Tag Archive for: MAARIF House

MAARIF House: Muhammadiyah Studies dalam Lintas Disiplin

Jakarta, 22 November 2024 – MAARIF House (MH) kembali digelar dengan mengangkat tema “Muhammadiyah Studies dalam Lintas Disiplin”. MAARIF House edisi#6 kali ini  menghadirkan dua cendekiawan Muhammadiyah yaitu Fajar Riza Ul Haq dan Ahmad Fuad Fanani. Kedua cendekiawan ini membahas Muhammadiyah dalam lingkup studi akademik dari dua perspektif yang berbeda; perspektif mitigasi kebencanaan dan perspektif genealogi pemikiran progresif Muhammadiyah.

Pengangkatan dua perspektif tersebut terinspirasi dari topik disertasi doktoral yang berhasil dipertahankan oleh dua cendekiawan ini, Fajar Riza Ul Haq dengan tema “Dinamika Followership dan Political Partisanship Muhammadiyah dalam Merespon Kebijakan Covid-19 di DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sumatera Barat” dan Ahmad Fuad Fanani dengan tema “Progressivism in a Conservative Milieu: The Rise of Progressives within Muhammadiyah, 1995-2020”.

Selain mendiskusikan dua perspektif ini, kedua narasumber juga mengemukakan pandangan masing-masing tentang kondisi, peta, aktivisme, dan masa depan para aktivis Muhammadiyah serta kiprah mereka di berbagai sektor kehidupan. Selain itu di hadapan para partisipan yang didominasi oleh para aktivis muda Muhammadiyah, para narasumber juga menceritakan pengalaman perjalanan hidup mereka hingga kini sukses berkiprah dalam kancah dunia akademik dan perpolitikan nasional.

Andar Nubowo, Direktur Eksekutif MAARIF Institute, membuka acara dengan menekankan juga bahwa MAARIF House #6 merupakan bentuk tasyakuran atas kiprah MAARIF Institute yang telah melahirkan kader unggul yang saat ini banyak terlibat di pemerintahan yang baru. “Kader MAARIF Institute tidak hanya fokus pada urusan teknis, tetapi juga dilatih untuk mengabdi kepada umat dengan pendekatan keilmuan,” ungkap Andar. Ia menambahkan, acara ini sekaligus menjadi ajang refleksi atas peran Muhammadiyah sebagai organisasi yang tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga terus beradaptasi terhadap perubahan zaman.

Dalam sambutannya, Andar menyoroti pentingnya Muhammadiyah Studies sebagai respons atas kekhawatiran yang mengatakan Muhammadiyah kehilangan pesonanya. “Pada era 60-70-an, Muhammadiyah menarik banyak perhatian peneliti internasional. Dengan adanya MAARIF House, kita ingin membawa tradisi akademik itu kembali, tetapi dalam konteks yang lebih luas,” jelasnya.

Selanjutnya, Rikard Bagun, Dewan Pengawas Yayasan Ahmad Syafii Maarif, menekankan urgensi kajian Muhammadiyah Studies di era post-truth. “Di tengah derasnya informasi yang sering kali menyesatkan, Muhammadiyah Studies dapat menjadi alat untuk mencari kebenaran sejati berbasis nilai-nilai yang telah dibentuk dan dilahirkan oleh Muhammadiyah,” ujar Bagun.

Hal ini diperkuat oleh Fajar Rizal Ul Haq, yang memberikan contoh konkret bagaimana Muhammadiyah Studies telah berkembang dan bekerja. Ia mengulas penelitiannya terkait respon warga Muhammadiyah terhadap kebijakan fatwa Muhammadiyah selama pandemi COVID-19, seperti pelaksanaan salat Idulfitri. Namun, ia juga menyoroti kesenjangan yang masih ada di organisasi ini, terutama dalam upaya melembagakan kebijakan di tingkat akar rumput.

Berikutnya, Ahmad Fuad Fanani menjelaskan bahwa Muhammadiyah Studies tidak hanya terbatas pada kajian yang berusaha memuji kontribusi dan ide dari tokoh-tokoh besar Muhammadiyah, tetapi juga membuka ruang untuk kritik. “Muhammadiyah itu tidak tunggal. Ada spektrum yang luas di dalamnya, termasuk hubungan Muhammadiyah dengan organisasi Islam lainnya,” jelas Fuad. Ia menyoroti adanya perbedaan antara kalangan elitis Muhammadiyah yang progresif dengan kondisi akar rumput yang masih memerlukan perhatian lebih.

Sebagai tambahan, Fuad menyatakan bahwa kajian ini memiliki potensi besar untuk terus berkembang, baik dalam aspek historis, sosial, maupun interaksi lintas organisasi agama di Indonesia. Hal ini menjadikan MAARIF Institute dalam kacamata yang lain sebagai tenda kultural dan kebangsaan bagi semua generasi muda Indonesia untuk dapat berkontribusi terhadap umat.

Di sesi yang terpisah, Yahya Fathur Rozy selaku Presidium Nasional Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) memberikan apresiasi sebesar-besarnya atas terlaksananya MAARIF House yang keenam ini, apalagi melibatkan JIMM sebagai salah satu mitra kegiatan. Menurutnya, MAARIF Institute, sebagai inisiator MAARIF House, dan JIMM memiliki spirit, visi, dan tarikan nafas sejarah yang beririsan. Sama-sama didirikan oleh Moeslim Abdurrahman, MAARIF Institute dan JIMM menjadi wadah perkaderan intelektual Muhammadiyah kultural yang sama-sama sudah berusia sekitar dua dekade. “Fajar Riza Ul Haq dan Ahmad Fuad Fanani adalah dua role modelkader Muhammadiyah hasil tempaan MAARIF Institute sekaligus JIMM yang sukses berkiprah di dunia akademik dan aktivisme” ujar Yahya.

MAARIF House ke 6 dihadiri oleh Rikard Bagun, Dewan Pengawas Yayasan Ahmad Syafii Maarif, Fajar Riza Ul Haq, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Ahmad Fuad Fanani, Ph.D dari The Australian National University, Hilman Latief, Dirjen Haji Kementerian Agama RI, dan 100 orang partisipan dari berbagai sektor. Kegiatan ini diselenggarakan oleh MAARIF Institute for Culture and Humanity bekerjasama dengan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), dan Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategi (LKKS) PP Muhammadiyah, pada 22 November 2024 di Gedung Dakwah Muhammadiyah. [NAH]

Keadilan Gender dan Moralitas Publik: Riri Khariroh Menggugat Patriarki

Jakarta, 11 September 2024 – Dalam diskusi MAARIF House edisi ke-4 yang mengangkat tema “Agama, Kebudayaan, dan Moralitas Publik,” Riri Khariroh, salah satu narasumber dan seorang aktivis perempuan dan eco-feminism, menyoroti ketidakadilan gender yang terus berlangsung di masyarakat Indonesia. Menurut Riri, ketiga sektor utama yang dibahas dalam diskusi – agama, kebudayaan, dan moralitas publik – masih belum memberikan perhatian yang cukup terhadap isu kesetaraan gender.

“Budaya patriarki masih sangat kuat di Indonesia, terutama di wilayah-wilayah Indonesia Timur. Dalam konteks moralitas publik, perempuan seringkali menjadi objek yang dikendalikan, alih-alih dilindungi,” ungkap Riri.

Ia memberikan contoh kasus budaya kawin tangkap dan pernikahan korban pemerkosaan dengan pelaku, sebagai bentuk nyata dari ketidakadilan yang dialami perempuan. Baginya, moralitas publik yang ada saat ini lebih sering digunakan untuk menekan dan mengatur perempuan daripada melindungi hak-hak mereka.

Meski begitu, Riri melihat ada peluang untuk memperbaiki ketidakadilan gender ini. Dia menekankan bahwa diskusi ini bisa menjadi momentum untuk turut andil menguatkan kesetaraan dan keadilan gender. Terlebih di pesantren, di mana Riri banyak terjun dan terlibat di dalamnya.

“Pesantren memiliki potensi besar untuk menjadi tempat yang memperkuat keadilan gender, meskipun saat ini moralitas masih lebih diutamakan daripada ilmu,” ujar Riri, merujuk pada kitab Ta’lim Muta’alim yang banyak digunakan di pesantren.

Riri juga menyerukan agar ada pembaruan dalam cara memandang moralitas publik, terutama yang lebih inklusif terhadap perempuan. Menurutnya, moralitas yang adil gender tidak hanya akan meningkatkan kualitas kehidupan perempuan, tetapi juga seluruh masyarakat.

“Kita harus memanfaatkan momen ini untuk menantang patriarki dan menciptakan ruang yang lebih adil bagi perempuan,” tutupnya dengan tegas.

Diskusi ini membuka ruang untuk membahas lebih lanjut tentang bagaimana moralitas publik dapat berperan dalam memperjuangkan keadilan gender, dengan melibatkan semua pihak, baik negara, swasta, maupun masyarakat sipil. VNL

 

Izzul Muslimin: Pemimpin Genuine Semakin Sulit Ditemukan

Jakarta, 11 September 2024 – M. Izzul Muslimin, Sekretaris PP Muhammadiyah, memberikan pandangan tajam mengenai kondisi moralitas bangsa yang menurutnya semakin mengalami penurunan drastis. Dalam diskusi MAARIF House edisi #4 bertajuk “Agama, Kebudayaan, dan Moralitas Publik,” Izzul menyoroti bahwa moralitas publik di Indonesia tengah mengalami krisis.

“Situasi sosial saat ini sedang tidak baik-baik saja. Kita menyaksikan kemerosotan moral di berbagai sektor, terutama dalam kepemimpinan”, ungkap Izzul

Menurut Izzul, bangsa Indonesia masih terperangkap dalam budaya feodalisme, yang membuat figur pemimpin sangat menentukan arah moralitas publik. Selain itu, dia menyayangkan bahwa pemimpin yang lahir dari pencitraan dan rekayasa politik semakin mendominasi saat ini di bangsa kita, Indonesia.

“Pemimpin genuine, yang lahir dari proses panjang dan jujur, semakin sulit ditemukan. Sebaliknya, kita disuguhi tokoh-tokoh yang muncul karena pencitraan yang dirancang dengan cermat, tanpa landasan moral yang kuat,” ujar Izzul dengan nada prihatin.

Kepemimpinan yang demikian, lanjut Izzul, telah menyebabkan masyarakat kita sakit secara moral. Dampaknya sangat terasa pada kehidupan sosial yang semakin tidak sehat, baik dari segi hubungan antarwarga maupun dalam tata kelola negara.

“Dalam situasi seperti ini, keputusan yang diambil harus konsisten dengan nilai-nilai moral yang kuat dan tidak hanya berorientasi jangka pendek saja,” tegasnya.

Izzul mengajak masyarakat untuk tidak terjebak dalam romantisme moralitas, di mana pemimpin dipilih berdasarkan karisma atau popularitas semata tanpa mempertimbangkan integritas dan kemurnian moralnya.

“Kita membutuhkan pemimpin yang mampu mengambil keputusan berdasarkan nilai-nilai yang kuat dan berjangka panjang, bukan pemimpin yang hanya mengandalkan pencitraan,” tambahnya. Pernyataan ini mencerminkan keprihatinan mendalam Izzul terhadap kondisi bangsa dan menunjukkan perlunya perbaikan signifikan dalam moralitas publik, terutama di sektor kepemimpinan.

MAARIF House merupakan diskusi terbatas yang diselenggarakan oleh MAARIF Institute guna membincang isu-isu terkini. NAH

 

Syamsul Arifin: Etika Memiliki Posisi Lebih Tinggi Dibanding Hukum

Jakarta, 11 September 2024 – MAARIF Institute kembali menggelar MAARIF House. Edisi #4 yang digelar secara tertutup ini dilaksanakan di MAARIF Institute, Rabu, 11 September 2024 dengan mengangkat tema “Agama, Kebudayaan, dan Moralitas Publik”.

Salah satu narasumber MAARIF House Edisi #4, Syamsul Arifin, Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Muhammadiyah Malang, menyampaikan pandangan mendalam terkait isu moralitas dan kepemimpinan di Indonesia.

Syamsul menekankan bahwa etika memiliki posisi yang lebih tinggi daripada hukum, dengan memberikan contoh bagaimana BJ Habibie yang memutuskan untuk tidak mencalonkan diri sebagai presiden pada saat itu meskipun secara hukum dia dibolehkan.

Keputusan tersebut, yang menurut Syamsul didasarkan pada prinsip etika yang sangat dihormati oleh Habibie, menunjukkan bahwa etika memiliki kekuatan lebih tinggi dalam kehidupan publik.

“Indonesia sangat kaya dengan etika dan nilai-nilai luhur. Sebagai bangsa, kita harus mempertahankan warisan ini dan mengingat bahwa etika merupakan refleksi dari apa yang baik dan buruk,” ungkap Syamsul.

Lebih lanjut Ia menekankan juga bahwa etika tidak hanya membatasi tindakan seseorang, tetapi juga menjadi fondasi dari bagaimana kita membangun moralitas publik.

Syamsul mengingatkan bahwa dalam konteks kepemimpinan, terutama di Indonesia, kekuasaan sering kali menjadi ujian terbesar bagi moralitas seseorang. Selain itu, menurut Syamsul, pemimpin yang baik harus memiliki integritas yang tinggi dan komitmen terhadap nilai-nilai moral, karena kekuasaan bisa membuka peluang bagi penyalahgunaan jika tidak dibarengi dengan etika yang kuat di sana dalam penerapannya.

Lebih lanjut, Syamsul menyatakan bahwa Indonesia saat ini menghadapi kekurangan sosok pemimpin yang berpegang teguh pada etika.

“Kita merindukan sosok seperti Buya Syafii Maarif dan Azyumardi Azra, yang mampu menavigasi kondisi sosial-politik dengan integritas dan tanggung jawab moral,” tambahnya.

Syamsul mengkritisi kondisi kepemimpinan saat ini yang cenderung melanggar norma etika, dengan menyebut bahwa pemimpin yang muncul secara tiba-tiba atau tanpa proses panjang cenderung melanggar prinsip-prinsip moralitas publik. Baginya, kepemimpinan yang baik harus melalui proses, bukan hasil dari ambisi yang mendadak.

Diskusi ini menggugah kesadaran akan pentingnya kembali menempatkan etika sebagai fondasi utama dalam kehidupan publik, terutama dalam konteks kepemimpinan di Indonesia yang semakin menghadapi tantangan moralitas dan etika. NAH

 

MAARIF HOUSE BINCANG AGAMA, KEBUDAYAAN DAN MORALITAS PUBLIK

Jakarta – MAARIF Institute kembali menggelar diskusi terbatas dengan tema “Agama, Kebudayaan, dan Moralitas Publik”. Acara yang diselenggarakan di kantor MAARIF, 11 September 2024 ini membincang isu Agama, Kebudayaan, dan Moralitas Publik yang menjadi dasar tatanan kehidupan manusia. Pertanyaan mendasar yang didiskusikan dalam rountable discussion ini adalah apakah agama, kebudayaan dan moralitas publik bisa beradaptasi dengan perubahan yang terjadi? Bagaimana nilai-nilai etika, moral bekerja di ruang ruang kekuasaan, dan bagaimana dampaknya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara?

Menjawab persoalan ini, salah satu narasumber MAARIF House, Syamsul Arifin, Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Muhammadiyah Malang, menyampaikan pandangan mendalam terkait isu moralitas dan kepemimpinan di Indonesia.

Syamsul menekankan bahwa etika memiliki posisi yang lebih tinggi daripada hukum, dengan memberikan contoh bagaimana BJ Habibie yang memutuskan untuk tidak mencalonkan diri sebagai presiden pada saat itu meskipun secara hukum dia dibolehkan.

“Indonesia sangat kaya dengan etika dan nilai-nilai luhur. Sebagai bangsa, kita harus mempertahankan warisan ini dan mengingat bahwa etika merupakan refleksi dari apa yang baik dan buruk,” ungkap Syamsul.

Narasumber lain, M. Izzul Muslimin, Sekretaris PP Muhammadiyah, dalam paparannya mengajak masyarakat untuk tidak terjebak dalam romantisme moralitas, di mana pemimpin dipilih berdasarkan karisma atau popularitas semata tanpa mempertimbangkan integritas dan kemurnian moralnya.

“Kita membutuhkan pemimpin yang mampu mengambil keputusan berdasarkan nilai-nilai yang kuat dan berjangka panjang, bukan pemimpin yang hanya mengandalkan pencitraan,” tambahnya. Pernyataan ini mencerminkan keprihatinan mendalam Izzul terhadap kondisi bangsa dan menunjukkan perlunya perbaikan signifikan dalam moralitas publik, terutama di sektor kepemimpinan.

Sementara itu, Riri Khariroh, aktivis perempuan dan eco-feminism, menyoroti ketidakadilan gender yang terus berlangsung di masyarakat Indonesia. Menurut Riri, tiga sektor utama yang dibahas dalam diskusi – agama, kebudayaan, dan moralitas publik – masih belum memberikan perhatian yang cukup terhadap isu kesetaraan gender.

“Budaya patriarki masih sangat kuat di Indonesia, terutama di wilayah-wilayah Indonesia Timur. Dalam konteks moralitas publik, perempuan seringkali menjadi objek yang dikendalikan, alih-alih dilindungi,” ungkap Riri.

MAARIF House edisi keempat dihadiri oleh berbagai narasumber, diantaranya; Ahmad Fuad Fanani (Peneliti, Kandidat Doktor ANU Canberra), Budi Asyhari-Afwan (Peneliti Budaya CRCS UGM), Dewi Candraningrum (Editor Buku Seri Ekofeminisme), Feby Indirani (Novelis, Inisiator Relax, It’s Just Religion), M. Izzul Muslimin (Sekretaris PP Muhammadiyah), Kusen (Budayawan), Media Zainul Bahri (Guru Besar Pemikir Islam UIN Jakarta), Riri Khariroh (Aktivis Perempuan dan Pendidik di PP Nihadlul Qulub), Syamsul Arifin (Guru Besar Sosiologi Agama UMM Indonesia).

Melalui diskusi yang mendalam dan interaktif, MAARIF House edisi keempat ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai hubungan antara agama, kebudayaan, dan moralitas publik. Selain itu, acara ini juga bertujuan untuk mendorong dialog yang konstruktif dan mencari solusi bersama dalam menghadapi tantangan-tantangan yang muncul di tengah masyarakat.

“MAARIF House merupakan sarana yang kami ciptakan untuk mendorong diskusi terbuka dan konstruktif mengenai isu-isu publik yang penting bagi masyarakat. Melalui edisi keempat ini, kami berharap dapat memberikan wawasan baru dan mendorong pemikiran kritis mengenai hubungan antara agama, kebudayaan, dan moralitas publik,” ujar Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Andar Nubowo. []

MAARIF HOUSE EDISI-3: DEMOKRASI DAN IMAJINASI KEBANGSAAN INDONESIA

Jakarta, 29 Agustus 2024, MAARIF Institute memandang bahwa imajinasi kebangsaan di Indonesia menghadapi beragam tantangan dan peluang baru di era digital dan globalisasi. Pasca pandemi COVID-19, perubahan iklim, dan transformasi digital telah mengubah cara masyarakat Indonesia memandang identitas kebangsaan mereka. Dalam konteks ini, peran negara menjadi sangat penting dalam menciptakan kebijakan yang inklusif, mendorong pasar yang mendukung produk lokal, dan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat. Komunikasi global kini memengaruhi pola ekonomi yang berkembang sejalan dengan dinamika politik, ekonomi, dan sosial. Negara memiliki peran sentral dalam membentuk dan menjaga imajinasi kebangsaan melalui kebijakan publik yang bertanggung jawab—memastikan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta menjaga persatuan nasional.

Tema Tantangan Demokrasi dan Imajinasi Kebangsaan Indonesia dibahas secara kritis akademis oleh para pakar dari berbagai bidang dalam MAARIF House edisi ke-3 yang diselenggarakan oleh MAARIF Institute pada hari Kamis, 29 Agustsu 2024 di Kantor MAARIF Institute.

Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Andar Nubowo, dalam paparan pembukanya mengungkapkan pentingnya memperkuat demokrasi Indonesia yang sedang menghadapi banyak tantangan.

“Kita perlu ruang diskusi yang mampu menggali ide-ide segar dan solusi inovatif untuk merespon dan memperkuat demokrasi kita,” ungkap Andar.

lebih lanjut Andar mengajak seluruh masyarakat sipil untuk bersatu untuk bekerjasama membangun demokrasi yang kuat.

“Kita harus menjaga agar civil society tetap bersatu dalam menghadapi tantangan demokrasi ini. Dengan kerjasama yang solid, kita bisa membangun demokrasi yang lebih kuat dan berintegritas, demi harapan dan masa depan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia”, tutup Andar.

Lukman Hakim Saifuddin, dalam paparannya, menegaskan bahwa agama dan budaya merupakan pilar utama yang menjaga Indonesia tetap kokoh hingga saat ini.

“Indonesia bisa bertahan sejauh ini karena dua hal, yaitu agama dan budaya,” ujar lukman yang merupakan mantan Menteri Agama periode 2014-2019.

Menurut Lukman, masyarakat Indonesia sangat agamis dan kuat dalam memegang nilai-nilai budaya yang luhur. Oleh karena itu, dia menilai bahwa para agamawan dan budayawan memiliki tanggung jawab besar terhadap kondisi demokrasi di Indonesia saat ini dan di masa depan.

Sementara itu, Agustinus Setyo Wibowo dalam paparannya menyebutkan masalah terbesar yang menghambat perkembangan demokrtasi di Indonesia. Salah satu masalah terbesar yang diidentifikasinya adalah budaya feodal yang masih kental di Indonesia. Menurutnya, baik parpol maupun masyarakat Indonesia secara umum masih terjebak dalam budaya feodal ini, yang menghambat perkembangan demokrasi yang sesungguhnya.

“Selama kultur feodal ini masih ada di Indonesia, imajinasi demokrasi ini bisa rontok,” ujarnya dengan nada prihatin.

Garin Nugroho dalam paparannya menekankan perlunya kesadaran terhadap media sosial dan perawatan masyarakat sipil untuk membedakan mana yang benar-salah, public-private, dan demokratis atau tidak.

“Media sosial di Indonesia menjadi suatu ruang pendidikan yang masyarakatnya tidak tahu mana yang benar dan yang salah. Masyarakat tidak tahu, mana proses berbangsa yang memenuhi konstitusi atau tidak. Politik penyanderaan menjadi contoh bahwa hukum bisa diotak-atik. Ruang publik kita betul-betul hancur. Sayaconcernbetul pada perawatancivil societyini terhadap kelancaran ruang publik sebagai panduan berbangsa”. ujar Garin.

Diskusi terbatas pada MAARIF House edisi ke-3 dihadiri berbagai narasumber dari berbagai sektor, Adinda Tenriangke Muchtar, Ph.D. (Direktur Eksekutif The Indonesian Institute), Dr. Amin Mudzakkir (Peneliti Pusat Riset KewilayahanBRIN), Fachry Ali, Ph.D. (Politolog), Dr. (HC.) Garin Nugroho (Budayawan), Hendri Saparini, Ph.D. (Core Indonesia), Jumaldi Alfi (Seniman Yogyakarta), Dr. (HC.) KH. Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama RI 2014–2019), Sandra Hamid, Ph.D. (Antropolog Budaya dan Spesialis Pembangunan), Dr. Romo Agustinus Setyo Wibowo, SJ. (STF Driyarkara Jakarta), dan Assoc. Prof. Yayah Khisbiyah, MA. (Fakultas Psikologi UMS).

 

MAARIF House Edisi Perdana: Agama, Krisis Lingkungan, dan HAM: Izin Tambang bagi Ormas Maslahah atau Masalah?

MAARIF Institute meluncurkan program diskusi rutin MAARIF House. Inisiatif ini merupakan upaya konkret untuk mewujudkan visi besar Buya Syafii Maarif terkait konsep keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan, serta menanggapi berbagai dinamika dan persoalan krusial yang berkembang di masyarakat.

Acara perdana MAARIF House secara eksklusif akan diselenggarakan pada Kamis, 18 Juli 2024, pukul 13.00 – 16.00 wib bertempat di kantor MAARIF Institute. Adapun tema yang diangkat adalah “Agama, Krisis Lingkungan dan Persoalan HAM: Izin Tambang bagi Ormas, Maslahah atau Masalah?”. Isu ini dipilih karena adanya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang pemberian izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan yang telah memicu kontroversi di berbagai kalangan, mulai dari tokoh agama, aktivis HAM, politisi, hingga masyarakat umum.

Seperti yang kita ketahui bersama, pemberian IUPK kepada ormas keagamaan oleh negara memunculkan beragam tanggapan dan kritik dari berbagai pihak. Isu ini tidak hanya menyangkut kapasitas kelembagaan ormas dalam pengelolaan pertambangan, tetapi juga dikhawatirkan sebagai bagian dari konsolidasi politik yang lebih luas untuk menaklukkan kelompok-kelompok yang berpotensi kritis terhadap kebijakan pemerintah.

MAARIF House edisi perdana ini akan menghadirkan pemantik utama  Ulil Abshar Abdalla (Ketua PBNU), Fajar Riza Ul-Haq(Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS) Pimpinan Pusat Muhammadiyah), dan Siti Maimunah dari Badan Pengurus Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).

Selain itu, hadir pula perwakilan dari sektor publik, swasta, dan masyarakat sipil yang turut memberikan tanggapan, diantaranya: Amiruddin Rahab (Wakil Ketua Komnas HAM Periode 2017 – 2022), Budhy Munawar-Rachman (Direktur Paramadina Center for Religion and Philosophy), Fathun Karib (Dosen UIN Jakarta), Hening Parlan, Kornas (Green Faith Indonesia), John Muhammad (Presedium Nasional Partai Hijau Indonesia), Khalisah Khalid (Greenpeace Indonesia), M. Yana Aditya (Wakil Ketua Umum Ikatan Saudagar Muslim Indonesia), Mukhaer Pakkana (Wakil Ketua Majelis Ekonomi, Bisnis dan Pariwisata PP Muhammadiyah), Tyovan Ari Widagdo (Ketua Umum HPN/ Ketua Lembaga Perekonomian PBNU/ CEO Edumo), Usman Hamid (Direktur Eksekutif Amnesty International, dan Visna Vulovic (PT. Globalindo Mineraltama Mandiri).

Bagi yang tertarik untuk mengikuti diskusi yang menarik ini melalui zoom meeting silakan registrasi di link berikut ini: https://bit.ly/MH-Seri-1