Nama-nama Penerima MAARIF Fellowship (MAF) 2021/2022

BERITA ACARA

Nomor: 004.009/MICH–B/Prg/IV-22

 

Tentang:

Hasil Seleksi Tahap II Terhadap Presentasi Proposal Penelitian

Nominees MAARIF Fellowship (MAF) 2021/2022

 

Pada hari ini, Senin, tanggal sebelas, bulan April, tahun dua ribu dua puluh dua, Dewan Juri MAARIF Fellowship (MAF) 2021 yang bertanda-tangan dibawah ini :

  1. Alimatul Qibtiyah, Ph.D.
  2. Hilman Latief, Ph.D.
  3. Mukhaer Pakkana

Setelah hasil penilaian seleksi tahap I pada tanggal 24 Februari 2022, dan memperhatikan pemaparan presentasi 20 orang nominees MAF 2021/2022 pada proses seleksi tahap II tanggal 24 Maret 2022, Dewan Juri MAF 2021/2022 telah menetapkan nama-nama Penerima Hibah Penelitian MAF 2021/2022 sebagai berikut:

  1. Aan Arizandy, Universitas Gadjah Mada, “Agensi, Subjektivitas, dan Politik Kesalehan: Dinamika Gerakan Keagamaan Perempuan Aisyiyah di Era-Kontemporer”
  2. Alfia Nur Aulia, Universitas Muhammadiyah Malang, “Ijtihad Muhammadiyah Melawan Kekerasan Seksual”
  3. Ichsanul Rizal Husen, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, “Peran Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Muhammadiyah Sleman Dalam Pemberdayaan Petani”

* urutan berdasarkan abjad nama

 

Untuk itu, Dewan Juri MAF 2021/2022 mengamanatkan kepada MAARIF Institute for Culture and Humanity, sebagai panitia penyelenggara MAF 2021/2022, untuk melanjutkan tahapan selanjutnya dari proses kegiatan pasca penjurian ini berakhir.

 

Demikian berita acara ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

 

Tertanda,

  1. Juri 1: Prof. Alimatul Qibtiyah, Ph.D.
  2. Juri 2: Prof.Hilman Latief, Ph.D.
  3. Juri 3:Dr. Mukhaer Pakkana

 

Teologi Cinta Romo Carolus

“Sosok Romo Carolus kembali menyuntikkan harapan bahwa Indonesia masih tetap akan ada, setidaknya sehari sebelum kiamat!”—Ahmad Syafii Maarif

Judul tulisan ini pernah dipakai oleh wartawan senior Kompas, Maria Hartiningsih untuk menuliskan tentang sosok Romo Carolus dalam feature panjangnya. Dan di dalam artikel ini pula, kami ingin menggunakannya kembali, karena menurut kami frasa “Teologi Cinta” adalah frasa paling tepat untuk mendedahkan tentang apa yang sudah dan sedang dikerjakan Romo Carolus untuk warga di Cilacap.

Sebuah jalan spiritual yang tidak hanya mensyaratkan pekerjaan-pekerjaan seorang pastor akan tetapi juga laku kemanusiaan yang hakiki. Memberikan cinta dan kasih bukan dalam bentuk khotbah semata, namun cinta dalam bentuk kehadiran yang nyata bagi mereka yang papa.

Pada mulanya, artikel ini adalah bagian dari catatan lapangan, penelusuran dua penulis ketika bertugas sebagai tim peneliti MAARIF Award 2012 di Cilacap selama kurun waktu empat hari, 22-26 April 2012. Dalam penelusuran ini, tim dibekali dengan pemahaman bahwa siapapun yang dicalonkan menerima MAARIF Award adalah orangorang yang pada dasarnya tidak layak, sampai ditemukan bukti dan saksi yang kuat, yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang tepat menerima MAARIF Award.

Catatan ini disusun dengan gaya tulis yang sederhana dengan harapan pembaca dapat merasakan impresi yang khas, yang intim sekaligus intens. Membaca catatan ini, setidaknya bisa turut merasai “Teologi Cinta Romo Carolus”. Seperti yang dialami para juri MAARIF Award 2012, yang akhirnya mengganjar Romo Carolus sebagai penerima MAARIF Award 2012.

Padatkarya

Pada mulanya adalah kenyataan kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di Kampung Laut. Tanah kedua yang diinjak oleh Carolus— setelah Cilacap—pada tahun 1973 di Indonesia. Daratan sedimentasi sungai Citanduy yang didiami masyarakat papa dan terasing dari hingar bingar Jawa.

Mereka hidup diantara sungai, pulau para napi dan rawarawa. Kampung Laut adalah daratan ‘baru’ di sekitaran Laguna Segara Anakan. Kumpulan pulau kecil di dekat pulau Nusakambangan, sebelah selatan daratan Cilacap.

Kampung laut adalah kecamatan baru yang terdiri dari empat desa; Ujung Alang, Klaces, Ujung Galak dan Penikel. Untuk menuju ke Kampung Luat, setidaknya dibutuhkan waktu dua jam perjalanan diatas perahu Comprang.

Sepanjang jalan perdesaan di Kecamatan Kampung Laut hanya cukup dilewati oleh dua motor yang berpapasan. Jalanan setapak ini berada di tengah-tengah rawa dan kubangan air laut. Rumah-rumah penduduknya pun bertumpu pada sebidang tanah akibat dari sedimentasi. Kondisinya tepat berada di atas permukaan air laut. Jalanan bertanah dan berbatu cadas itulah yang menjadi salah satu buah karya dan sumbangsih Romo Carolus (69 Tahun).

Menurut Ketua Adat Kampung Laut, Darmono, 76 tahun, Carolus kali pertama singgah di kampungnya sejak tahun 1973. Yang tentu, pada saat ini jauh lebih ‘maju’ketimbang ketika Carolus datang pada waktu itu. Tiga tahun kemudian, misionaris asal Irlandia itu mulai bekerja secara sistematis lewat bendera Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS) Cilacap.

Dalam merealisasikan ruas jalan umum itu Carolus memberikan bantuan berupa segunung batu sebagai prioritas menggelar padat karya. Jalanan dipadatkan terlebih dahulu sebelum akhirnya dilapisi paving atau sedikit aspal. Pemadatan jalan itu dilakukan secara bertahap dari desa ke desa. Seluruh desa di Kampung Laut dibuatkan jalan atas bantuan dan inisiatifnya.

Semula ruas jalanan itu lebar dan dijadikan sebagai tanggul air asin dan galengan ladang serta persawahan. Adanya persawahan itu merupakan hasil Sodetan dari rawa-rawa yang dilakukan Carolus bersama warga setempat. Satu kali Sodetan bisa mencapai empat hektar lebih area sawah. Dia menyumbang bahan material. Lalu seluruh warga yang bekerja diberi honor secukupnya. Penyodetan itu memberi efek peningkatan ekonomi di penduduk Kampung Laut.

Tapi belakangan, persawahan itu berubah menjadi barisan tambak udang. Terutama setelah ada program tersendiri dari pemerintah setempat yang bekerja sama dengan sejumlah investor. Sayang, barisan tambak udang itu pun kini tak terurus lantaran banyak dicuri warga setempat. Akibatnya, tambak ditelantarkan hingga kini menjadi seperti rawa kembali.

Padahal sebelum kerusakan terkini, Carolus sudah sempat memberikan bantuan untuk perbaikan. “Romo sampai sekarang masih terus membantu kami. Apalagi kalau ada permintaan dari penduduk yang tidak mampu, dia pasti akan membantu,” tutur Darmono.

Carolus yang kini sudah menjadi warga negara Indonesia juga menjalankan aksi sosial di ranah kesehatan. Ia tak segan mengobati anak yang sakit mata dengan meneteskan cairan obatnya. Obat sakit mata dibawanya sendiri bersama tenaga medis yang didatangkan oleh YSBS Cilacap yang dipimpinnya.

Yayasan Bina Sosial Sejahtera ia dirikan bersama jemaat Katolik Cilacap pada tahun 1976. Carolus tidak pernah pilih kasih saat membantu. Ia akan membantu siapa saja dan dari latar belakang apa pun, termasuk agama apa pun.

Carolus bersama warga Kampung Laut sudah seperti keluarga. “Carolus orangnya merakyat dan tidak sungkan untuk berkunjung langsung ke Kampung Laut,” katanya seorang warga Kampung Laut. Karena itulah, tutur Samingun (Staf KUA Kampung Laut), masyakarat Kampung Laut tidak akan menolak bantuan Carolus. Setelah Carolus masuk Kampung Laut, pergerakan hidup penduduk menjadi pesat. Hanya saja, hingga kinilistrik belum bisa masuk ke Kampung Laut. Kalau pun ada, hanya di siang hari, menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Pengangkutan tanah dan batu juga menggunakan truk milik Carolus dan YSBS Cilacap.

Yang menarik, pengerjaan perbaikan dan pembangunan jalan dilakukan oleh warga setempat sebagai bentuk swadaya masyarakat. Sejauh ini, berdasarkan catatan pengurus YSBS, dalam proyek terbaru tahun 2009 sudah mengerjakan 70 lebih pengerasan jalan desa.

Selebihnya hingga kini terus mengerjakan di desa lainnya. Aktifitas Romo dalam program pengerasan jalan ini, pada gilirannya pernah membuat cemburu para umat gereja yang menilai seringkali Romo lebih sibuk untuk mengurus truck-truck untuk aksi sosial ketimbang mengurusi umat katholik.

Menanggapi hal ini, Romo Carolus pernah berujar, sebagaimana ditirukan oleh Kristina, salah satu staf YSBS: “ Oh kamu tidak bisa protes. Truck-truck ini lebih Katholik dari kalian. Mereka itu pastoralnya lebih hebat dari kita-kita ini. Mereka tiap hari masuk ke desa bawa batu membuat orang bahagia. Kita ini cuma omong. Nanti kita mati, truck-truck saya ini duluan di pintu surga”, kata Romo Carolus.

Padat karya adalah laku karya sosial yang diinisiasi oleh Romo Carolus sejak kehadirannya di Indonesia hingga kini. Karya sosial yang dirasakan betul kemanfaatanya bagi warga desa di seantero Cilacap. Karena gagasannya inilah Provincial OMI (Oblates Maria Immaculata) Indonesia Romo Antonius Andri Atmaka, OMI, memanggil Carolus sebagai Romo Carolus Padat Karyono.

Di samping pemadatan jalan, Carolus bersama berbagai pihak juga bekerja sama mendirikan balai pengobatan. Sapari, staf pengurus YSBS menuturkan bahwa ada pula program penghijauan lewat penanaman pohon kelapa di Kampung Laut. Termasuk yang tak kalah penting adalah peningkatan gizi penduduk dengan membagikan makanan bergizi tinggi seperti bulgur. Makanan ini diperoleh atas bantuan Chatolic Relief Service(CRS) Amerika Serikat.

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Front Pembela Islam Kabupaten Cilacap, Muhammad Suryo Haryanto menyatakan, yang paling dirasakan bersama oleh penduduk Cilacap pada umumnya adalah perbaikan dan pembuatan jalan umum di berbagai desa. “Ini sangat menyentuh kami. Romo Carolus luar biasa,” katanya. Haryanto menilai, gerakan sosial Carolus dengan YSBS sangat bagus. Carolus baginya adalah seorang agamawan yang sosialis.

Selama memberikan bantuan tidak ada tendensius yang mengarah pada kepentingan teologi. Pihak FPI memastikan bakal terus mengawal dan mendukung aksi sosial yang nyata dari Carolus. Sebab mereka sudah mengerti betul siapa jati diri romo bertubuh besar itu. “Kami sangat mengapresiasi atas bantuan Romo kepada sebagian masyarakat Cilacap. Beliau itu murni untuk aksi sosial,” tutur Haryanto, yang mengklaim sebelumnya telah menginvestigasi kegiatan Carolus.

Sekolah untuk Semua

Wantini melangkah pelan keluar dari ruang kelas SMK Yos Soedarso, Sidareja, Cilacap, Jawa Tengah. Muslimah jurusan akuntansi ini baru saja mengikuti ujian nasional di sekolah katolik itu, 25 April lalu. Meskipun berjilbab, remaja kelahiran Cilacap, 9 Desember 1995, ini tak khawatir bersekolah di salah satu basis pendidikan umat katolik di Cilacap. “Saya tidak takut dicap apa pun karena justru mayoritas muridnya muslim,” ujar perempuan berkulit coklat ini.

Lagi pula, kata Wantini, sekolah di sana atas keinginan dirinya sendiri. Bukan orang tuanya. Pertimbangan lainnya, jika kelak lulus, pihak sekolah akan menyalurkan ke tempat kerja. Sejauh ini, pihak sekolah sudah melakukan MoU (Memorandum of Understanding) dengan 30 perusahaan yang tersebar di dalam dan luar Cilacap. Wantini tahu betul bahwa sekolah itu punya pastor katolik.

Namun, sebagai muslimah sejati, dia juga memperoleh pelajaran agama sesuai keyakinannya di sekolah. Rupanya pihak sekolah telah menyediakan guru khusus umat muslim yang ruang belajarnya disendirikan. Begitu pula dengan siswa yang beragama berbeda, seperti Budha, Hindu, dan Kristen. “Saya tidak mendapatkan pelajaran dari ajaran agama lain. Karena masing-masing agama ada gurunya sendiri dan pelajaran agamanya dipisah,” kata Wantini.

Pernyataan Wantini itu adalah satu ungkapan dari ratusan murid yang menimba ilmu di lembaga pendidikan di bawah Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS) Cilacap. YSBS tak lain dimotori langsung oleh Romo Carolus, pastor katolik yang berjiwa agamis dan humanis. Kepala sekolah SMK Yos Soedarso, Yohanes Parsian menyatakan bahwa sekolahnya berdiri berawal dari misi Romo Carolus.

Menurut Carolus, sekolah itu duperuntukan kaum miskin, anak yang terlantar dan tidak mampu bersekolah. Tujuannya untuk menanamkan nilai-nilai cinta kasih, memperhatikan orang miskin dan yang tertindas atau belum merdeka. “Sekolah kami adalah yang kali pertama mengadakan pelajaran agama Islam untuk pemeluknya,” kata Parsian, yang menjabat sejak tahun 1992.

Perintisan sekolah yang dilakukan oleh Carolus sejak tahun 1979 sampai 1980-an. Sekretaris Carolus dari YSBS, Christina menjelaskan, sejak saat itu hingga sekarang setidaknya sudah berdiri 25 sekolah. Itu terdiri dari enam Taman Kanak-Kanak, satu Pendidikan Anak Usia Dini, dua Sekolah Dasar, tujuh Sekolah Menengah Pertama, satu Sekolah Menengah Atas, lima Sekolah Menengah Kejuruan, satu Lembaga Kursus Pendidikan, dan satu Perguruan Tinggi yang bernama Akademi Maritim Nusantara (AMN).

Jumlah mahasiswa AMN kini tercatat sekitar 600 orang lebih. Yang menarik, selama belajar di kampus, mahasiswa dibebaskan biaya. Tapi mereka harus melunasinya ketika lulus dan sudah bekerja tetap. Cara pembayarannya dengan cash atau dicicil semampunya.

Kristina mengungkapkan, seluruh sekolah dilandasi filosofi dari Carolus yang berbunyi “Sekolah adalah ladang”. Artinya, segala urusan sekolah dikelola oleh kepala sekolah dan jajarannya. Carolus tidak menarik keuntungan demi kepentingan pribadi sepeser pun dari sekolah. Malahan, dia masih juga memberi subsidi dan beasiswa ke sekolah. Beasiswa itu dalam bentuk satu ekor induk kambing diberikan kepada satu siswa untuk biaya selama sekolah. Ketika anak lulus, induknya dikembalikan dan anak kambingnya dimiliki oleh si keluarga yang menggembalakan kambing itu.

Dialog Antariman

Dari berbagai program yang telah dilakukan Romo Carolus itulah, menurut Kristina, Sekretaris Romo Carolus, terjadi dialog antar umat beragama (Interfaith dialogue) di masyarakat Cilacap. Carolus dianggap sebagai salah satu pencentus dibentuknya Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) di Cilacap.

Forum itu dibentuk bersama para tokoh dan aktivis keagamaan masyarakat di Cilacap tahun 1997 sampai 1998. Salah seorang yang ikut aktif terlibat adalah Muhammad Taufik Hidayatullah, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Cilacap. Pria kelahiran Cilacap, 12 Februari 1975 ini menjelaskan nama FPUB itu termasuk gagasan Carolus yang menekankan pada kata beriman, bukan beragama.

Pilihan kata beriman yang dilakukan Romo Carolus berdasarkan pada pandangannya mengenai kepercayaan kepada Tuhan yang tidak selalu terlembagakan dalam agama tertentu. Ini mengingat masih banyak aliran kepercayaan yang ada di masyarakat Cilacap, terutama Kejawen.

Dalam konteks ini, pandangan atau paham keagamaan Romo Carolus nampak begitu progresif. Dengan pilihan ini, Romo Carolus sangat sadar untuk tidak membatasi pada gagasan konsep “agama” yang kemudian akan berakibat secara langsung maupun tak langsung untuk mengeksklusi pemeluk kepercayaan lain yang belum atau tidak terlembagakan dalam institusi yang disebut sebagai agama.

Tapi setelah pemberlakuan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Agama, FPUB berubah menjadi FKUB. Kegiatan yang pernah dilakukan antara lain membagikan sembako secara berjamaah oleh semua tokoh agama. Lalu ada juga peningkatan capacity buildingdan padat karya pula.

Selama berinteraksi dengan umat lain, Carolus lebih senang melepaskan “seragam” agamanya. “Dia (Carolus) tidak pernah banyak bicara agama. Yang selalu dibicarakannya adalah mengenai kemanusiaan,” kata Taufik. Di Kampung Laut, lanjut Taufik, Carolus begitu diterima oleh kalangan yang berbeda agama. Bahkan ada guyonan, para tokoh agama di Kampung Laut mendaulat Carolus sebagai Romo Kyai.

Di sinilah sekatsekat primordialisme agama lepas dan lebih intens dalam hal humanisme. Carolus ini tak segan pula memberi bantuan kepada masjid. Bentuknya dalam bentuk material maupun sumbangsih ide dalam pembangunan masjid dan musala.

Termasuk memberi modal kerja di Kecamatan Bantarsari. “Beberapa pengurus masjid dan musala ada yang menerima bantuan darinya (Carolus) berupa modal bergulir untuk ternak ayam, piara ikan, dan budidaya jamur,” katanya. Romo Carolus sempat dijadikan sebagai anggota majelis pembina dari Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia Kabupaten Cilacap. Hal ini dikarenakan dia diakui sebagai tokoh yang concern terhadap pembelaan rakyat kecil. Sehingga komunikasinya dengan masyarakat di Cilacap terbangun dengan baik. Munir Nursaid, Dosen Institut Agama Islam Imam Ghazali (IAIIG) Cilacap yang juga mantan Ketua GP Ansor Cilacap menjelaskan, gerakan Carolus itu membangun keberpihakan yang jelas yakni kepada kemiskinan.

Apa yang dilakukan Carolus adalah tindakan luar biasa. Saya sering guyonan menilai Romo Carolus, “Anda ini lebih gila dari pada orang gila,” kata Munir. Di tataran aksi sosial, Carolus dibilangnya “orang gila”. “Hanya “orang gila” yang bisa melakukan dan membela kaum miskin. Orang normal seperti kita ini tidak bisa,” Munir menegaskan.

Bagi Munir, walaupun Carolus sebagai misionaris, tapi yang menonjol dalam dirinya adalah dialog yang interaktif dengan berbagai komunitas yang ada di Cilacap. Dia selalu mempromosikan misi kemanusiaan, humanisme, ketidakadilan dan pengentasan kemiskinan. Tidak lagi bicara keimanan. “Dia sudah melampaui batas-batas syariat dalam melakukan aksi sosialnya,” katanya.

Bupati Cilacap, Tatto S Pamudji menambahkan bahwa Carolus itu tidak membedakan agama apa pun. Dia betul-betul pluralis. Tatto berkali-kali mengajaknya pengajian di desa-desa bersama kyai. Romo Carolus memuji banyak penganut agama lain yang taat menjalankan ajaran agama. Tatto yang sudah 15 tahun mengenal Carolus punya kenangan khusus. Yakni ketika di Masjid Asy-Syafi`iyyah, SMP Diponegoro, Sindangsari, Cilacap. Di masjid itu Carolus memberi sumbangan guna perbaikan masjid yang akan roboh. Sumbangan tidak diterima tapi dia memberi motivasi cara menghimpun dana untuk memperbaiki masjid tersebut.

Reboisasi Pulau Nusakambangan

Muhammad Taufik Hidayatullah, Ketua FKUB Cilacap, terakhir menggelar kegiatan bareng dengan Carolus adalah ketika program penghijauan di Nusakambangan, beberapa bulan lalu. Saat itu, sedang direalisasikan program penanaman sejuta pohon.

Kini sudah ribuan pohon, bahkan lebih, yang sudah ditanam bersama masyarakat Cilacap, khususnya warga Nusakambangan yang dinilai hidup liar. Hasilnya baik sekali.

Masyarakat yang dilibatkan menanam diberi insentif. Tapi setiap tahun harus ikut mengecek ke lokasi. Tujuannya dari aksi lingkungan itu guna mengembalikan habitat Nusakambangan yang asli. Sebab belakangan ini banyak sekali pohon yang rusak oleh industrialisasi.

Carolus berusaha ingin mengembalikan spesies tumbuh-tumbuhan murni dari Nusakambangan. Selain itu, kata Taufik, Carolus bersama WWF mengecek keberadaan harimau Nusakambangan yang masih banyak. Karena harimau itu kerap turun ke perdesaan dan memakan binatang ternak. Kejadian ini karena habitat harimau merasa diganggu.

Carolus hendak membangun kembali keutuhan ekosistem alam antara binatang, tumbuhan, dan manusia. Dia mampu mengkomunikasikan kesatuan alam dalam keanekaragaman kepada masyarakat. Hingga kini, stigmatisasi gerakan missionari atau kristenisasi masih melingkupi aktifitas yang dilakukan oleh Romo Carolus. Menanggapi hal ini,

Romo menjelaskan bahwa di Kampung Laut memang terdapat Gereja Katolik, gereja itu terletak di Ujung Alang. Namun dalam kepercayaan Romo Carolus ia tak pernah memberikan bantuan kepada warga Kampung Laut dengan persyaratan tertentu apalagi untuk masuk Katolik.

Bahkan pada beberapa hal, Romo hanya akan memberikan bantuan kepada warga jika warga juga mau bekerja. Artinya Romo ingin agar warga juga terlibat. Ini ditampakkan ketika ada program Padat Karya pengerasan jalan di Kampung Laut. “ Saya baru 20 % Katolik. So mana mungkin saya mengajak masuk katolik jika saya sendiri belum benar-benar menjadi katolik?” terangnya.

Menguatkan pernyataan Romo, Christina yang merupakan pengurus YSBS menyatakan bahwa sedari awal Romo Carolus tidak pernah mau membaptis warga Kampung Laut jika ada yang berniat masuk jemaat Katholik. “Romo tidak pernah mau membaptis orang Kampung Laut” jelasnya.

Pelita Kemanusiaan

Seperti dituliskan oleh Buya Ahamd Syafii Maarif dalam pengantarnya untuk buku “Mafia Irlandia di Kampung Laut; Jejak-jejak Romo Carolus OMI Memperjuangkan Kemanusiaan”, kehadiran Romo Carolus memberi kejutan ditengah kemarau panjang keteladanan. Bagi Buya, apa yang sudah dan terus akan dilakukan oleh Romo Carolus adalah bagian dari komitmen kemanusiaan.

Buya menulis, “Karya sosial kemanusiaan Romo Carolus dipersatukan oleh kecintaan yang mendalam dan tulus pada kemanusiaan dan merupakan upaya sadar mendidik masyarakatnya dalam semangat kebhinnekaan”. Romo Carolus kembali menunjukkan bahwa dalam relung kehidupan warga Indonesia, kebaikan dan ketulusan tetap akan hadir ditengah joroknya tatanan social politik di Indonesia.

Romo Carolus menghadirkan optimisme rakyat bawah akan keteladanan yang nyata. Meminjma istilah Buya, “Yang teruji oleh waktu, yang sepi dan sunyi, jauh dari hiruk-pikuk publisitas”. Dalam Teologi Cinta Romo Carolus, agama tak sekedar dibelenggu dalam ortodoksi ajaran keagamaan, akan tetapi agama menjadi ruh bagi kerja-kerja sosial bagi sesama.

Tak hanya sekedar menekuni tuntutan pastoral, akan tetapi juga melunasi tugas kemanusiaan seorang Teolog; menyampaikan cinta dan kasih Tuhan kepada siapapun. Maria Hartiningsih menyebut, “Agama dalam Teologi Cinta adalah sumber dari pembebasan dan pemuliaan martabat manusia dan kemanusiaan tanpa sekat.”

Romo Carolus percaya bahwa kemiskinan tak akan selesai hanya dengan khotbah diatas altar suci. Kemiskinan mesti diselesaikan dengan kebersamaan warga dalam memandang persoalan kemiskinan sebagai persoalan bersama, dan lantas diselesaikan dengan bersama pula. Dalam konteks ini, Romo Carolus meletakkan kemanusiaan dalam pengertiannya yang paling otentik. Bahwa kemanusiaan menuntut kebersamaan. Kondisi dan keberadaan orang lain adalah prasyarat utama menguji kadar kemanusiaan dan membuktikan eksistensinya.

Dari karya-karya kemanusiaan Romo Carolus, publik bisa belajar bahwa ajaran cinta tak bersekat pada batas-batas primordial seperti ras, etnis, bahasa, agama, madzhab dan rupa-rupa lain disekitarnya. Bahkan keberimanan yang paling otentik telah menuntun dan menuntut manusia pemeluknya untuk melampaui sekat-sekat itu. Dan jalan teologi cinta memberikan ruang untuk mengejawantahkannya.

Penulis: Khelmy K. Pribadi  dan Deni Muliya Barus

Sumber: Jurnal MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

 

Oase di Tengah Konflik Poso: Mosintuwu Institute Gerakan Perempuan dan Perdamaian

Dodoha Mosintuwu, tempat di mana Mosintuwu Institute berada di wilayah kecamatan Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Kota ini memiliki keindahan alam yang luar biasa. Tetapi dalam dekade terakhir, citra keindahan tersebut musnah dengan terjadinya kerusuhan 1998 yang kemudian disebut konflik Poso.

Konflik Poso dianggap sebagai pemicu kemunculan gerakan radikal-terorisme di Indonesia. Faktor-faktor yang dipercayai sebagai penyebab utama konflik di Poso ada tiga; 1) persaingan politik, yaitu perebutan jabatan Bupati dan Sekretaris Daerah Kabupaten Poso; 2) persaingan di bidang ekonomi antara penduduk asli dan pendatang; 3) pergeseran struktur-sosial budaya serta komposisi penduduk asli dan pendatang.

Konflik itu diawali dari konflik komunal sampai menjadi konflik SARA. Pertama, pada 25 Desember 1998 pemuda muslim dibacok oleh Roy Runtu Bisalemba yang beragama Kristen di dalam masjid Darusalam Poso. Kedua, pada 16 April 2000 dua pemuda mabuk dan tanpa alasan yang jelas terlibat pertikaian.

Kedua belah pihak yang bertikai berasal dari desa yang berpenduduk muslim dan Kristen. Kejadian ini menyebabkan bentrokan antar kelompok terulang kembali. Ketiga, pada 24 Mei 2000 desa berpenduduk muslim diserang oleh sekelompok pemuda Kristen dari luar Poso, kemudian menyulutkan konflik yang meluas dan menimbulkan aksi balasan yang kemudian disebut aksi terorisme bom natal.

Sejak itu, aksi-aksi teror lainnya terus terjadi karena penyelesaian tidak kunjung dilakukan oleh pemerintah secara tuntas. Konflik masih terus terjadi dari kedua belah pihak sampai diputuskannya Deklarasi Malino I tahun 2001. Tujuan deklarasi ini untuk mempertemukan kedua belah pihak dan menyelesaikan konflik yang ditengahi oleh Menko Kesra, Jusuf Kalla.

Meski demikian, riak-riak konflik masih seringkali muncul. Pengeboman di Poso terus terjadi di tahun 2003 yang sedikitnya 8 kali peristiwa, tahun 2005 sebanyak 11 kali peristiwa dan salah satunya di wilayah Tentena, dan 2006 terjadi sebanyak 9 kali peristiwa.

Di tengah-tengah situasi tersebut, muncul suatu Oase yang sedang tumbuh untuk mendamaikan Poso, yakni Mosintuwu Intsitute. Lembaga yang didirikan oleh Lian Gogali ini, bermula dari rasa keprihatinan atas peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama, dan adanya kepentingan ekonomi politik dibalik konflik kekerasan yang berakhir pada pengelolaan sumber daya alam yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin dan marginal yang terjadi di Poso.

Dalam perkembangannya, Mosintuwu mendapat banyak simpatisan. Anggotanya berasal dari berbagai latarbelakang suku dan agama yang ada di Kabupaten Poso dan Morowali.4Tulisan ini menceritakan khazanah lokal, dari salah satu aktor perdamaian di Poso, Mosintuwu Institute. Lembaga ini mendapatkan anugerah Maarif Award 2016, yakni program pengakuan dan penghormatan kepada aktor-aktor lokal yang bergerak untuk kemanusiaan.

Lembaga ini dinilai mampu mentransformasikan kekuatan perempuan menjadi gerakan pembaruan di Poso. Salah satu juri Maarif Award 2016, Endy bayuni mengatakan, “Mosintuwu adalah bukti bahwa perempuan-perempuan penyintas konflik Poso mampu menjembatani konflik, mengurai dendam dan memahami perbedaan untuk kemudian bersama membangun Tanah Poso melalui desa”.

Selain Mosintuwi Institute, Maarif Award 2016 juga diberikan kepada Budiman Maliki, pejuang hak dasar layanan masyarakat Poso. Budiman merupakan aktivis yang pernah terlibat dalam rangka penanganan pengungsi konflik Poso. Aktivitasnya melampaui batas-batas primordial agama dan etnis. Kini, dia berkutat pada pemberdayaan masyarakat.

Kemudian penghargaan ini juga diberikan kepada Rudi Fofid. Dia seorang aktivis, seniman yang juga wartawan. Melalui sastra hingga music hip-hop, ia menyuarakan perdamaian. Dia penyintas konflik kekerasan di Ambon yang meyakini bahwa perdamaian adalah jalan hidup. Dan baginya, Ambon yang damai adalah obat untuk semua orang yang telah menjadi korban dalam konflik di Ambon, termasuk ayah dan kakaknya.

Untuk diketahui, Maarif Award terselenggara enam kali: 2007, 2008, 2010, 2012, dan 2014. Penerima Maarif Award pada tahun 2007 yaitu Pdt Jack Manuputty dari Ambon, Arianto Sangaji dari Poso. Pada tahun 2008 TGH Hasanain Juaini dari Lombok, M. Tafsir dari Semarang, Cecilia Yuliani Hendayani dari Blitar. Tahun 2010 penerimanya adalah S. Ali Habsyi dari Magelang, tahun 2012 Ahmad Bahruddin dari Salatiga, Romo Carolus dari Cilacap, dan tahun 2014 Maril Koto dari Sumatera Barat.

Dari Teologi Pembebasan hingga ke Politik Ingatan

Teologi Pembebasan, Kajian Budaya, Ekonomi-Politik, dan Politik Ingatan merupakan empat disiplin ilmu yang pada akhirnya mengantarkan Lian Gogali menulis tesis tentang Politik Ingatan Perempuan dan Anak dalam Konflik Poso.

Aktivitas Lian untuk mendampingi para korban konflik bermula dari perasaan berhutang kepada para perempuan yang diwawancarainya ketika menyelesaikan tesis tersebut. Pertanyaan paling menohok yang didapatnya ketika itu adalah, “apa yang terjadi pada kami setelah Lian pergi?”. Lian banyak membaca dan berdiskusi tentang Teologi Pembebasan ketika menempuh studi sarjana di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.

Dalam suatu wawancara, Lian mengungkapkan bahwa dirinya sangat terbantu oleh ST. Sunardi dalam hal Kajian Budaya. ST. Sunardi merupakan salah seorang pengajar ketika Lian menempuh studi master di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Kajian komprehensif ihwal Ekonomi-Politik banyak Lian dapatkan dari George Aditjondro. Selama menempuh studi master, Lian menjadi asisten peneliti George Aditjondro selama 2 sampai 3 tahun.

Bahkan, Lian mengungkapkan bahwa dirinya adalah anak angkat dari Geogre Aditjondro. Dr. Budiawan, salah seorang pengajar di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, disebut oleh Lian sebagai orang yang paling berjasa dan mempengaruhinya tentang kajian Politik Ingatan. Hingga ia akhirnya memutuskan untuk menulis tesis tentang itu.

Pada tahun 2007, Lian kembali ke Poso dan beraktivitas di Asian Muslim Action Network (AMAN) dan Poso Center. Setelah melewati banyak diskusi dengan sesama kawan aktivis dan menyelami konteks Poso, guna membumikan cita-citanya, akhirnya pada tahun 2009 ia mendirikan Institut Mosintuwu atau Mosintuwu Institute yang anggotanya terdiri dari para survivor konflik Poso.

Pada mulanya, Mosintuwu Institute diharapkan dapat menjadi suara alternatif dari perempuan dan anak tentang pembangunan perdamaian yang berkeadilan dan setara. Mosintuwu Institute berharap perempuan dan anak memiliki ruang untuk berbicara dan memperkuat kapasitas, sehingga dapat membuka gerakan alternatif dalam memperjuangkan pembangunan perdamaian, keadilan dan kesetaraan di wilayah pasca konflik Poso.

Kelahiran Mosintuwu Institute diilhami oleh kondisi sosial masyarakat Poso yang patriarki dan feodal yang masih memandang perempuan sebagai warga kelas dua dan hanya memiliki fungsi reproduksi. Oleh karena itu, dalam konflik, perempuan mengalami dampak yang mengerikan. Setidaknya terdapat tiga dampak yang ditimbulkan akibat itu, yakni perpecahan keluarga, kekerasan seksual yang diikuti dengan diskriminasi sosial yang sangat rentan dialami oleh perempuan ketika dan pasca konflik, dan pelecehan seksual.

Di tengah kondisi patriarki dan feodal tersebut, Lian melihat peran lain yang dimainkan oleh perempuan dan kadang dilupakan, yaitu menghidupi anak-anak dan komunitasnya. Kekuatan lain yang yang dilihat Lian adalah inisiatif perempuan untuk melakukan perdamaian. Akan tetapi, dalam pertemuan-pertemuan antar komunitas yang memutuskan kebijakan perdamaian atau pembangunan, perempuan tidak pernah dilibatkan.

Akibatnya, kebijakan penanganan konflik dan pembangunan pasca konflik sangat bias gender. Pembangunan pasca konflik yang bias gender tersebut menempatkan perempuan mengalami kekerasan baru dan didiskriminasi terus-menerus, termasuk menenggelamkan narasi perempuan dalam konflik yang berbeda dari laki-laki.

Nama Mosintuwu diambil dari Bahasa Pamona (salah satu suku di Poso) yang berarti bekerja bersama-sama. Mosintuwu Institute mempunyai program yang terdiri dari: (1) Bidang Pendidikan, yang memiliki program: Sekolah Perempuan Mosintuwu; Project Sophia (Perpustakaan Keliling untuk Anak); dan Perpustakaan Sophia. (2) Bidang Pengorganisasian, yang memiliki program: Organisasi Perempuan Interfaith; Advokasi Perlindungan Perempuan dan Anak; Lingkar Diskusi dan Aksi. (3) Bidang Media dan Kampanye, yang memiliki program: Koran Perempuan, Radio Komunitas; Media Internet. (4) Bidang Ekonomi Solidaritas, yang memiliki program: Bank Perempuan; Eko-Wisata; dan Bamboo Project.

Program-program tersebut tidak hanya menjadikan perempuan sebagai agen perdamaian, tetapi juga menjadikan perempuan berdaya secara ekonomi, sosial, budaya dan melek politik. Melek politik di sini tidak sekedar memperkenalkan persoalan-persoalan politik tetapi juga mengadvokasi kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kesetaraan perempuan. Untuk melihat jejak langkah sebagai karya nyata Mosintuwu Institute, tulisan ini disusun secara kronologis dari sejak pendiriannya hingga saat ini.

Perdamaian Sebagai Pintu Masuk

Sekolah Perempuan merupakan salah satu program yang digalakkan untuk mewujudkan visi dan misi Mosintuwu Institute. Dipilih karena Mosintuwu melihat bahwa pendidikan bagaimana pun menjadi kunci utama untuk membuka pandangan para perempuan.

Angkatan Pertama dan Kedua Sekolah Perempuan menitikberatkan pada proses perdamaian sebagai pintu masuk menuju kedaulatan rakyat yang dicita-citakan. Perdamaian memang kata yang tak mungkin dilepaskan sekaligus konsekuensi logis akibat konflik Poso.

Isu perdamaian dipilih karena Mosintuwu melihat kondisi alam bawah sadar para perempuan dan anak-anak masih rentan akan nuansa konflik.“Proses tidak dirancang sendiri, melainkan pemahaman terhadap konteks. Jadi konteks awalnya memang harus dilihat, tahun ketika pertama kali Mosintuwu dibangun. Itu adalah tahun dimana hubungan antar agama sangat renggang. Lalu juga berdasarkan tesis saya.

Memang kelompok perempuan sangat potensial untuk proses membangun perdamaian”, ujar Lian memberikan alasan.Perdamaian sebagai pintu masuk menuju kedaulatan yang dicita-citakan juga diamini oleh Martince Baleona, seorang ibu rumah tangga yang bermetamorfosa menjadi aktivis berkat Sekolah Perempuan Angkatan Pertama.

Dirinya merasa bahwa Sekolah Perempuanlah yang sepenuhnya mengubah pandangannya tentang Islam dan Perdamaian ketika penyampaian materi “Islam, Toleransi dan Perdamaian” dan kunjungan lapangan ke masjid.Ibarat kondisi jalan raya di Poso, di mana selalu ada batu dan kerikil, bahkan longsor, yang tiap saat bisa menghadang. Begitupun dengan apa yang dikerjakan oleh Mosintuwu.

Kendala yang dialami ialah ketika para peserta Angkatan Pertama Sekolah Perempuan yang beragama Kristen akan mengunjungi masjid. Ustadz setempat mengungkapkan keberatannya karena khawatir para perempuan Kristen tersebut sedang tidak suci (haid).

Selain itu, ustadz tersebut juga menganggap bahwa acara yang diselenggarakan oleh Mosintuwu Institute merupakan bagian dari Kristenisasi.Mencari jalan keluar dari masalah tersebut, Mosintuwu menghubungi Darwis Waru, Ketua Gusdurian Poso, dan memintanya untuk membantu menyelesaikan perkara tersebut. Ditemui di kediamannya yang disulap menjadi menjadi Griya Gus Dur, Darwis mengatakan langkah yang diambil oleh Mosintuwu tersebut sebagai salah satu kecerdikan politik strategis.

Senada dengan Darwis, Ibrahim Ismail, Ketua GP Anshor Poso, yang pernah dimintai bantuan serupa untuk kasus yang berbeda mengatakan bahwa kecerdikan Mosintuwu untuk menyelesaikan beberapa masalah dengan meminta bantuan kepada orang atau lembaga yang kompeten dan sesuai dengan segmennya.

Selain tentang diskriminasi yang dialami perempuan, perdamaian masih menjadi isu utama pada modul dan materi yang disampaikan dalam Sekolah Perempuan Angkatan Kedua yang dilaksanakan pada kurun waktu 2012-2013 di 8 desa dan kelurahan. Hal ini seperti yang dituturkan Yurlin Pamoso, perempuan desa yang bermetamorfosa menjadi aktivis perempuan dengan menjadi staff Mosintuwu, di sela-sela Monitoring dan Evaluasi Sekolah Perempuan Angkatan Ketiga di Desa Gincu, daerah Bada.

Ulin, begitu ia biasa disapa, menyampaikan bahwa isu perdamaian masih menjadi bahasan utama di Angkatan Kedua Sekolah Perempuan lewat modul yang diajarkan. Dengan demikian, bisa disebut jika fase pertama dari Mosintuwu Institute adalah mewujudkan perdamaian yang sesungguhnya.

Konsolidasi Perempuan

Untuk pertama kalinya dalam sejarah perempuan di Poso dilaksanakan Musyawarah Perempuan Desa dari tanggal 3-17 Maret 2014. Musyawarah Perempuan Desa ini diinisiasi oleh Mosintuwu Institute yang khusus diikuti oleh perempuan akar rumput, yang terdiri dari para perempuan lintas profesi seperti ibu rumah tangga, petani, nelayan, dan buruh, dan terdiri dari lintas agama seperti Islam, Kristen, Hindu, serta lintas suku.

Mosintuwu memilih para perempuan akar rumput ini karena mereka yang selama ini memberi makna pada kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik. Dan pada saat yang bersamaan mereka juga adalah yang selalu terpinggirkan, terdiskriminasi, terabaikan, juga tidak didengar.

Musyawarah Perempuan Desa dilaksanakan dalam 10 wilayah berdasarkan karakteristik daerah, yaitu: Wilayah I Kecamatan Poso Pesisir Utara; Wilayah II Kecamatan Poso Pesisir dan Poso Pesisir Selatan; Wilayah III Kecamatan Poso Kota, Poso Kota Utara, Poso Kota Selatan; Wilayah IV Kecamatan Lage bagian Timur; Wilayah V Kecamatan Lage bagian Selatan; Wilayah VI Kecamatan Pamona Utara; Wilayah VII Kecamatan Pamona Puselembah; Wilayah VIII Kecamatan Pamona Selatan dan Pamona Barat; Wilayah IX Kecamatan Pamona TImur dan Pamona Tenggara; dan Wilayah X Kecamatan Lore Selatan.

Kongres Perempuan Poso: Antara LSM dan Organisasi Rakyat

Setelah melaksanakan Musyawarah Perempuan Desa, Mosintuwu Institute kembali menyelenggarakan acara yang pesertanya adalah para perempuan akar rumput. Pada tanggal 25-27 Maret 2014 diselenggarakan Kongres Perempuan Poso di Dodoha Mosintuwu. Kongres ini dihadiri oleh kurang lebih 450 orang perempuan yang berasal dari 70 desa, 14 kecamatan di Poso.Ratusan perempuan menguatkan solidaritas sebagai sesama perempuan di hari pertama kongres.

Pada hari kedua, para perempuan dibagi kedalam enam topik dan bersama-sama berpikir, menganalisa, dan menyusun poin-poin penting yang telah didiskusikan. Keenam topik tersebut adalah Hak Perempuan atas Layanan Publik, Perlindungan Perempuan dan Anak, Partisipasi Politik Perempuan dalam Pembangunan Desa, Perempuan dalam Adat Budaya, Perempuan membangun Ekonomi Solidaritas, dan Perempuan Membangun Perdamaian.

Di hari terakhir, semua kelompok melakukan sidang kongres yang membahas semua usulan untuk menjadi rekomendasi. Walhasil, rekomendasi pun dihasilkan yang ditujukan kepada Pemerintah Daerah Poso, Pemerintah Desa/Kelurahan, organisasi masyarakat, dan masyarakat itu sendiri. Kongres Perempuan Poso mendapat perhatian dari publik luas dan di antaranya dihadiri oleh Andy Yentriyani (Komisioner Komnas Perempuan), perwakilan Gerakan Desa Membangun, dan fasilitator yang tersebar di Nusantara.

Selama Kongres berlangsung, tak jarang dan tak sedikit suara perempuan yang menghendaki perubahan, baik secara individu maupun kolektif. Teriakan?teriakan itu seperti, “Jangan 30%, jadikan 50%. Kita perempuan Poso pasti bisa, jangan memandang enteng kekuatan kita sendiri. Tulis saja disitu 50%, jadi kita setara dalam kesempatan dengan laki-laki”.

“Sudah, kita buat saja partai politik perempuan Poso. Kita bisa. Kita merdeka”. “Ayo, bikin partai perempuan”. “Hentikan pengiriman TKW”. “Merapat, kita teriak perempuan berdaulat atas tubuhnya”.

Jalan Menuju Organisasi Rakyat

Mosintuwu Institute lagi-lagi membuat gebrakan. Kali ini dengan menyelenggarakan Festival Sekolah Perempuan yang berlangsung dari tanggal 5-7 November 2015. Sekitar 300an perempuan dari 40 desa yang berasal dari Poso dan sebagian Morowali hadir dalam acara tersebut. Festival Sekolah Perempuan ini merupakan yang pertama kali diadakan sebagai wujud syukur setelah serangkaian proses belajar di sekolah perempuan sejak 2009, yang telah menghasilkan tiga angkatan.

Angkatan Pertama Sekolah Perempuan tahun 2009-2011. Angkatan Kedua Sekolah Perempuan tahun 2012-2013. Dan Angkatan Ketiga Sekolah Perempuan tahun 2014-2015.Festival ini dihadiri oleh Pejabat Bupati Poso; istri Duta Besar Amerika Serikat; perwakilan PBB urusan perempuan, perdamaian dan keamanan; jajaran Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta beberapa aktivis.

Kehadiran para perempuan akar rumput dan pembesar tersebut kian menguatkan daya tawar Mosintuwu Institute di mata pengambil kebijakan. Juga menggemakan suara perempuan ke seluruh jagat raya. Dalam festival ini, diselenggarakan serangkaian kegiatan seperti olahraga, kesenian tradisional, talkshow dan workshop yang memperkaya wawasan, pameran produk desa dan pameran foto perempuan desa. Diluar seremonial yang menghiasi dan meramaikan acara, Festival Sekolah Perempuan menjadi langkah akhir menuju organisasi (perempuan) rakyat yang dicita-citakan pendiri Mosintuwu Institute, Lian Gogali.

Festival ini menjadi semacam evaluasi jejak langkah Mosintuwu dari awal berdiri.Setelah Sekolah PerempuanSelama dua hari, Tim MAARIF Institute berkesempatan mengikuti aktivitas Mosintuwu Institute di wilayah Bada (Kecamatan Lore Utara dan Kecamatan Lore Selatan).

Tim MAARIF mengikuti rangkaian kegiatan yang dilakukan Mosintuwu Institute di 3 desa: Gintu, Badangkaia, dan Bakekao. Masing-masing kegiatan berlangsung selama 3 jam, yakni dari jam 09.00-12.00 WITA, 14.00-17.00 WITA dan 19.00-22.00 WITA.Untuk sampai ke Bada dari Poso Kota, tempat dimana terdapat Megalitik Palindo (Sepe), dibutuhkan waktu sekitar 4 jam menggunakan mobil Avanza yang disulap menjadi angkutan umum.

Orang-orang yang berangkat ke Bada selain membayar ongkos untuk duduk, juga membayar pegangan tangan, karena setengah jalan menuju Bada belum di aspal dan kondisi jalannya rusak cukup parah. Jika menggunakan sepeda motor bisa menghemat waktu karena bisa sampai dalam waktu 3 jam.

Para perempuan Mosintuwu menggunakan mobil kijang untuk sampai ke sana. Sementara tim MAARIF menggunakan mobil Avanza.Kegiatan ini tidak diikuti oleh semua alumni Sekolah Perempuan Angkatan Ketiga. Hal ini disebabkan beberapa hal seperti sedang ada ibadah, sedang ada duka (orang yang meninggal), sedang pesta, dan alasan-alasan lain yang memang sangat logis.

Akan tetapi kami menangkap spirit yang luar biasa dari para perempuan desa yang notabene tersingkirkan dalam kultur yang patriarki dan feodal. Tidak seperti perempuan desa pada umumnya yang malu-malu dan tidak fasih apalagi terstruktur ketika berbicara, para perempuan alumni Sekolah Perempuan Angkatan Ketiga lebih fasih dan percaya diri ketika menyampaikan argumen, meskipun tidak semua argumen dan pernyataan yang mereka sampaikan benar.

Keberanian dan kepercayaan diri ini tetap perlu diapresiasi, karena dengan begitu mereka telah keluar dari zona perempuan desa pada umumnya. Dengan kata lain, mereka selangkah lebih maju dibanding para perempuan desa pada umumnya.

Dalam kegiatan tersebut, tim Mosintuwu Institute yang turun ke lapangan adalah Lian Gogali, Martince Baleona, Asni, Yurlin Pamono, dan Cici. Selain Lian Gogali yang merupakan pendiri Mosintuwu Institute, yang lainnya merupakan anggota (alumni) Angkatan Pertama dan Angkatan Kedua Sekolah Perempuan.

Para perempuan ini bermetamorfosa dari para perempuan biasa menjadi pejuang pembaharuan perempuan.Di sela-sela kegiatan, Martince menceritakan bagaimana cara Lian mendorong ia sebagai alumni. “Setelah Sekolah Perempuan berakhir, saya harus merekrut empat orang dari Kayamanya. Awalnya saya takut karena Kayamanya merupakan daerah Texas.

Tapi Lian selalu meyakinkan kalau saya bisa. Akhirnya saya memberanikan diri dan mencari informasi di pasar. Lama saya mencari, akhirnya berkenalan dengan perempuan Islam (muslimah) di pasar. Dia tinggal di Kayamanya. Dari sana sampai sekarang kami berteman,” kenang Martince.Kembali pada kegiatan yang diselenggarakan oleh Mosintuwu, di sesi awal, Martince menjelaskan tentang topik pertemuan yang dilakukan.

Pada pertamuan kali ini, terdapat tiga topik utama yang dibicarakan dan didiskusikan, yakni Monitoring dan Evaluasi, Penjelasan Tim Pembaharu Desa, dan Sekolah Perempuan Lanjutan. Selanjutnya, Martince menjelaskan tentang cara pengisian lembar Monitoring dan Evaluasi Anggota Sekolah Perempuan.

Setelahnya, Lian Gogali mengambil alih dan menjelaskan tentang Tim Pembaharu Desa. Dalam penjelasannya, Lian menuturkan bahwa yang dimaksud dengan Tim Perempuan Pembaharu Desa adalah satu kesatuan dari lima tim yang akan dibentuk. Adapun kelima tim tersebut adalah Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (RPPA), Usaha Desa, Pendamping Desa, Media, dan Project Sophia.

Kelima tim ini merupakan rumusan baru, sekaligus pemadatan, dari awalnya tujuh tim yang dibentuk sebagai follow up pasca kegiatan Sekolah Perempuan.Dalam suatu wawancara di Gedung DPRD Poso, Muhaimin11 mengatakan bahwa Mosintuwu sangat sering ditemui di lapangan. Dalam pantauannya, Mosintuwu melakukan perlindungan yang nyata kepada perempuan dengan mendampingi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum aparat keamanan.

Berkat pendampingan yang dilakukan oleh Mosintuwu, pelaku pelecehan seksual tersebut dinyatakan bersalah dan mendekam di penjara. Hal ini tak lepas dari kerja Bidang Pengorganisasian di bawah koordinasi Martince Baleona, yang di desa-desa dikenal dengan nama Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (RPPA).Pada kegiatan tersebut, secara detail Lian menjelaskan apa saja yang harus dilakukan kelima tim secara satu persatu.

Kemudian ketika memasuki penjelasan tentang Sekolah Perempuan Lanjutan, Lian menyampaikan bahwa ini ditujukan bagi mereka yang telah menjadi alumni Sekolah Perempuan. 10 Daerah Texas merupakan istilah yang ditunjukkan oleh orang Poso untuk menyebutkan atau menunjuk daerah yang dianggap rawan dan tidak boleh dilewati. Kayamanya merupakan daerah Texas bagi orang Kristen.

Sedangkan Tentena merupakan daerah Texas bagi orang Islam.11 Muhaimin merupakan Ketua Pemuda Muhammadiyah Poso. Saat ini ia juga tercatat sebagai Ketua DPC Partai Amanat Nasional (PAN) Poso, yang mengantarkannya menjadi salah seorang anggota legislatife pada pileg tahun 2015 yang lalu.

Nantinya, pada Sekolah Perempuan Lanjutan, para perempuan akan banyak mendapatkan materi tentang kepemimpinan karena bahan yang sedang disiapkan mengenai kurikulum kepemimpinan perempuan. Tak ada perbedaan penjelasan di antara ketiga desa yang dikunjungi. Perbedaan hanya terlihat dalam forum tanya jawab dan berbagi informasi antara alumni Sekolah Perempuan dengan tim Mosintuwu Institute.

Misalnya, sebelum penjelasan tentang kelima tim itu dimulai, seorang ibu yang tengah menggendong anaknya menginterupsi, mempertanyakan bagaimana cara ia mengisi lembar Monitoring dan Evaluasi karena ia tak sempat mengikuti Sekolah Perempuan yang diadakan. Di desa lainnya, ada juga seorang ibu yang menanyakan apakah ia boleh mengisi sebagian saja lembar Monitoring dan Evaluasi karena hanya mengikuti setengah jalan Sekolah Perempuan akibat sempat dilarang oleh suaminya.

Menanggapi pertanyaan pertama, tim Mosintuwu Institute menjawab bahwa ibu yang belum pernah mengikuti Sekolah Perempuan tidak perlu mengisi lembar Monitoring dan Evaluasi. Cukup dengan mengikuti kegiatan ini saja dari awal sampai akhir. Dan nanti bila kembali diselenggarakan Sekolah Perempuan, ibu tersebut disarankan untuk mengikutinya.

Sedangkan menjawab pertanyaan di desa lain, tentu dalam waktu dan tempat yang berbeda pula, tim Mosintuwu menyatakan bahwa sang ibu cukup mengisi kuesioner sesuai dengan apa (modul) yang diikutinya selama Sekolah Perempuan berlangsung. Untuk pertanyaan yang si ibu tidak sempat mengikuti kegiatannya, jawaban diisi saja dengan informasi yang menyatakan bahwa pada saat materi itu berlangsung ia tidak sempat mengikutinya.

Dalam forum tanya jawab tersebut ada juga perempuan yang menyampaikan apa saja yang sudah dilakukannya. Di antara mereka yang menyampaikan hal tersebut adalah Mama Fidar, warga Desa Bakekao. Dengan merujuk kepada UU Desa No. 6 Tahun 2014, Mama Fidar membatalkan pemilihan Kepala Desa karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam UU tersebut.

Akibat hal yang dilakukannya ketika itu, sekarang Mama Fidar menjadi tempat bertanya warga dan sebagian aparatur desa ketika di desa tempat tinggalnya akan diselenggarakan musyawarah.Selain Mama Fidar, ada juga ibu di Desa Badangkaia yang menceritakan bisnis wortel yang dijalaninya. Meskipun beriklim sejuk karena berada di kaki gunung, warga Desa Badangkaia tak ada yang menanam wortel dalam aktivitas sehari-harinya sebagai petani. Wortel malah dibawa oleh pendatang yang jauh-jauh datang dari Poso Pesisir selama sekali dalam sebulan.

Melihat peluang tersebut, si ibu mulai menanam wortel dan menjualnya. Meskipun pada awalnya kurang laku karena warga tidak biasa mengkonsumsi, dua bulan terakhir si ibu mulai memetik keuntungan ketika warga mulai mengkonsumsi wortel secara teratur.

Menurut penuturannya, hal ini tidak terlepas dari rumus yang diberikan oleh Mosintuwu ketika Sekolah Perempuan berlangsung, yakni cari yang paling dibutuhkan oleh masyarakat desa, cari potensi yang ada di desa, dan cari hal yang bisa dikerjakan. Mosintuwu memang selalu menekankan tiga hal tersebut kepada para perempuan agar bisa mandiri secara ekonomi. Hal ini tak lain menjadi bagian dari program Ekonomi Solidaritas

Pada hari pertama ini, selama tim MAARIF mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Mosintuwu Institute, kehadiran anak-anak kecil menjadi tak terhindarkan. Bayi, balita, dan anak-anak usia Sekolah Dasar merepotkan dan menonton para ibu-ibu dan tim Mosintuwu. Beserta para ibunya, di awal sesi anak-anak menyanyikan lagu “Kepala Pundak Lutut Kaki”, dengan diikuti gerakan tubuh, yang telah diubah liriknya.

Hal ini sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran (advokasi) tentang pentingnya menjaga anggota tubuh.Di sela-sela nyanyian tersebut, Cici menyampaikan bahwa hal demikian sudah jamak dan Mosintuwu Institute memang sengaja tidak melarangnya. Karena mereka sadar bahwa anak-anak susah jauh dengan ibunya. Terlebih, dengan menghapal nyanyian tersebut, anak-anak diharapkan dapat menjaga anggota tubuh mereka agar tidak menjadi korban pelecehan seksual.

Ketika kegiatan berlangsung, anak-anak seumuran Sekolah Dasar membaca buku yang dibawa oleh tim Mosintuwu sebagai bagian dari Project Sophia (Perpustakaan Keliling untuk Anak). Buku ini tidak bisa dibawa ke rumah masing-masing. Hanya boleh dibaca di tempat acara. Ketika acara berakhir, anak-anak pun harus mengembalikan buku yang mereka baca.

Kegiatan dengan topik utama Monitoring dan Evaluasi, Penjelasan Tim Pembaharu Desa, dan Sekolah Perempuan Lanjutan ini diselenggarakan secara sederhana di rumah-rumah warga. Instrumen yang digunakan pun sangat sederhana berupa white board yang bisa dibawa kemana-mana lengkap dengan flif chart, kertas plano, spidol dan perlengkapan pendukung lainnya. Di tiga rumah warga yang dijadikan arena pertemuan terpajang foto-foto kegiatan dan Wisuda Sekolah Perempuan yang mereka ikuti.

Catatan lain yang menarik dari perjalanan mengikuti kegiatan Mosintuwu Institute adalah bagaimana mereka menghargai dan memberdayakan diri (staf) sendiri. Selama kegiatan berlangsung, Ulin dan Cici membantu kesiapan instrument sampai membuat masakan untuk dinikmati bersama-sama. Mereka berdua pula yang mendokumentasikan kegiatan dan melayani anak-anak yang meminjam buku bacaan.

Sedangkan, Asni fokus menjadi notulen yang mencatat alur serta dinamika selama diskusi berlangsung. Sementara itu, Martince bertugas mengkoordinir para peserta sambil membuat catatan-catatan untuk mem-back up notulensi Asni. Terkait dengan notulensi, apa yang dilakukan Mosintuwu sedikit-banyak dilupakan oleh NGO lain yang kerapkali lupa atau bahkan tidak membuatnya sama sekali.

Langkah Nyata

Jum’at, 29 April 2016 merupakan hari kedua tim MAARIF mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh Mosintuwu Institute. Topik hari ini berbeda dengan topik di hari sebelumnya. Pada hari ini, topik yang dibahas mengenai persiapan pembentukan organisasi perempuan. Peserta atau orang yang datang pun orang yang berbeda dengan mereka yang datang di hari sebelumnya, karena mereka merupakan alumni Angkatan Pertama dan Angkatan Kedua Sekolah Perempuan.

Pukul 07.00 WITA di Desa Badangkaia, tanpa seremonial yang berarti, Lian Gogali memfasilitasi dua orang perempuan yang berasal dari Desa Bakekao. Sebelum memulai pemaparannya, Lian terlebih dahulu meminta maaf karena pertemuan tertunda dan berganti hari. Kedua perempuan yang hadir pun meminta maaf mewakili teman seperjuangannya yang tidak bisa menghadiri acara ini.

Memulai pemaparannya, Lian menjelaskan perbedaan tentang mereka sebagai anggota atau alumni Sekolah Perempuan dengan mereka nanti sebagai anggota organisasi perempuan. Secara garis besar, Lian memberikan penjelasan menyeluruh tentang organisasi, Anggaran Dasar (AD)/ Anggaran Rumah Tangga (ART), nilai, prinsip, dan perjuangan yang akan digariskan di organisasi perempuan kelak. Penjelasan rinci seperti itu dilakukan karena yang dihadapinya merupakan para perempuan akar rumput, yang sebelumnya tidak mengenal organisasi sama sekali. Penjelasan itu berlangsung selama dua jam dengan tanya jawab yang menyertainya.

Di akhir pembahasan, Lian mengingatkan kepada dua perempuan yang hadir agar mereka menyampaikan kepada perempuan, dan bapak-bapak yang tertarik bergabung, lain yang berhalangan hadir. Lian mengagendakan dua minggu ke depan akan kembali untuk membicarakan kelanjutan dari pertemuan ini.

Sejauh yang kami amati, Lian tampak sangat hati-hati akan arah organisasi perempuan yang coba dilahirkannya. Ia bahkan tidak memberikan kesempatan atau ruang bicara kepada tim Mosintuwu yang lain. Ia perlu mengawalnya langsung. Dalam penuturannya, berkali-kali kami dengar kegelisahan dan kekhawatiran Lian jika organisasi perempuan yang digagasnya akhirnya mudah tergadaikan seperti yang lain. Kehati-hatian ini ditangkap oleh Sofyan Siruyu.

Dalam pertemuan di Sekretariat Redaksi Harian Poso Raya, Sofyan berujar, “Mosintuwu pernah ditawari bantuan oleh pemda. Ditolak sama Lian karena menurutnya yang dibutuhkan perempuan bukan itu. Dulu mau dikasih bantuan uang dan peralatan mesin pemipil jagung. 5 unit pada saat itu”.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Sony Kapito. Menurut Sony, saking hati-hatinya, Mosintuwu menolak dengan tegas ajakannya untuk bersama-sama memberdayakan masyarakat. “Saya ajak dia (Lian sebagai Direktur Mosintuwu Institute) bermitra. Cuma dia (Lian) hati-hati sekali karena sekarang saya Ketua Perindo Poso. Kamu kan tahu Perindo itu bagaimana. Dia datang dengan gaya pemberdayaan, banyak sekali program-program. Saya ingin bekerjasama dalam hal ini. Tapi dia sangat hati-hati. Dia takut tergiring ke sana (politik). Saya bilang tidak, kita professional. Dia sangat hati-hati. Dan saya hargai itu”, terang Sony.

Atas segala kiprah dan langkah nyata yang ditunjukkan oleh Mosintuwu, Pdt. Lian Padele, Ketua Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), memberi apresiasi dan penilaian tersendiri bagi kehadiran lembaga tersebut. Pertama, Mosintuwu memberi warna tersendiri di Tentena secara khusus, dan Poso pada umumnya.

Mereka menghadirkan wacana yang berbeda dengan gereja atau lembaga keagamaan lainnya dalam hal pemberdayaan masyarakat. Jika gereja atau lembaga keagamaan lain melakukan pendekatan dari atas ke bawah, maka Mosintuwu melakukannya dari bawah ke atas. Kedua, meskipun terkesan eksklusif karena hanya mengangkat isu perempuan, akan tetapi pada kenyataannya Mosintuwu cerdas melihat dan memanfaatkan celah yang tidak dipakai oleh orang lain.

Isu pemberdayaan perempuan menjadi bukti nyata. Ketiga, dampak yang dihasilkan terlihat nyata dan dapat diukur. 12 Sofyan Siruyu adalah Pemimpin Redaksi Harian Poso Raya. Dampak yang dimaksud yakni kemampuan berargumen para perempuan desa; kemampuan berorganisasi; kemampuan membangun jaringan, baik di tingkat lokal, provinsi, nasional, hingga internasional; membangun hidup dalam keberagam secara damai; dan pengontrol kebijakan desa terkait dengan Undang-Undang Desa.

Penutup

Seperti sudah disinggung di awal, kedaulatan menjadi kata kunci yang digemakan Mosintuwu Institute. Di tengah budaya patriarki dan sistem feodal di Poso, kedaulatan atas hak ekonomi, sosial, budaya, dan politik inilah yang coba diwujudkan oleh Mosintuwu Institute. Guna mewujudkannya, Mosintuwu telah banyak melakukan langkah strategis selama ini.

Sekolah Perempuan dengan berbagai turunannya, Project Sophia, Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak, Ekonomi Solidaritas, serta mendorong tiga Rancangan Peraturan Daerah merupakan langkah-langkah nyata yang telah ditempuh.

Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan ini telah merubah persepsi dan memberi dampak nyata bagi masyarakat, khususnya para perempuan. Gerakan pembaharuan yang dilakukan Mosintuwu dengan mengangkat perempuan sebagai isu utama menjadikannya berbeda dan unik, dengan tingkat keberterimaan yang sangat tinggi.

Sejauh ini Mosintuwu masih mengupayakan perubahan paradigma di ranah individu dan keluarga menjadi paradigm komunal sebagai suara bersama. Hal ini sekaligus untuk menjawab tantangan yang selama ini ditujukan bagi Mosintuwu, terkait pembentukan organisasi perempuan.

Di tengah tantangan tersebut, selama setahun terakhir Mosintuwu telah berkeliling dari desa ke desa untuk mengkonsolidasikan agar hal itu terwujud. Jadi, tunggu saja tanggal mainnya. Hanya waktu yang bisa menjawab apakah Mosintuwu akan tetap menjadi Gerakan Pembaharuan Perempuan atau Gerakan Politik Perempuan. Atau, Mosintuwu menjadi jalan tengah di antara keduanya dengan mengilhami lahirnya Gerakan Politik Perempuan yang terdiri dari anggota (alumni) Sekolah Perempuan.

Pipit Aidul Fitriyana & Saefudin Zuhri

Sumber: Jurnal MAARIF Vol. 12, No. 2 — Desember 2017

 

Kiai Konservasi Lingkungan dari Narmada

Namanya Tuan Guru Haji (TGH) Hasanain dari Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Beliau pernah meraih Ashoka International Award for Best Fellow in Religion and Women Empowerment (2003) dan memenangkan Maarif Award tahun 2008. Tak lama setelah itu, beliau memenangkan Ramon Magsaysay Award 2011 di Manila, Filipina.

Tuan Guru Hasanain adalah tokoh muda yang dikenal karena upaya-upayanya dalam mengintegrasikan dunia pendidikan, konservasi lingkungan, pemberdayaan masyarakat serta kemajemukan. Dalam dunia pendidikan, Ia adalah pimpinan pondok Nurul Haramain Putri. Namun juga dikenal sebagai penggerak konservasi lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di daerahnya. Ia juga merupakan Ketua FKUB (Forum Kerukunan antar Umat Beragama) Kabupaten Lombok Barat yang konsisten memperjuangkan perdamaian dan menjembatani kemajemukan.

Kiprah TGH Hasanain dalam mengintegrasikan aktivitas konservasi lingkungan, pendidikan, pemberdayaan masyarakat dan menjembatani kemajemukan ini dalam istilah Bapelda Kabupaten Lombok Barat disebut sebagai “Integrated Conservation”.

Ide tentang masyarakat madani

Gagasan besarnya berangkat dari konsep bagaimana membangun masyarakat madani dengan latar dasar Shiddiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah (SATF) yang membela kebaikan dan hidup bermanfaat. Dalam pemikirannya konsep ini harus diwujudkan dalam Desa Madani. Hal inilah yang dikerjakannya di sebuah lembah yang diberi nama Lembah Madani. Lembah Madani berada di lahan seluas 33 hektar. Lahan tersebut terletak di area perbukitan yang tandus dan gersang, yang tadinya hanya ditumbuhi alang-alang. Lahan tersebut sebenarnya berada di dekat pemukiman penduduk, namun karena letaknya di pinggir tebing yang curam dan tandus, masyarakat membiarkan lahan tersebut tanpa disentuh.

Tuan Guru berencana memberdayakan arena itu menjadi sebuah kampung madani, yang di sana akan terdapat pondok pesantren, sekolah, perguruan tinggi, hutan konservasi, pemukiman penduduk serta wahana belajar bagi semua kalangan untuk berinteraksi dalam suasana keberagaman. Ia terinspirasi oleh Syekh Nashir di Virginia dan An-Nur di London dalam membangun masyarakat.

Dalam suatu perjalanan atas undangan sebuah lembaga swadaya masyarakat, Tuan Guru berkesempatan berkunjung ke Filipina. Ia menyaksikan karya dari Pastor-Pastor Gereja Katolik di sebuah Gunung yang bernama Gunung Nur. Di Gunung tersebut, terhamparlah ratusan ribu pepohonan dari berbagai jenis, buah tanam dari pastor-pastor tersebut.

Selain pohon-pohon yang akan memberi hasil beberapa tahun yang akan datang, para pastor tersebut juga memberdayakan ekonomi masyarakat di sekitar sana. Sepulang dari Filipina, Ia bertekad untuk mewujudkannya di NTB. Ia melihat realitas 580.000 hektar lahan di NTB milik masyarakat adalah lahan terlantar.

Kondisi masyarakatnya pun tidak berdaya untuk mengelola tanahnya. Dengan keadaan tersebut, Ia berpikir, kenapa kita tidak menggali hasil bumi sendiri untuk mencetak uang. Kenapa harus menelantarkannya dan mencari pekerjaan keluar daerah.

Ketika ia berkiprah di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dia merencanakan membuat “Peta Konflik” sebuah peta sosial yang berisi informasi mengenai fakta-fakta sosial yang dapat menjadi potensi konflik di masyarakat.

Termasuk di dalamnya berisi potensi konflik berlatar belakang agama, etnis, ekonomi, politik sehingga dia bercita-cita melalui Peta Konflik tersebut, potensi konflik di Lombok Barat khususnya dapat ditanggulangi sejak dini.

Sejarah konflik di Lombok antara kelompok Sasak dengan pendatang, khususnya dari Hindu Bali masih menyisakan potensi konflik yang bersifat laten. Demikian pula potensi konflik berlatar belakang perebutan lahan dan sengketa antar desa. Hal itulah yang mendorong Hasanain memunculkan gagasan pembuatan Peta Konflik lewat FKUB yang dipimpinnya.

Hasanain di mata masyarakat

Menurut penuturan Dian, Aktivis LSM “Santai” di Nusa Tenggara Barat, Hasanain adalah seorang TGH yang unik, berbeda dari kebanyakan TGH di NTB. Jika kebanyakan TGH lebih berkhusyuk pada aktivitas keagamaan an sich, semisal mengajar di madrasah, mengisi pengajian, ekslusif dalam pemahaman keagamaan; maka Hasanain tidak hanya semata demikian. Dian menilai Hasanain adalah seorang TGH yang mau duduk bersama dengan kalangan LSM, berdiskusi bahkan menjadi seorang pembelajar.

Hasanain tak segan untuk mendatangi diskusi-diskusi bersama dengan aktivis LSM, wawasan pemikirannya luas, kritis dan cenderung agak nyleneh. Misalnya pandangannya mengenai keadilan gender, dalam hal ini mengenai persoalan poligami. Menurut Dian, Hasanain sering berujar, “menurut saya poligami dalam Islam adalah sebuah pintu darurat saja, dan saya memilih untuk tidak”.

Menurut Dian, hampir semua TGH di Lombok melakukan praktik poligami, beristri lebih dari satu orang. Masih menurut Dian, Hasanain juga menaruh perhatian yang besar terhadap persolan pendidikan, khususnya mengenai rendahnya IPM (Indeks Pembangunan Manusia) di NTB yang terjadi karena faktor utamanya rendahnya tingkat partisipasi pendidikan, tingginya angka putus sekolah, terutama di kelompok warga perempuan.

Hasanain konsisten menyuarakan pentingnya membuka wawasan masyarakat akan keadilan gender, kesetaraan antara lakilaki dan perempuan, termasuk dalam pendidikan. Melalui forum-forum diskusi, workshop dengan kalangan LSM, Hasanain memprovokasi aktivis LSM supaya bersama-sama mengupayakan demokrasi pendidikan, khususnya dalam membuka akses perempuan dalam pendidikan.

Oleh karena konsistensinya itu, “Ia kami minta masuk sebagai anggota dewan pakar lembaga kami. Dari gagasangagasannya tersebut, sekarang kami tengah mengupayakan sebuah pendidikan alternatif, bagi kaum perempuan dan petani,” demikian pungkas Dian.

Adapun menurut Yani, Staff Target MDG’s Propinsi NTB, Hasanain dikenal sebagai sosok yang egaliter, tidak seperti kebanyakan ulama (Tuan Guru) yang acapkali hanya berujar, memerintah orang lain (termasuk para santrinya) untuk mengerjakan sesuatu namun dia sendiri tidak mengerjakan dan hanya ongkang-ongkang kaki saja.

Hasanain adalah sosok yang lebih banyak memberi contoh dalam suatu pekerjaan, dan mengajak orang-orang untuk bersamasama mengerjakan apa yang tengah dia kerjakan; satu dalam kata dan laku. Misalnya untuk urusan kebersihan lingkungan pondoknya, Hasanain tidak segan menyapu halaman pondoknya sehabis subuh, sehingga para santri merasa malu dan tanpa dikomando beramai-ramai turun ke halaman menyapu (membersihkan) lingkungan pondok.

Demikian pula pada aktivitas penanaman pohon yang diinisiasinya, Hasanain terlibat langsung dengan aktivitas mencari buah Mahoni untuk dibibitkan, sampai dengan pada tiap kesempatan hajatan, dia tak segan-segan untuk meminta izin kepada si empunya hajat supaya diijinkan mengumpulkan dan membawa pulang plastik gelas bekas minuman air mineral sebagai media pengganti polybag untuk menanam benih pohon.

Menurut Yani, “Hasanain juga saya kenal sebagai sosok yang santun dan tidak membeda-bedakan asalusul, status sosial, agama seseorang ketika dia berinteraksi dengan orang lain. Gagasannya tentang lingkungan sosial terpadu yang dia namai Lembah Madani telah menarik banyak pihak dan berbagai macam latar belakang dan lembaga untuk studi banding mempelajari prosesnya.

Setelah kunjungan, sejumlah tokoh yang takjub dengan rencana tersebut menyatakan akan mengupayakan sejumlah bantuan guna segera merealisasikan rencana Hasanain tersebut. Dia juga aktif mengajak kalangan pesantren dan lembaga-lembaga lain untuk turut serta melakukan aktivitas penghijauan atau rehabilitasi lahan sebagaimana yang dia lakukan.”

Sementara itu dalam penilaian I Komang Marta, Pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia Kecamatan Narmada, Hasanain memang sosok muda yang sudah menjadi pemuka masyarakat. “Dia berwawasan luas, mampu dan mau bergaul dengan bayak pihak, sehingga dia terpilih sebagai ketua KPU Kabupaten Lombok Barat.

Dalam beraktivitas, dia sosok yang enerjik, luwes, mampu merangkul orang-orang tidak saja dari kalangan pesantren, namun juga dari kalangan birokrat pemerintahan, tokoh agama lain, sehingga dia terpilih sebagai ketua Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKUB) Lombok Barat. Saya sudah mengenal keluarga Hasanain sejak dari ayahnya, Tuan Guru Juaini, mereka keluarga yang baik, kami sering bertemu dan berdiskusi,” demikian imbuhnya.

Sementara itu, menurut Ahmad Fauzi, pengurus PD Muhammadiyah Kab. Lombok Barat, “Kami sering mengundang Pak Hasanain untuk mengisi pengajian di Muhammadiyah, dan juga Pak Mahali, ipar Pak Hasanain. Keduanya sosok yang berwawasan luas dan berpandangan maju yang dapat diterima oleh kalangan Muhammadiyah.

Dalam berceramah, dia selalu menyisipkan ajakan untuk mencintai lingkungan dan melakukan penanaman pohon untuk menyelamatkan lahan sekaligus menjadikannya sebagai sumber pendapatan masyarakat.” Adapun Mahfudz, Ketua PW NU Prop. NTB, juga Kabid Sosbud Bappeda Prop NTB) secara pribadi menyampaikan tidak terlalu mengenal sosok Hasanain, namun dari kroscek yang dilakukannya kepada pengurus PCNU Lombok Barat dan kepada Kasubdid Bina Hutan, “menurut mereka, Hasanain memang melakukan kerja-kerja nyata dalam gerakan penghijauan dan rehabilitasi lahan hutan.

Dia juga melakukan kegiatan pembibitan yang didistribusikan kepada lembaga-lembaga lain yang bersedia melakukan penanaman pohon. NU Lombok Barat juga memiliki komunikasi yang baik dengan dia,” demikian keterangan Mahfudz.

Pesantren sebagai basis gerakan

Di ponpes Nurul Haramain Putri yang diasuhnya, Hasanain juga mempelopori pengenalan dan pemanfaatan teknologi informasi dalam aktivitas pembelajaran. Ada satu lokal ruangan berukuran 5×10 m yang dia khususkan sebagai laboraturium komputer bagi para santri. Di Lab. Komputer tersebut dilengkapi dengan sejumlah PC (personal computer) yang terhubung dengan server dan memuat ribuan koleksi pustaka secara digital, baik pustaka klasik maupun kontemporer, pustaka kegamaan maupun pustaka umum. Kemudian terdapat pula ruangan yang dipakai untuk para santri praktik merakit komputer.

Rencananya Ponpes akan mengembangkan sayap usaha pada perakitan komputer; di mana sejauh ini sudah mempunyai unit usaha penjualan komputer bernama “Madani Komputer”. Di ruang-ruang kelas madrasahnya, juga telah dilengkapi dengan perangkat komputer dan LCD projector guna menunjang proses pembelajaran.

Progresivitas belajar santri cukup terlihat dengan kemahiran mereka mengoperasikan komputer ini terlihat dari kemahiran para santri usia Tsanawiyah (SMP) dalam mempresentasikan karyanya lewat komputer, mereka juga memiliki media jurnalistik berupa mading bulanan dan juga beberapa hasil karya (cerpen dan novel) karya para santri yang diterbitkan, di-layout dan dicetak sendiri oleh para santri dalam bentuk buku.

Pesantren tersebut juga mempunyai sebuah divisi lembaga advokasi perempuan. Hasanain mengintrodusir lembaga tersebut guna menampung keluhan dan kasus-kasus ketidak-adilan yang dialami perempuan, baik di keluarga maupun di ranah publik. Menurut penuturan Hasanain, lahirnya lembaga tersebut berawal dari keprihatinannya melihat ketimpangan dan maraknya tindak ketidak-adilan yang dialami para perempuan di sekitarnya.

Pendirian dan aktivitas lembaga tersebut di pesantren mendapat dukungan dari Menteri Sosial RI, Khofifah Indar Parawansa dan cendekiawan Marwah Daud Ibrahim yang beberapa kali berkunjung ke Pesantren tersebut. Inovasi pada pesantrennya tersebut sedikit banyak telah merubah persepsi masyarakat atas citra pesantren di Lombok yang identik dengan nuansa keagamaan yang kaku, pola aktivitas/kultur yang ekslusif, gagap teknologi; sehingga ponpes Nurul Haramain mampu menarik minat kalangan menengah, termasuk kalangan pelaku pariwisata untuk memasukkan anaknya di ponpes tersebut.

Hal itu diungkapkan oleh M. Basri, salah seorang wali santri,“Kebetulan saya sedang menjenguk anak saya yang kelas 3 SMP. Saya mantap memasukkan anak saya di pesantren ini karena melihat sepak terjang Pak Hasanain yang berpikiran luas, tidak fanatik dan bisa mengintegrasikan perkembangan teknologi informasi dalam dunia pondok pesantren. Saya juga mengajak temanteman pelaku wisata lain untuk menyekolahkan anaknya di sini.

Bahkan yang saya ketahui, koleksi pustaka digital di Pondok Pesantren ini lebih lengkap dari yang dimiliki oleh IAIN Mataram. Saya tidak khawatir anak saya akan menjadi seorang fundamentalis jika bersekolah di sini. Saya juga sering mengajak turis asing untuk live-in di ponpes ini. Tempo hari ada wisatawan dari Belgia yang kami bawa ke sini dan tinggal selama beberapa hari di sini, menginap bersama para santri,” papar M. Basri yang juga seorang manajer Biro Perjalanan Wisata di Senggigi.

Memberi contoh kongkrit

Melalui Ponpes Nurul Haramain, Hasanain pernah menggalang aliansi dengan kampus, LSM dan ormas lain untuk memerangi korupsi. Itu dilakukannya pada tahun 2001, beberapa tahun sebelum gerakan serupa secara nasional digaungkan oleh A. Syafii Maarif dan Hasyim Muzadi.

Pasca itu, dia juga memulai gerakan peduli lingkungan. Ia membuat hitungan matematis atas niatnya dalam menanam pohon ini. Dalam satu hectare ditanami 10.000 bibit pohon. namun tidak semua lahan tersebut ditanami. Ada ruang 200 m2 yang digunakan untuk membangun kandang Sapi dan Ayam. Praktis hanya 8.000 bibit yang ditanam dengan jarak antar pohon 1 meter. Pada tahun ke-5 nanti, jarak antar pohon yang satu meter tersebut terlalu mepet.

Maka untuk menjaga jarak, ditebanglah 4.000 pohon, sehingga jarak antar pohon menjadi 2 meter. Untuk membangun sistem pengawasan pohon, Ia melibatkan masyarakat sekitar. Caranya, ongkos jaga yang menjadi biaya hidup mereka diperoleh dengan menanam tanaman produktif semacam pepaya dan jambu disela-sela pohon (sistem tumpang sari).

Selain itu, masyarakat juga memperoleh pemasukan dari ternak Sapi dan Ayam. Empat ribu pohon yang ditebang tersebut–dengan usia tebang saat 5 tahun pun—sudah memiliki nilai jual yang tinggi. Sisa 4.000 pohon yang lain, akan ditebang saat usia pohon 10 tahun. Dengan perhitungan kasar saat ini, harga setiap pohonnya mencapai 2 juta rupiah. Tinggal kalikan saja dengan angka 4.000 maka akan di dapat angka 8 milyar rupiah.

Dia mengharapkan dengan penanaman pohon yang bernilai ekonomis tersebut, masyarakat akan tergerak untuk ikut menanam pohon dan mampu meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat petani yang sekaligus meminimalisir potensi konflik karena latar belakang ekonomi.Ia mulai melakukan penanaman dengan memberi contoh kongkrit. “Saya tidak percaya kalau tidak melihat”. Itulah cara pikir masyarakat awam ketika ada seseorang yang menceramahi atau menyuruh membuat sesuatu.

Maka, dibuatlah strategi untuk jangka pendek, menengah, dan panjang. Ia mulai menanam bibit pohon, mencari bibit-bibit pohon dengan melakukan pemetaan pohonpohon Mahoni di sekitar kota yang bunganya akan kering. Bunga tersebut akan dipetik dan disemai dalam gelas-gelas bekas air mineral.

Gelas-gelas bekas ini pun diperoleh dari pesta pernikahan yang menyisakan gunungan gelas-gelas plastik bekas. Dengan memberi uang lelah kepada petugas kebersihan atau pemulung, Ia minta gelas-gelas bekas tersebut diangkut ke mobilnya. Di rumah, bersama santri-santrinya, Ia melubangi gelas-gelas tersebut dengan solder. Lalu diisi dengan tanah untuk selanjutnya disemailah bibit pohon Mahoni.

Ia pun beberapa kali bekerjasama dengan pemerintah dalam hal pengadaan bibit ini dalam program Gerbang Mas Pemprov NTB atau dengan sistem barter. Terobosan paling menarik adalah idenya untuk investasi dan beramal dalam bentuk pohon. “Silakan anda bila hendak investasi. Bila punya 1 juta, itu berarti anda investasi sejumlah bibit pohon” Kelak, 5-10 tahun yang akan datang anda menuai hasil investasi tersebut. Telah ribuan orang yang antri untuk investasi.

Selain itu, upaya-upaya kreatif untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya penghijauan pun dilakukan dengan berbagai terobosan. Diantaranya adalah dengan menawarkan bibit-bibit tanaman tersebut sebagai souvenir pernikahan. Hasilnya, pada tahun pertama, bersama masyarakat, Ia menanam 360.000 bibit, tahun kedua 600.000 bibit dan tahun ketiga, sudah lebih dari 1 juta bibit.

Proses penanaman ini bukan perkara yang mudah. Karena lahan yang pertama kali ditanami adalah lahan tandus penuh ilalang yang miskin unsur hara. “Bila bapak bisa menanam di lahan ini, saya akan panggil bapak sebagai “bapak hidup” ucap seorang masyarakat sekitar lahan tandus tersebut. Masalah tidak hanya disitu. Lahan yang sedang ditanami tersebut berada di sepanjang tebing Lembah Suren, yang dibawahnya mengalir sungai Gunung Jae yang berada pada ketinggian hampir 89 meter dari permukaan air sungai.

Sungai ini bersumber dari Gunung Rinjani. Sehingga air harus dikerek dengan air timba untuk mengairi tunas-tunas muda tanaman tersebut. Penanaman perdana tidak menuai hasil. Pun demikian yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Barulah pada penanaman yang ketujuh, mulai menuai hasil. Tunas-tunas mulai tumbuh dan berkembang. Program ini dimulai sejak tahun 2005.

Masyarakat sekitar pun merasa mendapat manfaat yang nyata dengan program tersebut. Masyarakat sekitar kawasan hutan merasa terhormat ketika kali pertama TGH Hasanain berniat akan membuat program penanaman pohon dan pemberdayaan masyarakat. Niat tersebut diutarakan ketika ia diundang mengisi pengajian di Desa Sedau.

Usai pengajian, obrolan-obrolan santai di antara masyarakat dengan Hasanain berisi ajakan untuk berpartisipasi dalam penanaman pohon, memanfaatkan lahan yang terlantar. Dan bak gayung bersambut, masyarakat sekitar dari Desa Sedau, Dusun Lebah Suren meminta Hasanain untuk melibatkan masyarakat dalam programnya.

Akhirnya mereka turut berpartisipasi.Penilaian mengenai pemikiran transformatif Hasanain diungkapkan M. Aminullah, Aktivis LSM Samanta. “Ide-ide TGH Hasanain itu sering kami pandang sebagai “ide gila” yang tak pernah terlintas dalam benak kami, namun dia dengan cerdasnya menyadarkan kami, bahkan meyakinkan kami bahwa gagasan-gagasannya tersebut niscaya diwujudkan. Kami sekarang tengah mendukung dia untuk melengkapi “Lembah Madani” dengan sebuah institusi pendidikan tinggi. Bukan sebuah universitas yang tiap tahun menerima mahasiswa, namun sebuah tempat pendidikan yang akan menerima tidak lebih dari 20 orang mahasiswa, akan kami siapkan sebagai kader dan akan dibekali dengan kemampuan olah pertanian, manajemen, akuntansi, komputer dan IT, kemampuan bahasa asing, gratis! “

Melalui ceramah-ceramah pengajian yang disampaikannya, TGH Hasanain juga mengajak kami, masyarakat untuk mengelola tanah-tanah kami yang sebelumnya tidak tergarap. Dia mengajak kami untuk hitung-hitungan mengenai keuntungan menanam pohon keras (Mahoni, Jati, Albasia) di lahan kami; dia juga menawari kami bibit pohon tersebut secara gratis, berapapun jumlahyang kami butuhkan, tinggal kami ambil sendiri di pondok atau di tempat pembibitannya.

Setelah melihat sendiri rintisan pohon yang dia tanam di lahannya, kami menjadi tertarik dan akhirnya beramai-ramai menanam pohon di tanah kami,” demikian papar Pak Rahman kepala Desa Sedau, Narmada, Lombok Barat.“Bahkan sekarang banyak anak-anak muda di desa kami yang patungan uang untuk menyewa lahan guna ditanami pohon Mahoni, karena prospeknya memang menjanjikan.

Pandangan dan penilaian kami mengenai lahan tanah kami yang semula kami anggap sudah musykil untuk digarap karena tandus dan hanya ditumbuhi alang-alang berubah total setelah bergaul dan dibimbing TGH Hasanain. Bahkan ada warga kami yang sampai mengukur pertumbuhan pohon mahoni yang ditanamnya, rata-rata 1 cm per hari.

Sekarang ini hampir tidak ada warga yang membiarkan lahannya menganggur tidak ditanami, bahkan karena permintaan bibit oleh warga yang demikian banyak, kami harus antri maka ada beberapa warga yang berinisiatif melakukan pembibitan sendiri, mereka dibimbing oleh para ustadz ponpes Nurul Haramain. Gagasan Ia untuk membangun satu kompleks pondok pesantren yang menyatu dengan pemukiman penduduk sangat kami dukung,karena kami berharap nantinya anak-anak di desa kami akan lebih dekat untuk bisa bersekolah sekaligus bisa membantu kami,” Pak Rahman menambahi.

Penulis: Ahmad Mujaddid Rais

Sumber: Jurnal MAARIF, Vol. 10, No. 2 — Desember 2015

Penerima MAARIF Award 2008 – Cicilia Yuliati Hendayani

blank

Tempat Tanggal Lahir: Surabaya, 27 Juli 1968
Alamat Tinggal: Perum Kalimas Indah Blok C16, Pakunden, Blitar Jawa Timur

Penggerak advokasi petani untuk perlawanan stigmatisasi PKI dan inisiator pendidikan lintas agama di Blitar.

Masyarakat dusun Banyu Urip, Kec. Wonotirto, Kab. Blitar, begitu daerah ini dikenal, telah mengalami penindasan secara ekonomi, politik, dan agama.

Mereka tidak diakui bahkan mungkin disingkirkan dari peta pembangunan. Tak pelak, tingkat pendidikan masyarakat sangat rendah akibatnya semua penduduk nyaris buta hurup, masyarakat Banyu Urip tidak pernah mengenal hak-hak ekonomi, sosial bahkan politik sebagai warga negara, serta diperlakukan sebagai tamu di tanah kelahirannya sendiri karena “keengganan” pemerintah memberikan hak sertifikasi tanah warga.

Ia mendirikan institusi pendidikan TK yang menjadi ruang belajar bersama anak-anak lintas agama, dan berhasil mengadvokasi pembebasan lahan rakyat yang dikuasai perkebunan. Selanjutnya, ia bersama LSM yang dibentuknya, Sitas Desa, memperluas wilayah kerja dengan merangkul 11 desa lain, ia juga mendirikan Solidaritas Umat Beragama (SUB) untuk mediasi potensi konflik bernuansa agama.

Kegigihan Yanti mendapat pengakuan dari semua tokoh-tokoh organisasi sosial dan keagamaan.

Penerima MAARIF Award 2008 – Tuan Guru Haji (TGH) Hasanain Djuaini

blank

Tempat Tanggal Lahir: Lombok Barat, 17 Agustus 1964
Alamat Tinggal: Jl. Hamzah Wadi No. 5 Desa Mekar Indah Lembuak, Narmada, Lombok Barat, NTB

Tokoh agama penggerak eko-konservasi lahan tandus di NTB.

Meskipun sehari-hari bergulat dengan dunia kitab kuning, pandangan dan aksi sosial kyai muda ini melampaui kelajiman dunia kyai. Ia sangat resah dengan kondisi masyarakat NTB yang terperosok ke dalam lembah buta huruf, angka putus sekolah yang menjulang tinggi, serta tingkat partisipasi perempuan yang sangat rendah.

Ia mengintegrasikan dunia pendidikan, konservasi lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan mediasi konflik. Inilah yang kemudian disebut masyarakat Kab. Lombok Barat sebagai pendekatan Integrated Conservation. Kini gerakan ini telah berbuah, perbukitan madani yang tandus-gersang seluas 30 hektar telah disulap menjadi lembah hijau. Pada 2011, beliau mendapatkan Magsaysay Award

Penerima MAARIF Award 2008 – Drs. Tafsir, M.Ag.

blank

Tempat Tanggal Lahir: Kebumen, 16 Januari 1964
Alamat Tinggal: Jl. Tanjung Sari III/3 Ngaliyan, Semarang Jawa Tengah.

Tokoh agama yang memperjuangkan pluralisme dan hak kelompok minoritas di Semarang.

Ia konsisten memperjuangkan ide-ide progresif di dalam tubuh Muhammadiyah (struggle from within) meski secara organisasional masih sulit diterima.

Disamping memiliki radius pergaulan lintas agama yang luas, ia tidak ragu untuk berinteraksi bahkan terlibat intens dengan kelompok-kelompok marginal seperti kelompok waria, korban narkoba, dan penderita schizophrenia. Dalam pandangannya, Islam harus benar-benar menjadi kado terindah untuk alam.

Melalui Interfaith Forum Committe (IFC), Semarang, ia menggalang solidaritas lintas agama untuk melakukan kerja-kerja sosial kemanusiaan sebagai bentuk common ground agama-agama seperti memberantas kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan.

Penerima MAARIF Award 2010 – Romo Vincentius Kirjito

blank


Tempat Tanggal Lahir: Kulon Progo, 18 November 1953

Tokoh agama, pejuang lingkungan hidup, perekat kemajemukan lintas agama & budaya di lereng gunung Merapi.

Seorang pejuang lingkungan hidup yang mendasarkan perjuangannya pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Beliau telah berjuang bersama masyarakat Lereng Merapi untuk menjaga kelestarian alam sekitar dari kerusakan ekologis. Dalam aktivitas pelestarian sumber mata air Romo Kir menggunakan pendekatan budaya berupa pagelaran-pagelaran kesenian dengan mengajak warga masyarakat luas lintas etnis, budaya, dan agama.

Budaya baginya merupakan sarana universal yang dapat menampung semua kalangan, dari latar belakang agama apapun. Kiprahnya ini membuatnya lebih dikenal sebagai budayawan dibandingkan sebagai seorang pastor atau teolog. Ia mampu meramu pendekatan budaya untuk menyatukan warga masyarakat dalam melawan pengrusakan sumber-sumber mata air di pedesaan Lereng Merapi.

Penerima MAARIF Award 2010 – Habib Ali al-Habsyi

blank

Tempat Tanggal Lahir: Barabai, 15 September 1966

Aktivis Muslim Syiah, melakukan pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat lintas iman di Martapura, Kalimantan Selatan.

Ia menyadari sepenuhnya bahwa sistem perekonomian di tanah air hingga saat ini belum menjadi ruang yang baik bagi kemandirian ekonomi masyarakat.

Ia hadir melakukan perubahan mendasar di masyarakat akar rumput untuk menciptakan kemandirian ekonomi masyarakat. Habib Ali secara nyata telah melakukan pembelaan dan pemberdayaan, terutama di pasar Sekumpul, Martapura, yang awalnya belum ada. Kini Pasar Sekumpul telah menjadi roda pergerakan ekonomi kerakyatan di Sekumpul, Martapura.

Perjuangannya ia lakukan dengan mendirikan beberapa Baitul Mal wa Tamwil (BMT). Ia berhasil membangun jejaring BMT dan mengembangkan perekonomian masyarakat miskin setempat.

Perlahan-lahan perubahan pada masyarakat semakin nampak. Kini, kelompok masyarakat yang menjadi mitra Habib Ali sebagian besar telah mengalami perkembangan ekonomi yang cukup pesat. Perjuangannya dalam melakukan pemberdayaan masyarakat tidak terbatas oleh sekat-sekat primordialitas keagamaan ataupun aliran keagamaan tertentu. Ia termasuk di antara tokoh lintas agama di Kalimantan Selatan.

Penerima MAARIF Award 2012 – Ahmad Bahruddin

blankTokoh Muda NU Salatiga yang aktif dalam pemberdayaan masyarakat petani dan menginisiasi komunitas belajar Qoryah Thayyibah.

Kehidupan masyarakat desa, terutama petani adalah ruang kesadaran yang dimiliki oleh Ahmad Bahruddin, yang dengannya pula gagasan transformasi social ia terapkan.

Bagi Ahmad Bahruddin, pembangunan desa harus diawali dari semangat dan keyakinan berdikari. Sebuah keyakinan bahwa pembangunan harus dimulai dari kemandirian. Melalui serikat tani Qoryah Thayyibah, Ahmad Bahruddin dan kawan-kawannya mengorganisir potensi petani menjadi sebuah modal social yang luar biasa.

Kehadiran serikat tani yang dibangun Ahmad Bahruddin telah memberikan dampak nyata bagi ribuan tani anggota serikat, yang tersebar di seantero-Jawa Tengah. Tak hanya advokasi petani, Ahmad Bahruddin juga dikenal sebagai inisiator sekolah non-formal dalam bentuk Komunitas Belajar Qoryah Thayyibah.

Melalui komunitas ini, Bahruddin mendisain institusi belajar yang berbasis pada kebutuhan anak dan berakar pada kehidupan lingkungan dimana komunitas itu belajar. Bahruddin mencita-citakan hadirnya sebuah ruang belajar yang membebaskan, yang memberikan ruang kreatifitas seluas-luasnya bagi anggota komunitas belajar.

Hingga kini, serikat tani dan komunitas belajar ini tumbuh menjadi ikon sebuah komunitas yang diandaikan Ahmad Bahruddin sebagai Baldatun Thayyibatun wa Robbun Ghafur.