Tag Archive for: muhammadiyah

Milad ke-112 Muhammadiyah: Mengusung Semangat Kemakmuran untuk Semua

Kupang, 4 Desember 2024 – Muhammadiyah baru saja menyelesaikan perhelatan Tanwir dan Resepsi Milad ke-112 Muhammadiyah berlangsung di Kampus Universitas Muhammadiyah Kupang, Nusa Tenggara Timur, 4-6 Desember 2024. Tanwir dan Resepsi Milad ke-112 Muhammadiyah kali ini mengusung tema “Menghadirkan Kemakmuran untuk Semua”. Acara ini secara resmi dibuka oleh Presiden Republik Indonesia, Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto dan dihadiri oleh sejumlah tokoh nasional, Rabu, 4 Desember 2024, dengan memainkan alat musik tradisional Sasando sebagai simbol penghormatan budaya lokal.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si., dalam sambutannya menekankan makna mendalam tema tersebut. “Kemakmuran adalah kondisi sejahtera lahir dan batin. Dengan segala kekayaan alam yang dimiliki, negeri ini dapat dikelola menjadi tanah yang makmur,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa tema ini didasari oleh tiga pilar utama. Pertama, cita-cita nasional untuk mewujudkan Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Kedua, aspek sosiologis yang tercermin dalam konsep masyarakat Indonesia yang mengenal istilah “gemah ripah loh jinawi”, yaitu negeri yang damai dan rakyatnya sejahtera lahir batin. Ketiga, perspektif Islam yang mengacu pada konsep “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”, menggambarkan negeri yang diberkahi Allah dengan kemakmuran dan ampunan.

Semangat ini menurutnya, sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto tentang kedaulatan Indonesia dan pentingnya pemerataan kemakmuran bagi seluruh rakyat.

Dalam pidatonya, Presiden Republik Indonesia, Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto, memberikan apresiasi tinggi terhadap Muhammadiyah. Ia menyoroti kehadiran tokoh-tokoh besar yang memiliki kedekatan dengan Muhammadiyah, seperti Presiden pertama dan kedua Republik Indonesia, yang keduanya merupakan warga Muhammadiyah. Hal ini, menurut Prabowo, menjadi bukti nyata keberhasilan Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan, dakwah, pendidikan, dan kesehatan. Keberhasilan Muhammadiyah dalam mendidik serta membesarkan kader-kadernya membuat organisasi ini mampu hadir dan berkontribusi di berbagai wilayah di seluruh Indonesia.

Pendidikan dan kesehatan merupakan dua pilar utama kebangkitan bangsa, dan peran Muhammadiyah dalam kedua bidang ini sangat signifikan. Muhammadiyah telah berhasil membangun 167 perguruan tinggi, 126 rumah sakit, 231 klinik, 5.345 sekolah dan madrasah, serta 440 pesantren. Jaringan organisasi yang luas, baik di dalam maupun luar negeri, menjadi bukti kontribusi nyata Muhammadiyah dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan di Indonesia.

Selain itu, pengaruh Muhammadiyah juga terlihat dalam upayanya menanamkan sikap patriotisme dan semangat cinta tanah air. Salah satu contohnya adalah Jenderal Besar Sudirman, yang pernah menjabat sebagai kepala sekolah SMA Muhammadiyah Purwokerto. Meskipun bukan lulusan akademi militer, ia mampu menjadi simbol perjuangan dan dedikasi terhadap bangsa.
Presiden juga menyampaikan pesan persatuan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menjaga persatuan di tengah dinamika global yang penuh tantangan. “Kita harus menghindari perpecahan dan konflik. Kerukunan, jiwa besar, serta penghormatan atas keberagaman adalah kunci kemajuan bangsa,” tegasnya.

Pada momen Milad ke-112 ini, Pemerintah Indonesia menyampaikan penghargaan dan harapan agar Muhammadiyah terus berkontribusi dalam bidang dakwah, kesehatan, dan pendidikan. “Menghadirkan kemakmuran untuk semua adalah tujuan mulia, karena tidak ada kemakmuran tanpa keadilan. Bersama-sama kita hilangkan kemiskinan dan kelaparan,” pungkas Presiden.
Dalam sesi wawancara dengan Kompas Tv, Direktur Eksekutif MAARIF Institute Andar Nubowo menjelaskan Pidato Ketua Umum Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir, menegaskan bahwa Muhammadiyah hadir untuk semua kalangan tanpa memandang agama, suku, atau latar belakang apapun. Kehadirannya berkomitmen menghadirkan kemakmuran dan kesejahteraan yang inklusif bagi seluruh masyarakat Indonesia.

“Tanwir Muhammadiyah di Kupang kali ini memperkuat komitmen Muhammadiyah untuk kesejahteraan yang inklusif, serta menegaskan visi Muhammadiyah terhadap kemakmuran dan keadilan universal”, ungkap Andar.

Lebih lanjut Andar menjelaskan bahwa pemilihan Kupang, wilayah mayoritas non-Muslim dan berdasarkan data BPS memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi, adalah simbol penting bahwa Muhammadiyah konsisten berada di tengah masyarakat yang memerlukan kehadiran solusi nyata. Hal ini menegaskan bahwa perjuangan Muhammadiyah melampaui sekat-sekat keagamaan maupun identitas, dengan fokus pada kebangsaan dan kemanusiaan universal.

“Sejak didirikan pada tahun 1912, Muhammadiyah telah menunjukkan komitmennya terhadap toleransi, keterbukaan, dan prinsip Islam berkemajuan. Ini mencerminkan nilai-nilai Islam yang inklusif, yang hadir untuk memberikan manfaat bagi semua, tanpa kecuali”, pungkas Andar.

MAARIF House: Muhammadiyah Studies dalam Lintas Disiplin

Jakarta, 22 November 2024 – MAARIF House (MH) kembali digelar dengan mengangkat tema “Muhammadiyah Studies dalam Lintas Disiplin”. MAARIF House edisi#6 kali ini  menghadirkan dua cendekiawan Muhammadiyah yaitu Fajar Riza Ul Haq dan Ahmad Fuad Fanani. Kedua cendekiawan ini membahas Muhammadiyah dalam lingkup studi akademik dari dua perspektif yang berbeda; perspektif mitigasi kebencanaan dan perspektif genealogi pemikiran progresif Muhammadiyah.

Pengangkatan dua perspektif tersebut terinspirasi dari topik disertasi doktoral yang berhasil dipertahankan oleh dua cendekiawan ini, Fajar Riza Ul Haq dengan tema “Dinamika Followership dan Political Partisanship Muhammadiyah dalam Merespon Kebijakan Covid-19 di DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sumatera Barat” dan Ahmad Fuad Fanani dengan tema “Progressivism in a Conservative Milieu: The Rise of Progressives within Muhammadiyah, 1995-2020”.

Selain mendiskusikan dua perspektif ini, kedua narasumber juga mengemukakan pandangan masing-masing tentang kondisi, peta, aktivisme, dan masa depan para aktivis Muhammadiyah serta kiprah mereka di berbagai sektor kehidupan. Selain itu di hadapan para partisipan yang didominasi oleh para aktivis muda Muhammadiyah, para narasumber juga menceritakan pengalaman perjalanan hidup mereka hingga kini sukses berkiprah dalam kancah dunia akademik dan perpolitikan nasional.

Andar Nubowo, Direktur Eksekutif MAARIF Institute, membuka acara dengan menekankan juga bahwa MAARIF House #6 merupakan bentuk tasyakuran atas kiprah MAARIF Institute yang telah melahirkan kader unggul yang saat ini banyak terlibat di pemerintahan yang baru. “Kader MAARIF Institute tidak hanya fokus pada urusan teknis, tetapi juga dilatih untuk mengabdi kepada umat dengan pendekatan keilmuan,” ungkap Andar. Ia menambahkan, acara ini sekaligus menjadi ajang refleksi atas peran Muhammadiyah sebagai organisasi yang tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga terus beradaptasi terhadap perubahan zaman.

Dalam sambutannya, Andar menyoroti pentingnya Muhammadiyah Studies sebagai respons atas kekhawatiran yang mengatakan Muhammadiyah kehilangan pesonanya. “Pada era 60-70-an, Muhammadiyah menarik banyak perhatian peneliti internasional. Dengan adanya MAARIF House, kita ingin membawa tradisi akademik itu kembali, tetapi dalam konteks yang lebih luas,” jelasnya.

Selanjutnya, Rikard Bagun, Dewan Pengawas Yayasan Ahmad Syafii Maarif, menekankan urgensi kajian Muhammadiyah Studies di era post-truth. “Di tengah derasnya informasi yang sering kali menyesatkan, Muhammadiyah Studies dapat menjadi alat untuk mencari kebenaran sejati berbasis nilai-nilai yang telah dibentuk dan dilahirkan oleh Muhammadiyah,” ujar Bagun.

Hal ini diperkuat oleh Fajar Rizal Ul Haq, yang memberikan contoh konkret bagaimana Muhammadiyah Studies telah berkembang dan bekerja. Ia mengulas penelitiannya terkait respon warga Muhammadiyah terhadap kebijakan fatwa Muhammadiyah selama pandemi COVID-19, seperti pelaksanaan salat Idulfitri. Namun, ia juga menyoroti kesenjangan yang masih ada di organisasi ini, terutama dalam upaya melembagakan kebijakan di tingkat akar rumput.

Berikutnya, Ahmad Fuad Fanani menjelaskan bahwa Muhammadiyah Studies tidak hanya terbatas pada kajian yang berusaha memuji kontribusi dan ide dari tokoh-tokoh besar Muhammadiyah, tetapi juga membuka ruang untuk kritik. “Muhammadiyah itu tidak tunggal. Ada spektrum yang luas di dalamnya, termasuk hubungan Muhammadiyah dengan organisasi Islam lainnya,” jelas Fuad. Ia menyoroti adanya perbedaan antara kalangan elitis Muhammadiyah yang progresif dengan kondisi akar rumput yang masih memerlukan perhatian lebih.

Sebagai tambahan, Fuad menyatakan bahwa kajian ini memiliki potensi besar untuk terus berkembang, baik dalam aspek historis, sosial, maupun interaksi lintas organisasi agama di Indonesia. Hal ini menjadikan MAARIF Institute dalam kacamata yang lain sebagai tenda kultural dan kebangsaan bagi semua generasi muda Indonesia untuk dapat berkontribusi terhadap umat.

Di sesi yang terpisah, Yahya Fathur Rozy selaku Presidium Nasional Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) memberikan apresiasi sebesar-besarnya atas terlaksananya MAARIF House yang keenam ini, apalagi melibatkan JIMM sebagai salah satu mitra kegiatan. Menurutnya, MAARIF Institute, sebagai inisiator MAARIF House, dan JIMM memiliki spirit, visi, dan tarikan nafas sejarah yang beririsan. Sama-sama didirikan oleh Moeslim Abdurrahman, MAARIF Institute dan JIMM menjadi wadah perkaderan intelektual Muhammadiyah kultural yang sama-sama sudah berusia sekitar dua dekade. “Fajar Riza Ul Haq dan Ahmad Fuad Fanani adalah dua role modelkader Muhammadiyah hasil tempaan MAARIF Institute sekaligus JIMM yang sukses berkiprah di dunia akademik dan aktivisme” ujar Yahya.

MAARIF House ke 6 dihadiri oleh Rikard Bagun, Dewan Pengawas Yayasan Ahmad Syafii Maarif, Fajar Riza Ul Haq, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Ahmad Fuad Fanani, Ph.D dari The Australian National University, Hilman Latief, Dirjen Haji Kementerian Agama RI, dan 100 orang partisipan dari berbagai sektor. Kegiatan ini diselenggarakan oleh MAARIF Institute for Culture and Humanity bekerjasama dengan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), dan Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategi (LKKS) PP Muhammadiyah, pada 22 November 2024 di Gedung Dakwah Muhammadiyah. [NAH]

Abdul Mu’ti: Terkait Konflik di Palestina, Muhammadiyah Banyak Berkontribusi dalam Isu Pendidikan!

Jakarta, 14 Oktober 2024—Berkolaborasi bersamaInternational Committee of the Red Cross (ICRC), MAARIF House #5 yang diselenggarakan oleh MAARIF Institute pada Selasa (08/10) mengangkat temaSaving Humanity: Islam and International Humanitarian Law. Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, memaparkan sepak terjang kontribusi Muhammadiyah dalam isu kemanusiaan (human right)di Palestina.

Sebagai permulaan, Mu’ti mengingatkan kepada para peserta diskusi dan tamu undangan bahwa nilai-nilai kemanusiaan merupakan esensi utama yang diajarkan oleh seluruh agama. “Humanity is the main essence of religious teaching”, tegas Mu’ti. Hal ini sangat penting untuk diingat kembali supaya kita sadar untuk berupaya bersama-sama menciptakan atau menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan yang rusak akibat perang yang sedang terjadi di Timur Tengah.

Kaitannya dengan peperangan yang sedang terjadi di Palestina saat ini dan beberapa peperangan di wilayah Timur Tengah lainnya, Mu’ti juga menekankan satu aspek atau persoalan yang mungkin kerap terlewat oleh kita dalam melihat korban peperangan, yaitu aspek pendidikan mereka. “Pendidikan adalah hal mendasar dalamhuman rightyang harus kita perhatikan juga saat membantu korban-korban akibat kejahatan perang yang terjadi”, jelas Mu’ti.

Lebih lanjut, Mu’ti juga menyinggung usaha apa yang telah dilakukan Muhammadiyah sejauh ini sebagai respon kemanusiaan untuk korban kejahatan perang yang sedang terjadi di Palestina. Dengan membentuk beberapa tim, Muhammadiyah secara aktual membantu korban perang di sana dengan mendirikan sekolah untuk memberikan layanan pendidikan yang layak kepada mereka.

Menutup diskusi, Mu’ti menegaskan pentingnya peran lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya dan kita bersama untuk terus menyuarakan kepentingan kesejahteraan korban perang melalui pendidikan. Inisiatif Muhammadiyah dalam gerakan pendidikan bagi korban perang Palestina menjadi salah satu langkah konkret yang dapat menginspirasi organisasi lain untuk turut berperan aktif dalam krisis kemanusiaan global.NAH

 

Aba Rasyid, Tokoh Muhamadiyah, Pejuang Kemanusiaan dari Maumere Meninggal Dunia

MAARIF Institute – Abdul Rasyid Wahab atau biasa disapa Aba Rasyid, seorang tokoh Muhammadiyah dan pejuang kemanusiaan dari Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, meninggal dunia di usia ke-86.

Atas dedikasinya terhadap kemanusiaan beliau dianugrahi MDMC Award pada 2014 oleh Muhammadiyah dan MAARIF Award pada tahun 2018 oleh MAARIF Institute.

Kabar meninggalnya Aba Rasyid disampaikan oleh Iksan Wahab Ketua PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) Kab. Sikka

“Ya betul, Ia meninggal di RS Sikka, Maumere hari ini (4/10) pukul 16.00 WIB, Ujar Iksan yang juga anak kandung dari Aba Rasyid.

Sosok yang sederhana dan bersahaja ini mempunyai prinsip kebersamaan dalam perbedaan. Prinsip yang ia pegang teguh itu ia berlakukan untuk semua urusan termasuk urusan keumatan, kebangsaan dan juga kemanusiaan.

Aba Rasyid merupakan tokoh Muhammadiyah yang berperan penting dalam memimpin tim relawan kemanusiaan beraksi saat pendampingan bencana letusan Gunung Rokatenda tahun 2013. Beliau juga adalah tokoh lokal yang merawat kebersamaan dalam kebinekaan lewat kegiatan-kegiatan di FKUB bersama tokoh non-muslim di Maumere.

“Kebersamaan dalam perbedaan saya jadikan prinsip hidup saya dalam semua urusan, urusan keumatan, kebangsaan dan kemanusiaan. Dalam kebersamaan itulah saya merasa diri bermakna dan bermanfaat,” tulis Aba Rasyid dalam sambutannya saat menerima MAARIF Award 2016.

Dilansir dari catatan David Krisna Alka dalam buku MAARIF Award 2016, Aba Rasyid menjadi salah satu tokoh Muhammadiyah Sikka yang memiliki peran besar dalam membentuk Pimpinan Cabang Muhammadiyah di Kab Sikka, termasuk pendidikan dan amal usaha di setiap cabang Muhammadiyah.

Sampai sekarang, sulit mencari tokoh sepuh Muslim yang mengayomi dan menjadi tokoh masyarakat seperti Abah di Maumere, Kab Sikka. Aba Rasyid yang lahir di Maumere, 5 April 1937 ini menjadi tokoh utama dan rujukan pertama bagi masyarakat, pemerintahan, dan ormas, tatkala ada kegiatan, penelitian, dan terkait peristiwa sosial keagamaan di Kab Sikka, tutup David.

Profile Abdul Rasyid Wahab

Lahir di Maumere, 5 April 1937, Sebelum Indonesia Timur merdeka (1945-1947) Aba Rasyid menempuh Pendidikan di Sekolah Desa Katolik Maumere dan Algemeene Laager School, Maumere (1948-1949). Kemudian Sekolah Dasar Maumere (1949-1953). Aba Rasyid menempuh Pendidikan di sekolah Katolik di SMP Yapentom, Maumere dan SMA Suryadikara, Ende. Pada tahun 1960 sempat kuliah dan bekerja di Universitas Atmajaya, Jakarta yang didirikan Tokoh Nasional dari Flores, Frans Seda. Abah hanya setahun di Jakarta.

Saat peristiwa G30 S/PKI Abah pulang ke Maumere. Kemudian menikah dan mulailah Aba Rasyid menjadi pengurus masjid, aktivis masjid, membangun masjid, dan berperan aktif di Sikka.

Pada tahun 1968 Aba Rasyid masuk pemerintahan Maumere. Ia menjadi anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) Kab. Sikka dari utusan umat Muslim, menjadi pembantu Bupati dalam urusan tertentu.

Usianya saat itu baru 26 tahun. Kemudian setelah di BPH, tahun 1970 Pemilu di Sikka ada dua Partai Islam, Partai NU dan Parmusi. Aba sebenarnya Parmusi, tetapi saat itu Partai NU tidak ada kader yang menjadi calon anggota DPRD Kab Sikka. Kemudian, Partai NU dan Parmusi bergabung mengutus Abah menjadi anggota DPRD utusan NU dan Parmusi.

Cuma setahun Aba Rasyid menjadi anggota DPRD (1972-1973). Setelah itu Aba Rasyid menjadi PNS Tingkat II Sikka. Bupati Sikka saat itu, L. Say (Katolik), banyak menuntun dan membuat Abah menjadi lebih aktif serta diajak dalam berbagai kegiatan. Aba Rasyid banyak mendapat pencerahan dari Bupati L. Say (L. Say menjadi nama pelabuhan di Maumere).

Aba Rasyid lalu menunaikan tugas belajar di APDN, Kupang (1973-1976). Lulus dari APDN, bertugas di bagian Kesra, Kab, Sikka (1979-1981), menjadi Koordinator Pemerintahan Kota (Kopeta) Maumere (1982-1987), BAPPEDA Kab Sikka (1987-1992). Tahun 1993, Aba Rasyid pensiun.

Tahun 1982 Aba Rasyid sudah aktif di Pemuda Muhammadiyah Kecamatan. Sejak menjadi Kopeta Abah sudah menjadi Pengurus Cabang Muhammadiyah Sikka. Abah menjadi pengurus tidak memaksakan diri tapi memang dibutuhkan. Kemudian diangkat menjadi Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Sikka (1985-1981). Aba Rasyid menjadi Ketua PDM Sikka dari tahun 1991 sampai 2015.

Aba Rasyid juga menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kab, Sikka dari tahun 1996-2001. Menjadi Wakil Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kab. Sikka (2005-sekarang). Di mana Ketua FKUB adalah dari Keuskupan. Di usianya yang lebih 70 tahun, Aba Rasyid menjadi Ketua Dewan Penasehat MUI Kab Sikka dan Ketua Dewan Penasehat PDM Kab Sikka. (DM)

Pilar Kemandirian Muhammadiyah

Abd Rohim Ghazali Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Direktur Eksekutif Maarif Institute

SEJARAH Muhammadiyah ialah sejarah kemandirian. Sejak usia sangat dini, KH Ahmad Dahlan, pendiri organisasi itu, sudah berkorban dengan harta miliknya untuk menggerakkan Muhammadiyah. Wejangannya, hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah, menjadi pedoman siapa pun yang bersedia memimpin Muhammadiyah dari masa ke masa. Yang enggan berkorban sebaiknya tidak menjadi pemimpin Muhammadiyah.

Kalaupun ada bantuan dari pihak lain pada Muhammadiyah, dari pemerintah, misalnya, sifatnya tidak mengikat atau tanpa syarat. Dengan adanya bantuan tidak membuat Muhammadiyah dependen. Karena ada atau tidak adanya bantuan dari pihak lain, Muhammadiyah akan tetap berdiri dan berkiprah memajukan umat dan bangsa.

Pada saat membuka Muktamar Muhammadiyah-Aisyiyah ke-48 di Stadion Manahan Surakarta (Solo), Jawa Tengah, 19 November tahun lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan apresiasi atas kontribusi Muhammadiyah dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa dan mengucapkan terima kasih karena telah membantu penanganan covid-19 pada tiga tahun terakhir.

Kontribusi Muhammadiyah yang diapresiasi presiden tidak mungkin muncul jika organisasi yang berdiri pada 18 November 1912 itu tidak memiliki kemandirian. Mengamati dari dekat atau bahkan terlibat langsung dalam pelaksanaan Muktamar Muhammadiyah, saya merasakan betul betapa mandirinya Muhammadiyah. Indikasinya bisa dilihat, setidaknya dari dua hal: pertama, pembiayaan muktamar; dan kedua, tidak adanya intervensi dari pihak mana pun (termasuk dari pemerintah) dalam memilih pimpinan

Dari segi pembiayaan, semua ditanggung sendiri. Setiap anggota, peserta, dan penggembira muktamar datang dengan biaya sendiri, baik secara institusional maupun individual. Karenanya, tidak terdengar isu muktamar dibiayai/ditanggung baik oleh si A, si B, maupun oleh kementerian atau BUMN A, B, dan lain-lain.

Yang penting dicatat, setelah selesai muktamar hingga saat ini, tidak ada pimpinan atau panitia yang dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kejaksaan Agung untuk dimintai keterangan karena terindikasi korupsi atau setidaknya melakukan penyelewengan uang negara karena muktamar tidak menggunakan uang negara. Itu yang pertama.

Yang kedua, dalam proses pemilihan, ada sistem (dengan memilih 13 formatur yang sejak awal sudah diseleksi dari bawah) yang membuat pihak mana pun sulit melakukan intervensi. Terpilihnya (kembali) Haedar Nashir sebagai ketua umum dan Abdul Mu’ti sebagai sekretaris umum, murni berdasarkan kehendak anggota muktamar yang memiliki hak pilih yang tecermin dalam jumlah perolehan suara keduanya.

Tidak ada intervensi dari pihak mana pun, telah membuat Muktamar Muhammadiyah ke-48 berjalan damai, mulus tanpa gejolak, sangat kontras, misalnya, dengan aksi ‘adu jotos’ yang mewarnai Musyawarah Nasional (Munas) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) XVII yang digelar setelah Muktamar Muhammadiyah, 21-23 November 2022, di kota yang sama.

Tiga pilar

Ada tiga pilar yang menopang kemandirian Muhammadiyah, yakni ekonomi, politik, dan sumber daya manusia (SDM). Pertama, pilar ekonomi. Dalam laporan Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2015-2022, keuangan yang beredar di pimpinan pusat saja, dengan menghitung amal usaha yang dikelolanya, jumlahnya mencapai triliunan rupiah. Untuk keuangan di tingkat wilayah (provinsi), daerah (kabupaten/kota), cabang (kecamatan), dan ranting (desa/kelurahan) yang dilaporkan di tingkat permusyawaratan masing-masing jumlahnya bisa variatif.

Bisa dibayangkan, jika semua aset Muhammadiyah yang–sesuai laporan saat muktamar–terdiri dari 171 perguruan tinggi, 1.364 SMA (sederajat), 1.826 SMP (sederajat), 2.817 SD (sederajat), 20.233 TK/PAUD, 440 pesantren, 355 rumah sakit/klinik, dan 562 panti asuhan, berikut tanah, gedung, dan lain-lain ikut dihitung. Lalu, termasuk tanah wakaf serta aset yang ada di luar negeri, jumlahnya diperkirakan bisa mencapai lebih dari Rp330 triliun. Dengan aset sebanyak ini, Muhammadiyah bisa menjadi organisasi Islam terkaya, tak hanya di Indonesia, mungkin di dunia.

Sayangnya, tidak semua aset itu telah dikelola secara profesional dan sistemis sehingga bisa dimanfaatkan secara lebih optimal dalam memajukan Muhammadiyah khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Sebagian aset Muhammadiyah masih dikelola secara konvensional dengan mengandalkan prinsip keikhlasan. Keikhlasan itu baik, tapi jika tidak dibarengi dengan profesionalitas dan akuntabilitas akan menjadi persoalan tersendiri. Meskipun demikian, kekayaan Muhammadiyah ini, diakui ataupun tidak, telah menjadi pilar utama kemandirian Muhammadiyah secara ekonomi.

Kedua, kemandirian ekonomi Muhammadiyah berimplikasi pada kemandirian secara politik. Dalam setiap perhelatan politik seperti pemilu dan pilkada, Muhammadiyah tidak bisa ‘dibeli’ baik oleh parpol maupun kandidat pejabat publik. Bahkan, untuk kandidat yang berasal dari kader/aktivis Muhammadiyah pun tidak bisa memanfaatkan organisasi Muhammadiyah untuk kepentingan politiknya.

Dalam setiap menjelang pemilu, Muhammadiyah biasanya mengeluarkan semacam pedoman politik yang menjadi panduan semua warga Muhammadiyah. Dalam panduan, terdapat sejumlah langkah yang boleh dan tidak boleh dilakukan, termasuk pelarangan pimpinan amal usaha Muhammadiyah untuk menjadi caleg atau tim sukses. Semua amal usaha, seperti sekolah, rumah sakit, panti asuhan, panti jompo, panti rehabilitasi, dan lain-lain dilarang digunakan sebagai fasilitas kampanye.

Ketiga, kemandirian dalam bidang SDM. Hal inilah yang membuat pengelolaan semua amal usaha Muhammadiyah (AUM) dijalankan SDM yang digaji secara profesional. Bisa dari kader Muhammadiyah sendiri, bisa juga dari luar Muhammadiyah. Prinsip tata kelolanya mengacu pada sistem meritokrasi. Demikian juga dengan Badan Usaha Milik Muhammadiyah (BUMM) yang terdiri atas perusahaan dan lembaga keuangan. Intinya, dalam soal SDM, Muhammadiyah tidak memiliki ketergantungan kepada pihak mana pun.

Namun, harus diakui, dalam hal SDM ini terdapat kerumitan tersendiri manakala para profesional yang dimiliki Muhammadiyah menjadi bagian dari aparatur pemerintah. Pada saat pemerintah membutuhkan, tidak ada pilihan lain bagi Muhammadiyah selain melepaskannya. Inilah yang terjadi pada saat ada ribuan guru Muhammadiyah yang diangkat menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Mereka yang telah lama dididik dan bekerja di sekolah-sekolah Muhammadiyah harus hengkang karena ditempatkan di sekolah-sekolah negeri.

Ini seyogianya menjadi catatan penting bagi pemerintah. Agar tidak merugikan Muhammadiyah, juga organisasi-organisasi yang lain, seharusnya guru-guru yang diangkat menjadi PPPK itu tetap diberi kebebasan untuk berkhidmat di tempat mengajarnya. Di mana pun mereka mengajar, pada hakikatnya mengabdi untuk negara. Karena Muhammadiyah, juga lembaga-lembaga swasta yang lain, ialah bagian dari negara. Kepada lembaga-lembaga ini seharusnya pemerintah membantu atau menyubsidi ketersediaan guru, bukan malah mengambilnya.

Kekuatan penyeimbang pemerintah

Dalam setiap negara, dibutuhkan satu mekanisme yang secara sistemis bisa mengatur agar negara tetap survive dan mampu meraih cita-cita yang diimpikannya. Sebagai negara, Indonesia memiliki tujuan mulia sebagaimana tercantum dalam pembukaan konstitusi (pembukaan UUD NRI 1945), yakni memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Untuk mencapai cita-cita tersebut, dalam menjalankan pemerintahan, Indonesia menganut sistem demokrasi yang membagi kekuasaan menjadi tiga, yakni kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sistem pembagian kekuasaan itu pertama kali dikemukakan filsuf Inggris John Locke (1632-1704) yang kemudian dikembangkan pemikir Prancis Mostesquieu (1689-1755) menjadi trias politika yang diimplementasikan seperti pembagian kekuasaan yang ada di Indonesia saat ini.

Dalam praktik, trias politika tak selalu berjalan sesuai dengan harapan. Masalah yang muncul biasanya kekuasaan eksekutif terlalu dominan sehingga memandulkan dua kekuasaan yang lain, legislatif dan yudikatif. Dominannya kekuatan eksekutif akan menjadikan kekuasaan yudikatif cenderung terkooptasi dan kekuatan legislatif yang seharusnya menjalankan fungsi kontrol terhadap eksekutif, justru menjadi pendukung yang melegitimasi kebijakan-kebijakan eksekutif. Kondisi semacam itu pernah dialami Indonesia pada era Orde Baru

Setelah Orde Baru tumbang, terjadi penataan sistem politik secara menyeluruh. Tiga cabang kekuasaan berjalan relatif lebih baik dan indeks demokrasi Indonesia juga membaik, dari negara nondemokratis menjadi negara demokratis meskipun masih jauh dari sempurna.

Yang amat disayangkan, kualitas demokrasi Indonesia tidak kunjung naik kelas, stagnan atau bahkan cenderung mengalami penurunan. Salah satu indikatornya ialah melemahnya fungsi kontrol lembaga legislatif. Sebagaimana disinyalir Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta, Paryanto, dalam rubrik Opini Media Indonesia (11/01/2023) bahwa kekuatan legislatif saat ini memiliki kecenderungan kembali sebagai rubber stamp (tukang stempel), sebagaimana yang terjadi pada era Ode Baru.

Dalam situasi politik semacam itu, meskipun bukan sebagai kekuatan politik formal, kemandirian Muhammadiyah bisa menjadi kekuatan penyeimbang yang berada di luar pemerintah. Mandulnya fungsi kontrol lembaga legislatif, sebagai akibat dari koalisi jumbo partai-partai politik pendukung pemerintah, membuat fungsi penyeimbang beralih pada kekuatan masyarakat sipil yang terdiri atas lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi (kampus), kelompok penekan (pressure groups), media massa, dan organisasi kemasyarakatan (Ormas). Hal itu sesuai dengan pendapat Alexis de Tocqueville (1805-1859) yang memandang masyarakat sipil sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara.

Namun, dengan kekuatan minimalis, LSM pun tidak cukup kuat untuk menjadi lembaga yang mampu mengontrol jalannya pemerintahan, kecuali pada kasus-kasus kebijakan parsial. Begitu juga akademisi (kampus) karena terlampau sibuk dengan urusan akreditasi kelembagaan dan upaya memenuhi tuntutan menulis dalam jurnal ilmiah (sinta atau scopus), baik berstandar nasional maupun internasional, tidak sempat lagi membuat kajian mendalam yang bisa mengevaluasi kebijakan pemerintah.

Untuk itu, satu-satunya harapan itu ada pada ormas, tentu dengan catatan yang memiliki kemandirian. Kemandirian Muhammadiyah secara ekonomi, politik, dan SDM patut menjadi pelajaran bagi siapa pun (baik individu maupun organisasi). Dengan kemandiriannya, Muhammadiyah mampu berperan sebagai penyeimbang pemerintah yang konstruktif dengan cara tidak asal mengkritik (nyinyir) dan tidak asal mendukung (tanpa reserve).

Kritik-kritik Muhammadiyah terhadap pemerintah senantiasa dilandasi dengan argumentasi yang memadai karena didahului dengan rapat/rembukan yang menghadirkan para ahli di bidangnya. Jika ada kritik yang kurang argumentatif, bisa dipastikan berasal dari individu yang mungkin saja aktivis atau bahkan pimpinan Muhammadiyah, tetapi kritik yang dilontarkan sejatinya tidak mewakili Muhammadiyah secara kelembagaan.

Kekuatan kritik itu selain karena didasarkan pada argumentasi, karena kemandirian. Jika Muhammadiyah selalu berharap pada bantuan pemerintah atau memiliki ketergantungan pada pemerintah, tidak mungkin bisa mengritik. Ormas yang rajin meminta bantuan pada pemerintah atau memiliki ketergantungan pada pemerintah, alih-alih menjadi penyeimbang, malah menjadi kuasi pemerintah.

Sumber: https://m.mediaindonesia.com/opini/556520/pilar-kemandirian-muhammadiyah

Pemenuhan Hak-hak Disabilitas dalam Islam

“Carilah untuk-ku orang-orang yang lemah di antara kalian. Karena kalian diberi rejeki dan kemenangan karena membantu orang-orang yang lemah di antara kalian.” (HR. Abu Dawud)

“Kalian diberi kemenangan dan rejeki karena membantu orang-orang yang lemah di antara kalian.” (HR. Bukhari)

 

Penyandang disabilitas memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indoesia, sudah sepantasnya penyandang disabilitas mendapatkan perhatian khusus karena selama ini dirasakan adanya kesulitan yang dihadapi penyandang disabilitas dalam mengakses dan menikmati haknya sebagai warga negara. Hal ini dapat menghambat perwujudan kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi.

Menurut data yang dihimpun oleh Kemensos melalui Sistem Informasi Manajemen Penyandang Disabilitas (SIMPD), hingga tanggal 13 Januari 2021, jumlah penyandang disabilitas yang terdata sejumlah 209.604 individu. Angka ini jauh lebih kecil dari perkiraan WHO yang memprediksi bahwa jumlah penyandang disabilitas di setiap negara  diprediksi mencapai  15% dari jumlah  penduduk. Bila jumlah penduduk  Indonesia 237.641.326 jiwa, maka menurut perkiraan WHO-PBB jumlah penyandang disabilitas di Indonesia menjadi setara dengan 35 juta jiwa.

Penyandang disabilitas di Indonesia masih mendapatkan perlakuan diskriminatif. Mereka mengalami hambatan dalam mengakses layanan umum, seperti akses dalam layanan pendidikan, kesehatan, maupun dalam hal ketenagakerjaan. Dalam kehidupan beragama, kekurangan akses dan fasilitas yang berpihak pada penyandang disabilitas juga perlu menjadi perhatian kita semua. Di sinilah pentingnya menyusun konsep utuh tentang fikih yang ramah terhadap penyandang disabilitas. Selain memberikan dasar teologis keberpihakan Islam terhadap mereka, juga memberikan panduan bagi mereka untuk melakukan ibadah sesuai dengan kondisi dan kemampuannya.

Sebagian besar masyarakat menganggap disabilitas adalah takdir dari Tuhan. Tuhan yang menentukan apakah seseorang memiliki keterbatasan atau tidak. Manusia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah menjalaninya. Sebagian beranggapan bahwa disabilitas adalah aib atau bahkan kutukan.

Terhadap kelompok disabilitas, orang yang memiliki cara pandang ini akan meminta agar mereka bersabar dan berdoa semoga diberi kekuatan di tengah berbagai keterbatasan mereka. Sementara, terhadap masyarakat, mereka meminta agar masyarakat menyantuni mereka karena mereka memang dianggap memiliki keterbatasan. Menyantuni kelompok-kelompok disabilitas adalah kebajikan.

Cara pandang inilah yang melahirkan stigma terhadap penyandang disabilitas. Beberapa bentuk stigma terhadap kaum disabilitas adalah bahwa mereka  kelompok yang lemah, tidak berdaya, tidak memiliki kemampuan, tidak dapat berbuat sesuatu yang berarti, tidak beruntung, sakit, tidak normal, tidak lengkap, dan sejenisnya.

Stigma ini biasanya diikuti dengan berbagai bentuk diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas. Diskriminasi ini tidak hanya dalam fasilitas-fasilitas publik yang tidak memberi akses yang memadai bagi penyandang disabilitas, tetapi terutama akses informasi, pendidikan, dan pekerjaan.

Cara pandang seperti ini harus diperbaiki, bahwa disabilitas bukan hanya soal takdir, juga bukan semata-mata fenomena manusiawi. Disabilitas adalah konstruksi sosial-politik. Oleh karena itu, tanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak disabilitas tidak hanya dipikul oleh penyandang disabilitas sendiri dan keluarganya, tetapi juga tanggung jawab masyarakat, ormas dan terutama negara (pemerintah). Dengan cara pandang ini, maka membangun situasi sosial yang ramah disabilitas adalah kewajiban, bukan sekadar kebaikan. Inilah yang diamanatkan dalam UU no. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Namun, hingga saat ini, layanan dan fasilitas publik yang ramah disabilitas masih sangat terbatas. Layanan pendidikan dan kesehatan sebagai kebutuhan dasar setiap manusia juga masih jauh dari harapan. Banyak pengalaman penyandang disabilitas yang memprihatinkan ketika berobat. Sementara lembaga pendidikan pada umumnya masih sangat sedikit yang mampu mengakomodasi dan memberi kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk bisa mendapat pendidikan sebagaimana layanya anak-anak didik lainnya.

Hambatan kalangan disabilitas dalam melaksanakan hak-hak keagamaan nyaris tidak kalah seriusnya. Tempat-tempat ibadah misalnya masjid, nyaris tidak ada yang aksesible terhadap disabilitas. Hambatan kelompok disabilitas di bidang keagamaan tidak terbatas pada aspek-aspek ibadah, tetapi juga aspek-aspek lain. Beberapa aspek lain dari bidang keagamaan antara lain:

Pertama, terbatasnya bahan bacaan keagamaan (Qur’an, hadits, fiqh, dst) untuk kaum disabilitas untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama. Keterbatasan bahan-bahan bacaan ini terutama untuk tuna netra tentu membuat akses mereka untuk bisa memperoleh pengetahuan agama secara mandiri menjadi sangat terbatas.

Kedua, terbatasnya da’i dan ustadz dari kalangan disabilitas. Ini menjadi persoalan karena para da’i dan ustadz yang ada sekarang tidak sepenuhnya punya perspektif yang ramah disabilitas. Akibatnya, kalangan disabilitas seringkali merasa tidak nyaman dengan ustadz-ustadz atau da’i yang tidak memiliki sensitivitas terhadap disabilitas.

Ketiga, majlis ta’lim atau kegiatan-kegiatan keagamaan tidak assesible terhadap kalangan disabilitas. Disamping tempat penyelenggaraan kegiatan-kegiataan keagamaan tersebut kurang  aksesible, jamaah sendiri seringkali punya stigma atau prasangka negative terhadap kelompok disabilitas, sehingga mereka juga tidak merasa enjoy berada di tempat pengajian. Belum lagi penceramahnya jarang yang punya sensitivitas terhadap kelompok disabilitas.

Keempat, sebagian besar penyandang disabilitas tidak memiliki pemahaman keagamaan yang memadai. Ini bisa dimaklumi karena akses untuk memperoleh pengetahuan agama sangat terbatas. Akses untuk ini hanya bisa dipenuhi oleh keluarga, itu pun jika keluarganya memiliki pengetahuan agama yang memadai dan punya waktu yang cukup untuk mengajari.

Kelima, problem disabilitas muslimah. Ini lebih rumit lagi karena perempuan memiliki masalah yang lebih kompleks dari laki-laki. Sehingga mereka memiliki hambatan dan kesulitan yang jauh lebih sulit ketimbang kelompok disabilitas laki-laki.

Islam tak memandang penyandang disabilitas itu secara negatif. Islam memandang hal itu sebagai ujian. Pertama, ujian bagi yang penyandang disabilitas, apakah yang bersangkutan bisa sabar atau tidak. Kedua, juga ujian bagi pihak lain, apakah mereka memiliki kepedulian pada penyandang disabilitas atau tidak. Bahkan, dalam perspektif Islam, orang-orang dengan sejumlah keterbatasan itu dinilai sebagai sumber kekuatan. Rasulullah Saw bersabda:

“Carilah untuk-ku orang-orang yang lemah di antara kalian. Karena kalian diberi rejeki  dan kemenangan karena membantu orang-orang yang lemah di antara kalian”. (HR. Abu Dawud)

“Kalian diberi kemenangan dan rejeki karena membantu orang-orang yang lemah di antara kalian”. (HR. Bukhari)

Terlebih mereka menyandang disabilitas bukan atas kehendak mereka sendiri. Karena itu, dalam perspektif Islam, menghargai penyandang disabilitas adalah menghargai ciptaan Allah. Mereka punya hak untuk dihormati dan dihargai sebagaimana manusia pada umumnya. Artinya, seperti manusia lain, penyandang disabilitas juga memiliki karamah insaniyah (martabat kemanusiaan). Allah berfirman dalam al-Qur’an:

“Dan sungguh Kami muliakan anak cucu Adam.” (QS Al-Isro’, 70)

Karena penyandang disabilitas tetap diwajibkan menjalankan syari’at Islam, maka negara punya kewajiban bukan hanya membuat kebijakan melainkan juga menyediakan fasilitas publik yang ramah terhadap penyandang disabilitas. Kepala negara bertanggung jawab atas warga negaranya. Rasulullah SAW bersabda:

“Kepala Negara harus bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Dan dia akan dimintai pertanggung jawaban.” (HR. Bukhari)

Dari hadits inilah lahir kaidah ushul fiqh yang sangat populer: tasharruful ilam ala al-ra’iyah manuthun bil mashlahah. Kebijakan pemimpin (kepala negara) terhadap rakyat harus berorientasi pada kemaslahatan, tentu saja termasuk kemaslahatan penyandang disabilitas.

 

Ust. Masykurudin Hafidz, direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta.

 

e-Buletin Jumat edisi 48, tanggal 31 Desember 2021 M. / 27 Jumadil Awal 1443 H., dapat diunduh disini

 

Meluruskan Makna Syirik

Syirik merupakan salah satu bahasan penting dalam Islam. Pembahasan ini sudah banyak dilakukan oleh para ulama, khususnya ulama kalam (ahli teologi), baik ulama klasik maupun mutakhir. Secara sederhana, syirik adalah menyekutukan Allah dengan lainnya dalam lingkup akidah. Namun, belakangan ada berkembang pandangan yang memperluas makna syirik tidak hanya dalam lingkup akidah tetapi juga ke wilayah hukum dan sistem lain selain hukum Allah Swt. Menurut pandangan kelompok ini, berpegang dan menjalankan hukum selain hukum Allah disebut syirik, bahkan disebut ‘syirik akbar’; syahadatnya batal dan bahkan disebut kafir. Pandangan ini didasarkan pada ayat:“Dan Allah tidak menyekutukan dalam ‘hukum’-Nya pada seorangpun.” (Qs. Al-Kahf: 26).

Dari ayat tersebut mereka berkesimpulan bahwa setiap orang yang menyekutukan hukum Allah Swt., yakni menganut hukum yang tidak dibuat oleh Allah Swt., maka mereka termasuk golongan orang yang musyrik. Termasuk, orang-orang yang membuat peraturan perundang-undangan melalui lembaga kenegaraan seperti parlemen (DPR/MPR), para pembuat kebijakan yang tidak merujuk kepada Al-Quran sebagai representasi hukum Allah Swt., orang yang membuat dan mengikuti hukum positif, para pelaksana hukum positif seperti hakim, pengacara, jaksa dan polisi. Menurut mereka, para pembuat dan pelaksana hukum positif telah merebut hak membuat peraturan yang hanya dimiliki oleh Allah Swt. Mereka menyekutukan Allah dalam pembuatan hukum atau peraturan.

Hal ini bisa dilihat dari firman Allah SWT dalam Qs. Al-Anʽam ayat 82:

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman.”

Ketika ayat ini disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada para sahabat, mereka heran. Mereka merasa bahwa mereka tidak bisa terlepas dari perilaku zalim. Mendengar hal itu, kemudian Rasul mengatakan, “Tidak itu, yang dimaksud zalim dalam ayat ini adalah sebagaimana pesan Luqman kepada putranya, Inna al-Syirka la dzulmun ʽadzīm (Qs. Luqman: 13), yaitu syirik.”

Hubungan kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa syirik bukanlah berpaling dari Allah menuju tuhan lain selain Allah, melainkan menduakan Allah atau menganggap dzat lain sama dan memiliki persamaan dengan Allah.

Abdurrahman al-Saʽdī (w. 1376 H) memberikan definisi yang lebih gamblang. Menurutnya, yang dimaksud syirik adalah menyembah makhluk sebagaimana menyembah Allah atau mengagungkan makhluk sebagaimana mengagungkan Allah, atau menyandarkan hal-hal yang menjadi kekhususan Tuhan (rubūbiyyah dan ulūhiyyah) kepada makhluk,  seperti berdoa dan memohon kepada makhluk sebagaimana berdoa dan memohon kepada Allah, takut kepada makhluk seperti takut kepada Allah, atau melakukan hal-hal lain dalam hal ibadah kepada makhluk.

Menurut Ibn Mandzūr, syirik adalah menyekutukan Allah dalam hal ketuhanan, yakni menuhankan dzat lain selain Allah, padahal tidak ada yang mampu menyamai Allah Swt.  Sedangkan menurut Ibn ʽAsyur (w. 1393 H), syirik adalah menyekutukan Allah dengan hal lain dalam perkara ketuhanan dan ibadah.  Ibn Mandzur menambahkan dengan mengutip Abu al-ʽAbbas, bahwa syirik bukan berarti hanya menyembah selain Allah dan meninggalkan Allah. Yang dimaksud syirik adalah menyembah Allah dan sesembahan lain selain Allah.  Atau dalam bahasa lain, menduakan Allah.

Dalam al-Quran, kata syirik dan derivasinya ditemukan sebanyak 168 kata dengan 63 kata yang berbeda. Namun tidak semua derivasi kata syirik tersebut menjelaskan syirik sebagaimana yang dimaksud dalam definisi di atas. Al-Raghib al-Asfahānī hanya menyebutkan 11 ayat yang berkaitan dengan syirik kepada Allah dan membaginya menjadi dua bagian: Pertama, ayat-ayat yang menjelaskan syirik besar (al-Syirk al-adhim), seperti Qs. Al-Nisā’: 48 dan 116, Qs. Al-Maidah: 72, Qs. Al-Mumtahanah: 12, dan Qs. Al-Anʽam: 148. Kedua, ayat-ayat yang menjelaskan syirik kecil: Qs. Al-A’raf: 190, Qs. Yūsuf: 106, Qs. Al-Kahf: 110, Qs. Al-Taubah: 5 dan 30, dan Qs. Al-Ḥāj: 17.

Dari ayat-ayat tentang syirik di atas terlihat bahwa syirik dalam al-Quran selalu berkaitan dengan empat hal. Pertama, kafir. Yakni tidak menyembah Allah Swt dan ber-Islam, melainkan beragama Yahudi, Nasrani dan agama-agama lain di luar Islam, sebagaimana tercantum dalam Qs. Al-Hajj: 17, al-Taubah: 5, al-Anʽam: 148, dan al-Maidah: 172. Walaupun demikian kategori pertama ini tidak bisa serta merta diperangi, kecuali kafir yang memerangi muslim terlebih dahulu.

Kedua, menyekutukan Allah Swt. atau menyembah, meminta dan menghamba kepada hal lain selain Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Qs. Al-Nisa’: 48 dan 116, dan Qs. Al-Mumtahanah: 12.

Ketiga, riya’(pamer) dalam beribadah. Yakni beribadah tidak semata-mata diniatkan karena Allah Swt. melainkan karena orang lain. Syirik ini disebut oleh Rasul sebagai syirik kecil, yakni syirik yang bisa terjadi ke semua muslim. Sebagaimana disebutkan dalam Qs. Al-Kahf: 110.

Keempat, terlena dengan nikmat yang diberikan oleh Allah Swt dan lupa bersyukur kepada Allah Swt. Sebagaimana kisah Nabi Adam dan Hawa yang memiliki putra namun lupa bersyukur, sebagaimana dijelaskan dalam Qs. Al-A’raf: 190. Juga lupa kepada Allah saat bahagia, dan baru ingat kepada Allah saat sengsara, sebagaimana disebutkan dalam Qs. Yūsuf: 106.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa syirik selalu berkaitan dengan tiga hal, yaitu syirik ilahiyah,seperti menyekutukan Allah Swt.; syirik rububiyah,seperti menganggap atau berkeyakinan bahwa ada hal lain yang bisa mengatur segala hal di alam semesta selain Allah Swt.; dan yang terakhir adalah syirik asghar,seperti meniatkan amalan ibadah yang dilakukan bukan untuk Allah Swt.

Kata “hukum” dalam Qs. Al-Kahf: 26 yang dijadikan landasan ‘syirik dalam hukum dan pemerintahan’sebetulnya tidak tepat. Kata “hukum” di situ berarti ketentuan Allah terhadap ashabul kahfi, jumlah mereka, berapa lama mereka tertidur, dan bagaimana mereka kembali terbangun. Allah tidak membagi kekuasaan-Nya pada orang lain , mengatur semua kisah ajaib yang terjadi pada ashabul kahfi. Bukan “hukum” dalam artian hukum atau sistem yang digunakan dalam sebuah negara.

Hal ini diperkuat dengan pendapat para mufassir yang menyebutkan bahwa kata “hukum” dalam ayat tersebut berkaitan dengan masa atau waktu tidur ashabul kahfi.Al-Baghawi (w. 516 H.) misalnya mengatakan bahwa maksud “hukum” dalam Qs. Al-Kahf: 26 adalah pengetahuan tentang perkara gaib seperti detail cerita ashabul kahfi yang ajaib. Hukum dalam konteks ini adalah ilmul gaib, yang maksudnya bahwa Allah Swt. tidak bersekutu dengan seorangpun dalam mengetahui perkara gaib.”

Menurut Imam Nawawi al-Bantani dalam Marāḥ Labīdz,ayat tersebut menunjukkan bahwa kita tidak boleh bertanya pada seorangpun tentang apa yang sudah diberitahukan Allah Swt. terkait jumlah ashabul kahfi serta lamanya mereka tertidur dalam gua. Kita memang diperbolehkan untuk mendiskusikan kisah ashabul kahfidi dalam gua, tapi harus dibatasi pada keputusan Allah Swt. Kita tidak diperbolehkan untuk menyekutukannya terkait pengetahuan atas peristiwa ini.

Jika memang benar bahwa Allah Swt., menolak hukum yang dibuat oleh manusia, maka Allah Swt. tidak mungkin menyuruh manusia untuk bermusyawarah yang tujuannya adalah membuat keputusan atau produk hukum sebagaimana ditunjukkan dalam Qs. Al-Syuara ayat 38.

Wallahu a’lam bi al-Shawab.

Ust. M. Alvin Nur Choironi,redaktur Islamidotco, mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, alumni Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences.

 

e-Buletin Jumat edisi ke 47 tanggal 24 Desember 2021 M. / 20 Jumadil Awal 1443 H. dapat diunduh disini

Jihad Demi Kemanusiaan

“Nabi bertanya, ‘Siapakah yang kalian anggap syahid?’ Mereka menjawab, ‘Wahai Rasulullah, orang yang terbunuh di jalan Allah, dialah syahid itu.’ Nabi bersabda, ‘Jika demikian, para syahid di kalangan umatku sedikit.’ Mereka bertanya, ‘Lalu siapakah para syahid itu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang terbunuh di jalan Allah adalah syahid, orang yang meninggal dunia di jalan (ketaatan) Allah adalah syahid, orang yang mati karena penyakit kolera adalah syahid, orang yang mati dalam kandungan adalah syahid’.”  (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

 

Jihad sering disandingkan dengan syahid. Tentu kedua doktrin ini berkaitan. Tetapi jihad bukan perkara yang mudah. Begitu pula syahid, bukan perkara sederhana. Keduanya rumit dan sulit. Keduanya adalah capaian tertinggi dalam Islam. Jika jihad dan syahid sesederhana dan semudah meledakkan diri dalam bom bunuh diri, tentulah seluruh umat Islam telah melakukannya sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Di samping janji surga yang begitu memukau dari jihad dan kesyahidan, ada ancaman neraka yang mengerikan bagi umat Islam yang bunuh diri.

Dalam Al-Qur’an, kata “syahid” dalam bentuk tunggal (mufrad) disebut 35 kali. Dari 35 kata syahid dalam Al-Qur’an, tak satu pun mengacu pada pengertian pahlawan yang gugur dalam jihad di jalan Allah, melainkan dalam arti saksi untuk berbagai transaksi kebendaan seperti jual beli atau kesaksian manusia secara umum atau kesaksian Allah dan Rasul-Nya.

Dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa manusia (dan jin) diciptakan untuk beribadah. Namun, ibadah bukan semata ritual untuk Tuhan, tapi juga muamalahuntuk kemaslahatan manusia. Kita diperintahkan bertauhid dengan syahadatbukan semata-mata untuk Allah Swt, karena Allah Swt tidak butuh ibadah dari umatnya. Maka perintah tauhid agar tak menyembah selain-Nya karena penyembahan pada selain yang pantas disembah hanya akan menyisakan tirani.

Shalat dalam Al-Qur’an sebagai sesuatu untuk menjauhkan pelakunya dari kekejian dan kemunkaran (Al-‘Ankabut: 45); serta sebaliknya: neraka Waylbagi mereka yang shalat untuk riya’ dan tak mau memberi pertolongan (Al-Ma’un: 4-7). Zakat menjadi sia-sia jika diikuti kata-kata yang melukai (Al-Baqarah: 264). Bahkan, dalam hadis ditegaskan bahwa akhlak yang buruk justru bisa merusak amal, seperti cuka merusak madu atau di hadis lain dimisalkan seperti api melalap kayu bakar (HR. Ibn Majah).

Puncaknya, siapa yang mendustakan agama? Mereka yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi pada orang miskin (Al-Ma’un: 1-3), sebagaimana Nabi katakan bahwa agama adalah akhlak yang baik. Atau di hadis lain, dikatakan bahwa kuat atau lemahnya iman bergantung pada akhlak. Dan sebaliknya, kata kafir dalam Al-Qur’an dihubungkan dengan “tidak setia” (Luqman: 32), “penghianat” (Al-Hajj: 38), “pendusta” (Az-Zumar: 3), “kepala batu” (Al-Qaf: 24). Kita bisa membeberkan sederet ayat dan hadist tentang ini.

Oleh karena itu, jika kita membaca dan memahami maqasid asy-syari’ah (tujuan-tujuan syariat), maka akan terlihat jelas bahwa dari lima tujuan syariat, empat di antaranya berorientasi kemanusiaan. Pertama,hifzh al-din (menjaga agama); kedua,hifzh al-mal (menjaga harta benda); ketiga, hifzh al-nafs (menjaga kehidupan); keempat,hifzh al-‘aql (menjaga akal); dan kelima, hifzh al-nasl (menjaga keturunan) atau kadang disebut hifzh al-‘rdl (menjaga kerohmatan).

Di sinilah kita penting mencermati dan mengkaji doktrin syahid secara mendalam. Kita diajarkan dalam doktrin qurban dalam Islam yang diawali sejak Nabi Ibrahim bahwa Tuhan kita, sebagaimana diajarkan Nabi Ibrahim, bukanlah Tuhan yang haus darah dan butuh persembahan nyawa dari hamba-Nya, sebagaimana tradisi kaum Masokhis yang berkembang jauh sebelum masa Ibrahim. Karenanya, meskipun Dia yang memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih Nabi Ismail, namun Dia sendiri pula yang kemudian menggantinya dengan domba, sesaat sebelum Nabi Ismail disembelih oleh Nabi Ibrahim.

Untuk konteks zaman itu, digantinya Ismail dengan domba lebih sebagai bentuk teguran dan upaya-Nya untuk meruntuhkan tradisi mengorbankan manusia atas nama Tuhan ala kaum Masokhis, khususnya anak-anak yang lahir dengan jenis kelamin perempuan. Dia adalah Tuhan yang sangat memuliakan kehidupan manusia. Sehingga, nilai-nilai kemanusiaan menjadi salah satu pesan mendasar dan utama dalam setiap agama yang diturunkan melalui para nabi-Nya, dari sejak Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa hingga Nabi Muhammad.

Adapun untuk masa kini, saat mayoritas manusia tak lagi memiliki tradisi ala kaum Masokhis, maka sejatinya peristiwa itu sangat relevan dijadikan landasan naqly(teologis) guna mengkritik umat beragama yang masih memiliki kecenderungan melakukan tindakan kekerasan kepada sesama manusia atas nama Tuhan dan mempersembahkan dirinya atas nama kesyahidan untuk Tuhan yang mereka salah pahami. Di tingkat makna, qurban sebenarnya pelajaran bagi manusia untuk pula “menyembelih” sifat, naluri, serta berbagai kecenderungan kebinatangan yang ada dalam diri mereka yang menyebabkan mereka menjadi buas pada sesama atau bahkan dirinya sendiri atas nama kesyahidan yang salah kaprah.

Aksin Wijaya, guru besar Ilmu Al-Quran dan Tafsir dan Direktur Pascasarjana IAIN Ponorogo menawarkan pendekatan antoposentris; pertama,agama dihadirkan Tuhan untuk manusia sebagai hak untuk dipilih akan mengikutinya atau kafir atasnya. Sehingga, hak asasi manusia (termasuk dalam beragama) dijunjung tinggi di sini. Kedua,nabi sebagai mandataris Tuhan adalah manusia biasa, meskipun ia menerima wahyu. Tak ada seorang nabi ‘pun, termasuk Nabi Muhammad yang bukan manusia biasa. Ketiga,Al-Qur’an sebagai sumber asasi agama bersifat ilahi-basyari: ia dari Allah, tapi diperuntukkan pada manusia. Keempat, maqashidIslam, sebagaimana menurut Imam Syatibi, hadir untuk memilihara lima unsur asasi manusia (ushul khamsah): kebebasan beragama, kebebasan berpikir, hak hidup, hak mendapat keturunan, dan hak mendapatkan harta.

Lebih lanjut, Haidar Bagir (seorang pemikir Islam) melalui gagasan “Islam Cinta” meneguhkan bahwa prinsip dasar Islam adalah cinta. Bagaimana tidak? Pertama,Tuhan adalah Allah yang sifat utamanya adalah Ar-Rahman(Maha Pengasih)dan Ar-Rahim(Maha Penyayang) yang rahmat (kasih sayang)-Nya meliputi segala sesuatu. Kedua,nabinya, yakni Nabi Muhammad adalah Nabi Ar-Rahmah(nabi penuh cinta) yang tugas utamanya adalah menebar rahmat dan meneguhkan akhlak yang mulia. Ketiga,nama Islam itu sendiri berarti “damai”. Keempat,umat Islam dalam setiap pertemuannya dengan selainnya diperintahkan mengucapkan salam perdamaian dan cinta: assalamualikum warahmatullahi wabarokatuh. Siapa bisa membantah bahwa di atas semuanya Islam adalah agama cinta? Maka, simpul segala hal terkait Islam haruslah cinta. Jika ‘pun ada ruang untuk benci, ia ditujukan pada perbuatan buruk, bukan pelakunya.

Merujuk pada kesyahidan Sayyidina Husain (cucu Nabi Muhammad) di Karbala (Irak) pada 61 H dalam pembantaian paling sadis oleh rezim Yazid bin Muawiyah, menurut Haidar Bagir, ia berbasiskan cinta. Karena itu, pondasi utama jihad dan kesyahidan haruslah cinta. Kecintaan kita agar tak ada manusia apa pun yang terus terjebak ke dalam keburukan.

Di samping itu, kesyahidan Sayyidina Husain pasti bukan lantaran ambisi berkuasa. Ia berkata, “Butalah mata seseorang yang tidak menganggap bahwa Engkau mengawasinya. Merugilah peniagaan seseorang yang belum memperoleh cinta-Mu sebagai labanya.”Dalam kesempatan lain berkata, “Apakah gerangan yang diperoleh seseorang yang kehilangan Diri-Mu? Masih adakah kekurangan bagi seseorang yang mendapatkanmu?”

 

Ust. Husein Ja’far Al Hadar, Konten Kreator Dakwah, Direktur Akademi Kebudayaan Islam Jakarta, dan aktivis Gerakan Islam Cinta.

 

e-Buletin Jumat edisi 46, tanggal 17 Desember 2021 M. / 13 Jumadil Awal 1443 H. dapat diunduh disini

Jaminan Hak-hak Warga Negara dalam Islam

blank

 

Mayoritas ulama Ahl al-Sunnah Wal Jamaahsejak awal bersepakat (Ijma’) bahwa zaman Rasulullah Saw adalah zaman keemasan Islam.Model dakwah di era Nabi Muhammad Saw juga model dakwah paling ideal.Rasulullah Muhammad Saw senantiasa mengedepankan dakwah dengan hikmah dan kebijaksanaan, kecuali dalam keadaan terpaksa. Tidak ada Nabi atau utusan Allah Swt yang sebanding dengan Rasulullah Muhammad Saw, khususnya dalam melindungi kepentingan umat Islam sendiri. Lalu, bagaimana Nabi Muhammad Saw melindungi warga masyarakat lain?

Rasulullah Saw telah memberikan teladan ideal bagi kita bersama ketika beliau melindungi dan menjamin hak-hak sipil warga masyarakat selain umat Islam, termasuk ketika Nabi Muhammad Saw memberi jaminan status konstitusional kepada kaum Nasrani Najran. Jaminan perlindungan ini berbentuk perjanjian damai, maklumat bersama, kontrak sosial dan kesepakatan kedua pihak, mashur dengan sebutan Perjanjian Najran (Shulh Najran)pada tahun 10 Hijriyyah. Jaminan perlindungan Nabi Muhammad Saw kepada Kaum Najran ini sekaligus menjadi salah satu momen paling bersejarah yang harus tetap menjadi acuan kita sebagai umat Islam dalam berbangsa dan bernegara bersama para pemeluk agama yang lain.

Imam al-Tabrani dalam kitab Tafsir al-Kabir(Vol 3, h. 162), Imam Ibnu Sa’ad dalam kitab Tabaqat al-Kubra (Vol 1, h. 288) dan Imam al-Baladhuri dalam kitab Futuh al-Buldan(Vol 1,h. 90) mengutip riwayat yang secara langsung terkait dengan Jaminan dan perlindungan Rasulullah Saw kepada Kaum Nasrani Najran, sebagaimana kutipan pendek berikut:“Dengan Nama Allah Swt yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Surat ini merupakan jaminan perlindungan Rasulullah Muhammad Saw kepada kaum Nasrani Najran bahwa seluruh kaum Nasrani Najran berada dalam jaminan perlindungan Allah Swt dan jaminan perlindungan Rasulullah Muhammad Saw, baik darah, jiwa, harta, agama, tanah, pendeta dan uskup mereka; mereka yang hadir dan yang absen dari kalangan mereka serta yang lainnya; termasuk semua utusan dan para simpatisan mereka. Kepercayaan mereka tidak boleh diganggu, termasuk hak mereka dan para simpatisannya. Uskup dan pendeta mereka tidak boleh diganggu karena keuskupan dan kependetaan mereka, termasuk ritual dan sakramen mereka atas apa yang mereka miliki, baik sedikit maupun banyak. Mereka juga tidak boleh dibebani melebihi kemampuan mereka”.

Imam Humaid bin Zanjawih dalam kitab al-Amwal (h. 244-245) mencatat, setelah Rasulullah Muhammad Saw meninggal dunia,perjanjian Najran (Shulh Najran)ini tetap diberlakukan hingga masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq ra. Perjanjian ini mengalami beberapa kali amandemen di masa Khalifah Umar bin al-Khattab dan juga perubahan di era Khalifah Usman bin Affan sebab beberapa perubahan sosial kemasyarakatan. Namun demikian, jaminan perlindungan atas hak-hak warga masyarakat yang menjadi ruh konstitusi (perjanjian) ini tetap lestari dan utuh.

Selain Perjanjian Najran (Shulh Najran), saat berdakwah di wilayah Khaibar, Rasulullah Muhammad Saw juga secara publik memaklumatkan peraturan tentang hak kepemilikian penuh pemeluk Yahudi Khaibar yang tidak boleh diganggu gugat.Maklumat Khaibar ini tertuang dalam hadis Nabi Muhammad Saw melalui jalur riwayat Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab MusnadAhmad(Vol 4, h. 89), Imam Abu Dawud dalam kitab al-Sunan (Vol 3, 356) dan dikutip juga oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Adhim (Vol 8, h. 294) dari sahabat Khalid bin al-Walid ra, sebagai berikut:“Kami pernah ikut berperang bersama Rasulullah Muhammad Saw dalam perang Khaibar. Setelah mengetahui kemenangan, maka para sahabat dengan cepat masuk ke dalam benteng Kaum Yahudi. Tiba-tiba Rasulullah Muhammad Saw memerintahkan aku untuk mengumandangkan azan. Kemudian Nabi Muhammad Saw bersabda seraya menyeru: “Sesungguhnya kalian telah masuk dengan bergegas ke dalam benteng kaum Yahudi. Ingatlah, harta orang-orang Yahudi yang dalam perjanjian (amwal al-mu‘ahidin)tidak halal bagi kalian semua kecuali dengan alasan yang benar”.

Imam al-Thabrani dalam kitab al-Mu‘jam al-Kabir (Vol 4, 111) mencatat, maklumat Rasulullah Muhammad Saw ini senada dengan beberapa riwayat hadis lain yang berbunyi berikut:“Ingatlah kalian semua, tidak halal harta non muslim yang berada di dalam perjanjian tanpa alasan yang benar”.

Imam al-Daruquthni dalam kitab al-Sunan (Vol 4, 287) juga meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi berbeda, sebagai berikut: “Sahabat Khalid bin al-Walid Ra berkata: dalam perang Khaibar, Rasulullah Muhammad Saw mengharamkan harta non Muslim yang berada dalam ikatan perjanjian(amwal al-mu‘ahidin).”

Imam al-Baihaqi dalam kitab al-Sunan al-Kubra (Juz 9: 85) menulis, jaminan perlindungan yang diteladankan Rasulullah Muhammad Saw di atas dilanjutkan oleh hampir mayoritas pembesar sahabat penerus, termasuk salah satunya di era khalifah Abu Bakar al-Shiddiq Ra. Di era ini, warga sipil diperlakukan sama dan setara sebagaimana warga muslim lainnya. Terbukti, dalam setiap ekspedisi militer, Abu Bakar al-Shiddiq selalu memberikan perintah khusus kepada komandannya, sebagai berikut:“Janganlah kalian semua berbuat kerusakan di muka bumi dan janganlah melanggar perintah. Janganlah engkau menebang dan membakar pohon kurma. Janganlah engkau menyembelih binatang dan janganlah menebang pohon yang sedang berbuah. Janganlah merobohkan tempat ibadah, janganlah membunuh anak-anak, orang tua renta dan wanita-wanita. Kalian akan menjumpai orang-orang yang berlindung di tempat-tempat ibadah, maka biarkanlah mereka itu dan tempat persembunyian mereka itu”.

Husain al-Din al-Hindi dalam kitab Kanz al-Ummal juga menulis, Abu Bakar al-Shiddiq Ra selama berdakwah juga memberi batasan dan larangan, termasuk melarang kepada setiap pasukan Islam untuk mengeksekusi orang yang lemah tak berdaya, orang yang sakit, dan termasuk di dalamnya para tokoh-tokoh agama, merobohkan tempat ibadah, dan melarang siapapun yang berlindung di tempat-tempat ibadah tidak boleh dilukai, disakiti terlebih hingga sampai menumpahkan darah mereka.

Berdasarkan riwayat dan hadis yang menjelaskan tentang perjanjian, maklumat, deklarasi dan dokumen kesepakatan antara Rasulullah Muhammad Saw dengan Kaum Nasrani Najran dan Kaum Yahudi Khaibar di atas serta teladan Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq Ra di atas, maka setiap warga sipil berhak mendapatkan jaminan perlindungan. Dari kisah-kisah di atas, bisa disimpulkan beberapa hal:

Pertama, setiap warga masyarakat apapun latarbelakang agama dan sukunya yang terikat dalam perjanjian damai harus mendapatkan perlakuan yang sama dan setara di mata hukum.

Kedua, kita sebagai individu maupun kelompok dalam kapasitas apapun, baik sebagai pemimpin atau pejabat maupun warga biasa harus senantiasa merujuk teladan Rasulullah Muhammad Saw, yakni memberi rasa aman, nyaman dan jaminan perlindungan kepada setiap warga masyarakat apapun latarbelakang agama dan sukunya dari gangguan apa saja.

Ketiga, kita perlu mendorong pemerintah Indonesia melindungi dan menjamin kehormatan, nyawa, dan kepemilikian harta benda setiap warga masyarakat apapun latarbelakang agama dan sukunya.

Keempat, masyarakat haus melindungi dan turut menjaga tempat ibadah setiap warga masyarakat apapun latarbelakang agama dan sukunya agar terjaga kesuciannya.

Kelima, setiap warga masyarakat apapun latarbelakang agama dan sukunya memiliki hak otonom dan setara untuk bisa menentukan pemimpin mereka sendiri tanpa boleh dicapuri oleh kepentingan di luar pemeluk mereka sendiri.

Wallahu A’lam bisshawab.

 

Ust. Dr. Badrus Samsul Fata, MA, pengajar Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

 

e-Buletin Jumat edisi ke 45, 10 Desember 2021 M./ 06 Jumadil Awal 1443 H. dapat diunduh disini

Festival Budaya Damai: Sayembara Pembuatan Video Pendek untuk Pelajar SMA/SMK/MA