Jakarta, 9 Mei 2025 – MAARIF Institute for Culture and Humanity menyampaikan keprihatinan mendalam atas rencana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang akan mengirim siswa-siswa dengan perilaku yang dianggap menyimpang, termasuk perilaku seperti tawuran, merokok, mabuk-mabukan, hingga orientasi seksual yang “terindikasi LGBT” ke barak militer untuk dibina. Model pembinaan ini telah diterapkan di Purwakarta dan direncanakan diperluas ke Bandung dan Cianjur —sebuah perluasan yang perlu dipertimbangkan secara kritis, bahkan dihentikan.
MAARIF Institute memandang bahwa pendekatan ini tidak hanya keliru secara fundamental, tetapi juga berbahaya dan berpotensi merusak sistem pendidikan secara struktural. Kami menyoroti tiga aspek yang patut menjadi perhatian bersama:
Militerisasi Pendidikan adalah Kekerasan dan Pelanggaran Perlindungan Anak
Pengiriman siswa ke barak militer merupakan bentuk kekerasan simbolik dan struktural dalam dunia pendidikan. Dalam teori Bourdieu & Passeron (1977), kekerasan simbolik terjadi ketika institusi seperti sekolah menanamkan nilai dan norma dominan secara paksa namun tak kasat mata, sehingga diterima sebagai kebenaran tanpa pertanyaan. Pendekatan militeristik terhadap siswa yang dianggap menyimpang mencerminkan dominasi ini, mengganti proses pendidikan yang reflektif dan dialogis dengan pemaksaan disiplin yang menekankan kepatuhan tanpa nalar. Dalam sistem seperti ini, pendidikan berhenti menjadi alat pembebasan, dan berubah menjadi instrumen penyeragaman yang membungkam keberagaman ekspresi anak.
Dari perspektif psikologi pendidikan, gaya pendisiplinan semacam ini bukan hanya gagal membangun kesadaran moral, tetapi juga berdampak negatif terhadap pembentukan identitas remaja. Pendekatan ala militer memperkuat label “nakal” tanpa ruang pemulihan. Tanpa mekanisme dialog dan dukungan emosional, siswa justru kehilangan kepercayaan terhadap guru, sekolah, dan institusi pendidikan secara keseluruhan. Alih-alih membangun pemahaman, pendekatan ini hanya memperdalam stigma dan resistensi siswa terhadap proses belajar.
Lebih jauh, dalam konteks krisis kesehatan mental remaja Indonesia saat ini, pendekatan represif semacam ini sangat berisiko. Survei mencatat satu dari tiga remaja mengalami gangguan psikologis (Center for Reproductive Health, University of Queensland, & Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, 2022). Data WHO (2024) menyebut 14% anak dan remaja dunia menghadapi masalah serupa. Lingkungan pendidikan yang berbasis hukuman dan stigma hanya akan menambah tekanan, memperbesar risiko depresi, kecemasan, dan isolasi sosial. Alih-alih menyelesaikan masalah perilaku, kebijakan semacam ini justru menciptakan luka baru yang mengancam masa depan anak-anak sebagai individu dan warga negara.
Kebijakan pengiriman siswa ke barak militer juga bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan konstitusi. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak secara tegas menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi, serta tumbuh dalam lingkungan yang aman dan mendukung. Kebijakan ini juga melanggar Pasal 28I UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun, termasuk ekspresi identitas dan latar belakang sosial. Selain itu, Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 mewajibkan negara untuk memastikan bahwa tindakan korektif terhadap anak dilakukan demi kepentingan terbaik anak, bukan melalui pendekatan yang mempermalukan, mengasingkan, atau menakut-nakuti.
Bertentangan dengan Arah Reformasi Pendidikan Nasional
Kebijakan pengiriman siswa ke barak militer bertentangan secara mendasar dengan arah reformasi pendidikan nasional yang tengah menempatkan peserta didik sebagai subjek utama dalam proses pembelajaran. Dalam Konsolidasi Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah 2025, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., menegaskan komitmen pemerintah untuk mewujudkan pendidikan dasar dan menengah yang bermutu, inklusif, dan berkeadilan (Purwati, 2025). Visi ini menempatkan setiap anak sebagai subjek yang berhak atas lingkungan belajar yang aman, merata, dan menghargai keberagaman.
Dalam banyak kesempatan, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah juga menekankan deep learning, yaitu proses pembelajaran yang bermutu harus diselenggarakan secara mindful (berkesadaran), meaningful (bermakna dan relevan), dan joyful (menyenangkan dan membebaskan). Tiga prinsip ini menjadi fondasi dari pendidikan yang mendalam dan berjangka panjang.
Sebaliknya, model militeristik dalam dunia pendidikan memperkuat logika kekuasaan yang menekankan kepatuhan dan intimidasi. Pendekatan semacam ini tidak hanya menghambat pertumbuhan psikososial anak, tetapi juga secara langsung bertentangan dengan semangat pendidikan yang inklusif, bermutu, dan berkeadilan sebagaimana dicita-citakan dalam kerangka kebijakan nasional. Terlebih lagi, kebijakan ini melanggar prinsip-prinsip dasar yang diatur dalam Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan, yang mewajibkan semua lingkungan pendidikan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan peserta didik, serta melarang segala bentuk kekerasan, hukuman fisik, maupun perlakuan diskriminatif terhadap siswa.
Dengan demikian, pendekatan militeristik tidak hanya gagal menjawab persoalan pendidikan secara substansial, tetapi juga melemahkan kerangka hukum dan etika yang telah dibangun bersama demi melindungi hak anak di lingkungan belajar. Kebijakan seperti ini mengembalikan dunia pendidikan pada pola lama yang represif dan eksklusif, suatu kemunduran yang tidak boleh dinormalisasi.
Menciptakan Kambing Hitam Sepihak dan Upaya Menghindari Evaluasi Sistemik
Melakukan pembinaan di barak militer menunjukkan kecenderungan pemerintah daerah yang menjadikan siswa sebagai satu-satunya objek pembinaan dalam merespons berbagai persoalan sosial seperti tawuran, merokok, konsumsi alkohol, hingga ekspresi identitas seksual. Pendekatan ini tidak hanya menyederhanakan persoalan, tetapi juga mengabaikan akar-akar struktural yang melatarbelakangi perilaku remaja. Dalam kerangka sosiologis, tindakan menyalahkan individu tanpa mempertimbangkan pengaruh sistemik merupakan bentuk dari scapegoating atau penciptaan kambing hitam yang sering digunakan untuk menghindari tanggung jawab institusional dan kegagalan kebijakan publik (Giroux, 2013) .
Dengan menjadikan siswa sebagai sasaran tunggal, negara dan pemerintah daerah secara tidak langsung menanggalkan tanggung jawab pendidikan yang seharusnya bersifat kolektif —melibatkan sekolah, keluarga, dan lingkungan sosial. Perilaku menyimpang remaja sangat dipengaruhi oleh interaksi kompleks misalnya antara ketimpangan sosial, minimnya ruang ekspresi, beban kurikulum yang tidak kontekstual, serta lemahnya relasi dialogis antara pendidik dan peserta didik.
Di tengah kompleksitas ini, alih-alih mendorong evaluasi terhadap kebijakan pendidikan dan kurikulum yang komprehensif dan sistemik, pemerintah justru memilih jalur pintas dengan mengontrol tubuh siswa tanpa menyentuh akar ketimpangan. Sikap ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga menjauhkan kita dari cita-cita pendidikan yang memanusiakan manusia.
Mengacu pada tiga poin kritis di atas yakni kekerasan simbolik dalam pendidikan, pelanggaran terhadap hak anak, pertentangan dengan reformasi pendidikan nasional, pengabaian prinsip perlindungan dari kekerasan di satuan pendidikan, serta kecenderungan scapegoating dalam kebijakan daerah, MAARIF Institute menyampaikan sikap sebagai berikut:
- Menolak segala bentuk pembinaan siswa melalui pendekatan militeristik, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan yang berkeadaban dan memperkuat praktik kekerasan simbolik yang tidak manusiawi. Kami mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk membatalkan rencana pengiriman siswa ke barak militer dan menyusun kebijakan alternatif yang berbasis pendekatan humanistik, reflektif, dan inklusif.
- Mendorong Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah untuk memberikan arahan tegas, supervisi, dan pendampingan kebijakan kepada pemerintah daerah agar penyelenggaraan pendidikan selaras dengan visi nasional: bermutu, inklusif, dan berkeadilan, sebagaimana dicanangkan dalam Konsolidasi Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah 2025. Kebijakan pendidikan daerah harus menjunjung nilai kebebasan berpikir, non-diskriminasi, dan keselamatan peserta didik.
- Meminta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas HAM, dan lembaga perlindungan anak lainnya untuk segera melakukan pemantauan dan asesmen terhadap kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, serta mengeluarkan rekomendasi resmi atas potensi pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak yang diratifikasi oleh Indonesia.
- Mengimbau masyarakat sipil, organisasi profesi pendidikan, dan komunitas keagamaan progresif untuk bersuara dan menolak normalisasi kekerasan dalam dunia pendidikan, terutama ketika dilakukan atas nama pembinaan moral. Praktik seperti ini tidak hanya keliru secara pedagogis, tetapi juga melemahkan komitmen kolektif kita terhadap pendidikan yang transformatif dan berlandaskan keadilan sosial.
- Menyerukan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pendidikan yang bersifat reaktif dan koersif, serta mendorong perumusan kebijakan berbasis bukti yang melibatkan peran aktif pendidik, psikolog, keluarga, dan komunitas. Penanganan persoalan remaja harus dilakukan dengan pendekatan intersektoral dan sistemik, bukan melalui pendekatan instan yang menyalahkan anak dan mengabaikan konteks sosial-ekonomi yang melingkupinya.
MAARIF Institute berkomitmen untuk terus memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dalam sistem pendidikan nasional. Kami percaya bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang memanusiakan manusia, bukan yang membungkam keragaman dan menundukkan dengan ketakutan. Pendidikan yang adil dan bermutu tidak lahir dari kekerasan, tetapi dari empati, dialog, dan keberanian untuk merefleksikan kegagalan bersama sebagai langkah awal menuju perubahan yang lebih beradab.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!