Tag Archive for: buletin

Islam Mengajarkan Cinta Damai

K.H. Dr. Ahmad Ali M.D.

Islam, sesuai namanya, berakar kata al-silm berarti damai, dan selamat. Dalam bentuk fi’il (kata kerja): Aslama yuslimu islâm berarti berbuat damai, menyelamatkan, dan masuk Islam, menyerahkan diri secara total pada Agama Tauhid untuk keselamatan dunia dan akhirat. Islam sebagai agama (al-Dîn) membawa misi rahmatan lil ‘alamin (menebarkan kedamaian, ketenteraman dan kasih sayang bagi umat manusia dan semesta alam).

Al-Qur’an, firman Allah Taala, sumber utama ajaran Islam, dimulai dengan ayat Bismillâhir Rahmânir Rahîm, mengajarkan agar kita memulai sesuatu kebaikan dengan menyebut nama Allah, Bismillâh. Bahwa Allah Yang Maha Rahman dan Rahim, Pengasih lagi Penyayang.  Ayat ini menegaskan bahwa dalam memulai dan melakukan setiap pekerjaan apa pun, yakni perbuatan yang baik, harus mengingat keagungan Allah Taala sebagai Sang Penebar kasih sayang. Kata Bismillâh hakikatnya mempunyai dua makna sekaligus, yaitu mengingat keagungan Allah, yang merupakan ekspresi (ungkapan) tentang esensi (hakikat) iman itu sendiri. Iman mensyaratkan kepercayaan dan keyakinan pada keesaan Tuhan, dan memahami sifat Tuhan sebagai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Artinya keagungan Tuhan tersebut dijelaskan dalam sifat-Nya yang mengajarkan kasih sayang dan kerahmatan. Ayat ini mengajarkan kita untuk membumikan kasih sayang sebagai ekspresi iman. Juga agar kita menciptakan kedamaian dan ketenteraman dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dunia ini.

Oleh karena itulah membunuh jiwa tanpa hak (alasan kebenaran) diharamkan dalam Islam. Allah Taala berfirman:

Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. (QS. Al-Isrâ’: 33)

Yang dimaksud dengan alasan yang benar, adalah seperti qishâsh (membunuh sebagai balasan hukuman yang setimpal terhadap kejahatan pembunuhan), terorisme maupun kejahatan narkotika.

Pada ayat lainnya, yaitu QS. Al-Furqân  ayat 68-70 berisi penegasan bahwa orang yang melakukan pembunuhan bukan karena alasan yang benar maka mendapat hukuman yang berat, azab dan kenistaan di hari Kiamat, akibat kejahatannya itu.

Hadis atau Sunnah, yakni sabda Nabi Muhamamd SAW, tindak tanduk beliau dan persetujuan beliau, sebagai sumber utama kedua ajaran Islam setelah Al-Qur’an menjelaskan pengertian orang muslim yang benar (lebih utama). Rasulullah SAW bersada:

Seorang muslim yang benar keislamannya ialah apabila orang-orang muslim selamat (merasa damai) dari gangguan lisan dan tangannya. (HR al-Bukhâri, Muslim, dan al-Nasâ’î, dari Ibn ‘Umar r.a, dan al-Tirmîdzî dari Abû Hurairah r.a.)

Dalam redaksi Imam al-Bukhârî yang lain, dari Abû Mûsâ Para sahabat bertanya: Yâ Rasûlallâh: Islam manakah yang lebih utama? Dijawab: yaitu (Islamnya) sesorang yang orang-orang muslim lainnya selamat (aman) dari gangguan lisannya dan tangannya. Dalam riwayat al-Tirmîdzî disebutkan: “Dari Abû Mûsâ al-Asy’arî bahwa Nabi SAW ditanya  orang-orang muslim yang manakah yang lebih utama? Nabi menjawab: yaitu Orang muslim yang benar keislamannya ialah apabila orang-orang muslim selamat (merasa damai) dari gangguan lidah dan tangannya. Dalam riwayat al-Tirmîdzî yang lain disebutkan: “Dan orang mukmin yang utama itu adalah orang yang bilamana manusia merasa aman darah (nyawa) mereka dan harta mereka.”

Sunnah (Hadis) Nabi S.a.w, dalam riwayat al-Tirmîdzî memerintahkan agar manusia menebarkan kedamaian, ketenteraman, menjalin dan mempererat tali silaturahim dan memberi makan orang yang membutuhkan. Inilah amalan yang diajarkan Islam untuk mengantarkan kita, pelakunya masuk ke dalam surga.

Dalam menegakkan ajaran Islam, ada konsep tentang amar makruf nahi munkar, yakni menyeru kepada kebaikan dan melarang kemungkaran. Mengenai amar makruf nahi mungkar, Hadis Nabi S.a.w. yang diriwayatkan oleh Abû Sa`îd al-Khudzrî tentang amar makruf nahi munkar dengan tangan, lisan, dan hati, dijelaskan secara baik oleh Syaikh `Abd al-Qadir al-Jîlânî al-Hasanî. Menurut beliau, amar makruf-nahi munkar itu dilakukan sesuai dengan kompetensi/kecakapan atau kewenangan masing-masing orang. Nahi munkar dengan tangan atau senjata dilakukan oleh penguasa/aparat berwenang. Nahi mungkar dengan lisan (ucapan), nasehat, ceramah, pidato bijaksana, dilakukan oleh ulama, dan kaum intelektual. Sedangkan nahi munkar dengan hati (yaitu pengingkaran dengan hati terhadap suatu kemungkaran) dilakukan oleh orang biasa (orang awam).  Jadi, dakwah dan jihad Islam yang benar adalah ajakan atau seruan untuk mengamalkan ajaran Islam dengan cara hikmah/kebijaksanaan, mau‘izhah hasanah (petuah yang baik) dan perdebatan yang fair dan proporsional. Bukan amar makruf nahi mungkar dengan cara-cara kekerasan, memerangi, membunuh dan menyiksa.

Secara jelas kaidah fikih menegaskan: dar’ al-mafâsid muqaddamun ‘alâ jalb al-mashâlih, menolak kemafsadatan lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan. Juga kaidah al-mashlahah al-‘âmmah muqaddamatun ‘alâ al-mashlahah al-khâshshah (kemaslahatan publik lebih diprioritaskan daripada kemaslahatan privat). Kaidah ini merupakan derivasi atau turunan dari kaidah fikih al-dharâru yuzâlu, madarat harus dihapus, yang didasarkan pada hadis Nabi SAW, lâ dharara walâ dhirâr, tidak boleh berbuat kerusakan pada diri sendiri dan/atau orang atau pihak lain, tanpa alasan yang dibenarkan (hak).

Bahkan Islam juga memerintahkan manusia untuk mempererat tali persaudaraan, melalui silaturahim. Silaturahim secara luas bermakna bekerjasama dalam kebaikan, dan berbuat untuk kemajuan bersama, tanpa mengenal perbedaan agama dan keyakinannya. Dalam konteks umat seagama, sesama orang mukmin, umat Islam adalah bagaikan satu bangunan, yang saling menopang sehingga bangunan itu berdiri kokoh. Maka, orang yang memutuskan tali silaturahim disabdakan oleh Nabi, ia tidak akan masuk surga (“lâ yadkhul al-jannata qâthi‘”,HR. al-Bukhârî). Apalagi orang yang berbuat anarkhis, terorisme, bahkan serangan dan pemunuhan sadis adalah perbuatan yang sangat zalim dan terkutuk. Secara syar’i, tentu tidaklah ia akan masuk surga, karena unsur membunuh dengan sengaja terhadap nyawa manusia tanpa alasan yang hak (benar), melebihi pemutusan tali silaturahim.

Wacana, aksi dan dukungan terhadap ISIS dalam konteks Indonesia, bertentangan dengan empat dasar/ landasan atau pilar kebangsaan kita (Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945). Keempat landasan/pilar kebangsaan ini, ditinjau dari perspektif Islam, adalah bentuk kesepakatan (kalîmatun sawâ’, common platforms) yang wajib dijunjung tinggi, ditegakkan dan dipatuhi oleh umat Islam dan umat lainnya sebagai warga negara Indonesia (WNI). Dasarnya ialah Hadis Nabi s.a.w.: ”Perjanjian/persepakatan boleh dilakukan di antara orang-orang Islam kecuali perjanjian/persepakatan mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan orang-orang Islam (orang-orang mukmin) wajib menegakkan persepakatan mereka kecuali persepakatan mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. al-Tirmidzî dan Abû Dâwud).

Atas dasar ini, segala wacana, sikap dan tindakan yang mengarah pada pengabaian keempat landasan/pilar kebangsaan tersebut dapat dipandang sebagai bagian dari pengingkaran terhadap kalîmatun sawâ’ (common platforms), yang hukumnya haram. Dengan cara ini, kita dapat berperan besar dalam menciptakan tatanan kehidupan yang harmonis dan bermartabat dalam tingkat lokal, nasional bahkan internasional.

Semoga kita, keluarga kita, masyarakat dan bangsa kita dan umat Islam diberi pertolongan oleh Allah Taala menjadi orang-orang yang mendapat hidayah dan inayah (pertolongan)-Nya menjadi pribadi-pribadi, masyarakat, bangsa dan umat yang menebarkan kedamaian, yang dengan itu pula akan mengantarkan kita memperoleh ridha Ilahi. Amîn.

 

K.H. Dr. Ahmad Ali M.D., pengasuh Pesantren Progresif Madania Tangerang, Pengurus Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI MUI)

 

e-Buletin Jumat edisi 30, 27 Agustus 2021 M. / 18 Muharram 1443 H. dapat diunduh disini

Membekali Generasi Millenial

Muhammad Alwi HS

 

“Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain”.(QS. Al-An’am: 6)

 

 

Ayat di atas Allah informasikan bahwa generasi Kaum ‘Ad adalah generasi baru yang datang menggantikan generasi kaum Nuh yang sebagian besarnya binasa dengan bencana banjir dunia. Allah beri keistimewaan kepada mereka memiliki postur tubuh lebih kuat dari generasi sebelumnya.  Peralihan generasi itu terus berlangsung dan sampai hari ini telah sampai pada masa kita dan generasi yang sedang bersiap mengambil alih dan melanjutkan estafet perjuangan generasi sebelumnya yang sedang berlangsung. Mereka inilah yang populer disebut generasi Y atau generai Millenial.

 

Tetapi yang terpenting diperingatkan oleh Al-Qur’an adalah tentang karakteristik dan kualitas para generasi tersebut. Di mana peralihan generasi dan kepemimpinan tidak selamanya berlangsung linear (lurus seperti garis) tetapi seringkali terjadi secara sepiral (melingkar) bahkan regresif (bersifat mundur). Pada Surat Al-A’raf ayat ke 168-169 Al-Quran menggambarkan kemunduran yang terjadi pasca peralihan generasi :

“Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran)”. (168)

“Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: “Kami akan diberi ampun.” Dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya? Dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti?”. (169)

Ayat-ayat di atas berbicara tentang peralihan generasi yang meyedihkan. Di mana generasi pendatang tidak mampu menjaga warisan kekayaan kemuliaan yang ditinggalkan nenek moyang mereka yang telah dibangun dengan fondasi dan nilai-nilai wahyu yang dibawa para Nabi mereka sebelumnya.

 

Apa yang diungkapkan Al-Quran tentang pergantian generasi dan perubahan karakter serta budaya pada umat-umat terdahulu mengandung pelajaran dan peringatan berharga bagi umat Nabi Muhammad yang dipersiapkan sebagai umat terakhir dari perjalanan umat manusia, di mana karakteristik utamanya adalah tidak ada lagi kepemimpinan para Nabi dan Rasul karena sudah diakhiri dengan Nabi Muhammad. Mereka terlahir untuk mewarisi nilai-nilai agung itu berupa sumber ajarannya yang ditinggalkan kepada mereka, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi.

“Aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka, yang jika kaian pedomani dengan sekuat tenaga, niscaya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabinya”.

 

Kita menyadari bahwa generasi milenial sekarang ini tumbuh dan berkembang dengan tanggung jawab, peluang dan tantangan yang berbeda dan bisa lebih berat dari yang dihadapi kita dan yang sebelumnya. Maka tidak mungkin generasi yang hidup dengan zaman dan tantangan yang berbeda dididik dan dipersiapkan dengan cara dan metode tradisisonal yang sudah ketinggalan zaman.

Ali bin Abu Thalib berkata, “Sampaikanlah kepada manusia apa yang bisa mereka pahami, sudikah kalian Allah dan Rasul-Nya didustakan manusia karena kesalahan penyampaian kalian”. Umar mengatakan, “Didiklah anak-anak kalian, karena sesungguhnya mereka akan menghadapi suatau zaman yang berbeda dengan zaman kalian ini”.

 

Generasi milenial adalah generasi yang dilahirkan dalam konteks masyarakat yang sudah terkepung oleh kemajuan teknologi media. Karena karakterisitik generasi ini memang tidak bisa dipisahkan oleh media, tentu media sosial yang kini tengah booming menjadi hal yang sangat berpengaruh dalam sikap dan perilakunya.  Jika mereka tidak membekali diri dengan pemahaman agama yang benar, mereka akan mudah dipengaruhi oleh ajakan yang menyesatkan. Oleh karena itu, generasi milenial perlu membekali diri dengan pemahaman agama yang baik dan komprehensif. Jangan menjadi generasi yang aktif memberikan bibit kebencian, yang berpotensi memicu terjadinya konflik. Untuk itulah, bijak bermedia sosial perlu diimplementasikan dalam keseharian.

 

Demikian halnya dalam beragama, sesama Muslim pun berbeda-beda pula dalam praktik keagamaan, penafsiran, dan metode dakwahnya. Oleh karena itu, sikap inklusif yang merangkul semua pihak sangat perlu untuk diejawantahkan. Sikap ini menjadi penting karena realitas bangsa ini yang heterogen. Nabi Muhammad dalam kehidupannya telah mencontohkan bagaimana hidup rukun dengan umat lain. Misalnya melalui kesepakatan Piagam Madinah. Piagam ini diwujudkan guna menjamin dan melindungi masing-masing agama dan kepercayaan yang ada di Madinah pada masa itu. Nabi Muhammad saw sama sekali tidak menggunakan pemaksaan dan kekerasan kepada umat lain. Lebih dari itu, Nabi Muhammad mencontohkan akhlak dan etika yang luhur dan mulia. Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Sungguh, aku diutus tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (H.R. al-Baihaqi)

 

Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa akhlak adalah daya kekuatan yang tertanam dalam dan dorongan perbuatan spontan tanpa memerlukan pertimbangan pikiran. Jadi akhlak merupakan sikap perilaku yang melekat pada diri seseorang dan secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku dan perbuatan.

 

Oleh karena itu, sudah selayaknya generasi milenial dibekali dengan pemahaman yang komprehensif terhadap ajaran agamanya. Menjadi kelompok masyarakat yang peduli dengan media sosial yang sehat dan berkontribusi terhadap tumbuhnya budaya yang saling menghormati, berakhlak yang baik, dan terbuka terhadap berbagai keberagaman. Generasi milenial harus siap menunaikan tanggungjawab serta memberi solusi terhadap berbagai problema kehidupan umat manusia, khususnya dalam membangun kejayaan umat dan bangsa Indonesia yang menjadi cerminan Islam sebagai rahmatan lil alamin.

 

Ust. Muhammad Alwi HS,Dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta

e-Buletin Jumat edisi 29, 20 Agustus 2021 M. / 11 Muharram 1443 H.

Mensyukuri Kemerdekaan

Ust. Andri Ardiansyah

 

 

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka pasti azab-Ku sangatpedih.”  (QS. Ibrahim (14);7)

 

 

Pada bulan Agustus ini bangsa Indonesia kembali memperingati hari kemerdekaannya yang ke-76. Ketika kita membuka kembali lembaran-lembaran sejarah bangsa ini, maka kita akan menemukan jejak Islam di setiap lembarannya. Ya, jejak perjuangan kaum muslimin dan para ulama yang menentang penindasan dan mengagungkan nama Islam. Bahkan perjuangan kemerdekaan tersebut telah ada jauh sebelum terbayangnya sebuah komunitas bernama Indonesia. Jadi jelas, bahwa kemerdekaan yang hingga saat ini kita rasakan dan hari ini kita peringati, adalah berkat rahmat Allah. Oleh sebab itu semua harus mensyukuri berkah atau nikmat Allah ini dengan sebaik-baiknya.

 

Kata syukur berasal dari bahasa Arab, diambil dari kata “syukron” yang berarti terima kasih. Dalam bahasa Syar’i, syukur atau bersyukur adalah kewajiban seorang muslim terhadap Allah, atas segala nikmat yang diberikan-Nya, sebagaimana ditegaskan dalam kutipan ayat di awal tulisan ini. Mengucapkan kata syukur ini sangat mudah, tetapi dalam prakteknya sulit. Sebab bersyukur adalah melaksanakan segala perintah Allah, dan meninggalkan segala larangannya, serta menggunakan nikmat yang diberikan Allah itu untuk fi sabilillah (di jalan Allah).

Kenyataanya sulit mencari orang bersyukur ini. Mereka yang diberi amanah untuk menyelenggarakan negara ini juga banyak yang tidak bersyukur. Mereka masih senang mengerjakan yang dilarang Allah, dan meninggalkan yang diperintah-Nya. Tantangan terbesar bangsa ini adalah dari internal kita sendiri. Bangsa yang kaya sumber daya alam dan sumber daya manusia, tetapi rakyatnya masih belum hidup sejahtera. Sikap dan prilaku koruptif telah merajalela, mulai dari elit hingga rakyat jelata. Suap-menyuap telah menjadi budaya, sehingga mental bangsa menjadi rusak. Ini tantangan serius yang dihadapi bangsa ini. Para pejabat masih banyak yang korupsi, menyalahgunakan jabatan dan melanggar hukum. Padahal Allah telah mengingatkan kita dalam firman-Nya:

“Apabila datang pertolongan Allah berupa kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuanmu, dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Tobat”. (QS. An-Nashr 1-4)

Sebab turun (asbabun nuzul) surat ini adalah ketika Rasulullah menaklukkan kota kelahirannya yang sudah lama ditinggalkan. Waktu itu Rasulullah bersama panglima perangnya Khalid bin Walid berhasil menggempur pasukan kafir Quraisy, dan memperoleh kemenangan yang gilang gemilang. Waktu itu orang berbondong-bondong masuk Islam, yang dulunya membenci Nabi.
Rasulullah SAW merasa gembira menyaksikan kenyataan itu. Pada waktu itu turunlah ayat dari Surah An Nashr itu, guna mengingatkan Rasulullah dan umat Islam, agar mereka mensyukuri nikmat kemenangan itu dan jangan lupa dengan Allah SWT.

 

Mensyukuri kemerdekaan adalah dengan mengisinya melalui pembangunan dan kemakmuran.  Allah SWT mengingatkan kepada kita yang hidup saat ini agar jangan sampai mewariskan generasi yang lemah, yang tidak sejahtera hidupnya. Sebagaimana dahulu para pejuang kemerdekaan RI mewariskan kemerdekaan kepada kita.

 

Cara pertama yang bisa dilakukan untuk menyambut hari kemerdekaan ini adalah mensyukuri secara sungguh-sungguh dan sepenuh hati atas anugerah keamanan atas agama dan negara kita dari belenggu penjajahan yang menyengsarakan. Sebab, nikmat agung setelah iman adalah aman. Lalu, bagaimana cara kita mensyukuri kemerdekaan ini? Pertama, mengisi kemerdekaan selama ini dengan meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Umat Islam Indonesia harus mensyukurinya dengan senantiasa mendekatkan diri kepada Sang Khaliq dan berbuat baik kepada sesama. Perlombaan yang paling bagus di momen ini adalah perlombaan menjadi pribadi paling takwa karena di situlah kemuliaan dapat diraih.

 

Yang kedua, mencintai negeri ini dengan memperhatikan berbagai kemaslahatan dan kemudaratan bagi eksistensinya. Segala upaya yang memberikan manfaat bagi rakyat luas kita dukung, sementara yang merugikan masyarakat banyak kita tolak. Sebaliknya, mencegah mudarat berarti menjauhkan bangsa ini dari berbagai marabahaya, seperti bencana, korupsi, kriminalitas, dan lain sebagainya. Inilah pengejawantahan dari sikap amar ma’ruf nahi munkar dalam pengertian yang luas. Ajakan kebaikan dan pengingkaran terhadap kemungkaran dipraktikkan dalam konteks pembangunan masyarakat. Tujuannya, menciptakan kehidupan yang lebih harmonis, adil, dan sejahtera.

 

Al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumid Din, mengatakan: “Kekuasaan (negara) dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama adalah landasan, sedangkan kekuasaan adalah pemelihara. Sesuatu tanpa landasan akan roboh. Sedangkan sesuatu tanpa pemelihara akan lenyap.”

 

Pernyataan Al-Ghazali ini seolah ingin menegaskan bahwa ada hubungan simbiosis yang tak terpisahkan antara agama dan negara. Alih-alih bertentangan, keduanya justru hadir dalam keadaan saling menopang. Negara membutuhkan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam agama, sementara agama memerlukan “rumah” yang mampu merawat keberlangsungannya secara aman dan damai.

 

Kita bersyukur dasar negara kita senafas dengan substansi ajaran Islam.  Mensyukuri kemerdekaan adalah mensyukurinya dengan lisan-lisan kita, dalam bentuk kalimat tahmid, berterima kasih dan menyebut jasa serta mendoakan para pahlawan, semoga amalnya diterima Allah SWT. Menyebut jasa baik tersebut juga menjadi bagian dari syukur kita kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah” (HR. Abu Daud. Di-shahih-kan oleh Syaikh Ahmad Syakir).

 

Mensyukuri kemerdekaan adalah dengan mengisi masa kemerdekaan dengan amalan yang disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam berbangsa dan bernegara, bukan dengan mengisinya dengan kemaksiatan kepadaNya. Dengan tegas Allah SWT telah memberi arahan kepada bangsa ini bagaimana seharusnya mengisi kemerdekaan dan mensyukuri nikmat kepemimpinan.

 

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hajj ayat 41,

 

”(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” Kalimat ”kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi” dapat berarti suatu bentuk kemerdekaan dari penjajahan.

 

Mari kita syukuri kemerdekaan ini dengan mempertahankan keutuhan jati diri bangsa ini dengan nilai-nilai Islam yang tinggi dan cinta kepada negeri ini. Dengan itu, kita akan mampu meraih kejayaan dan meneruskan sejarah bangsa ini menjadi sebuah “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur“ yaitu sebuah negara dan bangsa yang meraih maghfirah (ampunan), kesejahteraan dan kedamaian. []

 

Ust. Andri Ardiansyah, Dosen Ibn Khaldun, Bogor

e-Buletin Jumat edisi 28, 13 Agustus 2021 M / 04 Muharram 1443 H dapat diunduh disini

Islam Agama Hanif

Ust. Edi Sutrisno

 

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah Agama Ibrahim seorang yang hanif.” Dan Bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.(QS. Al-Nahl: 123)

Pada di­ri manusia, ter­dapat kecenderungan atau dorongan ingin melanggar, yang di antaranya disebabkan oleh sifat-sifat ma­nusia yang ingin selalu cepat, serba in­stan. Namun, pa­da diri manusia juga ditemukan adanya dorongan halus yang selalu mengajak atau membisikkan keinginan berbuat baik dan mencintai kebaikan, yang bersumber dari hati nu­rani. Dorongan halus tersebut dalam idiom Al-Quran dise­but hanif.

 

Hanif juga bisa diartikan sebagai berpaling dari keburukan dan condong pada kebaikan; orang muslim yang berpaling dari semua agama yang ada atau orang yang hanya cenderung pada kebenaran; orang yang menghadapkan dirinya ke arah kiblat, yakni baitul haram, karena mengikuti agama nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad; orang yang ikhlas; orang yang bersikap pasrah dalam menerima semua perintah Allah dan tidak menyimpang sedikitpun. Hanif juga sering diartikan sebagai al-mustaqim (yang lurus).

 

Dalam Tafsir Jalalain, disebutkan bahwa hanif adalah berpaling dari semua agama dan cenderung hanya pada agama yang lurus (ad-din al-qayyim). Sementara itu, Ath-Thabari, dalam kitab tafsirnya, menyatakan bahwa para ahli takwil berbeda pendapat mengenai pengertian kata hanif. Sebagian mengartikannya sebagai ibadah haji; sebagian mengatakan bahwa agama Nabi Ibrahim disebut dengan al-Islâm alhanîfiyah karena beliau merupakan imam pertama para ahli ibadah pada zamannya dan orang-orang yang datang setelahnya sampai hari kiamat; mereka adalah kaum yang mengikuti ibadah haji dan meneladaninya dalam ibadah tersebut. Mereka mengatakan bahwa setiap orang yang menunaikan ibadah haji dan mengikuti tata cara haji Nabi Ibrahim adalah hanif dan berserah diri (hanifan musliman) pada agama Nabi Ibrahim.

 

Sebagian mengatakan bahwa agama Nabi Ibrahim disebut dengan al-hanifiyah karena beliaulah yang pertama kali mensyariatkan khitan, yang kemudian diikuti oleh orang-orang yang datang setelah beliau. Karena itu, dikatakan bahwa setiap orang yang berkhitan dengan mencontoh tata cara khitan nabi Ibrahim, berarti dia seorang yang hanif. Ada juga yang berpendapat bahwa hanif adalah mukhlish (orang ikhlas) sehingga orang hanif adalah orang yang mengikhlaskan (memurnikan) agamanya hanya untuk Allah semata.

 

Istilah hanif atau al-hanifiyah (agama hanif) tidak begitu popular di lingkungan umat Islam di Indonesia. Sehingga ketika disebut agama hanif (agama yang condong kepada kelurusan, kebenaran, kebaikan) masih terasa asing. Kata hanafa telah dikenal dalam bahasa yang berlaku ketika itu di lingkungan masyarakat Arab. Di kalangan orang Arab dan Suryani kata hanafadimaksudkan Shaba’a yang berarti condong dan terpengaruh oleh sesuatu. Al-Qur’an juga berbicara tentang al-Hunafa’. Kata Hanifan diulang sepuluh kali dalam Al-Qur’an, sedangkan kata Hunafa’diulang 2 kali.

 

Al-Hunafa’ dengan demikian, adalah kumpulan orang-orang dengan segenap keistimewaan yang ada pada dirinya, seperti kecerdasan akal dan pengetahuannya yang luas, pandangan-pandangannya sangat kritis terhadap problematika kehidupan. Mereka dipandang relatif lebih berbudi pekerti luhur dan terpelajar. Mereka menolak menyembah berhala karena dipandang sia-sia, dan mengajak kepada ketauhidan. Mereka menjauhkan diri dari menyembah berhala dan melainkan mereka menyuarakan ke-Esaan Allah. Demikian pula mereka mempunyai kelebihan dalam tingkah laku dan moralitas sehingga mereka menolak segala kehinaan yang tersebar di masyarakatnya, seperti zina, minum khamr, dan mengubur hidup-hidup anak perempuan. Dan tentu saja, semua itu merupakan ajakan demi tersebarnya agama hanif sebagai pencarian terhadap agama baru yang lebih rasional.

 

Semua faktor-faktor tersebut telah berinteraksi sehingga berkembang dan melahirkan fenomena agama hanifdan tersebar di seluruh penjuru, khususnya di kota-kota atau pusat-pusat kebudayaan. Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa fenomena al-Hunafa’ tersebut merupakan langkah awal bagi munculnya ‘kesadaran’ dalam ber-Islam dan juga kesadaran dalam membangun peradaban. Mereka hidup dalam peradaban yang tinggi. Hal itu karena kebanyakan mereka telah mempelajari kitab suci kedua agama Semit (Yahudi dan Nasrani). Sebagian telah menguasai bahasa yang lain selain bahasa Arab, seperti bahasa Ibrani (Hebrew) dan Suryani. Semua itu dimaksudkan untuk mencari agama Nabi Ibrahim, sebagaimana digambarkan oleh Al-Qur’an dengan sebutan hanif yang dalam bahasa teologi Islam justru termuat dalam paham tauhid,yang akan membawa kepada siapa saja yang mempercayainya kepada suatu sikap pasrah kepada Tuhan sebagai suatu bentuk ketundukan. Sejalan dengan pengertian “Islam” itu sendiri, sebagai “sikap pasrah kepada Tuhan”.

 

Perlu diuraikan juga di sini bahwa kaum Yahudi dan Nasrani, mem­­­­punyai kedudukan yang khu­sus dalam pandangan kaum Mus­lim karena agama mereka adalah pendahulu agama kaum Muslim (Islam), dan agama kaum Muslim (Islam) adalah kelanjutan agama mereka. Sebab inti ajaran yang disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. adalah sama dengan inti ajaran yang di­sam­paikan oleh Tuhan kepada semua Nabi. Karena itu, sesungguhnya se­luruh umat pemeluk agama Allah adalah umat yang tunggal. Karena itu para penganut setiap agama dituntut untuk meng­amalkan dengan sebaik-baiknya ajaran Tuhan dalam masing-masing agama itu.

 

Ada kisah yang terkait dengan ajaran Islam yang hanif atau al-hanifiyyat al-samhah, yaitu sikap merindukan, mencari, dan memihak kepada yang benar dan baik secara lapang. Diceritakan, ada seorang sahabat bernama Utsman ibn Mazh‘un mem­beli sebuah rumah, lalu ia tinggal di dalamnya (sepanjang waktu) untuk beribadah. Ketika berita itu datang kepada Nabi Saw., maka beliau pun datang kepadanya, lalu dibawanya keluar, dan beliau bersabda: “Wahai Utsman, sesungguhnya Allah tidaklah mengutusku dengan ajaran kerahiban” (Nabi bersabda demikian dua-tiga kali, lalu ber­sabda lebih lanjut), “Dan se­sung­guhnya sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanifiyyat al-samhah (semangat pencarian kebenaran yang lapang)”.

 

Terkait dengan hadis di atas, Muhammad Asad juga menegaskan bahwa Al-Quran menekankan prin­sip yang semata-mata mengikuti bentuk-bentuk lahiriah tidaklah memenuhi persyaratan kebajikan. Ajaran tentang formalitas ritual belaka tidak­lah cukup sebagai wujud ke­agamaan yang be­nar. Karena itu juga tidak pula segi-segi lahiriah itu akan menghantarkan kita me­­­nuju keba­ha­giaan, sebelum ki­ta meng­isinya dengan hal-hal yang lebih esensial. Sikap-sikap mem­batasi diri hanya kepada hal-hal ritualistik dan formal, akan sama de­ngan peniadaan tujuan agama yang hakiki. Dalam Islam, kebahagiaan hi­dup yang diperoleh melalui amal perbuatan yang baik dan benar adalah sepenuhnya sesuai dengan ajaran Kitab Suci. Islam adalah agama yang meng­ajarkan bahwa keselamatan diraih dengan perbuatan baik atau amal saleh. []

 

Ust. Edi Sutrisno,Ketua 1 Takmir Masjid Jami Bintaro Jaya

 

e-Buletin Jumat edisi 27: 08 Agustus 2021 M. / 27 Dzulhijjah 1442 H.

Membangun Perdamaian

Ust. Agusman Armansyah

 

Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condong- lah kepadanya dan bertawakal-lah kepada Allah. Sesungguh- nya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui

(QS. Al- Anfâl: 61).

 

Ayat Al-Quran di atas menjelaskan kepada kita tentang pentingnya perdamaian dalam kehidupan. Berdasarkan ayat Al-Quran tersebut, perdamaian harus senantiasa diperjuangkan dan dikedepankan ketimbang pilihan-pilihan hidup yang lain, baik dalam keadaan normal maupun dalam ke adaan perang.

Dalam kitab tafsir Mafâtîh Al-Ghaîb,Imam Ar-Razi menyebutkan bahwa ayat ini turun ketika perang Badar terjadi antara umat Islam dengan orang-orang kafir Quraisy. Perang  Badar adalah perang pertama dalam sejarah umat Islam.  Perang ini terjadi dengan kekuatan yang tidak seimbang antara kedua belah pihak. Orang-orang Islam yang terlibat dalam perang ini hanya berjumlah 313 orang. Sedangkan orang-orang kafir Quraisy berjumlah 1.000 orang. Namu kekuasaan Allah telah menjadi kekuatan maha dahsyat yang tak terlihat oleh siapa pun, hingga umat Islam mencapai kemenangan gemilang dalam peperangan ini.

Dari sebab turunnya ayat di atas menjadi jelas, betapa perdamaian sangat ditekankan dalam Islam. Dalam keadaan perang pun Islam tetap mengedepankan dan mengupaya kan tegaknya perdamaian. Imam Ali bin Abi Thalib pernah menceritakan suatu Hadis Nabi Muhammad SAW terkait dengan ajaran perdamaian dalam Islam.

 

Rasulullah SAW bersabda:

Sesungguhnya akan terjadi banyak perbedaan setelah Aku (meninggal). Bila Engkau mampu mewujudkan perdamaian, maka lakukanlah.

 

Apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW pada masa Hudaibiyah (‘am al-hudaybiyyah) patut dijadikan teladan oleh segenap umat Islam dalam mengupayakan perdamaian. Yaitu ketika orang-orang kafir Quraisy meminta berdamai dengan Nabi Muhammad SAW dan semua pengikutnya.

Tak hanya itu, orang-orang Quraisy juga meminta Nabi Muhammad SAW agar mengurungkan niatnya untuk mengunjungi kota Mekah, kota suci sekaligus tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW sebelum beliau hijrah ke Madinah. Padahal, saat itu Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya sudah dalam keadaan siap seratus persen untuk melakukan kunjungan atau umrah ke Kota Suci tersebut. Sebagai imbalannya, orang-orang Quraiys berjanji tidak akan mengganggu umat Islam kembali bila berkunjung ke kota Mekah setelah masa Hudaibyah.

Nabi Muhammad SAW sepakat dengan ajakan perdamaian di atas dan memilih mengurungkan niat sucinya tersebut. Sejumlah sahabat Nabi seperti sahabat Umar bin Khattab terperangah menyaksikan keputusan bijak yang diambil oleh Nabi Muhammad SAW. Tapi keputusan ini sepintas merugikan beliau beserta pengikutnya.

 

Nabi Muhammad SAW kemudian meyakinkan para sahabatnya akan kebenaran dan kebijaksanaan dalam keputusan tersebut. Nabi Muhammad SAW juga meyakinkan  para sahabat bahwa keputusan ini merupakan tuntunan Allah. Dan yang tak kalah pentingnya adalah, bahwa keputusan demi perdamaian tidak akan pernah salah atau merugikan.

 

Fenomena konflik dan kekerasan berbasis agama belakangan cukup mengkhawatirkan; dan ini  terjadi hampir di semua kehidupan umat beragama, apa pun agamanya. Fenomena ini terjadi setidaknya karena dua hal utama. Pertama,adanya beberapa doktrin yang dipahami secara salah sehingga doktrin tersebut dijadikan sebagai legitimasi untuk melakukan tindakan kekerasan. Beberapa ajaran dianggap  membolehkan tindakan kekerasan. Apalagi kekerasan tersebut dilakukan untuk menghakimi “mereka yang berbeda”.

Harus diakui, Islam juga mempunyai beberapa ajaran yang sering dikait-kaitkan dengan aksi-aksi keras seperti perang. Juga benar bahwa dalam Al-Quran dan Hadis terdapat beberapa ajaran tentang perang dan jihad.

Namun sungguh tidak benar bila diyakini bahwa ajaran- ajaran perang adalah satu-satunya doktrin dalam Islam. Sebagaimana juga tidak benar bila ajaran jihad hanya dipahami sebagai ajaran tentang angkat senjata ataupun aksi-aksi keras lainnya. Karena terdapat sekian ajaran tentang perdamaian yang dijadikan pilihan hidup. Sebagaimana juga terdapat makna jihad lain di luar aksi keras. Dan hampir semua ajaran jihad atau perang mempunyai latar belakang ataupun konteks yang dapat menjelaskan mengapa hal itu harus dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran tentang perang dalam Islam harus dipahami secara tepat sesuai dengan konteks kesejarahannya.

 

Nabi Muhammad SAW bersabda, Allah memberikan pada kelembutan hal-hal yang tak diberikan kepada ke- kerasan.

Sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih, mencintai sifat welas- asih, dan memberikan (banyak keistimewaan) yang tidak diberikan kepada sifat kejam atau kekerasan.

 

Hadis di atas hendak menegaskan bahwa perdamaian adalah yang pertama dan terutama. Dalam keadaan apa pun perdamaian harus senantiasa diperjuangkan dan ditegakkan. Karena hanya dalam damai manusia sebagai khalifahdi muka bumi bisa menjalankan mandat dan kepercayaan Allah, yaitu untuk membangun kehidupan dan peradaban adi luhung.

Ada seorang sahabat yang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, “Islam seperti apa yang utama wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Menyantuni makanan dan menyebarkan salam perdamaian, baik kepada orang yang engkau kenal atau yang tidak engkau kenal.”

Tentu saja, Nabi Muhammad SAW tidak hanya sedang menuntun umatnya agar membiasakan dan menghormati orang lain dengan ucapan assalâmu’alaikumyang bermakna: kedamaian untukmu. Lebih dari pada itu, Nabi Muhammad SAW hendak membangun kehidupan umat yang santun, peduli terhadap persoalan perdamaian dan berjuang demi  tegaknya perdamaian. Jangankan dengan mereka yang sudah ketahuan titik perbedaannya (baik perbedaan agama atau suku), dengan mereka yang belum dikenal pun umat Islam dianjurkan untuk senantiasa berdamai, sebagaimana tuntunan Hadis di atas.

Dalam konteks ini, ajaran perdamaian sebagaimana terkandung dalam ayat Al-Quran di atas, anjuran menyebarkan kata salam dan hakikat keutamaan Islam sebagaimana ditayakan oleh seorang sahabat dalam Hadis di atas mempunyai makna yang mendalam. Makna ini sangat penting demi terciptanya keberislaman yang utama bagi seorang muslim.

Secara kebahasaan, kata as-silmdalam ayat di atas, kata salâm,dan kata al-islâmberawal dari satu kata, yaitu sa-li-ma.Dalam kitab Lisânu Al-Arabdisebutkan,kata ini bermakna as-salâmu(perdamaian), as-salâmatu(keselamatan) dan al-barâ‘ah(kebebasan), yakni tidak ada keterkaitan antara satu dengan yang lain, terutama dalam keburukan.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa hakikat Islam yang utama (meminjam istilah seorang sahabat dalam pertanyaan di atas) adalah Islam yang menyebarkan perdamaian, memberikan keselamatan dan kebebasan kepada diri sendiri dan orang lain (al-barâ‘ah) untuk melakukan apa yang dianggap sebagai kebaikan. Dan inilah bagian dari ajaran inti dalam Islam. Karena kata al-Islâmsendiri berasal dari “rumpun kata” yang sama, yakni kata sa-li-ma.

Sebagai penutup, marilah kitamerefleksikan kembali bacaan dan amalan doa yang sangat dianjurkan dalam Islam, terutama di setiap selesai melakukan ibadah shalat. Yaitu doa yang berbunyi:

Wahai Tuhan, Engkau adalah perdamaian. Darimu perdamaian berasal dan kepada-Mu-lah perdamaian akan kembali. Maka, hidupkanlah kami dalam damai dan masukkanlah kami ke dalam surga-Mu yang tak lain adalah singgasana perdamaian, diberkati Engkau dan Maha Tinggi Engkau wahai Dzat Yang Agung dan Mulia.

 

Perdamaian adalah sifat Allah subhânahu wata’âlâ,yang harus mewarnai tindak-tanduk keseharian kita. Betapa indahnya hidup ini jika diisi dengan kehidupan yang damai, baik dalam lingkup keluarga, organisasi, bangsa, maupun lingkup global. Mari kita jalani kita songsong kehidupan kita dengan damai.[]

 

Ust. Agusman Armansyah, alumnus Universitas AL-Azhar Kairo, Mesir, Direktur Akademik Yayasan Pendidikan Murah Hati, Cibubur Bekasi.

 

e-Buletin Jumat edisi minggu ini dapat diunduh disini

Meneguhkan Persaudaraan

Ust. Suraji

Manusia pada hakikatnya adalah umat yang satu. Kemudian Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. (Q.S. Al-Baqarah: 213)

 

 

Ayat di atas merupakan penjelasan kepada umat manusia tentang tujuan diutusnya para nabi. Yakni untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan kepada kita semua. Kabar gembira bagi orang yang mau tunduk dan taat menjalankan perintah-perintah Allah, mereka akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Peringatan kepada orang yang tidak mau patuh kepada perintah Allah dan gemar berbuat kejahatan dan kerusakan di muka bumi, mereka akan mendapatkan siksa kelak di akhirat.

 

Para Nabi sejak dari Adam hingga Muhammad SAW membawa misi untuk membimbing manusia kepada ajaran ketauhidan dan menciptakan tata kehidupan yang baik. Karena itu, setiap nabi menyerukan kepada umatnya supaya mencegah kerusakan dan menghindari pertikaian antar sesama. Nabi Muhammad SAW. diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Seperti kita ketahui dalam sejarah, saat itu Nabi menghadapi sebuah umat yang sering mengalami pertikaian antar suku dan golongan. Masyarakat yang mengalami kemorosotan moral dan tidak adanya tatanan sosial yang dijadikan pegangan. Itulah masyarakat jahiliyah yang melatarbelakangi kerasulan Muhammad.

Al-Qurthubi dalam kitabnya, al-Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an, mengatakan bahwa ayat al-Qur’an di atas merupakan peringatan kepada kita untuk senantiasa mengingat kembali asal-usul kita. Terutama jika menghadapi konflik atau pertikaian, hendaklah kita membuka nurani dengan mengingat kembali pada asal mula kita. Manusia pada hakikatnya adalah umat yang satu, yakni sama-sama sebagai keturunan Adam.

 

Sekilas pikiran kita menganggap seruan ini terkesan biasa-biasa saja. Setiap orang tahu dan mengakui bahwa nenek moyang kita sama. Sebagai manusia kita sama-sama diciptakan Allah dari tanah, dan kelak jika meninggal kita akan dikubur ke dalam tanah. Tapi jika direnungkan lebih mendalam, seruan tersebut mengandung nilai ajaran yang sangat tinggi maknanya. Dengan mengaku umat yang satu, berarti menganggap tidak ada perbedaan satu dengan yang lain. Laki-perempuan, kaya-miskin, hitam-putih, semua sama dan setara.

 

Dengan pandangan ini, perbedaan yang ada bukan menjadi masalah, tapi sebaliknya merupakan rahmat yang dikaruniakan Allah.  Inilah ajaran universal yang ditawarkan oleh Islam. Ajaran untuk berpegang teguh kepada persaudaraan antar sesama manusia, atau yang dikenal dengan ukhuwah basyariyah.

 

Rasulullah SAW ketika memulai dakwahnya di Madinah membuat piagam kesepakatan yang dikenal dengan Piagam Madinah. Di dalam piagam tersebut, Rasulullah menegaskan kalimat sebagaimana kalimat dalam ayat di atas, “Manusia pada hakikatnya adalah umat yang satu.”

Betapa agung dan luhurnya nilai persaudaraan ini. Karena dengan menganggap setiap manusia bersaudara, berarti kita mampu menembus sekat-sekat dan perbedaan yang ada. Baik itu perbedaan berupa warna kulit, suku-bangsa, bahasa, status sosial, maupun agama. Dengan pengakuan diri sebagai saudara bagi manusia lain, berarti telah menganggap orang lain menjadi bagian dari diri kita. Karena semua bersaudara, berarti didak ada istilah musuh di sini. Karena merasa sebagai umat yang satu, semua kasih sayang yang kita curahkan juga untuk semua manusia.

 

Betapa indahnya dunia jika setiap manusia mau berpegang prinsip ukhuwah basyariahini. Betapa damainya bumi yang kita huni ini jika setiap orang mau saling menyayangi, saling menolong, saling membantu, saling meringankan beban penderitaan, dan saling mengisi kekurangan satu sama lain. Tapi sayang, sebagai manusia kita lebih suka mementingkan diri sendiri, mengedepankan ego kepentingan pribadi dan kelompok. Hasrat duniawi sering mengarahkan kita untuk mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok. Sudah sejak lama kita diwarisi rasa kebencian terhadap umat lain. Bahkan, sampai tega menghilangkan nyawa yang lain.

 

Manusia seperti itu kah kita, yang sering melakukan permusuhan, dan pertumpahan darah? Seperti yang dikatakan Malaikat Jibril ketika bertanya kepada Allah SWT, “Apakah Paduka akan menciptakan manusia yang gemar berbuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah?”.

 

Sebagai muslim, kita telah diajarkan oleh Rasulullah untuk menjauhi akhlak yang tercela dan menghias diri dengan akhlak yang mulia (akhlaqul karimah). Dengan berbegang teguh pada ukhuwah basyariyah berarti telah tertanam akar akhlaqul karimah di dalam diri kita dengan kokoh. Karena persaudaraan (ukhuwah) bukan sesuatu yang bersifat pasif. Ukhuwah basyariyahbukan hanya sebatas penghormatan kepada sesama manusia. Juga bukan sebatas sikap tidak mau mengganggu orang lain. Namun tindakan aktif yang merupakan panggilan jiwa untuk menjunjung harkat dan martabat kemanusiaan.

 

Jiwa kita akan terpanggil untuk memberi makan bagi mereka yang lapar dan menolong yang terkena musibah. Bersedia meringankan beban penderitaan orang lain dengan atau tanpa dimintai pertolongan. Dan yang lebih penting lagi adalah menciptakan kehidupan yang damai. Sebab pertikaian atau peperangan seringkali mengorbankan kemanusiaan itu sendiri.

 

Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Buhkhari, Nabi pernah ditanya oleh sahabat, “Apa Islam itu, wahai Rasulullah.” Kemudian Rasulullah menjawab, “Memberi makan bagi yang lapar dan menebarkan perdamaian kepada orang yang kau kenal atau yang tidak kau kenal”. Sabda Nabi tersebut jelas menegaskan bahwa nilai kemanusiaan melekat dalam Islam itu sendiri. Oleh karena itu, dengan memegang prinsip ukhuwah basyariyah, kita dituntut untuk selalu mengasah kepekaan sosial dan memenuhi panggilan kemanusiaan.

 

Akhir-akhir ini kita menyaksikan perang antar negara, permusuhan antar suku, aksi terorisme, sampai perkelahian antar kampung masih sering terjadi. Dalam kehidupan sosial kita sering disuguhi paham yang membedakan siapa kawan dan siapa lawan. Kita biasa dengan pergaulan yang mengucilkan yang bodoh dan kurang mampu. Dalam politik, kita juga sering dihasut oleh perilaku politik yang memeceh-belah. Kepemimpinan yang ada lebih menindas yang lemah. Semua ini merupakan bukti bahwa kita sedang mengalami krisis kemanusiaan. Sadar atau tidak, seseorang yang mencederai martabat kemanusiaan orang lain berarti telah mengingkari fitrahnya sendiri. Fitrah sebagai manusia yang membutuhkan kehadiran dan bantuan orang lain.

 

Allah SWT berfirman: “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu jiwa, dan darinya Tuhan menciptakan pasangannya; dan dari keduanya Tuhan mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Tuhan yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan membangun hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Tuhan selalu menjaga dan mengawasi kamu (QS. Al-Nisa’: 1)

 

Ayat ini merupakan landasan yang kuat bagi umat Islam untuk memegang prinsip ukhuwah basyariyah. Di sini semakin jelas bahwa selain mengajarkan ketauhidan, Islam juga merupakan ajaran tentang kemanusiaan.

 

Dengan landasan teologis yang kokoh diharapkan mampu mempertebal keimanan kita sebagai modal untuk menjalankan perintah Allah SWT. Sehingga sebagai umat Islam kita semakin mantap dalam berinteraksi dengan semua golongan manusia. Tidak pandang bulu dari lapisan masyarakat manapun, atau dengan penganut agama apapun,  tidak ada keraguan bagi seorang muslim untuk selalu menghadirkan kebajikan dan menebarkan kasih sayang. Wallahu a’lam.[]

Ust. Suraji,alumni Pesantren Darul Ulum, Sidowayah, Rembang.

 

e-Buletin edisi ke-25, 23 Juli 2021 M. / 13 Dzulhijjah 1442 H. dapat diunduh disini

Melindungi Keselamatan Jiwa

Ust. Alfian Ruhyat

 

Janganlah kamu membunuh dirimu. Allah Maha Penyayang kepadamu.”

(QS. an-Nisa: 29).

 

Di antara misi utama yang dibawa oleh agama Islam adalah menjaga lima perkara yang sangat mendasar, yaitu: menjaga agama; menjaga jiwa; menjaga akal; menjaga kehormatan; dan menjaga harta. Termasuk dalam menjaga jiwa adalah segala hal yang berkaitan dengan kesehatan dan pencegahan penyakit, tentu saja di luar menghormati nyawa orang lain.  Ayat di atas secara tegas melarang manusia melakukan bunuh diri dalam bentuk apa pun dan dengan cara apa pun. Jiwa manusia sangat mahal. Ia harus dijaga dan dipelihara. Ia adalah amanah dari Allah SWT. Dalam Islam, keselamatan jiwa lebih utama. Membunuh diri tidak hanya menusuk badan dengan pisau, menembak diri dengan pistol, menjatuhkan diri dari ketinggian. Bisa dikatakan membunuh diri bila dengan sengaja membiarkan diri jatuh dalam bahaya dan kebinasaan, membiarkan diri tertular penyakit, tidak berhati-hati, dan mengabaikan protokol kesehatan.

 

Makna kedua dari “janganlah kamu membunuh dirimu”, yaitu janganlah kamu membunuh orang lain apalagi saudaramu sesama mukmin. Sebab, persaudaraan, cinta kasih, dan sifat sayang mukmin yang satu dengan yang lain ibarat satu tubuh seperti disebutkan dalam hadis Nabi SAW. Karena itu, setiap Muslim dilarang melakukan sesuatu yang bisa membahayakan orang lain. Nabi SAW bersabda, “Tidak boleh mandatangkan bahaya untuk diri sendiri dan orang lain.” (HR Ibn Majah dan ad-Daraquthni). Termasuk, tidak boleh menularkan bahaya, penyakit, atau virus kepada orang lain dengan sengaja ataupun karena ceroboh dan abai. Dalam ayat lain, Allah berfirman, “Janganlah kalian menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan.” (QS. al-Baqarah: 195). Ayat ini juga menunjukkan wajibnya menjauhi sebab-sebab yang akan mengantarkan kepada kebinasaan jiwa.

 

Dalam kitab Zadul Ma’ad, pada pembahasan tentang ath-Thibb an-Nabawi (Kedokteran Nabawi), Imam Ibnul Qayim mengatakan, “Karena kasih sayangnya yang sangat besar terhadap umatnya dan dorongan memberikan nasehat kepada umat, Nabi SAW melarang umat melakukan sebab-sebab yang bisa mengantarkan kepada sakit dan kerusakan pada fisik dan hati mereka.” Keterangan ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan prinsip wajibnya menempuh tindakan preventif (pencegahan) dalam bentuk menghindari sebab-sebab terjadinya penularan penyakit. Menjaga jiwa juga erat kaitannya untuk menjamin atas hak hidup manusia seluruhnya tanpa terkecuali. Dalam Islam, jiwa atau nyawa manusia memiliki nilai yang sangat tinggi. Orang yang menghilangkan nyawa orang lain (membunuh), diumpamakan sama seperti membunuh semua orang di muka bumi, begitu pun pada saat menyelamatkan satu nyawa orang, maka seolah ia menyelamatkan nyawa semua orang.

 

“Barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”(QS, al-Maidah: 32)

 

Ini artinya, umat Islam tidak boleh nekad melakukan sesuatu yang bisa membahayakan dirinya sendiri. Nabi menyatakan: la dharar wala dhirar(tidak boleh ada bahaya atau tindakan yang bisa membahayakan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain). Dalam hadits lain yang diriwayatkan Imam al Hakim dan Baihaqi juga disebutkan:

 

Barangsiapa membahayakan orang lain, maka Allâh akan membalas bahaya kepadanya dan barangsiapa menyusahkan atau menyulitkan orang lain, maka Allah akan menyulitkannya.”

 

Ayat dan teks hadis ini secara tegas dan jelas menyebutkan bahwa umat Islam diperintahkan untuk menghindar dari bahaya atau melakukan tindakan berbahaya yang bisa mencelakai diri sendiri maupun orang lain. Upaya menjaga keselamatan diri ini juga dianjurkan ketika menghadapi wabah penyakit sebagaimana dikatakan Nabi:

 

“…. Kalau kalian mendengar ada wabahthaun di suatu negeri, janganlah kalian memasuki negeri tersebut. Namun, bila wabah thaun itu menyebar di negeri kalian, janganlah kalian keluar dari negeri kalian menghindar dari penyakit itu.” (HR Bukhari-Muslim)

 

Dalam Hadis yang lain Nabi bersabda:

 

Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu.” (HR al-Bukhari)

 

Berdasarkan hadis ini, Ibnul Qayyim al-Jauziy menyatakan bahwa orang yang tetap memaksakan diri masuk ke daerah wabah, atau nekad melanggar aturan kesehatan, sama saja dengan membinasakan dirinya sendiri dan itu bertentangan dengan syariat Islam. Sikap menghindar dari bahaya yang bisa mengancam keselamatan diri maupun orang lain ini tidak hanya disebutkan dalam teks, tetapi juga dicontohkan oleh Nabi Muhammad.

 

Bahkan Islam tidak menyuruh ummatnya melakukan ibadah atau menjalankan Syariah secara berlebihan sehingga melampuai kemempuan diri. Hal ini tercermin dalam hadis Nabi yang diriwayatkan dari dari Anas ra. Dalam hadits ini disebutkan adanya tiga orang sahabat yang menganggap amal ibadah Nabi sangat minimalis, hanya sedikit saja. Kemudian mereka bertiga datang menghadap Nabi dan menceritakan tentang kehebatan amal ibadah masing-masing sehingga melampaui batas kemanusiaan. Mengetahui hal ini kemudian Rasul bersabda kepada mereka:

 

“Kalian tadi berbicara begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada Allah di antara kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku tidur malam, aku juga mengawini perempuan. (Itulah sunah-sunahku) siapa saja yang benci terhadap sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” (HR Bukhari dan Muslim)

 

Hadits ini jelas menyiratkan bahwa beribadah itu yang wajar saja, tidak boleh melampaui batasan kemanusiaan sehingga bisa membahayakan diri sendiri.

 

Dalam kondisi sekarang ini, di mana merebaknya wabah Corona yang membahayakan karena mengancam jiwa manusia, maka selayaknya para agamawan bersikap bijak dengan meniru apa yang sudah dicontohkan Nabi, para sahabat dan ulama. Sikap menolak prosedur kesehatan dan hukum sains dengan mengatasnamakan takdir dan kekuasaan Allah, atau menghadapkan bahaya wabah corona dengan kekuasaan Allah tidak saja membahayakan ummat tetapi juga bertentangan dengan ajaran Islam dan apa yang sudah dicontohkan Nabi. Ikhtiar menjaga diri dari serangan wabah bukan berarti tidak percaya pada kekuasaan Allah, justru hal itu menjadi bagian dari yang disyariatkan Allah.  Karena dalam Islam menjaga dan melindungi jiwa jauh lebih penting.

 

Itulah sebab, mengapa dalam Maqasid Syariah – konsep  hukum gagasan Imam Asy-Syatiby yang menjelaskan bahwa setiap syariat diturunkan untuk tujuan-tujuan tertentu – ditegaskan  bahwa tujuan utama syariat Islam adalah menjaga nyawa/jiwa (hifdzun nafs), di samping untuk menjaga agama/keyakinan (hifdzud din); menjaga akal/pikiran (hifdzul aql); menjaga keturunan (hifdzun nasl); dan menjaga harta/kepemilikan (hifdzul mal).

 

Rasulullah SAW diutus ke muka bumi untuk memberi rahmat bagi alam semesta. Inilah dasar yang kokoh bagi keberadaan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Artinya, keberadaan seorang Muslim, di manapun dia, selain harus menjaga keamanan bagi dirinya, juga harus memberi rasa aman dan kedamaian bagi orang lain yang ada di sekelilingnya. Tidak beriman seseorang, jika orang lain belum selamat dari kejahatan lidah (omongan) dan tangannya (tindakannya).

 

Mari kita fungsikan agama benar-benar untuk menyelamatkan nyawa/jiwa, dan kita fungsikan negara untuk memberikan kepastian keselamatan jiwa bagi segenap warganya. []

 

Ust. Alfian Ruhyat,pengajar di Lembaga Pendidikan Miftahul Huda, Jakarta

 

e-Buletin Jumat edisi ke-24, 16 Juli 2021 M. / 06 Dzulhijjah 1442 H., dapat diunduh disini

Membangun Etika Komunikasi

Ust. Idwar Wahyudi

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia,

Yang mengajar (manusia) dengan pena.

Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.

(QS. Al-‘Alaq: 1-5)

 

 

Dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5, surat yang pertama turun kepada Nabi Muhammad, terdapat perintah untuk membaca. Jika dipahami dalam makna yang lebih mendalam, pada dasarnya ini merupakan bentuk perintah untuk memperhatikan pengetahuan. Hal ini karena pengetahuaan sangat penting peranananya bagi manusia, sehingga Surat al-‘Alaq lebih menggunakan kata iqra’ dan al-qalam. Diakui atau tidak, keduanya sangat penting perannya dalam proses pembelajaran, khususnya dalam mempelajari sains dan teknologi.

 

Dalam mempelajari sains dan teknologi, membaca tidak sekedar melihat bacaan tertulis. Namun lebih jauh dari itu adalah membaca asma dan kemuliaan Allah, membaca teknologi genetika, membaca teknologi komunikasi, dan membaca segala yang belum terbaca, sehingga dengan membaca ini terjadi suatu perubahan, baik perubahan pengetahuan dari tidak tahu menjadi tahu atau bahkan pada perubahan tingkah laku dan sikap yang merupakan ciri dari keberhasilan aktivitas belajar.

 

Kemajuan sains dan teknologi telah memberikan kemudahan-kemudahan dan kesejahteraan bagi kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ilmu adalah sumber teknologi yang mampu memberikan kemungkinan munculnya berbagai penemuan dan ide-ide. Adapun teknologi adalah terapan atau aplikasi dari ilmu yang dapat ditunjukkan dalam hasil nyata yang lebih canggih dan dapat mendorong manusia untuk berkembang lebih maju lagi.

 

Tidak bisa dimungkiri bahwa dengan bergesernya peran negara dalam percaturan hubungan internasional, maka aspek kebudayaan menjadi sesuatu yang dalam hubungan internasional. Sementara itu, setiap kelompok budaya cenderung etnosentrik, yakni menganggap nilai-nilai budaya sendiri lebih baik dari pada budaya lainnya dan mengukur budaya lain berdasarkan rujukan budayanya. Karenanya, strategi komunikasi sangat diperlukan ketika kita dihadapkan dengan sistem nilai dan budaya yang berbeda.

 

Di dalam al-Qur’an dan hadis Nabi terdapat banyak keterangan berkenaan dengan adanya komunikasi. Dalam hal ini komunikasi dipahami sebagai sebuah proses penciptaan makna antara dua orang atau lebih lewat penggunaan simbol-simbol atau tanda-tanda. Dengan pemahaman tersebut, dialog antara Malaikat Jibril dengan Nabi Muhammad ketika pertama kali turun wahyu di Gua Hira dapat dikategorikan sebagai proses komunikasi.

 

Di dalam dialog tersebut, Nabi yang awalnya tidak memahami apa yang ingin disampaikan oleh Malaikat Jibril, pada akhirnya memahami dan mengikuti apa yang disampaikan oleh Jibril yang kemudian dikenal dengan wahyu pertama surat al-Alaq ayat 1-5 sebagaimana tertulis di awal tulisan ini.

Begitu juga ketika Nabi menyampaikan (menceritakan) peristiwa yang dialaminya kepada Istrinya dan seorang pendeta dapat dikatakan sebagai proses komunikasi. Para pakar dan sarjana muslim belakangan ini banyak melakukan kajian mengenai komunikasi dengan berbasis Islam. Kajian ini sering disebut sebagai “Komunikasi Islam” yang merupakan bentuk frasa dan pemikiran yang baru muncul dalam penelitian sekitar tiga dekade belakangan ini. Munculnya pemikiran dan aktivisme Komunikasi Islam didasarkan pada kegagalan falsafah, paradigma dan pelaksanaan Komunikasi Barat yang lebih mengoptimalkan nilai-nilai pragmatis, materialistis serta penggunaan media secara kapitalis.

 

Dalam perspektif Islam, kualitas komunikasi menyangkut nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan, kebaikan, kejujuran, integritas, keadilan, kesahihan pesan dan sumber. Ini semua menjadi aspek penting dalam komunikasi Islam. Oleh karenanya dalam perspektif ini, komunikasi Islam ditegakkan atas sendi hubungan segitiga (Islamic Triangular Relationship), antara “Allah, manusia dan masyarakat”.

 

Al-Qur’an sangat menekankan etika berkomunikasi. Dari sejumlah aspek moral dan etika komunikasi, paling tidak terdapat empat prinsip etika komunikasi dalam al-Qur’an yang meliputi fairness (kejujuran), accuracy (ketelitian, ketepatan), tanggungjawab dan kritik konstruktif. Dalam Islam, prinsip informasi bukan merupakan hak eksklusif dan bahan komoditi yang bersifat bebas nilai, tetapi ia memiliki norma-norma, etika dan moral imperatif yang bertujuan sebagai service membangun kualitas manusia secara paripurna.

 

Dengan demikian, Islam meletakkan tauhid sebagai dasar dalam komunikasi dan informasi. Al-Qur’an menyediakan seperangkat aturan dalam prinsip dan tata berkomunikasi. Dalam masalah ketelitian menerima informasi, Al-Qur’an misalnya memerintahkan untuk melakukan check and recheck terhadap informasi yang diterima.

 

Dalam surah al-Hujurat ayat 6 dikatakan:

 

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujurat: 6)

Membangun dan mengembangkan etika komunikasi dalam Islam sesungguhnya tidak harus dimulai dari nol. Pembenahan pada aspek nilai dan etika harus mendapat perhatian serius sehingga ada keterpautan dengan ketauhidan dan tanggungjawab ukhrawi. Fungsi komunikasi dalam padangan Islam adalah untuk mewujudkan persamaan makna, sehingga terjadi perubahan sikap atau tingkah laku pada masyarakat Muslim. Ini sebagai bagian dari keberadaan Islam sebagai rahmatan lil’alamiin. Makna rahmat adalah sebuah keadaan sejahtera dan beradab yang dirasakan suatu komunitas atas keberadaan Islam yang menjiwai tatanan hidup bersama dalam suatu masyarakat.

 

Atas dasar itu, kita selaku umat Islam sudah selayaknya melihat ke arah yang lebih jauh lagi. Kita semua memiliki kewajiban untuk berdakwah. Dan dakwah tidak harus selalu berkhutbah di atas mimbar. Karena dakwah memiliki bentuk yang luas dan bervariasi serta fleksibel. Oleh karena itu, guna menjangkau khalayak yang lebih luas lagi dengan nilai-nilai dan etika yang digali dari prinsip Islam, komunikasi dalam berdakwah selayaknya menempatkan kedamaian dan keharmunisan sosial. Karena, tantangan yang kita hadapi lebih sulit lagi karena kita berhadapan dengan media yang beraneka ragam bentuk dan fungsinya, terutama dalam bentuk media sosial yang sering menjadi tempat penyebaran ujaran kebencian sehingga mengancam harmoni sosial. Di satu sisi peluangnya begitu luas, namun tantangannya juga tidak mudah.

 

Semua tantangan tersebut menuntut adanya usaha keras dari kita semua, khususnya ulama, kyai dan ustadz agar dapat memberikan keteladanan dalam berdakwah dengan mengedepankan etika dan akhlaq dalam berkomunikasi. Di sinilah kita semua perlu belajar terus menerus untuk mengasah kemampuan-kemampuan kita semua, termasuk kemampuan untuk berkomunikasi berdasarkan etika Islam. Kemampuan-kemampuan itu harus dapat diwujudkan dalam proses pendidikan Islam yang berkualitas, berwawasan luas, unggul dan profesional, yang akhirnya dapat menjadi teladan yang dicita-citakan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. []

 

Ust. Idwar Wahyudi,Pengajar di Yayasan al-Hikmah, Jakarta

 

e-Buletin edisi ke 23, 9 Juli 2021, dapat diunduh disini

MENGUTAMAKAN KEMASLAHATAN PUBLIK

Ust. Muhtadin AR

 

Dan Kami tidak mengutus para Rasul kecuai sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Maka barangsiapa beriman dan berbuat kemaslahatan, maka bagi mereka tidak akan takut dan sedih(QS. Al-An’âm: 48).

 

 

Ayat Al-Quran di atas menegaskan tentang misi diutusnya para Rasul: tidak lain untuk membawa kemaslahatan bagi umatnya melalui kabar gembira dan peringatan yang akan menuntun hidup mereka. Misi yang mulia tersebut dijamin oleh Allah SWT dengan surga di akhirat nanti.

 

Dalam kitab tafsir Mafâtîh Al-Ghayb,Imam Ar-Razi menegaskan ayat tersebut hendak meneguhkan misi kenabian yang di dalamnya menggabungkan antara dimensi iman dan dimensi kemaslahatan umat. Keduanya merupakan kekuatan yang dahsyat dalam rangka membangun masyarakat yang dicintai Allah subhânahu wata’alâ. Yaitu masyarakat yang makmur dan mendapatkan berkah-Nya.

 

Dalam hal ini, kata kuncinya adalah misi kemaslahatan. Dalam kamus bahasa Arab yang paling otoritatif, Lisân Al- ‘Arab, mashlahahberarti hal-hal yang bermanfaat, baik melalui perbuatan baik atau menghindari kemudaratan. Sementara kamus bahasa Arab lain, Mu’jam Al-Wasîth, mengartikan mashlahahdengan istilah tidak rusak, baik, bermanfaat, atau sekadar cocok.

 

Menurut Muhammad Said Ali Abdurrabbuh dalam kitab Buhûts fî Al-Adillah Al-Mukhtalaf fihâ ‘Inda Al-Ushûliyyîn, kata kerja maslahahkadang-kadang digunakan secara metaforis. Dikatakan berdagang adalah maslahat, mencari ilmu adalah maslahat. Hal ini mengingat berdagang dan mencari ilmu dapat menciptakan kemaslahatan bagi pelakunya, baik kemaslahatan secara materiil, atau non materiil.

 

Menurut kitab Mu’jam Al-Mufahras, dalam Al-Quran terdapat 267 ayat yang mengunakan kata mashlahahdengan semua bentuk derivasinya, 62 di antaranya dalam bentuk plural (shâlihât). Dan kata ini biasanya selalu beriringan dengan kata “orang-orang yang beriman” dalam Al-Quran.

 

Menurut Abu Zahrah dalam kitab Ushûl Al-Fiqh, kemaslahatan yang diperhitungkan adalah kemaslahatan yang hakiki, yaitu kemaslahatan yang masuk dalam lima perkara: untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan kekayaan. Karena lima hal ini merupakan tiang kehidupan, yang mana manusia tidak bisa hidup layak tanpa lima hal tersebut.

 

Pandangan yang begitu kaya tentang kemaslahatan menunjukkan betapa Islam sangat memperhatikan kemaslahatan manusia, terutama kemaslahatan yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Pada ghalibnya kemaslahatan seperti ini disebut sebagai kemaslahatan publik (mashlahah mursalah).

 

Dalam Islam, gagasan kemaslahatan dimaksudkan untuk mendorong umatnya agar senantiasa melakukan kebaikan sebanyak mungkin. Walaupun kebaikan tersebut menyangkut hal-hal yang sederhana. Dalam sebuah Hadis disebutkan, bahwa perbuatan menyingkirkan duri yang dapat mengganggu orang di jalan merupakan bagian dari keimanan. Sebaliknya, dalam konteks keburukan disebutkan bahwa seorang yang sengaja mengurung kucing bisa menyebabkannya masuk neraka.

 

Prinsip kemaslahatan dalam Islam diabadikan oleh Imam An-Nawawi dalam kumpulan hadis 40, yang biasa dikenal dengan Hadîts Al-Arba’în al-Nawawî: “Tidak ada kemudaratan dan memudaratkan dalam Islam”. Hadis tersebut ingin memastikan, bahwa sebagai umat Islam kita diperintahkan agar senantiasa melaksanakan sesuatu yang membawa manfaat bagi orang lain. Sedangkan hal-hal yang membawa dampak bahaya atau kemudaratan hendaknya dijauhi. Sebab Islam sama sekali tidak menolerir berbagai tindakan yang merugikan orang lain.

 

Jaminan kesejahteraan dan rasa aman adalah dasar kehormatan manusia untuk tumbuhnya kemaslahatan publik. Nilai tersebut merupakan misi utama Islam sebagai agama yang mempunyai komitmen untuk memajukan umatnya ke arah yang lebih baik. Maka dari itu, kita perlu memperbaiki orientasi keislaman yang selama ini cenderung hanya mementingkan diri sendiri menjadi orientasi keislaman yang mempunyai komitmen untuk menolong orang lain yang tidak mampu. Diperlukan kepekaan sosial yang tinggi, sehingga tatkala kita menolong orang lain yang tidak mampu pada hakikatnya kita sedang menjalankan ajaran Islam yang sangat mulia.

 

Sebagai umat terbaik, kita harus menjadikan visi dan misi kemaslahatan publik sebagai hal yang utama. Tidak pada tempatnya jika kemaslahatan hanya dipahami sebagai kemaslahatan diri dan kelompok sendiri, sedangkan kemaslahatan publik dilupakan. Muhammad Abid al-Jabiry membuat sebuah penjelasan yang cukup gamblang tentang kemaslahatan publik, dengan mengacu pada al-kulliyyât al-khamsah(lima prinsip dasar dalam Islam): Pertama, kemaslahatan umat agama-agama. Melindungi agama (hifdz al-dîn) dapat dipahami, bahwa setiap agama sejatinya dapat menebarkan kasih-sayang dan menjunjung tinggi keadilan. Sebab itu, setiap agama harus mampu melakukan misi tersebut dengan sebaik-baiknya.

 

Kedua, kemaslahatan jiwa dan hak hidup. Melindungi jiwa (hifdz al-nafs) dapat dipahami sebagai upaya untuk menghargai hak hidup setiap orang. Dalam pidato perpisahan, Rasulullah SAW berpesan, “Sesungguhnya jiwa, kehormatan, darah dan harta kalian adalah suci”.

 

Pesan ini terasa penting untuk diingat dan diamalkan, bahwa setiap orang apa pun agamanya, bangsa dan jenis kelaminnya, mempunyai hak hidup. Kita tidak diperbolehkan untuk melukai, apalagi lebih dari itu. Karena sesungguhnya setiap jiwa manusia adalah jiwa-jiwa suci yang ditiupkan ruh oleh Malaikat agar nantinya dapat menebarkan nilai-nilai kemanusiaan.

Ketiga, kemaslahatan ekonomi. Melindungi harta (hifdz al-mâl) merupakan salah satu pilar terpenting dalam kehidupan. Tidak pada tempatnya jika ekonomi ditumpuk-tumpuk pada satu pihak, sedangkan pihak yang lain mengalami keterpurukan dan kemelaratan. Keempat, kemaslahatan keluarga. Melindungi keturunan (hifdz al-nasl) merupakan aspek yang tidak kalah pentingnya dari aspek-aspek di atas. Islam amat memperhatikan keluarga sebagai jantung pendidikan dan pembelajaran generasi unggulan. Keluarga harus dijamin pertumbuhannya secara sehat dan berkualitas. Di samping tentunya agar keluarga dapat menanamkan nilai-nilai pentingnya kemaslahatan sejak dini.

Kelima, kemaslahatan akal. Melindungi akal (hifd al-‘aql) merupakan aspek penting, karena akal merupakan jantung dari agama. Dalam berbagai kitab fikih disebutkan, bahwa setiap umat mempunyai tanggungjawab dan tugas untuk melaksanakan ajarannya sejauh mempunyai akal yang sehat. Jika tidak, maka tidak ada beban baginya. Di dalam sebuah hadis disebutkan, tidak ada kewajiban agama bagi siapa yang tidak berakal.

 

Sebab itu, bagi mereka yang berakal sehat harus menjadikan akalnya sebagai modal untuk mewujudkan kemaslahatan publik. Ibnu Rusyd dalam kitabnya, Fashl Al- Maqâl fîmâ Bayn Al-Hikmah wa As-Syarî’ati min Ittishâl,menyatakan bahwa menggunakan akal merupakan hal yang primer dalam Islam.

 

Jika melihat pandangan Islam tentang kemaslahatan di atas, maka tidak bisa dimungkiri lagi jika kemaslahatan menjadi jantung dari tatanan masyarakat yang toleran dan harmonis. Sebab tidak mungkin terwujud keharmonisan dan toleransi dalam sebuah masyarakat, jika di mana-mana masih terdapat ketidakadilan dan ketidakseimbangan antara yang kaya dengan yang miskin, antara yang pintar dengan yang bodoh. Kemaslahatan sejatinya menjadi visi kita dalam beragama.

 

Sebagai penutup, ada baiknya kita menyimak pandangan Ibn Al-Qayyim Al-Jawziyyah dalam kitabnya, I’lâmul Muwaqqi’înJilid III halaman 149: Dasar dan pondasi syariat adalah kebijaksanaan dan kemaslahatan manusia, di muka bumi dan di akhirat nanti. Syariat adalah keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan kebijaksanaan. []

 

 

Ust. Muhtadin AR, alumni S2 Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta.

 

 

e-Buletin dapat diunduh disini

Meneguhkan Solidaritas Sosial

Oleh: Ust. Achmad Marzuki

 

Tahukah kamu, siapa orang yang mendustakan agama? Adalah orang yang menerlantarkan anak yatim, dan tidak sungguh-sungguh memecahkan persoalan pangan orang miskin. Maka celakalah bagi orang-orang yang melaksanakan sembahyang, yaitu mereka yang lalai, pamer dan enggan menolong orang lain. (QS. Al-Mâ’ûn, 1- 4).

 

Ayat Al-Quran di atas menegaskan hal yang sangat penting dalam keberagamaan kita, yaitu pentingnya solidaritas sosial. Dalam perspektif Islam, solidaritas sosial adalah bagian dari ajaran yang paling pokok. Mengabaikan persoalan ini sama halnya dengan mendustakan agama, sebagaimana ditegaskan secara eksplisit dalam ayat tersebut.

 

Dalam Tafsîr At-Thabarî disebutkan bahwa ayat ini turun untuk menegaskan pentingnya solidaritas sosial, terutama bagi masyarakat lemah (dhu’afâ) dan yang dilemahkan (mustadh’afîn), seperti anak-anak yatim, kaum perempuan dan orang-orang miskin pada umumnya. Mereka merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang sangat rentan terhadap bentuk-bentuk ketidakadilan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tidak sedikit dari hak-hak dasar mereka yang tidak terpenuhi, bahkan dilupakan. Seringkali mereka hanya dijadikan sebagai komoditas untuk kepentingan sesaat.

 

Muhammad Yunus, peraih nobel perdamaian, merupakan salah satu contoh terbaik dalam hal solidaritas sosial khususnya dalam rangka mengangkat harkat dan martabat orang-orang miskin. Ia menggalang para perempuan miskin agar bangkit dengan cara memberikan modal pinjaman lunak tanpa bunga. Menurut Yunus, cara tersebut telah mampu mengubah orang-orang yang selama ini miskin menjadi berdaya, sehingga mereka pun mampu bangkit dari keterpurukan.

 

Islam memberikan perhatian besar kepada yang kaum lemah atau yang diperlemah oleh pihak tertentu, seperti yang disinggung pada surat Al-Ma’un di atas. Begitu besarnya perhatian Islam, pihak yang menelantarkan anak-anak yatim dan tidak memberi makan orang-orang miskin disebut Al-Quran sebagai orang-orang yang mendustakan agama.

 

Dalam hal ini, kita perlu menumbuhkan solidaritas sosial yang ditandai dengan komitmen untuk membantu dan menyelamatkan mereka. Semua itu harus dilakukan agar kita tidak dicap Tuhan sebagai orang-orang yang telah mendustakan agama.

Untuk itu, Rasulullah SAW memberikan teladan yang sangat baik bagi kita semua, yaitu agar menjadikan kepedulian terhadap orang-orang miskin sebagai bagian penting dalam kehidupan ini. Beliau bersabda:

 

Ya Allah hidupkanlah aku dalam keadaan miskin dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku pada Hari Kiamat nanti bersama orang-orang miskin. Kemudian Aisyah bertanya, “kenapa demikian wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, karena mereka akan masuk surga sebelum orang-orang kaya kira-kira sekitar 40 kali musim gugur. Wahai Aisyah, jangan engkau menolak (tidak membantu) orang miskin (bantulah dia) walau hanya dengan separuh kurma. Wahai Aisyah cintailah orang miskin, dekati mereka, maka niscaya Allah akan mendekatimu pada hari kiamat nanti.

 

Hadis di atas menunjukkan, bahwa keberpihakan terhadap orang-orang miskin harus menjadi kesadaran yang mampu menggerakkan dan diwujudkan dalam kehidupan nyata. Siapa pun yang melihat orang-orang miskin hatinya akan otomatis tergerak untuk mengulurkan tangan. Sebab, hal tersebut merupakan perangai agung dari Baginda Rasulullah SAW, yang keseluruhan hidupnya diperuntukkan untuk membantu orang-orang miskin. Bahkan, beliau rela untuk tidak makan beberapa hari, sehingga umatnya mendapatkan makanan.

 

Solidaritas sosial harus ditunjukkan dan dicontohkan oleh para pemimpin, karena mereka mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk melakukan penyelamatan. Solidaritas sosial yang dilakukan oleh pemimpin akan memberikan dampak yang lebih luas dibanding solidaritas yang dilakukan oleh perseorangan. Apalagi dalam konteks berbangsa dan bernegara, yang mana di dalam konstitusi sudah terang-menderang, bahwa fakir-miskin dilindungi oleh negara. Karena itu, pemimpin mempunyai tanggungjawab besar untuk menunjukkan kepedulian kepada mereka.

 

Pada hakikatnya persoalan solidaritas sosial menyangkut persoalan budaya. Lemahnya solidaritas sosial semata-mata karena kita belum mampu membangun budaya yang mampu menopang kebersamaan dan kepedulian terhadap mereka yang lemah. Apalagi di tengah gempuran budaya konsumerisme, yang mana kita cenderung mementingkan diri sendiri daripada orang lain. Maka dari itu, menjadikan nilai-nilai keislaman sebagai sumber inspirasi untuk membangun solidaritas sosial sangatlah mendesak untuk dilakukan, terutama dalam rangka menjadikan Islam sebagai agama yang membebaskan dari berbagai belenggu ketidakadilan sosial.

 

Dalam hal itu, salah satu ajaran yang sangat sederhana, tetapi muatannya sangat berdampak bagi kehidupan sosial, yaitu perintah Nabi Muhammad SAW soal pentingnya memberi. Beliau bersabda: Tangan yang di atas lebih baik dari pada tangan yang di bawah.

 

Hadis tersebut hendak memberikan penjelasan, bahwa akhlak dan budaya seorang muslim adalah memberi, bukan meminta. Sebab memberi lebih mulia dan lebih diutamakan daripada meminta. Ini berarti, menjadi seorang muslim bukanlah meminta-minta, melainkan justru sebisa mungkin menolong orang lain.

 

Bahkan dalam Hadis lain disebutkan, solidaritas sosial merupakan jantung keimanan itu sendiri. Seseorang akan dianggap beriman kepada Allah dan Hari Akhir jika ia memuliakan tetangga dan tamu.

 

Hadis tersebut hendak menjelaskan, bahwa solidaritas sosial harus dimulai dari lingkungan terdekat, baik mereka yang dikenal maupun tidak dikenal. Sebab sebagai seorang muslim yang mempunyai komitmen tinggi untuk menegakkan nilai-nilai keislaman, kita dituntut menjadikan solidaritas sosial sebagai perangai yang harus dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari. Islam bukanlah ajaran yang melangit, akan tetapi ajaran yang harus diterjemahkan dalam kehidupan nyata.

Dalam hal ini, budaya kesukarelaan dan kedermawanan harus menjadi basis dalam relasi

Solidaritas sosial merupakan jantung dari toleransi. Sebab toleransi tidak akan bermakna apa-apa, jika di dalamnya tidak ada spirit “memberi” dan “melayani”, yang mana keduanya merupakan hakikat dari ajaran Islam.

 

Ketika kita membantu seseorang, hal tersebut semata-mata bukan karena pihak yang dibantu merupakan saudara dan keluarga kita, tetapi karena semata-mata mereka adalah manusia, ciptaan Allah yang harus dilindungi dan diberi pertolongan. Betapa indahnya kehidupan ini jikalau solidaritas menjadi titik-tolak dalam membangun keharmonisan.

Dengan demikian, solidaritas sosial harus menjadi pijakan kita dalam berbangsa, bernegara dan beragama. Para Nabi terdahulu telah membuktikan betapa mereka menjadikan solidaritas sosial sebagai bagian terpenting dalam agama mereka. Dan tugas kita saat ini, yaitu menjadikan ajaran tersebut sebagai tali pengikat yang akan menjadikan kita sebagai umat yang benar-benar mempunyai komitmen untuk membela mereka yang lemah.[]

 

Ust. Achmad Marzuki, pengajar di Pesantren Sabilal Muhtadin, Bungatan, Pasir Putih, Situbondo.

 

Unduh e-Buletin Jumat edisi 21 disini