PERNYATAAN SIKAP MAARIF INSTITUTE atas Kasus Perusakan Rumah Doa Umat Kristen di Padang
Kasus Perusakan Rumah Doa Umat Kristen di Padang Ciderai Iklim Toleransi dan Kebinekaan di Indonesia
MAARIF Institute for Culture and Humanity menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas terjadinya perusakan rumah doa milik umat Kristiani di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, pada 27 Juli 2025. Tindakan ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum, nilai-nilai kemanusiaan, serta mencederai semangat kebinekaan yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Peristiwa ini bukan merupakan kejadian tunggal. Rentetan kasus intoleransi sebelumnya di wilayah Sumatera Barat, termasuk penolakan pembangunan rumah ibadah, pembatasan ekspresi keagamaan di institusi pendidikan, serta pembiaran terhadap tekanan kelompok-kelompok intoleran, menunjukkan adanya krisis toleransi yang perlu direspons secara serius dan sistematis.
MAARIF Institute memberikan apresiasi kepada Kepolisian Daerah Sumatera Barat atas langkah cepat yang diambil dalam menangkap sembilan terduga pelaku perusakan rumah doa milik umat Kristiani di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat. MAARIF Institute juga menghargai pernyataan responsif dari Kementerian Agama RI melalui Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB), yang menekankan pentingnya penguatan dialog dan komunikasi lintas iman sebagai instrumen penyelesaian konflik.
Namun demikian, MAARIF Institute menilai bahwa Pemerintah Daerah, baik Kota Padang maupun Provinsi Sumatera Barat, harus menunjukkan komitmen yang lebih kuat dan konsisten dalam merawat harmoni sosial. Pendekatan yang bersifat reaktif tidak lagi memadai; diperlukan strategi sistemik dan keberanian kebijakan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan sosial, pendidikan, dan pemerintahan.
MAARIF Institute menyampaikan solidaritas dan dukungan sepenuhnya kepada para korban, khususnya beberapa anak yang mengalami dampak langsung dari tindakan kekerasan ini. Negara berkewajiban hadir melalui jaminan perlindungan dan pemulihan psikososial bagi seluruh korban, terlebih bagi kelompok rentan seperti anak-anak.
Dalam hal ini, MAARIF Institute menyatakan bahwa:
- Perusakan rumah ibadah merupakan pelanggaran konstitusional dan hak asasi manusia. Tindakan tersebut bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjamin kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh warga negara.
- Kasus ini melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 22 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan memeluk agama dan beribadah menurut keyakinannya. Negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhinya.
- Negara, melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), telah menjamin hak setiap peserta didik untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan keyakinan yang dianutnya. Hal ini tertuang dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a yang menyatakan:“Setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.” Oleh karena itu, segala bentuk tekanan, diskriminasi, atau pembatasan terhadap pelaksanaan pendidikan agama yang sah di lingkungan sekolah merupakan pelanggaran terhadap amanat undang-undang dan konstitusi.
- Perusakan terhadap rumah ibadah agama lain, jika ditinjau perspektif ajaran Islam, adalah tindakan kezaliman. Al-Qur’an menyatakan,“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama…” (QS. Al-Baqarah: 256) dan“Apakah engkau (Muhammad) hendak memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman seluruhnya?” (QS. Yunus: 99). Nabi Muhammad SAW juga bersabda,“Barang siapa menyakiti seorang dzimmi, maka aku akan menjadi musuhnya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud).
- Pemerintah di level daerah dan provinsi wajib mengarusutamakan pendidikan toleransi dan kebinekaan di seluruh satuan pendidikan, serta memfasilitasi forum lintas iman sebagai ruang dialog warga untuk membangun kohesi sosial.
- Aparat penegak hukum harus lebih sigap dalam menindak setiap bentuk intoleransi secara tegas, adil, dan tanpa kompromi, serta memastikan pemulihan hak-hak kelompok minoritas yang terdampak.
- Partisipasi aktif oleh masyarakat sipil, tokoh agama, dan dunia pendidikan dalam membangun budaya damai yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila, konstitusi, serta warisan etika kemanusiaan universal, adalah kerja-kerja peradaban yang harus selalu dirawat dalam iklim negara demokrasi.
MAARIF Institute terus mengimbau seluruh elemen bangsa untuk menjaga dan memperkuat semangat keindonesiaan yang berakar pada nilai-nilai toleransi, keadilan, dan kebersamaan. Toleransi bukanlah sikap pasif, melainkan tindakan aktif dan sadar untuk menciptakan ruang hidup bersama yang damai, inklusif, dan bermartabat.
Jakarta, 28 Juli 2025
MAARIF Institute for Culture and Humanity
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!