingkirkan dalam kultur yang patriarki dan feodal. Tidak seperti perempuan desa pada umumnya yang malu-malu dan tidak fasih apalagi terstruktur ketika berbicara, para perempuan alumni Sekolah Perempuan Angkatan Ketiga lebih fasih dan percaya diri ketika menyampaikan argumen, meskipun tidak semua argumen dan pernyataan yang mereka sampaikan benar.

Keberanian dan kepercayaan diri ini tetap perlu diapresiasi, karena dengan begitu mereka telah keluar dari zona perempuan desa pada umumnya. Dengan kata lain, mereka selangkah lebih maju dibanding para perempuan desa pada umumnya.

Dalam kegiatan tersebut, tim Mosintuwu Institute yang turun ke lapangan adalah Lian Gogali, Martince Baleona, Asni, Yurlin Pamono, dan Cici. Selain Lian Gogali yang merupakan pendiri Mosintuwu Institute, yang lainnya merupakan anggota (alumni) Angkatan Pertama dan Angkatan Kedua Sekolah Perempuan.

Para perempuan ini bermetamorfosa dari para perempuan biasa menjadi pejuang pembaharuan perempuan.Di sela-sela kegiatan, Martince menceritakan bagaimana cara Lian mendorong ia sebagai alumni. “Setelah Sekolah Perempuan berakhir, saya harus merekrut empat orang dari Kayamanya. Awalnya saya takut karena Kayamanya merupakan daerah Texas.

Tapi Lian selalu meyakinkan kalau saya bisa. Akhirnya saya memberanikan diri dan mencari informasi di pasar. Lama saya mencari, akhirnya berkenalan dengan perempuan Islam (muslimah) di pasar. Dia tinggal di Kayamanya. Dari sana sampai sekarang kami berteman,” kenang Martince.Kembali pada kegiatan yang diselenggarakan oleh Mosintuwu, di sesi awal, Martince menjelaskan tentang topik pertemuan yang dilakukan.

Pada pertamuan kali ini, terdapat tiga topik utama yang dibicarakan dan didiskusikan, yakni Monitoring dan Evaluasi, Penjelasan Tim Pembaharu Desa, dan Sekolah Perempuan Lanjutan. Selanjutnya, Martince menjelaskan tentang cara pengisian lembar Monitoring dan Evaluasi Anggota Sekolah Perempuan.

Setelahnya, Lian Gogali mengambil alih dan menjelaskan tentang Tim Pembaharu Desa. Dalam penjelasannya, Lian menuturkan bahwa yang dimaksud dengan Tim Perempuan Pembaharu Desa adalah satu kesatuan dari lima tim yang akan dibentuk. Adapun kelima tim tersebut adalah Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (RPPA), Usaha Desa, Pendamping Desa, Media, dan Project Sophia.

Kelima tim ini merupakan rumusan baru, sekaligus pemadatan, dari awalnya tujuh tim yang dibentuk sebagai follow up pasca kegiatan Sekolah Perempuan.Dalam suatu wawancara di Gedung DPRD Poso, Muhaimin11 mengatakan bahwa Mosintuwu sangat sering ditemui di lapangan. Dalam pantauannya, Mosintuwu melakukan perlindungan yang nyata kepada perempuan dengan mendampingi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum aparat keamanan.

Berkat pendampingan yang dilakukan oleh Mosintuwu, pelaku pelecehan seksual tersebut dinyatakan bersalah dan mendekam di penjara. Hal ini tak lepas dari kerja Bidang Pengorganisasian di bawah koordinasi Martince Baleona, yang di desa-desa dikenal dengan nama Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (RPPA).Pada kegiatan tersebut, secara detail Lian menjelaskan apa saja yang harus dilakukan kelima tim secara satu persatu.

Kemudian ketika memasuki penjelasan tentang Sekolah Perempuan Lanjutan, Lian menyampaikan bahwa ini ditujukan bagi mereka yang telah menjadi alumni Sekolah Perempuan. 10 Daerah Texas merupakan istilah yang ditunjukkan oleh orang Poso untuk menyebutkan atau menunjuk daerah yang dianggap rawan dan tidak boleh dilewati. Kayamanya merupakan daerah Texas bagi orang Kristen.

Sedangkan Tentena merupakan daerah Texas bagi orang Islam.11 Muhaimin merupakan Ketua Pemuda Muhammadiyah Poso. Saat ini ia juga tercatat sebagai Ketua DPC Partai Amanat Nasional (PAN) Poso, yang mengantarkannya menjadi salah seorang anggota legislatife pada pileg tahun 2015 yang lalu.

Nantinya, pada Sekolah Perempuan Lanjutan, para perempuan akan banyak mendapatkan materi tentang kepemimpinan karena bahan yang sedang disiapkan mengenai kurikulum kepemimpinan perempuan. Tak ada perbedaan penjelasan di antara ketiga desa yang dikunjungi. Perbedaan hanya terlihat dalam forum tanya jawab dan berbagi informasi antara alumni Sekolah Perempuan dengan tim Mosintuwu Institute.

Misalnya, sebelum penjelasan tentang kelima tim itu dimulai, seorang ibu yang tengah menggendong anaknya menginterupsi, mempertanyakan bagaimana cara ia mengisi lembar Monitoring dan Evaluasi karena ia tak sempat mengikuti Sekolah Perempuan yang diadakan. Di desa lainnya, ada juga seorang ibu yang menanyakan apakah ia boleh mengisi sebagian saja lembar Monitoring dan Evaluasi karena hanya mengikuti setengah jalan Sekolah Perempuan akibat sempat dilarang oleh suaminya.

Menanggapi pertanyaan pertama, tim Mosintuwu Institute menjawab bahwa ibu yang belum pernah mengikuti Sekolah Perempuan tidak perlu mengisi lembar Monitoring dan Evaluasi. Cukup dengan mengikuti kegiatan ini saja dari awal sampai akhir. Dan nanti bila kembali diselenggarakan Sekolah Perempuan, ibu tersebut disarankan untuk mengikutinya.

Sedangkan menjawab pertanyaan di desa lain, tentu dalam waktu dan tempat yang berbeda pula, tim Mosintuwu menyatakan bahwa sang ibu cukup mengisi kuesioner sesuai dengan apa (modul) yang diikutinya selama Sekolah Perempuan berlangsung. Untuk pertanyaan yang si ibu tidak sempat mengikuti kegiatannya, jawaban diisi saja dengan informasi yang menyatakan bahwa pada saat materi itu berlangsung ia tidak sempat mengikutinya.

Dalam forum tanya jawab tersebut ada juga perempuan yang menyampaikan apa saja yang sudah dilakukannya. Di antara mereka yang menyampaikan hal tersebut adalah Mama Fidar, warga Desa Bakekao. Dengan merujuk kepada UU Desa No. 6 Tahun 2014, Mama Fidar membatalkan pemilihan Kepala Desa karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam UU tersebut.

Akibat hal yang dilakukannya ketika itu, sekarang Mama Fidar menjadi tempat bertanya warga dan sebagian aparatur desa ketika di desa tempat tinggalnya akan diselenggarakan musyawarah.Selain Mama Fidar, ada juga ibu di Desa Badangkaia yang menceritakan bisnis wortel yang dijalaninya. Meskipun beriklim sejuk karena berada di kaki gunung, warga Desa Badangkaia tak ada yang menanam wortel dalam aktivitas sehari-harinya sebagai petani. Wortel malah dibawa oleh pendatang yang jauh-jauh datang dari Poso Pesisir selama sekali dalam sebulan.

Melihat peluang tersebut, si ibu mulai menanam wortel dan menjualnya. Meskipun pada awalnya kurang laku karena warga tidak biasa mengkonsumsi, dua bulan terakhir si ibu mulai memetik keuntungan ketika warga mulai mengkonsumsi wortel secara teratur.

Menurut penuturannya, hal ini tidak terlepas dari rumus yang diberikan oleh Mosintuwu ketika Sekolah Perempuan berlangsung, yakni cari yang paling dibutuhkan oleh masyarakat desa, cari potensi yang ada di desa, dan cari hal yang bisa dikerjakan. Mosintuwu memang selalu menekankan tiga hal tersebut kepada para perempuan agar bisa mandiri secara ekonomi. Hal ini tak lain menjadi bagian dari program Ekonomi Solidaritas

Pada hari pertama ini, selama tim MAARIF mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Mosintuwu Institute, kehadiran anak-anak kecil menjadi tak terhindarkan. Bayi, balita, dan anak-anak usia Sekolah Dasar merepotkan dan menonton para ibu-ibu dan tim Mosintuwu. Beserta para ibunya, di awal sesi anak-anak menyanyikan lagu “Kepala Pundak Lutut Kaki”, dengan diikuti gerakan tubuh, yang telah diubah liriknya.

Hal ini sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran (advokasi) tentang pentingnya menjaga anggota tubuh.Di sela-sela nyanyian tersebut, Cici menyampaikan bahwa hal demikian sudah jamak dan Mosintuwu Institute memang sengaja tidak melarangnya. Karena mereka sadar bahwa anak-anak susah jauh dengan ibunya. Terlebih, dengan menghapal nyanyian tersebut, anak-anak diharapkan dapat menjaga anggota tubuh mereka agar tidak menjadi korban pelecehan seksual.

Ketika kegiatan berlangsung, anak-anak seumuran Sekolah Dasar membaca buku yang dibawa oleh tim Mosintuwu sebagai bagian dari Project Sophia (Perpustakaan Keliling untuk Anak). Buku ini tidak bisa dibawa ke rumah masing-masing. Hanya boleh dibaca di tempat acara. Ketika acara berakhir, anak-anak pun harus mengembalikan buku yang mereka baca.

Kegiatan dengan topik utama Monitoring dan Evaluasi, Penjelasan Tim Pembaharu Desa, dan Sekolah Perempuan Lanjutan ini diselenggarakan secara sederhana di rumah-rumah warga. Instrumen yang digunakan pun sangat sederhana berupa white board yang bisa dibawa kemana-mana lengkap dengan flif chart, kertas plano, spidol dan perlengkapan pendukung lainnya. Di tiga rumah warga yang dijadikan arena pertemuan terpajang foto-foto kegiatan dan Wisuda Sekolah Perempuan yang mereka ikuti.

Catatan lain yang menarik dari perjalanan mengikuti kegiatan Mosintuwu Institute adalah bagaimana mereka menghargai dan memberdayakan diri (staf) sendiri. Selama kegiatan berlangsung, Ulin dan Cici membantu kesiapan instrument sampai membuat masakan untuk dinikmati bersama-sama. Mereka berdua pula yang mendokumentasikan kegiatan dan melayani anak-anak yang meminjam buku bacaan.

Sedangkan, Asni fokus menjadi notulen yang mencatat alur serta dinamika selama diskusi berlangsung. Sementara itu, Martince bertugas mengkoordinir para peserta sambil membuat catatan-catatan untuk mem-back up notulensi Asni. Terkait dengan notulensi, apa yang dilakukan Mosintuwu sedikit-banyak dilupakan oleh NGO lain yang kerapkali lupa atau bahkan tidak membuatnya sama sekali.

Langkah Nyata

Jum’at, 29 April 2016 merupakan hari kedua tim MAARIF mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh Mosintuwu Institute. Topik hari ini berbeda dengan topik di hari sebelumnya. Pada hari ini, topik yang dibahas mengenai persiapan pembentukan organisasi perempuan. Peserta atau orang yang datang pun orang yang berbeda dengan mereka yang datang di hari sebelumnya, karena mereka merupakan alumni Angkatan Pertama dan Angkatan Kedua Sekolah Perempuan.

Pukul 07.00 WITA di Desa Badangkaia, tanpa seremonial yang berarti, Lian Gogali memfasilitasi dua orang perempuan yang berasal dari Desa Bakekao. Sebelum memulai pemaparannya, Lian terlebih dahulu meminta maaf karena pertemuan tertunda dan berganti hari. Kedua perempuan yang hadir pun meminta maaf mewakili teman seperjuangannya yang tidak bisa menghadiri acara ini.

Memulai pemaparannya, Lian menjelaskan perbedaan tentang mereka sebagai anggota atau alumni Sekolah Perempuan dengan mereka nanti sebagai anggota organisasi perempuan. Secara garis besar, Lian memberikan penjelasan menyeluruh tentang organisasi, Anggaran Dasar (AD)/ Anggaran Rumah Tangga (ART), nilai, prinsip, dan perjuangan yang akan digariskan di organisasi perempuan kelak. Penjelasan rinci seperti itu dilakukan karena yang dihadapinya merupakan para perempuan akar rumput, yang sebelumnya tidak mengenal organisasi sama sekali. Penjelasan itu berlangsung selama dua jam dengan tanya jawab yang menyertainya.

Di akhir pembahasan, Lian mengingatkan kepada dua perempuan yang hadir agar mereka menyampaikan kepada perempuan, dan bapak-bapak yang tertarik bergabung, lain yang berhalangan hadir. Lian mengagendakan dua minggu ke depan akan kembali untuk membicarakan kelanjutan dari pertemuan ini.

Sejauh yang kami amati, Lian tampak sangat hati-hati akan arah organisasi perempuan yang coba dilahirkannya. Ia bahkan tidak memberikan kesempatan atau ruang bicara kepada tim Mosintuwu yang lain. Ia perlu mengawalnya langsung. Dalam penuturannya, berkali-kali kami dengar kegelisahan dan kekhawatiran Lian jika organisasi perempuan yang digagasnya akhirnya mudah tergadaikan seperti yang lain. Kehati-hatian ini ditangkap oleh Sofyan Siruyu.

Dalam pertemuan di Sekretariat Redaksi Harian Poso Raya, Sofyan berujar, “Mosintuwu pernah ditawari bantuan oleh pemda. Ditolak sama Lian karena menurutnya yang dibutuhkan perempuan bukan itu. Dulu mau dikasih bantuan uang dan peralatan mesin pemipil jagung. 5 unit pada saat itu”.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Sony Kapito. Menurut Sony, saking hati-hatinya, Mosintuwu menolak dengan tegas ajakannya untuk bersama-sama memberdayakan masyarakat. “Saya ajak dia (Lian sebagai Direktur Mosintuwu Institute) bermitra. Cuma dia (Lian) hati-hati sekali karena sekarang saya Ketua Perindo Poso. Kamu kan tahu Perindo itu bagaimana. Dia datang dengan gaya pemberdayaan, banyak sekali program-program. Saya ingin bekerjasama dalam hal ini. Tapi dia sangat hati-hati. Dia takut tergiring ke sana (politik). Saya bilang tidak, kita professional. Dia sangat hati-hati. Dan saya hargai itu”, terang Sony.

Atas segala kiprah dan langkah nyata yang ditunjukkan oleh Mosintuwu, Pdt. Lian Padele, Ketua Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), memberi apresiasi dan penilaian tersendiri bagi kehadiran lembaga tersebut. Pertama, Mosintuwu memberi warna tersendiri di Tentena secara khusus, dan Poso pada umumnya.

Mereka menghadirkan wacana yang berbeda dengan gereja atau lembaga keagamaan lainnya dalam hal pemberdayaan masyarakat. Jika gereja atau lembaga keagamaan lain melakukan pendekatan dari atas ke bawah, maka Mosintuwu melakukannya dari bawah ke atas. Kedua, meskipun terkesan eksklusif karena hanya mengangkat isu perempuan, akan tetapi pada kenyataannya Mosintuwu cerdas melihat dan memanfaatkan celah yang tidak dipakai oleh orang lain.

Isu pemberdayaan perempuan menjadi bukti nyata. Ketiga, dampak yang dihasilkan terlihat nyata dan dapat diukur. 12 Sofyan Siruyu adalah Pemimpin Redaksi Harian Poso Raya. Dampak yang dimaksud yakni kemampuan berargumen para perempuan desa; kemampuan berorganisasi; kemampuan membangun jaringan, baik di tingkat lokal, provinsi, nasional, hingga internasional; membangun hidup dalam keberagam secara damai; dan pengontrol kebijakan desa terkait dengan Undang-Undang Desa.

Penutup

Seperti sudah disinggung di awal, kedaulatan menjadi kata kunci yang digemakan Mosintuwu Institute. Di tengah budaya patriarki dan sistem feodal di Poso, kedaulatan atas hak ekonomi, sosial, budaya, dan politik inilah yang coba diwujudkan oleh Mosintuwu Institute. Guna mewujudkannya, Mosintuwu telah banyak melakukan langkah strategis selama ini.

Sekolah Perempuan dengan berbagai turunannya, Project Sophia, Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak, Ekonomi Solidaritas, serta mendorong tiga Rancangan Peraturan Daerah merupakan langkah-langkah nyata yang telah ditempuh.

Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan ini telah merubah persepsi dan memberi dampak nyata bagi masyarakat, khususnya para perempuan. Gerakan pembaharuan yang dilakukan Mosintuwu dengan mengangkat perempuan sebagai isu utama menjadikannya berbeda dan unik, dengan tingkat keberterimaan yang sangat tinggi.

Sejauh ini Mosintuwu masih mengupayakan perubahan paradigma di ranah individu dan keluarga menjadi paradigm komunal sebagai suara bersama. Hal ini sekaligus untuk menjawab tantangan yang selama ini ditujukan bagi Mosintuwu, terkait pembentukan organisasi perempuan.

Di tengah tantangan tersebut, selama setahun terakhir Mosintuwu telah berkeliling dari desa ke desa untuk mengkonsolidasikan agar hal itu terwujud. Jadi, tunggu saja tanggal mainnya. Hanya waktu yang bisa menjawab apakah Mosintuwu akan tetap menjadi Gerakan Pembaharuan Perempuan atau Gerakan Politik Perempuan. Atau, Mosintuwu menjadi jalan tengah di antara keduanya dengan mengilhami lahirnya Gerakan Politik Perempuan yang terdiri dari anggota (alumni) Sekolah Perempuan.

Pipit Aidul Fitriyana & Saefudin Zuhri

Sumber: Jurnal MAARIF Vol. 12, No. 2 — Desember 2017

 

Maarif Institute Akan Kembali Gelar MAARIF Award 2020

TEMPO.CO, JakartaMaarif Institute akan kembali menggelar MAARIF Award pada 2020. Penghargaan yang digelar ke delapan kalinya ini akan diberikan untuk mengangkat model keteladanan dan kepemimpinan lokal dengan komitmen terhadap nilai kebinnekaan, anti-kekerasan, dan anti-diskriminasi. “MAARIF Award merupakan ikhtiar menemukan pribadi-pribadi penggerak dan tangguh yang berjuang untuk kemanusiaan di tingkat akar rumput,” kata Direktur Program Khelmy K. Pribadi melalui siaran pers pada Kamis, 19 Desember 2019.

Khelmy menjelaskan, kehadiran MAARIF Award tahun ini memiliki tantangan tersendiri ketika bangsa dihadapkan pada gelombang informasi dan agresivitas aktor transnasional yang dapat memberikan pengaruh besar pada dinamika lokal.

Anggota Dewan Juri MAARIF Award Clara Joewono menambahkan penyelenggaraan award tahun ini diharapkan menemukan sosok dan institusi yang mampu menjadi antitesis. “Sekaligus siasat cerdas dalam menanggapi tantangan kemajemukan yang kini membayangi masyarakat Indonesia.”

Khelmy menerangkan, selain memiliki komitmen pada kebhinekaan, calon penerima MAARIF Award akan dinilai dari kerja kemanusiaan yang dipeloporinya untuk publik. Hal ini diharapkan mampu mendorong partisipasi warga yang lebih luas untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan menjembatani perbedaan kebhinnekaan yang hadir di tengah masyarakat.

Beberapa kerja kemanusiaan yang menjadi fokus utama pemberian penghargaan ini meliputi pada kerja-kerja peningkatan mutu hidup masyarakat melalui penguatan akses pendidikan, kesehatan dan peningkatan taraf ekonomi masyarakat. “Serta pemeliharaan lingkungan, recovery pasca bencana, dan rekonsiliasi pasca konflik demi kedamaian dan kesejahteraan hidup masyarakat.”

Khelmy berharap publik terlibat dalam program ini. Keterlibatan dilakukan dengan merekomendasikan atau pengajuan nama-nama yang dianggap layak untuk mendapatkan MAARIF Award. Formulir pencalonan yang bisa diunduh di www.maarifinstitute.org. Pengiriman berkas pencalonan diterima selambatnya pada 29 Februari 2020.”

Seluruh berkas pencalonan bisa dikirimkan melalui surat elektronik ke [email protected] atau bisa juga dikirim langsung ke Maarif Institute Jalan Tebet Barat Dalam 2 Nomor 6 Tebet, Jakarta Selatan 12810.

https://nasional.tempo.co/read/1285607/maarif-institute-akan-kembali-gelar-maarif-award-2020/full&view=ok

Maarif Award 2020: Mencari Pejuang Moderasi di Indonesia

Pileg dan Pilpres tahun 2019 telah meninggalkan residu seperti kecenderungan polarisasi politik identitas yang membuat kita kesulitan menemukan pemimpin atau tokoh masyarakat yang terbebas dari stigma “cebonger” atau “kampretos”. Selain itu, menguatnya populisme politik yang mengangkat isu primordial telah mengikis pelan-pelan solidaritas kewargaan, bahkan solidaritas kemanusiaan.

“Fanatisme primordial, baik yang mengacu pada perbedaan SARA atau pun perbedaan aspirasi dan kepentingan politik, telah mengoyak persatuan kita sebagai bangsa. Merebaknya ujaran kebencian (hate speech) dan berita bohong (hoaks) juga telah menjadi ancaman nyata atas kebinekaan Indonesia hari ini. Moderatisme sebagai pilihan sadar untuk merekatkan kebersamaan kita dalam bingkai keindonesiaan menjadi penting untuk diperkuat kembali. Moderatisme yang sejatinya merupakan akar budaya dan menjadi ciri khas keindonesiaan kita harus terus menerus kita gaungkan,” sebagaima rilis yang diterima redaksi

Oleh karenanya, penting dan mendesak untuk mengangkat profil-profil pejuang moderasi dalam wujud para pemimpin lokal yang memperjuangkan nilai-nilai keindonesiaan dan kemanusiaan. Mereka ibarat oase yang menyuntikan harapan baru (new hope) dan menumbuhkan model-model alternatif (role models) untuk penguatan dan pemberdayaan masyarakat sipil dalam upaya pencegahan kekerasan sectarian, intoleransi dan sekaligus mampu menjembatani hubungan antar-identitas serta merawat toleransi di kalangan masyarakat akar rumput. Mereka merupakan aktivis pelopor dan penggerak proses perubahan sosial dengan komitmen tinggi terhadap toleransi, pluralisme, moderasi, dan keadilan sosial.

Setelah sebelumnya digelar pada tahun 2018 lalu, MAARIF Award kembali digelar tahun 2020 ini. MAARIF Award adalah program penghargaan dua tahunan yang digelar oleh MAARIF Institute. Penghargaan ini diberikan untuk mengangkat model-model keteladanan dan kepemimpinan lokal dengan komitmen terhadap nilai-nilai kebinnekaan, anti kekerasan, dan anti diskriminasi. MAARIF Award ini merupakan ikhtiar menemukan pribadi-pribadi penggerak dan tangguh yang berjuang untuk kemanusiaan di tingkat akar rumput.

Kehadiran MAARIF Award pada tahun ini memiliki tantangan tersendiri ketika bangsa kita semakin dihadapkan pada gelombang air bah informasi dan agresivitas aktor-aktor transnasional yang dapat memberikan pengaruh besar pada dinamika lokal. “Penyelenggaraan award tahun ini diharapkan menemukan sosok ataupun institusi yang mampu menjadi antitesis sekaligus siasat cerdas dalam menanggapi tantangan kemajemukan yang kini membayangi masyarakat Indonesia.” Terang  Clara Joewono selaku dewan juri MAARIF Award 2020.

MAARIF Award kali ini adalah penyelenggaraan kedelapan, setelah sebelumnya diadakan pada tahun 2007, 2008, 2010, 2012, 2014, 2016, 2018 dan 2020. Dari tujuh kali penyelenggaraan itu, terdapat sebelas pejuang kemanusiaan di tingkat lokal. Kesemuanya ditemukan dari pelosok Nusantara; dari Poso, Ambon, Lombok, Blitar, Salatiga, Magelang, Cilacap, Semarang, Medan, Padang dan Sikka (NTT).

”Para pejuang kemanusiaan itu ditemukan oleh publik dari beragam lokasi, yang tak pernah terkira sebelumnya. Mereka bekerja di dalam segala keterbatasan. Akan tetapi semangat juang dan dampak positif yang dihasilkan mampu melampaui keterbatasannya” jelas Abd. Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif MAARIF Institute.

Lebih lanjut Rohim menjelaskan bahwa di tiap penyelenggaraan MAARIF Award, komposisi Dewan Juri selalu beragam dan berubah. Hal ini semata ditujukan untuk memberikan kepastian obyektifitas dalam menilai calon penerima MAARIF Award. Untuk tahun 2020 ini, Dewan Juri terdiri atas Clara Joewono (Dewan Pembina MAARIF Institute), Pdt. Gomar Gultom (Ketua PGI), Nezar Patria (Jurnalis Senior), Prof. Rhenald Kasali (Akademisi) dan Ahmad Tafsir (Penerima MAARIF Award 2008). Melalui itu, harapannya akan memperkuat pandangan dan perspektif pelaku kerja-kerja kemanusiaan” terangnya

Selain memiliki komitmen pada perjuangan kebhinekaan, calon penerima MAARIF Award akan dinilai dari kerja-kerja kemanusiaan yang dipeloporinya untuk publik yang lebih luas. Kehadirannya mampu mendorong partisipasi warga yang lebih luas untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan sekaligus mampu menjembatani perbedaan dan kebhinekaan yang hadir di tengah masyarakat. Beberapa kerja kemanusiaan yang menjadi fokus utama pemberian award ini meliputi pada kerja-kerja peningkatan mutu hidup masyarakat melalui penguatan akses pendidikan, kesehatan, peningkatan taraf ekonomi masyarakat, pemeliharaan lingkungan, recovery pasca bencana, dan rekonsiliasi pasca konflik demi kedamaian dan kesejahteraan hidup masyarakat.

“Penerima MAARIF Award haruslah orang-orang yang tak hanya memiliki komitmen pada kebhinnekaan, tapi juga mampu mendorong kemandirian warga untuk peningkatan kualitas hidup serta pemuliaan harkat dan martabat manusia” terang Nezar Patria, Jurnalis Senior yang sekaligus menjadi dewan juri MAARIF Award 2020

Publik juga bisa turut terlibat dalam program ini. Keterlibatan tersebut dalam bentuk perekomendasian atau pengajuan nama-nama yang dianggap layak untuk mendapatkan MAARIF Award. MAARIF Institute telah menyediakan formulir pencalonan yang bisa diunduh di www.maarifinstitute.org. Pengiriman berkas pencalonan diterima selambatnya pada 29 Februari 2020. Seluruh berkas pencalonan itu bisa dikirimkan via surat elektronik ke [email protected] atau bisa juga dikirim langsung ke MAARIF Institute Jl. Tebet Barat Dalam 2 No. 6 Tebet, Jakarta Selatan 12810.

Maarif Award 2020 Digelar Mei 2020, Penjaringan Mulai Akhir Tahun ini

Penulis Deti Mega Purnamasari | Editor Diamanty Meiliana

JAKARTA, KOMPAS.com – Maarif Award akan kembali digelar tahun 2020 mendatang oleh Maarif Institute. Gelaran ini adalah untuk yang kedelapan kalinya.

Pendiri Maarif Institute Ahmad Syafii Maarif atau akrab dipanggil Buya Maarif mengatakan, dalam penghargaan ini pihaknya ingin mencari orang biasa yang mempunyai kontribusi bagi masyarakat sekitarnya.

“(Yang dicari) orang biasa punya kontribusi, achievement luar biasa untuk manusia, sosial, dan tanpa memandang siapa orang itu. Itu sangat universal,” ujar Maarif di Kantor Maarif Institute, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (18/12/2019).

Maarif mengatakan, Indonesia memiliki banyak orang yang berkontribusi bagi masyarakat lainnya tetapi mereka tak mau menampakkan diri.

Termasuk juga tak ada yang mempublikasi prestasi mereka tersebut.

“Mestinya kualitas nilai-nilai (yang dimiliki orang-orang tersebut) bisa menjadi gelombang bangsa yang akan datang, itu yang akan menyelematkan bangsa ini,” kata Maarif.

Dengan demikian, dia pun berharap agar diselenggarakannya Maarif Award tersebut bisa menemukan orang-orang lokal berprestasi yang akan memberi corak lebih segar untuk Indonesia ke depan.

“Bahkan mungkin ada yang bisa mempertahankan republik jangka panjang. Ada orang-orang lokal ini yang istilahnya berbuat tanpa pamrih untuk semua golongan, agama,” kata dia.

Maarif Award, kata dia, mencoba mengingatkan bangsa bahwa di Indonesia masih ada orang-orang yang mempertahankan fitrah itu dan perlu dikemukakan ke publik.

Adapun Maarif Award diselenggarakan dua tahun sekali. Kali ini, para juri yang akan menilai nominasi pengharagaan tersebut terdiri dari berbagai latar belakang.

Mereka adalah Dewan Pembina Maarif Institute Clara Joewono, Ketua PGI Pdt Gomar Gultom, Akademisi Rhenald Kasali, Jurnalis Senior Nezar Patria, serta Penerima Maarif Award 2008 M. Tafsir.

Rencananya, Maarif Award akan digelar pada Mei 2020 yang penjaringan nominasinya dimulai sejak 18 Desember 2019 hingga 29 Februari 2020 mendatang.

Dewan Juri Tetap Clara Joewono mengatakan, saat ini masyarakat sudah bisa mencalonkan tokoh-tokoh yang dinilai layak menerima penghargaan tersebut.

“Prosesnya ada verifikasi secara adminsitratif, yang kami cari tokoh-tokoh lokal. Dewan juri akan memilih untuk investigasi di lapangan, kami akan cek bukti-buktinya, verifikasi.

Baru juri menilai, memutuskan, menetapkan siapa yang layak menerima,” kata dia. Formulir pencalonan dan informasi lebih lanjut dapat dibuka di maarifinstitute.org.

 

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Maarif Award 2020 Digelar Mei 2020, Penjaringan Mulai Akhir Tahun ini”, https://nasional.kompas.com/read/2019/12/19/06461841/maarif-award-2020-digelar-mei-2020-penjaringan-mulai-akhir-tahun-ini?page=2.
Penulis : Deti Mega Purnamasari
Editor : Diamanty Meiliana

Penerima MAARIF Award 2008 – Cicilia Yuliati Hendayani

blank

Tempat Tanggal Lahir: Surabaya, 27 Juli 1968
Alamat Tinggal: Perum Kalimas Indah Blok C16, Pakunden, Blitar Jawa Timur

Penggerak advokasi petani untuk perlawanan stigmatisasi PKI dan inisiator pendidikan lintas agama di Blitar.

Masyarakat dusun Banyu Urip, Kec. Wonotirto, Kab. Blitar, begitu daerah ini dikenal, telah mengalami penindasan secara ekonomi, politik, dan agama.

Mereka tidak diakui bahkan mungkin disingkirkan dari peta pembangunan. Tak pelak, tingkat pendidikan masyarakat sangat rendah akibatnya semua penduduk nyaris buta hurup, masyarakat Banyu Urip tidak pernah mengenal hak-hak ekonomi, sosial bahkan politik sebagai warga negara, serta diperlakukan sebagai tamu di tanah kelahirannya sendiri karena “keengganan” pemerintah memberikan hak sertifikasi tanah warga.

Ia mendirikan institusi pendidikan TK yang menjadi ruang belajar bersama anak-anak lintas agama, dan berhasil mengadvokasi pembebasan lahan rakyat yang dikuasai perkebunan. Selanjutnya, ia bersama LSM yang dibentuknya, Sitas Desa, memperluas wilayah kerja dengan merangkul 11 desa lain, ia juga mendirikan Solidaritas Umat Beragama (SUB) untuk mediasi potensi konflik bernuansa agama.

Kegigihan Yanti mendapat pengakuan dari semua tokoh-tokoh organisasi sosial dan keagamaan.

Penerima MAARIF Award 2008 – Tuan Guru Haji (TGH) Hasanain Djuaini

blank

Tempat Tanggal Lahir: Lombok Barat, 17 Agustus 1964
Alamat Tinggal: Jl. Hamzah Wadi No. 5 Desa Mekar Indah Lembuak, Narmada, Lombok Barat, NTB

Tokoh agama penggerak eko-konservasi lahan tandus di NTB.

Meskipun sehari-hari bergulat dengan dunia kitab kuning, pandangan dan aksi sosial kyai muda ini melampaui kelajiman dunia kyai. Ia sangat resah dengan kondisi masyarakat NTB yang terperosok ke dalam lembah buta huruf, angka putus sekolah yang menjulang tinggi, serta tingkat partisipasi perempuan yang sangat rendah.

Ia mengintegrasikan dunia pendidikan, konservasi lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan mediasi konflik. Inilah yang kemudian disebut masyarakat Kab. Lombok Barat sebagai pendekatan Integrated Conservation. Kini gerakan ini telah berbuah, perbukitan madani yang tandus-gersang seluas 30 hektar telah disulap menjadi lembah hijau. Pada 2011, beliau mendapatkan Magsaysay Award

Penerima MAARIF Award 2008 – Drs. Tafsir, M.Ag.

blank

Tempat Tanggal Lahir: Kebumen, 16 Januari 1964
Alamat Tinggal: Jl. Tanjung Sari III/3 Ngaliyan, Semarang Jawa Tengah.

Tokoh agama yang memperjuangkan pluralisme dan hak kelompok minoritas di Semarang.

Ia konsisten memperjuangkan ide-ide progresif di dalam tubuh Muhammadiyah (struggle from within) meski secara organisasional masih sulit diterima.

Disamping memiliki radius pergaulan lintas agama yang luas, ia tidak ragu untuk berinteraksi bahkan terlibat intens dengan kelompok-kelompok marginal seperti kelompok waria, korban narkoba, dan penderita schizophrenia. Dalam pandangannya, Islam harus benar-benar menjadi kado terindah untuk alam.

Melalui Interfaith Forum Committe (IFC), Semarang, ia menggalang solidaritas lintas agama untuk melakukan kerja-kerja sosial kemanusiaan sebagai bentuk common ground agama-agama seperti memberantas kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan.