Tag Archive for: buya syafii maarif

Buya Ahmad Syafii Maarif: Menyalakan Nurani Bangsa Lewat Ilmu, Iman, dan Integritas

Dalam lintasan sejarah pemikiran dan perjuangan moral bangsa, nama Buya Ahmad Syafii Maarif tidak hanya tercatat sebagai tokoh bangsa, tetapi juga sebagai penyalur suara nurani yang konsisten memperjuangkan keadilan, persatuan, dan kemanusiaan.

Buya Syafii, sapaan akrab bagi Ahmad Syafii Maarif, adalah seorang cendekiawan Muslim, pendidik, dan tokoh bangsa yang telah mengabdikan hidupnya untuk membangun pemikiran Islam yang mencerahkan, moderat, dan membumi. Lahir di Sumpur Kudus, Sumatera Barat pada 31 Mei 1935, Buya tumbuh dari keluarga sederhana dan ditempa dalam lingkungan pesantren yang kuat nilai spiritual dan sosialnya.

Sepanjang hidupnya, Buya Syafii gigih menyuarakan pentingnya Islam yang inklusif, nasionalisme yang berkeadaban, dan kejujuran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Dalam bukunyaIslam dan Politik: Teori Belah BambuIa kerap menjelaskan bahwa agama harus menjadi energi moral bagi demokrasi dan kemanusiaan, bukan dijadikan alat kekuasaan.

Sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah (1998–2005), Buya memimpin di tengah masa transisi reformasi yang penuh turbulensi. Ia tetap berdiri tegak sebagai penyejuk di tengah kegaduhan politik, menjadikan Muhammadiyah sebagai kekuatan civil society yang kritis sekaligus konstruktif.

Jejak perjuangan Buya Syafii terlihat nyata sejak masa mudanya sebagai aktivis hingga menjelang akhir hayatnya pada 27 Mei 2022 di Yogyakarta. Dari ruang kelas hingga mimbar internasional, dari dusun terpencil hingga Istana Negara, Buya menyalakan gagasan dan integritas.

Buya adalah satu dari sedikit intelektual Indonesia yang tidak tergoda oleh kekuasaan. Ucapannya lugas, kadang tajam, tetapi jernih dan tanpa pamrih. Ia menjadikan kritik sebagai bentuk cinta kepada bangsa. Dalam dirinya berpadu iman, ilmu, dan keberanian moral nilai yang kini semakin langka dalam lanskap kepemimpinan Indonesia.

MAARIF Institute lembaga yang ia ilhami dan didirikan menjadi salah satu penjaga api pemikiran Buya. Melalui riset, advokasi, pendidikan toleransi, dan kerja-kerja sosial, warisan intelektual dan moral Buya terus hidup, menjelma menjadi kekuatan yang membela kaum rentan dan mendidik generasi muda menjadi warga bangsa yang adil dan beradab.

“Berpikir bebas, beriman teguh, dan membela yang lemah itulah jalan Buya.”

Tulisan ini menjadi pengingat bahwa Buya Syafii Maarif bukan hanya milik Muhammadiyah, bukan hanya milik umat Islam, tapi milik bangsa Indonesia yang rindu kejujuran dan kejernihan nurani. Sosok yang kini tiada, namun suaranya abadi. (VP)



Merayakan 90 Tahun Buya Ahmad Syafii Maarif

Yogyakarta, 26 Mei 2025 — Menjelang peringatan 90 tahun kelahiran Buya Ahmad Syafii Maarif—tokoh bangsa yang lahir pada 31 Mei 1935 dan wafat pada 27 Mei 2022—sejumlah organisasi mahasiswa di Yogyakarta menggelar rangkaian acara reflektif. Salah satunya berupa talkshow bertajuk “Ahmad Syafii Maarif dalam Ruang Jurnalistik dan Kebudayaan”, yang dilaksanakan pada Senin, 26 Mei 2025 di Aula ISDB Lantai 4, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Acara ini merupakan hasil kolaborasi antara Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Bulaksumur Karangmalang (IMM BSKM), Forum Mahasiswa Muhammadiyah Pascasarjana UGM-UNY (FORMMA), Himpunan Mahasiswa Administrasi Publik UNY, Keluarga Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UNY (KMSP UNY), dan Lembaga Pers Mahasiswa Kreativa UNY. Rangkaian kegiatan ini juga didukung oleh Yayasan Anak Panah, ADA Sarang Yogyakarta, dan MAARIF Institute.

Talkshow menghadirkan dua narasumber utama, Dr. K.H. Tafsir, M.Ag. (Ketua PWM Jawa Tengah) dan Yuanda Zara, Ph.D. (Dosen Sejarah UNY). Diskusi dimoderatori oleh Ramadhanur Putra dari FORMMA UGM–UNY. Kedua narasumber membahas peran dan pemikiran Buya dalam dunia jurnalisme dan kebudayaan, serta kontribusinya membangun peradaban melalui narasi dan nilai-nilai keilmuan.

Ketua Himpunan Mahasiswa Administrasi Publik UNY membuka acara dengan mengungkapkan rasa hormat dan kebanggaan atas sosok Buya. “Kami turut berbangga FISIP UNY memiliki keterikatan sejarah dengan tokoh besar seperti Buya. Semoga akademisi UNY, khususnya FISIP, dapat meneladani Buya sebagai tokoh bangsa yang konsisten dengan nilai-nilai kejujuran dan keberanian berpikir,” ujarnya.

Dekan FISIP UNY juga turut memberikan sambutan yang hangat. “Bagi saya, Buya adalah intelektual sejati. Banyak rekam jejak beliau di UNY. Meski sangat sibuk, beliau tetap mengajar. Jika tidak bisa hadir, beliau minta waktu pengganti agar tetap bisa berbagi ilmu kepada mahasiswa,” kenangnya. Ia menambahkan pesan moral yang ia terima dari Buya: “Yang penting jujur pada data kamu. Meskipun saya saat itu bukan mahasiswa yang baik, saya sangat takdzim terhadap beliau.”

Sambutan berikutnya disampaikan oleh CEO Yayasan Anak Panah, Sidiq Wahyu Oktavianto, yang menyatakan bahwa kegiatan ini juga menjadi penanda dimulainya rangkaian Haul Buya Syafii Maarif ke-3 di Yogyakarta. “Acara hari ini merupakan launching resmi Haul Buya Syafii Maarif yang ketiga. Setelah ini akan ada dua agenda lanjutan: pada 27 Mei 2025 di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta akan digelar diskusi untuk pelajar, dan pada 31 Mei 2025 di ADA Sarang Building akan diadakan pembacaan buku Memoar Seorang Anak Kampung oleh tokoh-tokoh nasional, serta pertunjukan Teater Eska dari UIN Sunan Kalijaga,” ujarnya.

Dalam sesi utama, Dr. K.H. Tafsir mengulas pengaruh pemikiran Fazlur Rahman terhadap Buya Syafii. “Fazlur Rahman adalah guru andalan Buya. Salah satu buku yang sering dijadikan rujukan oleh Buya adalah karya-karya beliau,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa Buya memiliki visi keislaman yang penuh harapan dan kemajuan, “Kita berkeyakinan bahwa Islam tidak akan pernah asing, dan justru akan semakin besar di masa depan.”

Sementara itu, Yuanda Zara, Ph.D. menyoroti jejak awal Buya di dunia jurnalisme. “Banyak yang belum tahu bahwa kiprah intelektual Buya dimulai dari dunia jurnalistik. Di sanalah beliau mengasah ketajaman berpikir kritisnya, yang kemudian membawanya ke dunia akademik dan gerakan keumatan,” jelasnya.

Rangkaian peringatan ini diharapkan menjadi ruang reflektif bagi publik, khususnya generasi muda, untuk mengenal lebih dekat dan mewarisi nilai-nilai pemikiran Buya Syafii Maarif: kejujuran intelektual, keberpihakan pada kemanusiaan, dan keberanian dalam menegakkan kebenaran. (Rendy NandaSaputra)

MAARIF House Edisi Perdana: Agama, Krisis Lingkungan, dan HAM: Izin Tambang bagi Ormas Maslahah atau Masalah?

MAARIF Institute meluncurkan program diskusi rutin MAARIF House. Inisiatif ini merupakan upaya konkret untuk mewujudkan visi besar Buya Syafii Maarif terkait konsep keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan, serta menanggapi berbagai dinamika dan persoalan krusial yang berkembang di masyarakat.

Acara perdana MAARIF House secara eksklusif akan diselenggarakan pada Kamis, 18 Juli 2024, pukul 13.00 – 16.00 wib bertempat di kantor MAARIF Institute. Adapun tema yang diangkat adalah “Agama, Krisis Lingkungan dan Persoalan HAM: Izin Tambang bagi Ormas, Maslahah atau Masalah?”. Isu ini dipilih karena adanya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang pemberian izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan yang telah memicu kontroversi di berbagai kalangan, mulai dari tokoh agama, aktivis HAM, politisi, hingga masyarakat umum.

Seperti yang kita ketahui bersama, pemberian IUPK kepada ormas keagamaan oleh negara memunculkan beragam tanggapan dan kritik dari berbagai pihak. Isu ini tidak hanya menyangkut kapasitas kelembagaan ormas dalam pengelolaan pertambangan, tetapi juga dikhawatirkan sebagai bagian dari konsolidasi politik yang lebih luas untuk menaklukkan kelompok-kelompok yang berpotensi kritis terhadap kebijakan pemerintah.

MAARIF House edisi perdana ini akan menghadirkan pemantik utama  Ulil Abshar Abdalla (Ketua PBNU), Fajar Riza Ul-Haq(Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS) Pimpinan Pusat Muhammadiyah), dan Siti Maimunah dari Badan Pengurus Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).

Selain itu, hadir pula perwakilan dari sektor publik, swasta, dan masyarakat sipil yang turut memberikan tanggapan, diantaranya: Amiruddin Rahab (Wakil Ketua Komnas HAM Periode 2017 – 2022), Budhy Munawar-Rachman (Direktur Paramadina Center for Religion and Philosophy), Fathun Karib (Dosen UIN Jakarta), Hening Parlan, Kornas (Green Faith Indonesia), John Muhammad (Presedium Nasional Partai Hijau Indonesia), Khalisah Khalid (Greenpeace Indonesia), M. Yana Aditya (Wakil Ketua Umum Ikatan Saudagar Muslim Indonesia), Mukhaer Pakkana (Wakil Ketua Majelis Ekonomi, Bisnis dan Pariwisata PP Muhammadiyah), Tyovan Ari Widagdo (Ketua Umum HPN/ Ketua Lembaga Perekonomian PBNU/ CEO Edumo), Usman Hamid (Direktur Eksekutif Amnesty International, dan Visna Vulovic (PT. Globalindo Mineraltama Mandiri).

Bagi yang tertarik untuk mengikuti diskusi yang menarik ini melalui zoom meeting silakan registrasi di link berikut ini: https://bit.ly/MH-Seri-1

Serangan Covid-19 Kategori OTG

OLEH AHMAD SYAFII MAARIF

“OTG seperti saya ini, mungkin yang masih beruntung karena perlindungan Allah belaka.”

Orang tanpa gejala (OTG). Kami sekeluarga sebelumnya sama sekali tak mengira, saya akan termasuk kategori ini.

Ketika istri saya (Hj Nurkhalifah) di-swab pada 11 Februari 2021, sekitar pukul 10.30 WIB, oleh petugas RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, karena sebelumnya berdekatan dengan menantunya yang terpapar, saya hanya ikut-ikutan.

Tidak ada tanda-tandanya. Pusing tidak, panas tidak, sesak napas tidak, batuk tidak. Makan biasa. Lidah dan hidung berfungsi normal. Singkat kata, tidak ada keluhan. Maka, tidak cukup alasan untuk khawatir.

Sorenya, apa yang terjadi? Dr Muhammad Adnan Sp HTT dari PKU menelepon saya, memberitahukan hasil swab. Istri negatif, saya malah positif dengan CT value32,25. Artinya, sudah diserang beberapa hari sebelumnya. Kami semua tentu saja kaget.

Istri saya menjerit. Karena saya sudah berusia 85 tahun plus gula sekalipun terjinakkan, dan batu ginjal, macam-macamlah yang terbayang. Awak yang sudah sepuh ini diserang pandemi lagi, sekalipun dalam bentuk OTG.

Sore itu dalam suasana agak galau karena dalam persiapan isolasi ke PKU malam itu juga, saya masih sempat kirim artikel yang sudah siap untuk Republika, yang kemudian dimuat pada 16 Februari dengan judul: “Muhammadiyah Cabang Babat Sulit Ditandingi”.

PKU Gamping yang baru berusia 12 tahun ini dipilih karena lebih lapang dan sepi. Di lantai tiga, dari jendela menghadap ke utara, kita dengan leluasa memandang Gunung Merapi yang lagi batuk-batuk saat tidak diliputi kabut.

Di ruang ini pula pada Juli 2019, saya pernah dirawat karena batu ginjal. Sebagai OTG, saya harus sendirian tinggal di ruang ini. Sekitar setahun sebelumnya, istri saya juga operasi kedua tempurung lututnya di PKU ini. Hasilnya sangat memuaskan.

Di antara dokter yang mengawasi pasien, ada yang memakai APD seperti pakaian astronaut dengan sepatu botnya dan masker berlapis. Dr Evan Gintang Kumara Sp D dan Dokter Maskur Rahmat Sp D kemudian datang pula Dr Ardorisye Saptaty Fornia Sp P.

Mereka yang pertama mengunjungi saya dan menanyakan, mengapa saya sampai terpapar. Sebelum masuk kamar, ada proses ambil darah dan CT Scan terlebih dulu. Sebuah panorama rumah sakit yang tidak biasa kita lihat sebelum serangan Covid-19.

OTG seperti saya ini, mungkin yang masih beruntung karena perlindungan Allah belaka. Di mana saya terserang dan melalui siapa, tidak bisa dijawab. Sejak Maret 2020, saya patuhi protokol kesehatan. Selalu cuci tangan.

Pergi ke toko swalayan dan ke bank tak berani. Selama lima bulan absen shalat Jumat dan tidak mendekati kerumunan. Jika bersepeda sendirian ke luar rumah biasanya pakai masker. Tamu amat jarang datang. Jika berkunjung dengan jarak aman.

Tamu terakhir awal Februari 2021 adalah Ketua BPK DR Agung Firman Sampurna, bersama pengusaha dermawan Jenderal Fahmi SH. Agak jauh sebelum itu ada kunjungan Kepala BNPT Komjen DR Boy Rafli Amar MH, dengan jarak aman.

Sesudah itu, kunjungan Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri Komjen DR Rycko Amelza Dahniel MSi, juga menaati protokol kesehatan. Jadi, dugaan saya, terpapar bukan dari para tamu penting itu.

Mereka sebelumnya sudah wanti-wanti untuk sama-sama menjaga jarak. Lalu dari jurusan mana virus ini menyerang? Dalam bahasa Minang, jawabannya adalah antalah yuang (entahlah buyung)!

Perasaan takut pergi ke rumah sakit selama ini harus ditundukkan. Isolasi di rumah jelas tak memadai, sekalipun virus yang datang itu mungkin jenis yang lebih sopan. Ada rasa kasihannya kepada si tua renta ini.

Para dokter dan semua tenaga kesehatan lainnya di PKU Gamping adalah manusia penuh dedikasi. Saya wajib berterima kasih kepada mereka itu. Terlalu banyak jika disebut satu per satu.

Dirut PKU Gamping, Dr Ahmad Faesol Sp Rad, alumnus pandemi ini, terus saja memantau kondisi saya. Untuk staf perawat, cukup seorang saja ditulis di sini: Rubi Yanto dari bagian MPP (manajer pelayanan pasien).

Bung Rubi selalu menanyakan keadaan saya. Tidak sebatas itu, urusan komputer pun dibantunya. Pada 16 Februari pagi, Dr Evan Sp D menemui saya sambil memberitahukan keadaan saya, yang sudah semakin membaik dan boleh pulang sebelum 11 hari.

Untuk swab kedua kali dapat dilakukan di rumah, tetapi tetap mematuhi ketentuan isolasi mandiri. Dalam kamar harus sendiri, piring makan dan gelas untuk minum mesti terpisah, dan lain-lain.

Setelah keluarga berunding, anak kami, Mohammad Hafiz, menyarankan jangan pulang dulu sebelum di-swab lagi di PKU dengan hasil negatif agar semuanya merasa tenang. Dr Evan setuju dengan saran ini.

Pada 20 Februari pagi, Dr Adnan melakukan swab lanjutan untuk saya. Sorenya, alhamdulillah, hasilnya sudah negatif dan saya boleh pulang setelah sembilan hari dirawat. Matur nuwun sanget atas segala kebaikan, atas segala doa.

PKU Gamping untuk sekian kalinya berjasa menjaga kesehatan kami sekeluarga. Hanya Allah yang bisa membalas semua bantuan dan kebaikan itu. Amin.

Sumber:

https://www.republika.id/posts/14430/serangan-covid-19-kategori-otg

Buya Syafii Maarif soal Kerusuhan di Manokwari: Orang Papua Harus Kita Perlakukan secara Adil

SURABAYA, KOMPAS.com – Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Buya Syafii Maarif mengimbau semua pihak untuk tidak bertindak secara berlebihan dalam menangani kerusuhan di Manokwari, Papua Barat.

Menurut Buya, kerusuhan bisa terjadi di mana saja. Oleh karena itu, hal yang perlu dilakukan adalah mengatasi persoalan itu dengan cara yang baik pula atau tidak mengabaikan asas keadilan. “Yang penting menurut saya, yang agak terlupakan selama ini ialah melaksanakan sila ke lima, yaitu melaksanakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Buya, usai menghadiri diskusi kebangsaan di Universitas Kristen Petra, Surabaya, Senin (19/8/2019).

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu mengatakan, orang Papua harus diperlakukan sejajar dengan masyarakat lain di Indonesia. Menurut dia, stigma negatif tentang warga Papua harus segera diakhiri, termasuk adanya persekusi dan tindakan diskriminatif lainnya. “Ya, orang Papua harus kita perlakukan secara adil. Orang Bugis, semua harus diperlakukan secara adil,” tutur Buya.

Ia menambahkan, cerminan sebuah negara akan terlihat dari sejauh mana bangsa itu menjalankan prinsip keadilan terhadap seluruh rakyat. “Keadilan itu sangat mahal, tapi hidup sebuah bangsa, sebuah negara, akan sangat bergantung pada sampai di mana kita berhasil atau gagal melaksanakan prinsip keadilan itu,” imbuh Buya.

Seperti diberitakan, kerusuhan terjadi di Manokwari, Papua Barat, Senin (19/8/2019). Akibat kerusuhan itu, Gedung DPRD Papua Barat di Monokwari dibakar massa. Aksi ini sebagai bentuk protes terhadap tindakan persekusi dan rasisme yang diduga dilakukan oleh organisasi masyarakat (ormas) dan oknum aparat, terhadap mahasiswa Papua, di Malang, Surabaya dan Semarang.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Buya Syafii Maarif soal Kerusuhan di Manokwari: Orang Papua Harus Kita Perlakukan secara Adil”, https://surabaya.kompas.com/read/2019/08/19/15291101/buya-syafii-maarif-soal-kerusuhan-di-manokwari-orang-papua-harus-kita
Penulis : Kontributor Surabaya, Ghinan Salman
Editor : Robertus Belarminus

Demokrasi Atau Demosyurakrasi?

Oleh: Hajriyanto Y Thohari

Jurnal Maarif, jurnal tentang Arus Pemikiran Islam dan Sosial yang dikelola para intelektual belia asuhan Buya Syafii Ma’arif yang tergabung dalam Maarif Institute, mengintroduksi wacana baru, “Demosyurakrasi”: sebuah proposal yang menarik untuk dipertimbangkan. Demosyurakrasi, mungkin, adalah gabungan dari kata demos=rakyat, syura=permusyawaratan, dan kratos=pemerintahan. Walhasil, jika demokrasi diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah melalui wakilnya, maka demosyurakrasi diartikan sebagai sistem pemerintahan rakyat di mana proses pengambilan keputusan politik dilakukan oleh rakyat atau wakilnya melalui musyawarah.

Terkesan redundant, memang. Pasalnya, secara teoritis, nilai-nilai demokrasi selama ini telah dipandang sebagai sejalan dengan doktrin musyawarah. Dan justru, sebagaimana dikatakan oleh Nurcholish Madjid dalam Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (1999), berkat prinsip syura yang begitu fundamental dalam Islamlah (Qs Asy-Syuura [42]: 38), maka penerimaan umat Islam akan demokrasi modern sangat alami. Yusuf Qardhawi, seorang ulama yang sangat berpengaruh, dalam Fatawa Mu’ashirah (1988) juga menegaskan bahwa “Esensi demokrasi berdekatan dengan ruh syura Islamiyah.” Bahkan, secara dramatis, dia menyebut demokrasi sebagai barang hilang-nya umat Islam.

Memang ada sedikit yang berbeda, seperti Dr Taufiq Al-Syawi dalam Fiqhu alSyura Wa al-Istisyarah (1992), bahwa syura tidak dapat disejajarkan, apalagi disamakan dengan demokrasi: syura bukan demokrasi. Tapi Syaikh Muhammad al-Ghazali (1917-1996), seorang ulama, intelektual, dan aktivis dari Mesir, dalam buku Miatu Sual ‘an al-Islam, mengatakan bahwa sistem demokrasi atau pemilihan (umum) tidak menjadi aib untuk ditiru umat Islam di negeri muslim hanya karena bangsa asing telah mendahului mempraktikkannya.

Namun, dalam praktiknya, wacana ini tetap relevan dan aktual. Pasalnya, sampai hari ini pun di negeri ini – benar atau salah– nyatanya masih banyak kalangan yang menerima demokrasi tetapi dengan gerutuan panjang: praktik demokrasi sekarang ini terlalu liberal, menekankan pada mayoritarianisme berdasarkan suara, dan last but not least bertentangan dengan prinsip musyawarah. Katanya, dibandingkan dengan demokrasi, musyawarah lebih original, otentik, dan berakar pada budaya bangsa. Bahkan juga lebih konstitusional daripada demokrasi.

Kata demokrasi alih-alih ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945 yang nota bene diyakini sebagai tolok ukur, haluan, dan rujukan utama (al-mashadir al-afdhaliyyah) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang ada di sana adalah kata “Kedaulatan Rakyat” dan “Permusyawaratan”. Walhasil, prinsip permusyawaratan secara tekstual lebih konstitusional, dan karena itu secara substansial juga lebih dekat dengan konstitusi daripada demokrasi.

Benar, kata demokrasi memang sudah masuk dalam UUD 1945, tetapi hanya dalam kata sifat, seperti yang terbaca dalam Pasal 18 Ayat (4): “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Singkatnya, demikian menurut kalangan yang menerima demokrasi dengan menggerutu itu, UUD lebih memilih permusyawaratan daripada demokrasi.

Tetapi, jika memang musyawarah lebih diutamakan dalam Pembukaan UUD 1945, agak aneh juga mengapa bisa muncul Pasal 2 Ayat (3) “Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak”? Apalagi ayat ini pada kenyataannya tidak mengalami perubahan ketika amandemen dilakukan. Artinya, rumusan ayat ini dipandang sebagai tidak bertentangan dengan prinsip permusyawaratan.

Namun, dalam berbagai forum, tetap saja banyak orang risau, resah, dan gelisah terhadap kehidupan politik nasional paskareformasi: negeri ini terlalu demokratis dan liberal! Mungkin frasa terlalu demokratis ini terdengar tidak biasa. Tetapi, bukankah kata ini juga pernah digunakan oleh Mohammad Hatta, salah seorang Bapak Pendiri Bangsa dan demokrat sejati, dalam bukunya yang sangat fenomenal Demokrasi Kita (1960)?

Dalam konteks dan perspektif ini, rasanya memang ada perbedaan penekanan dalam sistem demokrasi dan musyawarah itu. Jika dalam demokrasi, apalagi “demokrasi setengah tambah satu”, musyawarah kurang memperoleh tempat karena yang diutamakan adalah voting, maka dalam musyawarah suara rakyat (demos) kurang proporsional atau direduksi oleh elite. Walhasil, kita perlu mengembangkan demosyurakrasi sebagai jembatan antara demokrasi dan permusyawaratan. Mungkin.

Hajriyanto Y. Thohari, Wakil Ketua MPR RI 2009-2014, Ketua PP Muhammadiyah 2015- 2020

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah Edisi 5 Tahun 2017

Seni dan Politik (1)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Syafii Maarif

Pada 16 Maret 2015 Rektor ISI Padang Panjang, Prof DR Novisar Jamarun, meminta saya beri kuliah umum di kampusnya tentang seni, sedangkan saya bukan seorang seniman atau sastrawan. Kuliah itu diadakan di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam, sebuah gedung untuk mengabadikan nama koreografer Minang Hoerijah Adam (6 Oktober 1936-11 November 1971) yang legendaris.

Dia wafat dalam kecelakaan pesawat Merpati di  dalam usia 35 tahun. Dunia koreografi Indonesia menangisi kepergian seorang Hoerijah, yang telah mengisi hidupnya dengan karya seni pertunjukan yang luar biasa hebatnya.

Saya sangat-sangat menghayati ciptaan seni Hoerijah yang kaya dan menyentak ini. Selain itu saya hanyalah seorang peminat pasif atas karya-karya sastra dan seni. Itu pun belum tentu serius. Tetapi lupakan itu semua. Yang jelas, saya telah bicara di depan forum yang terhormat itu yang dipadati mahasiswa dan para dosen institut seni itu.

Seni dan politik. Karena sudah lama gusar menonton akrobatik panggung politik nasional dan daerah, lalu saya teringat pada sebuah ungkapan: “Jika politik sudah menjadi liar tanpa kendali, maka seni harus turun gunung untuk menjinakkannya.” Bagi saya, seni adalah upaya untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia agar dibimbing oleh keindahan yang nyaris tanpa batas itu.

Maka menjadilah tugas para seniman dan sastrawan untuk turut memikul tugas penting ini agar kaum politisi punya  kepekaan dan rasa tanggung jawab moral yang tinggi dan kuat dalam berkiprah untuk kepentingan rakyat banyak. Virus seni dan sastra yang disuntikkan ke dalam otak dan batin politisi diharapkan akan mampu mengurangi kasus OTT (operasi tangkap tangan) KPK atas politisi yang lagi ramai digunjingkan publik.

Tetapi ironisnya, OTT ini sedemikian jauh belum juga berhasil membuat jera politisi yang lain, baik laki-laki maupun perempuan. Di ranah perbuatan busuk ini hebatnya apa yang disebut dalam jargon ‘kesetaraan jender” telah menjadi kenyataan. Dunia perpoltikan kita sedang hiruk dengan kelakuan mereka.

Sekarang koruptor laki-laki dan koruptor perempuan sudah bisa bergandengan tangan dalam jeratan OTT. Inilah Indonesia, politisi yang telah jadi pasien KPK dari hari ke hari jumlahnya semakin banyak. Belum tampak tanda-tanda akan menyusut, sekalipun KPK terus saja menggebrak di tengah perlawanan sengit dari politisi busuk.

Jika memang demikian kenyataannya, apakah politisi kita tidak kenal seni, tidak kenal  sastra, sehingga batin dan perbuatan sebagian mereka begitu kumuh, begitu hitam. Tidak peduli apakah mereka pakai jilbab atau buka rambut bagi koruptor perempuan. Kelakuan mereka sudah tidak bisa dibedakan, sama-sama buruk, sama-sama najis.

Sebenarnya dunia pendidikan kita sudah lama gersang dari belaian seni dan sastra. Siapa di antara anak didik sekarang yang masih kenal dengan novel Siti Nurbaya karya Marah Roesli, Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka, Robohnya Surau Kami oleh AA Navis, dan banyak lagi yang lain yang sudah menjadi karya kelasik.

Novel kontemporer seperti  Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi belum tentu juga banyak yang membaca. Maka tidak mengherankan politisi yang dibentuk oleh pusat pendidikan yang sepi dari seni dan sastra, maka sepi pulalah perasaan mereka terhadap sesuatu yang halus, indah, dan peka.

Dalam kuliah umum di atas saya juga menyinggung ungkapan the power of beauty (keperkasaan keindahan) yang dapat membentuk jiwa dan karakter halus manusia yang membuahkan prilaku lurus, jujur, dan punya rasa malu yang dalam.

Para koruptor yang tidak menghargai keindahan tentu yang paling banyak menempuh jalan bengkok, culas, dan tidak punya rasa malu. Sifat malu adalah bagian dari kekuatan keindahan. Sifat malu ini semestinya ditanam dan ditumbuhkan sejak usia kanak-kanak pada saat jiwa manusia masih sangat peka dan bersih. Sifat ini biasanya akan bertahan sepanjang hayatnya.