Jakarta – Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Hamid Muhammad mengatakan tumbuhnya paham intoleran yang melahirkan radikalisme di sekolah harus bisa diatasi oleh kepala sekolah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.

Pemerintah pusat, dalam hal ini Kemdikbud, tidak memiliki wewenang dan hanya bertindak sebagai regulator.

“Masalah intoleransi bukan semata-mata tanggungjawab guru agama, itu masalah kepala sekolah sepenuhnya. Kalau kepala sekolah bisa bertanggungjawab dengan baik, nggak bakalan ada masalah seperti itu,” kata Hamid pada acara Aksi Pelajar untuk Kebinekaan Indonesia, di Gedung Kemdikbud, Jakarta, Jumat (21/4).

“Jangan bilang karena guru agama karena ini murni tugas kepala sekolah.”

Dijelaskan Hamid, kekurangan guru agama yang berdasarkan sejumlah survei menjadi penyebab tumbuhnya radikalisme dan sikap intoleran tidak sepenuhnya dibenarkan.

Menurutnya, guru agama bagian dari sistem di persekolahan. Kepala sekolah menjadi bagian terpenting yang menjalankan sistem.

Ditegaskan Hamid, kepala sekolah harus dapat menjalankan peran. Jika ada yang aneh harus segera ditindak tegas dan ditertibkan. Pasalnya, kepala sekolah pada umumnya telah mendapat bimbingan untuk mengelola sekolah. Selain itu, Hamid juga menegaskan, kepala sekolah harus mengantisipasi dan mencegah pengaruh buruk dari luar.

“Pengaruh dari luar jika tidak dicegah akan membesar dan akhirnya tidak bisa ditangani,” kata Hamid.

Selain kepala sekolah, kata Hamid, pemerintah kabupaten (Pemda) harus bertanggungjawab atas apa yang terjadi di sekolah karena menjadi pelaksana regulasi.

“Semua regulasi kita (pemerintah pusat) buat, paling penting itu regulasi menjadi tanggungjawab kepala dinas pendidikan, bupati atau wali kota,” ucapnya.

Direktur Eksekutif Maarif Institute Muhammad Abdullah Darraz mengatakan, dalam menangkal tumbuh kembangnya paham radikalisme ini, Maarif Insitute bersama Cameo Project memberikan lokakarya pada siswa SMK/SMA/MA di lima kota besar yakni Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang untuk membuat video pendek yang berisi nilai keragaman dan toleransi.

Tujuan dari loka karya ini adalah untuk memperdaya generasi muda agar tidak melupakan nilai keberagaman dan toleransi. Menurutnya, sekolah menengah pertama merupakan tingkat satuan pendidikan yang tepat karena mereka telah dapat memanfaatkan kemajuan teknologi.

Sekolah Jadi Target Radikalisme
Darraz juga menyebutkan, para generasi muda yang disasar didorong untuk secara aktif mengkempanyekan konten langsung tentang toleransi. Dalam hal ini, para siswa dibimbing untuk membuat video pendek.

“Program ini intinya untuk membangun jaringan di kalangan anak muda untuk memberikan pemahaman kepada publik, kalau ada isu kebinekaan tertentu yang terkoyak. Mereka bisa bersuara dengan video. Kalau misalnya ada penutupan gereja, mereka yang meng-counter. Mereka sebagai agen yang merawat kebinekaan di Indonesia,” terangnya.

Menurut Darras, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Maarif Institute, sekolah merupakan tujuan utama kelompok radikal untuk melakukan radikalisasi. Maka sekolah harus menanamkan kesadaran tentang keragaman. Dalam hal ini, siswa harus diajarkan akan realitas keragamanan, dengan cara dipertemukan dengan orang-orang yang berbeda.

Darras menyebutkan, target siswa yang terlibat dari lima kota tersebut sebanyak 2.250 orang. Masing-masing kota ditargetkan 250 orang siswa. Hal ini merupakan misi Maarif Institute dalam membentengi paham radikalisme di kalangan siswa yang telah dilakukan sejak 2011.

Sumber: http://www.beritasatu.com/pendidikan/426563-kemdikbud-radikalisme-di-sekolah-tanggung-jawab-kepala-sekolah.html

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

5 × four =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.