Tag Archive for: pendidikan

POLICY BRIEF MAARIF HOUSE 10 Menuju Pendidikan Nir Kekerasan: Tinjauan Terhadap Kebijakan Pembinaan Siswa Gubernur Jawa Barat

Policy brief ini merupakan hasil pembaruan dari kajian kebijakan MAARIF Institute, yang telah diperkuat dengan konteks pendidikan nasional terkini serta masukan dari kegiatan MAARIF HOUSE edisi kesepuluhbertajuk ““Pendidikan Nir Kekerasan: Meninjau Kebijakan Pendidikan Gubernur Jawa Barat””. Roundtable discussion tersebut diselenggarakan pada Jumat, 16 Mei 2025 di kantor MAARIF Institute dan menghadirkan 7 tokoh terpilih dari kalangan sektor publik, swasta, dan masyarakat madani.

Narasumber:

  1. Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)
  2. Alpha Amirrachman, Dosen Fakultas Pendidikan Universitas Islam Internasional Indonesia
  3. Amiruddin Al Rahab, aktivis HAM dan pengamat militer
  4. Dien Nurmarina Malik Fadjar, Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta
  5. Esti Purnawinarni, Pengurus Harian LP Ma’arif NU Bidang Pendidikan
  6. Romo Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada
  7. Wisnu Adihartono, Sosiolog & Associate Researcher MAARIF Institute

Tim Peneliti:

  • Laila Hanifah (MAARIF Institute)
  • Yahya Fathur Rozy (MAARIF Institute)

Download disini

Pernyataan Sikap MAARIF Institute: Pembinaan Siswa di Barak Militer adalah Militerisasi Dunia Pendidikan

Jakarta, 9 Mei 2025 – MAARIF Institute for Culture and Humanity menyampaikan keprihatinan mendalam atas rencana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang akan mengirim siswa-siswa dengan perilaku yang dianggap menyimpang, termasuk perilaku seperti tawuran, merokok, mabuk-mabukan, hingga orientasi seksual yang “terindikasi LGBT” ke barak militer untuk dibina. Model pembinaan ini telah diterapkan di Purwakarta dan direncanakan diperluas ke Bandung dan Cianjur —sebuah perluasan yang perlu dipertimbangkan secara kritis, bahkan dihentikan.

MAARIF Institute memandang bahwa pendekatan ini tidak hanya keliru secara fundamental, tetapi juga berbahaya dan berpotensi merusak sistem pendidikan secara struktural. Kami menyoroti tiga aspek yang patut menjadi perhatian bersama:

Militerisasi Pendidikan adalah Kekerasan dan Pelanggaran Perlindungan Anak

Pengiriman siswa ke barak militer merupakan bentuk kekerasan simbolik dan struktural dalam dunia pendidikan. Dalam teori Bourdieu & Passeron (1977), kekerasan simbolik terjadi ketika institusi seperti sekolah menanamkan nilai dan norma dominan secara paksa namun tak kasat mata, sehingga diterima sebagai kebenaran tanpa pertanyaan. Pendekatan militeristik terhadap siswa yang dianggap menyimpang mencerminkan dominasi ini, mengganti proses pendidikan yang reflektif dan dialogis dengan pemaksaan disiplin yang menekankan kepatuhan tanpa nalar. Dalam sistem seperti ini, pendidikan berhenti menjadi alat pembebasan, dan berubah menjadi instrumen penyeragaman yang membungkam keberagaman ekspresi anak.

Dari perspektif psikologi pendidikan, gaya pendisiplinan semacam ini bukan hanya gagal membangun kesadaran moral, tetapi juga berdampak negatif terhadap pembentukan identitas remaja. Pendekatan ala militer memperkuat label “nakal” tanpa ruang pemulihan. Tanpa mekanisme dialog dan dukungan emosional, siswa justru kehilangan kepercayaan terhadap guru, sekolah, dan institusi pendidikan secara keseluruhan. Alih-alih membangun pemahaman, pendekatan ini hanya memperdalam stigma dan resistensi siswa terhadap proses belajar.

Lebih jauh, dalam konteks krisis kesehatan mental remaja Indonesia saat ini, pendekatan represif semacam ini sangat berisiko. Survei mencatat satu dari tiga remaja mengalami gangguan psikologis (Center for Reproductive Health, University of Queensland, & Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, 2022). Data WHO (2024) menyebut 14% anak dan remaja dunia menghadapi masalah serupa. Lingkungan pendidikan yang berbasis hukuman dan stigma hanya akan menambah tekanan, memperbesar risiko depresi, kecemasan, dan isolasi sosial. Alih-alih menyelesaikan masalah perilaku, kebijakan semacam ini justru menciptakan luka baru yang mengancam masa depan anak-anak sebagai individu dan warga negara.

Kebijakan pengiriman siswa ke barak militer juga bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan konstitusi. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak secara tegas menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi, serta tumbuh dalam lingkungan yang aman dan mendukung. Kebijakan ini juga melanggar Pasal 28I UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun, termasuk ekspresi identitas dan latar belakang sosial. Selain itu, Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 mewajibkan negara untuk memastikan bahwa tindakan korektif terhadap anak dilakukan demi kepentingan terbaik anak, bukan melalui pendekatan yang mempermalukan, mengasingkan, atau menakut-nakuti.

Bertentangan dengan Arah Reformasi Pendidikan Nasional
Kebijakan pengiriman siswa ke barak militer bertentangan secara mendasar dengan arah reformasi pendidikan nasional yang tengah menempatkan peserta didik sebagai subjek utama dalam proses pembelajaran. Dalam Konsolidasi Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah 2025, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., menegaskan komitmen pemerintah untuk mewujudkan pendidikan dasar dan menengah yang bermutu, inklusif, dan berkeadilan (Purwati, 2025). Visi ini menempatkan setiap anak sebagai subjek yang berhak atas lingkungan belajar yang aman, merata, dan menghargai keberagaman.

Dalam banyak kesempatan, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah juga menekankandeep learning, yaitu proses pembelajaran yang bermutu harus diselenggarakan secaramindful (berkesadaran),meaningful (bermakna dan relevan), danjoyful (menyenangkan dan membebaskan). Tiga prinsip ini menjadi fondasi dari pendidikan yang mendalam dan berjangka panjang.

Sebaliknya, model militeristik dalam dunia pendidikan memperkuat logika kekuasaan yang menekankan kepatuhan dan intimidasi. Pendekatan semacam ini tidak hanya menghambat pertumbuhan psikososial anak, tetapi juga secara langsung bertentangan dengan semangat pendidikan yang inklusif, bermutu, dan berkeadilan sebagaimana dicita-citakan dalam kerangka kebijakan nasional. Terlebih lagi, kebijakan ini melanggar prinsip-prinsip dasar yang diatur dalam Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan, yang mewajibkan semua lingkungan pendidikan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan peserta didik, serta melarang segala bentuk kekerasan, hukuman fisik, maupun perlakuan diskriminatif terhadap siswa.

Dengan demikian, pendekatan militeristik tidak hanya gagal menjawab persoalan pendidikan secara substansial, tetapi juga melemahkan kerangka hukum dan etika yang telah dibangun bersama demi melindungi hak anak di lingkungan belajar. Kebijakan seperti ini mengembalikan dunia pendidikan pada pola lama yang represif dan eksklusif, suatu kemunduran yang tidak boleh dinormalisasi.

Menciptakan Kambing Hitam Sepihak dan Upaya Menghindari Evaluasi Sistemik
Melakukan pembinaan di barak militer menunjukkan kecenderungan pemerintah daerah yang menjadikan siswa sebagai satu-satunya objek pembinaan dalam merespons berbagai persoalan sosial seperti tawuran, merokok, konsumsi alkohol, hingga ekspresi identitas seksual. Pendekatan ini tidak hanya menyederhanakan persoalan, tetapi juga mengabaikan akar-akar struktural yang melatarbelakangi perilaku remaja. Dalam kerangka sosiologis, tindakan menyalahkan individu tanpa mempertimbangkan pengaruh sistemik merupakan bentuk dariscapegoating atau penciptaan kambing hitam yang sering digunakan untuk menghindari tanggung jawab institusional dan kegagalan kebijakan publik (Giroux, 2013) .

Dengan menjadikan siswa sebagai sasaran tunggal, negara dan pemerintah daerah secara tidak langsung menanggalkan tanggung jawab pendidikan yang seharusnya bersifat kolektif —melibatkan sekolah, keluarga, dan lingkungan sosial. Perilaku menyimpang remaja sangat dipengaruhi oleh interaksi kompleks misalnya antara ketimpangan sosial, minimnya ruang ekspresi, beban kurikulum yang tidak kontekstual, serta lemahnya relasi dialogis antara pendidik dan peserta didik.

Di tengah kompleksitas ini, alih-alih mendorong evaluasi terhadap kebijakan pendidikan dan kurikulum yang komprehensif dan sistemik, pemerintah justru memilih jalur pintas dengan mengontrol tubuh siswa tanpa menyentuh akar ketimpangan. Sikap ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga menjauhkan kita dari cita-cita pendidikan yang memanusiakan manusia.

Mengacu pada tiga poin kritis di atas yakni kekerasan simbolik dalam pendidikan, pelanggaran terhadap hak anak, pertentangan dengan reformasi pendidikan nasional, pengabaian prinsip perlindungan dari kekerasan di satuan pendidikan, serta kecenderungan scapegoating dalam kebijakan daerah, MAARIF Institute menyampaikan sikap sebagai berikut:

  • Menolak segala bentuk pembinaan siswa melalui pendekatan militeristik, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan yang berkeadaban dan memperkuat praktik kekerasan simbolik yang tidak manusiawi. Kami mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk membatalkan rencana pengiriman siswa ke barak militer dan menyusun kebijakan alternatif yang berbasis pendekatan humanistik, reflektif, dan inklusif.
  • Mendorong Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengahuntuk memberikan arahan tegas, supervisi, dan pendampingan kebijakan kepada pemerintah daerah agar penyelenggaraan pendidikan selaras dengan visi nasional:bermutu, inklusif, dan berkeadilan, sebagaimana dicanangkan dalam Konsolidasi Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah 2025. Kebijakan pendidikan daerah harus menjunjung nilai kebebasan berpikir, non-diskriminasi, dan keselamatan peserta didik.
  • Meminta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas HAM, dan lembaga perlindungan anak lainnya untuk segera melakukan pemantauan dan asesmen terhadap kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, serta mengeluarkan rekomendasi resmi atas potensi pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak yang diratifikasi oleh Indonesia.
  • Mengimbau masyarakat sipil, organisasi profesi pendidikan, dan komunitas keagamaan progresif untuk bersuara dan menolak normalisasi kekerasan dalam dunia pendidikan, terutama ketika dilakukan atas nama pembinaan moral. Praktik seperti ini tidak hanya keliru secara pedagogis, tetapi juga melemahkan komitmen kolektif kita terhadap pendidikan yang transformatif dan berlandaskan keadilan sosial.
  • Menyerukan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pendidikan yang bersifat reaktif dan koersif, serta mendorong perumusan kebijakan berbasis bukti yang melibatkan peran aktif pendidik, psikolog, keluarga, dan komunitas. Penanganan persoalan remaja harus dilakukan dengan pendekatan intersektoral dan sistemik, bukan melalui pendekatan instan yang menyalahkan anak dan mengabaikan konteks sosial-ekonomi yang melingkupinya.

MAARIF Institute berkomitmen untuk terus memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dalam sistem pendidikan nasional. Kami percaya bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang memanusiakan manusia, bukan yang membungkam keragaman dan menundukkan dengan ketakutan. Pendidikan yang adil dan bermutu tidak lahir dari kekerasan, tetapi dari empati, dialog, dan keberanian untuk merefleksikan kegagalan bersama sebagai langkah awal menuju perubahan yang lebih beradab.

MAARIF Institute Hadiri Leader Series 2025 by Google for Education: Menjawab Tantangan Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan

Jakarta, 29 April 2025 – Google Indonesia bersama Google for Education menggelar Leader Series 2025: Memimpin di Era AI, sebuah forum eksklusif yang dirancang khusus bagi para pemimpin pendidikan di Indonesia untuk membahas transformasi pembelajaran di era kecerdasan buatan (AI).

Acara yang berlangsung di Pacific Century Place Tower Kantor Google Indonesia, Jakarta, pada Selasa (29/4), menghadirkan berbagai sesi inspiratif, lokakarya interaktif, serta diskusi panel yang membahas penerapan teknologi AI guna membangun ekosistem pembelajaran yang lebih personal, efisien, dan berkelanjutan.

Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Andar Nubowo, turut hadir dalam acara tersebut bersama dengan para pegiat pendidikan nasional dan para pemimpin daerah seperti bupati, walikota, dinas pendidikan provinsi, dinas pendidikan kota dan dinas pendidikan kabupaten dari berbagai wilayah di Indonesia. Kehadiran MAARIF Institute menandai komitmen terhadap transformasi pendidikan berbasis teknologi yang tetap menjunjung nilai-nilai humanis dan inklusif.

Acara ini dibuka oleh Olivia Husli Basrin, Country Lead Google for Education Indonesia, serta menghadirkan Kevin Kells, Global Managing Director Google for Education, yang memaparkan strategi global Google dalam mendukung pendidikan melalui teknologi.

Dalam rangkaian agenda, peserta mengikuti Simon Sinek Workshop “The Infinite Game (of Education)” yang dipandu oleh Dr. Joseph Kim, Simon Sinek’s Optimism Company, serta sesi Fireside Chat yang menampilkan kisah sukses penerapan AI di berbagai institusi pendidikan lokal dan regional.

Leader Series 2025 dirancang untuk memberikan wawasan, koneksi, dan panduan strategis bagi para pemimpin sekolah dan institusi pendidikan dalam menyusun roadmap integrasi AI. Fokus utama meliputi pemanfaatan alat Google for Education, penguatan literasi digital, pemberdayaan guru, serta peningkatan kesejahteraan siswa.

Acara ini juga menjadi ruang kolaboratif bagi para pemimpin pendidikan untuk saling bertukar pengalaman dan membangun jejaring guna menghadirkan solusi konkret atas tantangan pendidikan di Indonesia. (VP)

Survei Nasional MAARIF Institute: Ungkap Variasi Pandangan dan Praktik Keagamaan Muslim Indonesia

Jakarta, 13 Maret 2025 – MAARIF Institute bekerja sama dengan Faculty of Social Sciences Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) menggelar acara “Diseminasi Hasil Survei Nasional: Variasi Pandangan dan Praktik Keagamaan Muslim Indonesia; Pendidikan, Pancasila, dan Kewarganegaraan Global.” Acara ini berlangsung di Gedung Pusat Dakwah PP Muhammadiyah pada Kamis (13/3) dan dihadiri oleh sejumlah pakar serta pemangku kebijakan di bidang pendidikan dan agama. Turut hadir para Penanggap Diseminasi Hasil Survei Nasional yaitu Prof. Nina Nurmila, Ph.D., Dekan Fakultas Pendidikan UIII, Faried F. Saenong, Ph.D., Koordinator Staf Khusus Kementerian Agama, dan Tatang Muttaqien, Ph.D., Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Pendidikan Layanan Khusus Kemendikdasmen.

Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Andar Nubowo, Ph.D dalam sambutan pembukanya menegaskan bahwa fenomena keberagaman di masyarakat berkaitan erat dengan pendidikan sebagai isu fundamental. “Pendidikan menjadi faktor kunci dalam membentuk perspektif masyarakat. Survei ini menunjukkan bahwa umat Islam kini melihat Pancasila secara lebih positif dibandingkan masa lalu,” ujarnya. Ia juga menyoroti bagaimana isu global seperti konflik Palestina-Israel, westernisasi, dan Arabisme turut berpengaruh terhadap budaya Indonesia, sebagaimana tergambar dalam hasil survei nasional.

Pemaparan hasil riset disampaikan oleh Yahya Fathur Rozi, peneliti MAARIF Institute. Dalam survei yang dilakukan pada 19-23 Desember 2024, ditemukan bahwa kualitas pengajar menjadi prioritas utama dalam dunia pendidikan, diikuti oleh demokrasi kewarganegaraan, kesejahteraan, kekerasan di lingkungan sekolah, serta akses pendidikan menengah dan perguruan tinggi. “Kualitas pengajaran menjadi prioritas karena guru memegang peran sentral dalam proses pendidikan,” jelasnya.

Selain itu, survei juga mengungkap adanya perbedaan prioritas berdasarkan gender. “Sebanyak 23,9% responden laki-laki lebih menekankan nilai demokrasi, sementara 26,6% responden perempuan lebih memprioritaskan kualitas pengajaran di kelas,” tambahnya. Dari perspektif agama, umat Muslim cenderung lebih memprioritaskan kualitas pengajaran, sedangkan kelompok non-Muslim lebih mengutamakan demokrasi dan kewarganegaraan.

Menariknya, Dalam survei yang dilakukan pada 19-23 Desember 2024 menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia merasa bangga menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), dengan separuh responden menyatakan rasa kebanggaan tersebut dalam tingkat yang sangat tinggi.

Nina Nurmila, menyoroti hasil survei dari perspektif interseksionalitas, yang menganalisis hubungan antara gender, ras, etnis, agama, dan orientasi sosial dalam pendidikan. “Semakin tinggi tingkat pendidikan dan penghasilan seseorang, semakin besar pula penolakannya terhadap proteksi budaya Indonesia dari pengaruh budaya asing. Mereka memiliki kesempatan lebih besar untuk mengeksplorasi budaya global dan menyadari bahwa budaya Indonesia juga memiliki aspek yang perlu dikritisi,” paparnya. Ia juga menekankan pentingnya pendidikan inklusif agar masyarakat tidak terjebak dalam eksklusivitas berlebihan dalam beragama.

Sementara itu, Faried F. Saenong, menegaskan bahwa meskipun Pancasila dan agama tidak lagi menjadi isu ideologis yang diperdebatkan secara luas, refleksi terhadap Pancasila sebagai ideologi tetap perlu dilakukan. “Kadang kita berpikir bahwa perdebatan ideologis telah selesai, tetapi di lapisan tertentu masih ada tantangan terkait kelompok yang ingin menghidupkan kembali wacana negara Islam di Indonesia,” ungkapnya. Ia juga menyoroti pentingnya apresiasi terhadap nilai-nilai keindonesiaan dalam menghadapi dinamika budaya global. “Ekspresi budaya lokal harus tetap ada jika kita ingin mengadopsi budaya asing yang datang ke Indonesia,” tambahnya.

Di sisi lain, Tatang Muttaqien, menekankan pentingnya pendidikan vokasi dalam memperkuat wawasan kebangsaan. “Pendidikan vokasi yang berbasis praktik kolaboratif akan membuat peserta didik memiliki wawasan kebangsaan yang lebih kokoh. Dengan begitu, mereka bisa memahami fenomena global sambil tetap mempertahankan identitas nasional,” jelasnya. Ia juga menyoroti pentingnya visualisasi kondisi nyata dalam pembelajaran. “Ketika teori digabungkan dengan praktik di lapangan, pemahaman tentang ideologi dan pendidikan vokasi akan lebih kuat,” tegasnya.

Acara diseminasi ini memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai dinamika keberagamaan dan pendidikan di Indonesia. Hasil survei menunjukkan bahwa pendidikan tetap menjadi faktor kunci dalam membentuk perspektif masyarakat terhadap demokrasi, kebangsaan, dan identitas budaya. Dengan berbagai tantangan yang muncul dari pengaruh budaya global dan pergeseran nilai-nilai sosial, pemangku kebijakan dan akademisi diharapkan dapat terus menggali strategi yang tepat untuk menjaga keseimbangan antara modernisasi dan identitas nasional. (VP)

Hasil survei nasional secara lengkap dapat diunduh disini: bit.ly/Surnas_MAARIF