REPUBLIKA.CO.ID,Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Demokrasi Liberal telah gagal karena ketidaksabaran elite politik, Demokrasi Terpimpin berakhir dengan malapetaka nasional. Sejak paruh kedua tahun 1960-an, kita coba pula sistem baru yang kemudian dikenal Demokrasi Pancasila dalam format Orde Baru, di mana terjadi kongsi antara militer dan sipil dari kalangan “Mafia Berkeley”.
Semula sistem ini telah berhasil menekan inflasi yang pada akhir era Demokrasi Terpimpin telah mencapai 650 persen, dan laju pembangunan dipuji banyak pihak, dalam dan luar negeri. Booming bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 1970-an telah semakin memberi legitimasi kepada sistem kekuasaan yang sedang berjalan, sehingga kesetiakawanan antara Soeharto dan AH Nasution yang berantakan seperti tidak dipedulikan orang lagi. Apalah salahnya mengorbankan seorang Nasution demi pembangunan bangsa. Begitu kira-kira logika yang berlaku saat itu.
Awal 1980-an, proses pembusukan sistem ini mulai terasa pada saat keluarga penguasa terjun ke dunia bisnis, tetapi sistem kekuasaan masih bertahan sampai suatu ketika datang angin puting beliung berupa krisis moneter di Asia Timur sejak 1997. Indonesia ternyata adalah negara yang paling rapuh dan rentan dalam menghadapi angin limbubu ini. Pada waktu negara-negara lain di kawasan ini telah berhasil memulihkan kondisi ekonominya, kita tetap saja bingung dan tertatih-tatih selama beberapa tahun karena tidak percaya diri.
Korupsi yang menggurita, kumulatif, dan sistemik, telah menawan bangsa ini sampai batas yang sangat jauh. Kekuatan Reformasi yang tidak pernah kompak itu telah semakin memperparah situasi yang memang sudah parah. Selama 15 tahun terakhir, pergantian kepemimpinan nasional telah terjadi sebanyak empat atau lima kali.
Lagi, setiap ada pergantian, muncul harapan baru untuk kemudian dalam tempo singkat redup lagi, sementara nasib rakyat kecil tetap saja tidak tertolong. Mereka cukup dipuaskan dengan janji-janji kosong yang tidak ditepati. Ada slogan bagus dalam kampanye “bersama kita bisa”, dalam kenyataannya “bersama kita berdusta”. Atau memang bangsa ini terlalu besar sehingga kita tidak mampu mengurusnya?
Dengan utang negara sekitar Rp 2.000 triliun, luar negeri dan domestik, dapat dibayangkan betapa rapuhnya fundamental keuangan negara kita. Angka ini bila dibagi dengan jumlah penduduk 250 juta, maka setiap anak Indonesia sedang menanggung beban utang masing-masing Rp 8 juta. Kita tidak tahu persis berapa persen dari utang yang menggunung itu dipakai untuk kepentingan bersama dan berapa persen pula yang telah digarong.
Secara formal konstitusional Pancasila tetap berada di puncak, dalam realitas kita mengkhianatinya secara kolektif, seperti telah disinggung di atas. Akibatnya, budaya saling percaya antara sesama anak bangsa telah semakin menghilang, patriotisme semakin memudar, kita telah kehilangan perspektif masa depan. Seakan-akan negeri ini sudah tidak bertuan, padahal proses demokrasi kita sewaktu diadakan pemilihan langsung presiden dan wakilnya tahun 2004, seluruh dunia angkat topi kepada Indonesia. Kata mereka, ternyata Islam cukup compatible dengan sistem demokrasi. Tetapi, peluang emas ini tidak cepat ditangkap sampai keadaan kembali memburuk. Rasa cemas dan ngeri dalam menatap masa depan sekarang dirasakan semua pihak, hampir tanpa kecuali. Saya sudah berbicara dengan banyak kalangan. Kesannya sama: keadaan tidak semakin baik.
Saya mengamati, kekurangan kita terutama terletak pada kenyataan sukarnya menemukan tipe pemimpin yang mau berjibaku membela bangsa dan negara. Situasi sekarang sangat tidak normal, demokrasi yang sedang berjalan adalah demokrasi setengah liar plus kebanyakan politisi yang tidak bertanggung jawab. Sedikit sekali di antara mereka yang memikirkan bangsa ini secara sungguh-sungguh. Sebagian besar malah menikmati kondisi demokrasi yang centang perenang ini karena ada peluang memperkaya diri di lautan kemiskinan yang melanda sebagian besar rakyat kecil kita.
Apa yang disebut sense of crisis sudah tidak singgah lagi di otak mereka. Seakan-akan semuanya masih berjalan normal. Dalam situasi yang serbagalau ini, kita memerlukan munculnya pemimpin “gila” tetapi mengerti bagaimana nilai-nilai Pancasila itu dilaksanakan dalam perbuatan secara konsekuen dan bertanggung jawab. Tanpa pemimpin “gila” yang disinterested, akan sulit bagi bangsa ini untuk bangkit secara autentik dalam tempo yang tidak terlalu lama. Atau kita memang rela membiarkan bangsa ini tenggelam?
Tentu mereka yang gila dalam bentuk lain sajalah yang sampai hati melihat bangsa ini hilang dari peta bumi. Ada dua tipe gila di sini: satu, “gila” dalam tanda kutip, yang lain gila karena putus asa sehingga tidak mampu lagi melihat di ujung lorong sana masih ada seberkas sinar, asal kita mau berubah secara radikal memperbaiki keadaan bangsa.
Bagian terakhir dari tulisan ini mungkin terasa agak ganas. Tetapi di balik itu semua tersimpan harapan besar yang tulus dari seorang senior citizen agar kita mau berubah secara fundamental dengan menjadikan Pancasila yang disinari wahyu sebagai acuan utama kita dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Penyelesaian secara revolusi tampaknya tidak akan berjaya, sementara korbannya pasti akan sangat besar.
Oleh sebab itu, kita perlu duduk bersama membicarakan masalah bangsa ini secara komprehensif, tajam, tetapi tulus, sehingga kondisi mutual distrust (saling tidak percaya) dapat diubah menjadi mutual trust (saling percaya) dan kita akan dapat merumuskan bahasa dan langkah bersama untuk bangkit. Kita hanya bisa bangkit bila mau berdiri di atas kekuatan kita sendiri. Kalau pun ungkapan revolusi dipandang perlu, itu sifatnya adalah mental, sebuah mental revolution ke arah perbaikan dan pemulihan kehidupan bangsa dan negara secara menyeluruh, terarah, dan bertanggung jawab.
Apakah Pemilu 2014 akan menjawab semua ketidakpastian di atas, mari kita tunggu, dan gerak bola harus diarahkan kepada terpilihnya para pemimpin yang visioner, berani, dan bertanggung jawab, bukan pemimpin yang hobinya merengek, mengeluh, dan berlaku culas. Faktor terbesar mengapa kita setengah gagal mengurus bangsa dan negara terletak pada masalah kepemimpinan yang tidak menjadikan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dalam bahasa yang tegas dan jelas sebagai pedoman pertama dan utama dalam bertindak.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!