Program Riset & Kajian Pemikiran Islam dikelola oleh sebuah divisi dengan menghadirkan program-program unggulan setiap tahunnya, diantaranya: Penerbiatan Jurnal MAARIF, Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan ASM, Diskusi Kajian Pemikiran Islam dan Bedah Buku, Pengembangan Kapasitas Organisasi berbasis Agama, dll.

Nama-nama Penerima MAARIF Fellowship (MAF) 2021/2022

BERITA ACARA

Nomor: 004.009/MICH–B/Prg/IV-22

 

Tentang:

Hasil Seleksi Tahap II Terhadap Presentasi Proposal Penelitian

Nominees MAARIF Fellowship (MAF) 2021/2022

 

Pada hari ini, Senin, tanggal sebelas, bulan April, tahun dua ribu dua puluh dua, Dewan Juri MAARIF Fellowship (MAF) 2021 yang bertanda-tangan dibawah ini :

  1. Alimatul Qibtiyah, Ph.D.
  2. Hilman Latief, Ph.D.
  3. Mukhaer Pakkana

Setelah hasil penilaian seleksi tahap I pada tanggal 24 Februari 2022, dan memperhatikan pemaparan presentasi 20 orang nominees MAF 2021/2022 pada proses seleksi tahap II tanggal 24 Maret 2022, Dewan Juri MAF 2021/2022 telah menetapkan nama-nama Penerima Hibah Penelitian MAF 2021/2022 sebagai berikut:

  1. Aan Arizandy, Universitas Gadjah Mada, “Agensi, Subjektivitas, dan Politik Kesalehan: Dinamika Gerakan Keagamaan Perempuan Aisyiyah di Era-Kontemporer”
  2. Alfia Nur Aulia, Universitas Muhammadiyah Malang, “Ijtihad Muhammadiyah Melawan Kekerasan Seksual”
  3. Ichsanul Rizal Husen, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, “Peran Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Muhammadiyah Sleman Dalam Pemberdayaan Petani”

* urutan berdasarkan abjad nama

 

Untuk itu, Dewan Juri MAF 2021/2022 mengamanatkan kepada MAARIF Institute for Culture and Humanity, sebagai panitia penyelenggara MAF 2021/2022, untuk melanjutkan tahapan selanjutnya dari proses kegiatan pasca penjurian ini berakhir.

 

Demikian berita acara ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

 

Tertanda,

  1. Juri 1: Prof. Alimatul Qibtiyah, Ph.D.
  2. Juri 2: Prof.Hilman Latief, Ph.D.
  3. Juri 3:Dr. Mukhaer Pakkana

 

Convey

Sebuah program yang bertujuan untuk mengembangkan potensi pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia untuk mempromosikan perdamaian dan toleransi. Dalam program Convey 4 ini, MAARIF Institute terlibat untuk melakukan evaluasi dan studi dampak bagi para alumni program “Pesantren Leaders Visit to japan”

Protect

program yang didesain untuk memperkuat kapasitas kepamudaan, perempuan, dan memperkokoh kapasitas ulama Organisasi islam Moderat dalam upaya penguatan toleransi dan pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan. Dukungan penguatan kapasitas ini akan membantu untuk memperkuat ormas islam moderat dalam mengarusutamakan islam wasathiyah di Indonedisia.

Kajian Pemikiran Islam dan Bedah Buku

Program ini dilaksanakan dalam bentuk serial diskusi/kajian pemikiran islam kontemporer dan bedah buku terbaru diantaranya:

  • Diskusi Kajian Ramadhan (Tadarus Onlne)
  • Serial Diskusi Pemikiran Buya Syafii Maarif
  • Serial Bedah Buku dan Kajian Pemikrian Islam Kontempores

 

Critical & Design Thinking

Program pelatihan online dengan menekankan pada kemampuan berpikir kritis dan analytisk, sebagai bentuk pencegahan penetrasi paham ekstremis, dan mempromosikan toleransı dengan cara memproduksi konten positif. program ini mempertemukan 50 peserta terpilih dari SMA, SMK, dan MA dari seluruh Indonesia dalam 6 kali pertemuan.

JURNAL MAARIF

Halaqah Fikih Kebhinekaan 2015

Indonesia dikenal sebagai negara terbesar dengan sistem Demokrasi, ketiga setelah Amerika dan India. Tak hanya itu, Indonesia juga dikenal dengan negara berpenduduk mayoritas Muslim. Fakta menyebutkan bahwa jumlah penganut agama Islam adalah tertinggi di Indonesia. Dari data yang ada, pada tahun 2010 umat Islam Indonesia berjumlah 207 juta jiwa atau 87,2% dari total penduduk Indonesia. Sebuah fakta kuantitatif yang tidak bisa diabaikan.Kaitan antara demokrasi dan masyarakat Muslim tentu menjadi diskursus yang masih tetap menarik hingga hari ini.

Diskursus ini membentang dalam banyak hal, seperti dalam konteks relasi antarumat beragama dan intra umat beragama dan juga pada relasi mayoritas dan minoritas. Dan keduanya akan semakin kompleks jika dikaitkan dengan konsekuensi demokrasi di Indonesia. Oleh karenanya, tak jarang ummat harus dihadapkan pada realitas sosial dan politik yang tidak mudah dan memerlukan telaah yang mendalam untuk menyikapinya.

Dalam relasi antarumat beragama, ada banyak cerita sukses (success story) tentang bagaimana Toleransi berkembang di masyarakat kita. Pada 5 Oktober lalu, publik terhenyak dengan pernyataan permohonan maaf imam masjid besar kota Malang kepada umat Kristiani. Permohonan maaf ini dilakukan lantaran peribadatan gereja harus ditunda karena jalan menuju gereja dipenuhi jamaah sholat Idul Adha, yang kebetulan berdekatan dengan gereja (Kompas, 10 Oktober). Tak hanya itu, di Solo, masjid Al-hikmah dan gereja GKJ dibangun berdempetan, bahkan menggunakan satu nomor alamat. Sebelumnya, di Jogjakarta publik dibuat terharu dengan adanya foto yang marak di social media tentang seorang perempuan berjilbab tengah menggandeng seorang suster Katholik menyeberang di bilangan jalan Malioboro. Publik begitu terharu dangan situasi ini. Toleransi adalah fakta yang hidup dalam masyarakat kita.

Meskipun demikian, fakta-fakta ini tak tunggal. Selain toleransi yang begitu kuat, Indonesia juga memiliki persoalan pelik dalam relasi umat beragama dalam konteks mayoritas dan minoritas, utamanya jika dikaitkan dengan politik atau power relations dan soal kepemimpinan. Dalam beberapa daerah yang mayoritas penduduknya Muslim dan dipimpin oleh pemimpin non Muslim, biasanya timbuk gejolak penolakan terhadap pemimpin itu. Bahkan, penolakan itu kadang berujung pada aksi kekerasan.

Alasan-alasan SARA kembali digunakan untuk aksi-aksi politik segelintir orang. Ini adalah realitas politik yang dihadapi ummat hari ini. Ummat juga terkadang seperti tak memiliki rujukan tentang bagaimana menyikapi realitas politik yang demikian. Mereka kebanyakan larut dalam suasana emosional dan hanya mengikuti pemimpinnya tanpa sikap yang kritis. Seyogyanya diskusi dan musyawarah lebih didahulukan dibandingkan tindakan kekerasan. Sebuah ijtihad baru mesti dilakukan, untuk mendapatkan sebesar kemaslahatan ummat.

Masih terjadinya penolakan terhadap pemimpin yang berasal dari golongan yang berbeda, baik dari sisi agama maupun etnis, termasuk kelompok minoritas itu tentu menjadi sebuah keprihatinan sendiri. Hal ini membuktikan bahwa persoalan komitmen terhadap kebhinnekaan, pluralisme, toleransi, dan perlindungan terhadap minoritas, adalah beberapa persoalan serius yang masih terjadi di Indonesia hingga hari ini. Terutama jika dikaitkan dengan persoalan kepemimpinan politik dan pengambil kebijakan. Demokrasi sebagai sebuah pencapaian, masih harus diperjuangkan dalam konteks kesetaraan antar warga. Demokrasi tidak bisa ditegakkan tanpa ada pengakuan kesetaraan dan penghormatan pada perbedaan dan kemajemukan. Bahkan, Konstitusi Indonesia menyatakan bahwa Negara melindungi segenap warga negaranya dan semuanya berhak mendapatkan hak-hak ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang sama.

Berdasarkan pada realitas yang ada saat ini, tentu kita perlu menelaah kembali dan menafsir ulang atas berbagai pemahaman dan pandangan para ulama klasik yang tertuang dalam disiplin Fikih, terutama agar pandangan-pandangan fikih yang bersifat temporer itu dapat sesuai dengan tuntutan persoalan-persoalan kontekstual-kontemporer masyarakat Indonesia dewasa ini. Salah satunya adalah terkait persoalan kepemimpinan dalam masyarakat majemuk dan hubungan sosial antar umat beragama. Sejauh mana pandangan-pandangan yang tertuang dalam Fiqh al-siyasah dan Fiqh al-mujtama’ kompatibel dengan realitas sosial-politik hari ini, patut untuk kita pertanyakan kembali.

Oleh karena itu, berdasarkan beberapa fakta persoalan di atas, maka penting kiranya digelar sebuah Halaqah yang memberikan ruang pada gagasan-gagasan barupa kontekstualisasi Fikih, terutama Fiqh siyasah dan Fiqh imamah yang akan menuntun ummat dalam menyikapi realitas politik kekinian, dalam kaitannya dengan kepemimpinan dalam masyarakat majemuk, juga tentang isu mayoritas dan minoritas. Melalui halaqah ini, harapannya dapat disusun sebuah kerangka Fikih Kebhinnekaan yang akan memberikan panduan pada ummat untuk menakar problematika kekinian tanpa menghilangkan nilai dan pesan-pesan penting agama (Maqashidus Syari’ah). Untuk itu, sangat penting untuk melibatkan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai ormas Islam terbesar dan sekaligus memiliki kesamaan visi pada Keislaman dan Keindonesiaan.

Halaqah ini digelar untuk turut memecahkan persoalan kontemporer keumatan yang berkaitan dengan isu kepemimpinan politik dalam masyarakat majemuk, hubungan antara mayoritas dan minoritas agama, dan persoalan-persoalan keumatan lainnya yang perlu segera diselesaikan. Agar ummat dapat melihat persoalan dengan jernih dan mampu menjadi bagian dari solusi. Seperti kata Buya Syafii Maarif yang menyitir ungkapan Nabi, “agar ummat tak hanya menjadi buih”.

Tanggal

Indeks Kota Islami (IKI) 2015

Adakah kota Islami? Bagaimanakah menilai Islami tidaknya suatu kota? Apakah dengan penerapan aturan berbasis agama sebuah kota secara otomatis mendapat predikat sebagai kota Islami? Namun bila mendasarkan diri pada metodologi yang tepat untuk membaca sumber-sumber utama dalam al-Qur’an dan Hadits, nilai-nilai mulia tersebut dapat terejawantahkan dan dikuantifikasi dalam standar yang baku. Indeks Kota Islami merupakan upaya Maarif Institute untuk menyusun parameter untuk mengukur dan memeringkat kinerja pemerintah kota dalam mengelola kotanya berbasis nilai-nilai Islam dalam pelayanan masyarakat. Dalam penyusunannya, IKI berlandaskan prinsip-prinsip maqashid syariah. Prinsip-prinsip ini akan dielaborasi ke dalam beberapa dimensi seperti aspek keagamaan (al-kitâb),kepemimpinan dan tata kelola pemerintahan (al-hukma), peradaban (al-nubuwwah), kemakmuran, dan keunggulan.

Dari studi pendahuluan yang dilakukan oleh MAARIF Institute, untuk mendefinisikan Kota Islami harus diawali dari terminologi Islam, apa itu Islam? Islam adalah ad-din wa an-ni’mah (agama dan peradaban). Islam sebagai agama harus membawa perubahan nyata berupa ni’mah (keadaan baik/ al-hâlah al-hasanah—al-Asfahani) bagi yang lain. Bagaimanakah mengukur keadaan yang baik ini? Untuk mengukurnya, MAARIF Institute menggunakan metodologi maqashid syariáh dalam keilmuan Ushul Fiqh: hifzh al-mal (menjaga harta benda), hifzh al-nafs (menjaga kehidupan), hifzh al-‘aql (menjaga akal), hifzh al-din (menjaga agama), hifzh al-nasl (menjaga keturunan), serta hifzh al-bi’ah (menjaga lingkungan). Dalam memahami maqashid shariah ini pun menggunakan perspektif maqashid kontemporer yang bernuansa pengembangan (tanmiyah/ development) dan pemuliaan Human Rights (‘Hak-hak Asasi’) daripada maqashid yang bernuansa ‘protection’ (penjagaan) dan preservation (‘pelestarian’). Penggunaan metode kontemporer ini akan mendorong isu ‘pengembangan sumber daya manusia’ sebagai salah satu tema bagi kemaslahatan publik masa kini. Konsekuensi dari penggunaan metode kontemporer ini, realisasi maqasih dapat diukur secara empiris melalui metode ilmiah dan merujuk pada ‘target-target pembangunan SDM versi PBB atau lembaga lain yang kredibel.

Berdasarkan 6 prinsip tujuan syariah di atas, kami menyusun definisi kerja, bahwa Kota Islami adalah kota yang aman, sejahtera, dan bahagia.

untuk lebih jelas tentang hasil penghitungan Indeks Kota Islami, silakan unduh link dibawah ini:

UNDUH RILIS PENELITIAN IKI

MAARIF Fellowship (MAF)

Hari-hari ini kita banyak menyaksikan fenomena sektarianisme, baik yang terjadi di level global maupun nasional. Di level global, kita melihat pertentangan antara Sunni-Syiáh di Timur Tengah hampir terjadi setiap hari, terus meningkat eskalasinya, dan memakan korban nyawa yang tak terhitung jumlahnya. Konflik sektarianisme di Timur Tengah ini, juga banyak berujung pada fenomena takfiri(pengkafiran) yang menyebabkan keresahan dan konflik sosial yang sangat mengkhawatirkan. Sektarianisme di tingkat global ini juga tampak pada pembantaian ribuan Etnis Rohingya di Myanmar yang dilakukan oleh Wirathu dan kelompok Budha di sana. Konflik akibat sektarianisme di Timur Tengah, Pakistan, dan Myanmar ini, menjadikan banyak saudara sekandung dan sesama satu bangsa yang mau melakukan apa saja demi untuk mempertahkan keyakinan dan kelompoknya.

Sektarianisme di tingkat global, semakin mengkhawatirkan terlebih setelah kemunculan ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) di Timur Tengah. ISIS yang mengklaim diri sebagai representasi resmi dari bentuk negara Islami ini, menganggap kelompok di luar dirinya salah dan boleh diperangi. Akibatnya, banyak negara, kelompok, dan masyarakat yang tidak setuju dengan dirinya atau dianggap menentang usaha ISIS, akan dibunuh atau diperlakukan secara semena-mena. Anehnya, fenomena kemunculan ISIS dan sektarianismenya yang akut ini menarik minat banyak orang. Terbukti banyak orang yang rela berhijrah atau pergi ke Suriah dan Irak untuk bergabung bersama ISIS, baik dari negara-negara Muslim atau sekuler.

Fenomena sektarianisme di tingkat global itu, tidak bisa dipungkiri telah banyak berpengaruh juga ke masyarakat Indonesia. Konflik Sunni-Syiáh yang eskalasi awalnya di Timur Tengah, ternyata sudah menyeruak masuk ke Indonesia. Dan banyak juga orang Indonesia, sekitar 200-300 orang yang pergi untuk berjihad ke Suriah dan bergabung dengan ISIS. Sektarianisme di Indonesia juga nampak pada penolakan terhadap pemimpin dari kalangan minoritas yang memimpin kelompok minoritas. Dan penolakan yang disertai argumen keagamaan dan kadang juga disertai aksi kekerasan ini, mendapatkan beberapa dukungan dari masyarakat.

Sektarianisme juga terjadi di tingkat lokal, hal itu tampak pada dibiarkannya nasib jamaáh Ahmadiyah di berbagi tempat di Indonesia. Meskipun mereka mempunyai KTP Indonesia mestinya punya hak sepenuhnya sebagai warga negara, banyak diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Fenomena konflik akibat sektarianisme juga terjadi pada konflik antara MTA (Majlis Tafsir Al-Qurán) dengan NU (Nahdhatul Ulama’). Sektarianisme kelompok keagamaan di tingkat lokal ini juga tampak pada tetap kuatnya pelaksanaan Perda-perda Syariah yang hingga hari ini tetap terjadi. Tentu saja, banyaknya sektarianisme kelompok keagamaan di tingkat lokal ini sangat menarik untuk didiskusikan dan diteliti lebih mendalam.

Di lingkungan Islam, kemunculan konflik sektarian merupakan dampak dari Islamisasi yang kian mengakar di kalangan masyarakat Muslim, khususnya di Jawa. Ricklefs memahami Islamisasi sebagai proses pendalaman komitmen untuk hidup sesuai dengan standar kepercayaan normatif Islam, praktik, dan identitas keagamaan. Pada kenyataannya, rumusan standar Islamisasi adalah sesuatu yang diperebutkan, baik di antara individu maupun kelompok. Inilah isu yang sangat krusial dan menyeruak ke ruang publik, siapa dan kelompok mana yang punya otoritas menentukan kebenaran dan kemurnian ajaran agama.

Dalam Islamisation and Its Opponents in Java(2012), M.C. Ricklefs menemukan fakta bahwa telah terjadi pendalaman Islamisasi di kalangan kelompok-kelompok santri seiring kekalahan kelompok abangan. Kebijakan politik Orde Baru salah satu faktor utamanya. Kini, pengaruh kalangan santri kian dominan di birokrasi negara dan masyarakat, menyingkirkan kelompok abangan yang mayoritas pada awal kemerdekaan.

Pertanyaan kemudian, kenapa fenomena pendalaman Islamisasi berkorelasi dengan menguatnya gejala konflik sektarian? Pertama, perebutan otoritas atas tafsir ajaran agama kian terbuka dan keras di antara kelompok/organisasi Islam pascakelompok abangan kehilangan kekuatannya. Aksi penyerangan kelompok tertentu terhadap kampung pengikut Tarekat At-Tijaniyah salah satu contohnya. Kedua, model pemahaman Salafisme dan Wahabisme dari jalur penyebaran Timur Tengah bereproduksi di institusi-institusi pendidikan keagamaan dalam negeri. Kedua ideologi ini dikenal menolak prinsip-prinsip politik kewargaan yang menjadi fondasi bagi sebuah negara demokrasi. Arus baru inilah yang menggeser corak Islamisasi di level akar rumput yang sebelumnya diarsiteki organisasi moderat seperti NU dan Muhammadiyah.

Sektarian terkait dengan semangat membela suatu sekte, mahdzab, atau aliran. Bila menjadi satu isme, sikap sektarian melahirkan perilaku yang antikomunikasi, reaksioner, amat emosional, tidak kritis, angkuh dan anti dialog yang akan menyebabkan seseorang atau sekelompok masyarakat membabi buta membela kelompoknya atau mahdzabnya. Kekerasan sektarian kian menjadi ancaman bagi kebhinekaan di Indonesia. Orang yang terpengaruh dengan sektarianisme, biasanya akan bersifat fanatik, tidak membuka peluang diskusi, berpikir pendek, dan gampang menyalahkan orang lain. Sektarianisme ini bisa terjadi di banyak tempat, bahkan di lingkungan pendidikan dan masyarakat terdidik juga. Menguatnya sektarianisme itu, jika dibiarkan terus, tentu akan menjadi ancaman bagi kebhinekaan di Indonesia. Karena sektarianisme tidak mengakui keanekaragaman kelompok atau pluralitas dan menganggap kelompoknya yang paling benar.

Dengan pemahaman tersebut, sektarianisme keagamaan tidak eksklusif terjadi di lingkungan Islam saja, namun juga terjadi di berbagai agama seperti di lingkungan Parmalin atau Kajang. Termasuk ketika terjadi berbagai tindak pelarangan membangun tempat ibadah yang memicu ketegangan-ketegangan sosial di Manado, Kupang dan Bali. Peristiwa-peristiwa yang sifatnya lokal ini bisa dikatakan terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Sektarianisme tidak hanya sangat berpotensi menggerus nilai-nilai kebhinekaan, namun juga sangat potensial mendorong terjadi eksklusi sosial dan mengebiri hak-hak kewargaan. Sebab, dalam fenomena sektarianisme ini, kelompok minoritas seringkali menjadi korban yang didiskriminasi hak-hak ekonomi, kultural, sosial, dan politiknya. Kelompok minoritas menjadi warga Negara kelas dua yang tidak bisa secara penuh menjadi warga Negara Indonesia. Padahal Konstitusi Indonesia secara jelas-jelas menegaskan kesamaan hak semua warga negaranya dan tidak ada warga Negara kelas pertama maupun kelas kedua. Oleh karenanya, sektarianisme ini jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Indonesia dan sangat potensial mengancam masa depan bangsa tercinta.

Karena itu, pemerintah harus mulai serius merumuskan kebijakan dan strategi komprehensif dalam menangani kasus-kasus kekerasan sektarian sebelum berkembang lebih jauh. Perlu penanganan dari hulu ke hilir. Demikian halnya dengan agama lain, konflik sektarian terjadi karena terjadinya perebutan tafsir ajaran atas agama yang dianutnya. Tak mengherankan apabila menguatnya intoleransi, bahkan kekerasan dalam kehidupan beragama, menjadi sisi lain yang gelap pada saat citra ekonomi-politik Indonesia bersinar di kawasan Asia bahkan global. Ketiadaan terobosan kebijakan politik dalam pengelolaan kebinekaan bangsa akan bermuara pada membesarnya ancaman eskalasi konflik sektarian. Kondisi ini akan semakin buruk jika konflik itu dibiarkan bereskalasi dan dieksploitasi demi kepentingan politik dan keamanan.

Nama Kegiatan

Kegiatan ini bernama MAARIF Fellowship (MAF)

Tujuan Kegiatan

  1. Melakukan kaderisasi intelektual pada kaum muda Indonesia untuk menjadi intelektual yang kritis, mencerahkan, dan memihak pada kemanusiaan dan keadilan sosial.
  2. Mewadahi potensi-potensi kreatif anak muda Indonesia untuk turut serta mencari jawaban terhadap berbagai persoalan sosial keagamaan yang terjadi di tanah air.
  3. Memperkuat tradisi riset dan penulisan yang berbasiskan pada metode penelitian yang mumpuni serta pembacaan sumber-sumber yang otoritatif dan diskusi yang intensif serta serius

 

  1. Tahap Seleksi:

Pengumuman MAARIF Fellowship (MAF) melalui media massa nasional, media elektronik, dan media sosial kepada seluruh mahasiswa dan anak muda di tanah air. Kemudian dilakukan seleksi terhadap para peserta yang telah membuat proposal riset dan mempresentasikannya di depan dewan juri MAARIF Fellowship yang telah ditunjuk oleh MAARIF Institute. Selanjutnya, para peserta yang lolos seleksi diumumkan dan dilanjutkan dengan dimulainya program fellowship.

  1. Tahap Orientasi

Tahap ini akan akan berlangsung selama seminggu sebelum tahap riset dan penulisan. Selama satu minggu, peserta yang terpilih akan mendapatkan orientasi mengenai penulisan ilmiah, metode referensi (pengutipan), metode penelitian, public speaking, persiapan bahan untuk presentasi, dan excursion.

  1. Tahap Riset dan Penulisan:

Tahap ini akan berlangsung selama 3 bulan. Para peserta yang telah lolos seleksi menjalani program riset dan penggalian data tentang tema yang ditulisnya.

  1. Tahap Seminar Hasil Penelitian:

Kegiatan ini berupa seminar presentasi dari riset para peserta yang terpilih dan dibarengi juga dengan orasi ilmiah dari intelektual garda depan di negeri ini. Naskah hasil riset para pemenang MAARIF Fellowship bersama dengan naskah orasi ini nantinya akan diterbitkan oleh MAARIF Institute.

Distingsi dengan Model Fellowship lainnya

  1. Para peserta terpilih akan memperoleh dana penelitian sebesar Rp.12.000.000,00.
  2. Selama proses orientasi dalam program MAARIF Fellowship (MAF), para peserta diberikan training mengenai metode penelitian, public speaking, presentasi penelitian, serta akses untuk menulis di berbagai media massa nasional. Salah satu dewan juri akan memberikan supervisi pada proses riset dan penulisan fellowship mereka. Sedangkan para penulis senior di MAARIF Institute akan memberikan bimbingan dan konsultasi secara intensif kepada mereka tentang penulisan di media massa nasional.
  3. Para peserta MAARIF Fellowship (MAF) akan dikenalkan dan diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi secara langsung dengan para tokoh bangsa dan lintas agama yang selama ini menjadi jaringan MAARIF Institute.
  4.  Untuk menjaga keberlanjutan ikatan dan jaringan, setelah selesainya program ini, para peserta tetap didorong untuk menulis di media massa atau jurnal dengan mencantumkan nama sebagai penerima MAARIF Fellowship (MAF) tahun 2015.
  5. Sebagai salah satu usaha untuk melanjutkan pengkaderan intelektual, MAARIF Institute akan berusaha memberikan rekomendasi jika para peserta terpilih ini berminat melanjutkan sekolah di jenjang yang lebih tinggi, baik di dalam maupun di luar negeri.

Tema Riset

“Fenomena Sektarianisme Keagamaan di Indonesia”

 

Sektarianisme yang hendak dikaji pada Maarif Fellowship (MAF) 2015 ini adalah sektarianisme kelompok keagamaan dengan mengedepankan kasus lokal yang terjadi di Indonesia. Sektarianisme di sini tidak sebatas dalam Islam saja, namun juga sektarianisme yang terjadi pada semua agama. Konsep sektarian yang dijadikan rujukan pada MAF 2015 ini terkait dengan semangat membela suatu sekte, mahdzab, atau aliran. Bila menjadi satu isme, sikap sektarian melahirkan perilaku yang antikomunikasi, reaksioner, amat emosional, tidak kritis, angkuh dan anti dialog yang akan menyebabkan seseorang atau sekelompok masyarakat membabi buta membela kelompoknya atau mahdzabnya. Akibatnya, bangunan sosial dalam politik kewargaan yang menjadi pilar demokrasi berpotensi mengalami tantangan.

 

Pertanyaan-pertanyaan yang ingin berusaha dijawab dalam riset ini di antaranya adalah: Kenapa fenomena sektarianisme kelompok keagamaan di Indonesia saat ini semakin menguat? Sejauhmana pengaruh kondisi global terhadap menguatnya fenomena sektarianisme di Indonesia? Bagaimana transmisi sektarianisme di tingkat global dengan sektarianisme di tingkat nasional dan local? Apa dampak sektarianisme terhadap kewargaan bangsa Indonesia? Apa implikasi sektarianisme terhadap terpenuhinya hak-hak social, ekonomi, dan politik warga Negara Indonesia? Bagaimana akar sejarah, perkembangan, dan masa depan sektarianisme di tingkat local? Kenapa fenomena sektarianisme ini juga bisa masuk dan berkembang di dunia pendidikan dan kalangan muda? Dengan cara seperti apa saja kita bisa melakukan advokasi terhadap masyarakat yang terpengaruh sektarianisme? Bagaimana masa depan kebinekaan banga Indonesia dihadapkan dengan kondisi sektarianisme hari ini?

Kriteria Peserta

  1. Mahasiswa Strata Satu (S1) atau fresh graduate yang baru saja merampungkan studinya di berbagai perguruan tinggi di tanah air (maksimal 1 tahun).
  2. Mempunyai pengalaman di organisasi mahasiswa, di bidang jurnalistik, atau di bidang riset (salah satunya atau semuanya).
  3. Mempunyai keinginan kuat untuk belajar penelitian dan menulis serta bersedia untuk dibimbing oleh para pendamping riset.
  4. Menunjukkan contoh hasil karya tulis atau penelitian yang sudah pernah dihasilkan, baik sudah dipublikasikan atau belum dipublikasikan.

 

Ketentuan Riset dan Penulisan

  1. Proposal riset merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan saduran dan terjemahan.
  2. Proposal riset mengacu pada standar ilmiah. Proposal riset mencakup: signifikansi riset, metode yang akan digunakan dalam menggali/menganalisis data, dan pertanyaan-pertanyaan riset.
  3. Proposal dan naskah belum pernah dipublikasikan dan diikutsertakan dalam lomba karya tulis apapun.
  4. Peserta memilih salah satu yang telah ditentukan dan tidak diperkenankan mengirimkan lebih dari satu proposal riset.
  5. Proposal riset yang masuk menjadi hak panitia dan tidak dikembalikan.
  6. Segala bentuk plagiat akan menggugurkan riset dan penulisan dengan sendirinya.
  7. Penilaian proposal riset ditekankan pada aspek ketajaman argumentasi dan kedalaman analisis yang disampaikan para peserta di hadapan dewan juri MAARIF Institute.

 

Persyaratan

  1. Proposal riset dikirim rangkap dua, diketik di atas kertas kwarto, spasi 1,5 dengan font Times New Roman ukuran huruf 12, 5-7 halaman.
  2. Melampirkan biografi singkat penulis, fotokopi KTM, 1 lembar foto ukuran 3×4, alamat lengkap, nomor telepon dan e-mail.
  3. Proposal riset dimasukkan ke dalam amplop tertutup dan di sudut kiri atas amplop ditulis “MAARIF Fellowship (MAF) 2015”
  4. Naskah dikirim ke: Panitia MAARIF Fellowship (MAF) 2015dengan alamat: MAARIF Institute for Culture and Humanity, Jl. Tebet Barat Dalam II No. 6, Tebet Barat, Jakarta Selatan 12810 – Indonesia.
  5. Proposal penelitian dapat juga dikirim dalam bentuk file MS.Word melalui e-mail: [email protected], [email protected], dan [email protected], dengan menyertakan identitas lengkap.
  6. Proposal penelitian dikirim ke panitia paling lambat tanggal 28 Juli 2015 (cap pos).
  7. Peserta yang lolos seleksi tahap awal proposal diharuskan mengikuti seleksi wawancara di hadapan dewan juri untuk mempertanggungjawabkan proposal yang ditulisnya dan menyampaikan rancangan riset dan penulisannya.

Insentif

Para peserta yang terpilih dalam MAARIF Fellowship (MAF) akan mendapat insentif berupa:

  1. Dana riset sebesar Rp.12.000.000,00
  2. Living cost selama minggu selama orientasi di MAARIF Institute.
  3. Penerbitan karya hasil riset para peserta terpilih MAARIF Fellowship.

 

Dewan Juri

  1. Budiman Tanuredjo
  2. Ahmad Najib Burhani, Ph.D.
  3. Muhammad Najib Azca, Ph.D.
  4. Francisia Erry Seda, Ph.D.
  5. Sandra Hamid, Ph.D.

Jadwal Kegiatan

Kegiatan ini direncanakan akan berlangsung selama 8 bulan (Mei-Desember 2015) dengan rincian jadwal kegiatan terlampir.

DOWNLOAD :

TOR MAF 2015

FORM Pendaftaran