Tag Archive for: buletin

Dimensi Kemanusiaan dalam Bersedekah

Ust. Nanang Isom

 

 

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan.”(QS. Al-Baqarah, 245)

 

Islam mengajarkan untuk menyisihkan sebagian harta yang dimiliki umatnya, salah satunya melalui sedekah. Pengertian sedekah secara umum adalah suatu amal atau memberikan sesuatu yang dilakukan secara ikhlas tanpa mengharapkan imbalan. Dengan kata lain, mengeluarkan harta di jalan Allah Swt semata-mata berharap ridho-Nya sebagai bukti keimanan seseorang. Sedekah merupakan bagian dari upaya tadzkiyyatun nafs, membersihkan pribadi, baik lahir maupun batin. Jika hati bersih, rahmat Allah Swt akan mudah menghampiri. Sebab, Allah itu suci dan hanya berdekatan dengan yang suci.

 

Di dalam al-Qur’an, sedekah disebutkan sebagai salah satu ibadah yang utama.  Begitu pentingnya sedekah, sehingga di dalam al-Qur’an terdapat banyak perintah mengenai amalan utama tersebut. Misalnya Firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 245:

 

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan.”

 

Bersedekah memiliki arti yang lebih luas dibandingkan dengan berinfaq yang hanya sebatas amalan berupa harta. Senyum sapa dengan ramah, perkataan yang baik (Qaul ma’ruf), menolong orang, mengajarkan ilmu, bergaul dengan istri, sampai menyingkirkan batu atau duri dari jalan sudah termasuk sedekah. Bahkan mendamaikan di antara dua orang yang berselisih pun adalah sedekah.

 

Disebutkan dalam sebuah Hadits,

 

“Kamu mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah; kamu menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang bawaannya ke atas kendaraannya adalah sedekah; setiap langkah kakimu menuju tempat sholat juga dihitung sedekah; dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah.” (H.R. Syaikhoni).

 

Sedekah adalah amalan yang sangat simpel (sederhana), sehigga umat Islam dapat melakukanya kapan pun, di mana pun dan sekecil apa pun tanpa memandang kaya atau miskin. Sedekah yang dilakukan dengan keikhlasan dan ketulusan hati akan mendapatkan manfaat yang sangat besar, baik di dunia maupun di akhirat.

 

Sedekah memiliki keutamaan dalam Islam. Islam sangat menganjurkan bersedekah dalam setiap keadaan. Baik keadaan lapang (penuh rizki) maupun sepit. Allah swt berfirman dalam al-Quran Surat Ali-Imran ayah 134:

“(Yaitu) orang-orang yag menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun di waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan”.

 

 

Ayat tersebut menunjukkan betapa perintah sedekah sangat utama. Setiap manusia diminta untuk menyisihkan hartanya dalam keadaan apapun. Pendek kata sedekah tidak mengenal kondisi. Sedekah adalah bukti kepedulian seseorang kepada sesamanya.

 

Dimensi Kemanusiaan

 

Contoh praktik baik kehidupan tentunya terdapat pada Rasulullah Muhammad saw. Beliau bersedekah kepada siapa saja, tidak memandang apakah dia seorang Muslim atau pun Nonmuslim. Rasulullah saw tidak lagi membedakan hal itu. Sedekah lebih dekat kepada prinsip tolong menolong (ta’awun) berdimensi kemanusiaan. Kemalangan, kesusahan, kesedihan, pastinya pernah dialami oleh semua manusia. Maka sedekah kepada manusia adalah salah satu jalan meringankan beban tersebut.

 

Prinsip dasar bersedekah kepada siapa saja, tanpa memandang keimanan itu dipraktikan dengan baik oleh Nabi Muhammad saw. Alkisah, saat itu Rasulullah saw hendak melarang seorang sahabat untuk bersedekah kepada nonmuslim. Allah swt pun menegur beliau dengan melalui Surat al-Baqarah ayat 272:

 

“Apa pun harta yang kamu infakkan, maka (kebaikannya) untuk dirimu sendiri. Dan janganlah kamu berinfak melainkan karena mencari ridha Allah. Dan apa pun harta yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizhalimi (dirugikan)”.

 

Ayat tersebut memberi petunjuk kepada ummat agar dapat berdekah kepada siapa saja. Bersedekah adalah kebaikan, dan Allah lah yang akan memberikan petunjuk atau hidayah dengan pemberian kita itu. Rasulullah saw pun akhirnya memerintahkan ummat untuk bersedekah tanpa memandang Muslim, Yahudi, Nasrani, Majusi atau yang lain.

 

Bersedekah kepada siapa saja juga diajarkan oleh Rasulullah saw saat Asma r.a., putri Abu Bakar as-Shiddiq. “Ibuku datang ke tempatku sedang dia adalah seorang musyrik di zaman Rasulullah saw, yaitu di saat berlangsungnya perjanjian Hudaibiyah antara beliau dan kaum musyrikin. Kemudian saya meminta fatwa kepada Rasulullah saw, “Ibuku datang padaku dan ia ingin meminta sesuatu, apakah boleh saya hubungi ibuku itu, padahal ia musyrik?” Beliau bersabda, “Ya, hubungilah ibumu” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).

 

Persaudaraan kemanusiaan dengan tetangga pun tidak perlu harus membedakan Muslim dan Nonmuslim. Kita perlu memandang manusia sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai keyakinan yang berbeda-beda. Keyakinan yang berbeda itupun adalah fitrah.

 

Berdakwah ala Rasulullah saw telah berhasil membuka hidayah bagi seseorang. Sebagaimana Surat al-Baqarah (2: 272) di atas, sedekah telah membuka pintu hidayah Allah kepada seseorang. Dakwah dengan cara memberi dan tidak memandang siapa mereka akan semakin memuliakan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Islam menjadi agama penyejuk dan menjadi solusi bagi persoalan keumatan dan kemanusiaan.

 

Mari membiasakan diri untuk berbuat baik kepada sesama tanpa memandang imannya. Mari membiasakan diri untuk melihat manusia sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai perbedaan dengan diri kita, termasuk di dalamnya adalah keyakinan. Setelah itu mari membiasakan untuk memberi (bersedekah) kepada siapa saja untuk menguatkan kemanusiaan. []

 

 

Nanang Isom,Wakil Kepala Pondok Pesantren Al-Mukhlishin, Ciseeng, Bogor

 

e-PDF buletin Jumat edisi minggu ini dapat di unduh disini

Larangan Menebar Kebencian

 

Oleh: Ust. Jamal Ma’mur Asmani

 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan  kaum (laki-laki)  yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula suatu kaum (perempuan) merendahkan kaum yang lainnya, boleh    jadi yang direndahkan itu lebih baik…(QS. Al-Hujurât: 11)

 

 

Ayat di atas melarang kita agar tidak  menebar kebencian   kepada   sesama, baik kepada non-muslim, apalagi kepada sesama muslim. Asas persaudaraan harus dikedepankan sesuai dengan ajaran Islam yang suci dan agung. Allah melarang umat Islam agar tidak merendahkan orang lain  yang membuat persaudaraan tercerai-berai. Menurut Imam Ibnu Abbas, ayat al-Quran di atas turun untuk merespons sikap  Tsabit bin Qais bin Syamas yang mengejek  seorang laki-laki dari sahabat Anshar dengan ejekan yang bernada Jahiliyah. Sikap seperti  ini tak pantas dilakukan seorang muslim. Karena Islam sarat dengan ajaran-ajaran luhur, menghormati yang lain, dan berlaku bijaksana dalam keadaan apa pun.

Dalam perspektif Islam, sesama manusia adalah saudara sehingga harus saling mengenal, merekatkan hubungan, dan bekerjasama dalam kebaikan. Kehidupan membutuhkan kebersamaan, kekompakan,  toleransi, dan agenda bersama yang dinamis dan progresif bagi kemajuan dan kebahagiaan umat manusia. Jangan merendahkan orang lain, jangan perlakukan orang lain sebagai musuh yang harus dibasmi dan disingkirkan.

Hidup dengan kedamaian adalah kunci meraih keberhasilan. Hidup dengan permusuhan adalah awal malapetaka. Merendahkan, mencela, mengejek, menggunjing, berburuk sangka, dan mencari-cari kejelekan orang lain adalah penyebab terjadinya permusuhan. Tragedi kemanusiaan seringkali berawal dari permusuhan dan kebencian

Islam meletakkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar utama dalam kehidupan di dunia ini. Pluralitas adalah sunnatullahyang harus dimanfaatkan sebagai media pembelajaran untuk saling mengenal, menebar benih kebaikan, dan merekatkan persaudaraan. Betapa indah dunia ini bila tidak ada kebencian di antara kita, kehidupan berjalan dengan penuh kedamaian lahir batin.

Trilogi persaudaraan yang disampaikan  KH. Achmad Siddiq, yaitu ukhuwwah islamiyah(persaudaraan atas dasar keagamaan), ukhuwwah wathaniyah(persaudaraan atas dasar kebangsaan), dan ukhuwwah basyariyah(persaudaraan atas dasar kemanusiaan) merupakan manifestasi agung dari ajaran Islam yang harus dibumikan di negeri tercinta yang heterogen dan plural ini.

Dalam konteks ini, peristiwa  pembebasan kota Mekah (Fathu Mekah) menarik untuk kita perhatikan bersama. Pasca pembebasan kota suci ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, Barang siapa masuk ke rumah Abu Sufyan, maka dia akan aman. Abu sufyan berkata, Hanya berapa orang yang dapat ditampung di rumahku?Kemudian Nabi bersabda kembali, Barang siapa yang masuk ke masjid, maka ia akan aman. Abu Sufyan berkata lagi, Hanya berapa orang yang dapat ditampung di masjid?Nabi pun kembali bersabda, Barang siapa yang meletakkan senjatanya, maka dia aman, dan barang siapa yang mengunci pintunya, maka dia aman.

Di pintu Masjid Al-Haram Nabi melanjutkan sabdanya, Wahai penduduk Mekah, apa yang kalian lihat terkait dengan  perbuatanku terhadap kalian?Mereka menjawab, Baik, wahai saudara yang mulia dan anak saudara yang mulia. Nabi bersabda kembali, Pergilah, kalian semua dibebaskan(Imam Nawawi, Tafsir Munir,2/469-470).

Dalam peristiwa yang bersejarah ini tampak terlihat semangat persaudaraan Nabi Muhammad SAW. Tidak ada balas dendam dalam hati Nabi dan para sahabatnya terhadap penduduk kota Mekah. Justru yang ada adalah kasih sayang  terhadap sesama, menebarkan perdamaian dan kerukunan, dan menjauhi permusuhan.

Padahal ditilik dari sejarahnya, penduduk kota Mekah seringkali menzalimi dan mengintimidasi Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya, terutama sebelum umat Islam hijrah ke Madinah. Seandainya Nabi atau para sahabatnya pun membalas perlakuan yang diterima umat Islam dahulu, mungkin juga masih bisa dipahami. Mengingat parahnya aksi kezaliman yang kerapkali dilakukan oleh penduduk Mekah kepada Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Tapi bukan ini yang dilakukan Nabi Muhamamd SAW. Beliau justru memaafkan dan membebaskan mereka dari dosa-dosa di masa lalu. Itu sebabnya, penduduk Mekah disebut sebagai orang-orang yang dibebaskan. Dan mereka pun berbaiat masuk Islam.

Patut disayangkan, ajaran persaudaraan seperti di atas seperti hilang dari kesadaran  umat Islam belakangan ini. Sebagian umat Islam sedemikian mudah terpancing provokasi pihak lain, mudah tersinggung, dan kehilangan nalar obyektif dan proporsional. Fanatisme primordial dan egoisme berlebihan menjadi pembakar api kebencian. Sesama umat Islam pun sering terjadi ketegangan, percekcokan, bahkan pembunuhan.

Polarisasi umat Islam terbagi ke dalam segregasi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan pendidikan. Satu dengan yang lain tidak bisa menutupi kelemahan dan kekurangan masing-masing. Hubungan dengan non-muslim berjalan dalam bayang-bayang permusuhan dan kebencian yang berpotensi melahirkan konflik horizontal. Kekhawatiran dan kecemasan menyatu dalam kejiwaan dan kepribadian umat Islam. Beberapa kasus yang terjadi belakangan ini (baik bermotif agama, ekonomi, budaya, pendidikan, dan politik) adalah bukti faktual dari rentannya persaudaraan internal umat Islam. Kematangan dan kedewasaan dalam menyikapi masalah yang ada masih jauh dari yang diharapkan. Kesan emosional subyektif sangat kuat. Inilah yang harus diantisipasi dan diperhatikan oleh semua pihak, terutama kaum agamawan.

 

Menebar Kedamaian

Menghadapi masa depan yang penuh problem, kedewasaan dan kematangan dalam menyikapi masalah haruslah dipersiapkan, sikap permusuhan harus dihilangkan dan perdamaian harus disemai. Kebencian terhadap agama lain, etnis lain, golongan lain, dan suku lain sudah waktunya untuk dihilangkan secara bertahap.

Dakwah Nabi dalam menyebarkan Islam  dengan membumikan nilai-nilai persaudaraan, kedamaian, kerukunan dan kasih sayang semestinya menjadi teladan baik bagi semua pihak. Dalam surat An-Nahl ayat 125 Nabi diperintahkan untuk berdakwah dengan cara-cara bijak (alhikmah), nasehat yang baik (mau’idzah hasanah), dan perdebatan yang bersifat konstruktif (mujadalah). Nabi tidak diperintahkan menebarkan kebencian, permusuhan, dan pembunuhan.

Kerjasama antar-kelompok masyarakat, bahkan antar agama perlu dilakukan demi harmonisasi dan humanisasi. Interaksi sosial dapat berjalan secara inklusif, moderat, dan progresif. Masing-masing kelompok hanyalah bisa memahami hakikat eksistensi dirinya manakala berinteraksi dengan orang  lain, mencoba memahami orang lain dan mengambil manfaat realitas majemuk yang ada.

Benih-benih kebencian yang bersumber dari pemahaman keagamaan yang bercorak eksklusif, kontestasi ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik dengan sendirinya akan hanyut oleh pemahaman keagamaan yang inklusif. Di mana pemahaman seperti ini tidak akan tumbuh kecuali melalui proses interaksi positif dengan umat agama lain. Dalam konteks ini, agama lahir sebagai sumber kedamaian dan kebahagiaan lahir batin, bukan sumber kebencian, konflik, dan agitasi yang melahirkan disharmoni sosial.[]

 

Ust. Jamal Ma’mur Asmani, dosen Institute Pesantren Mathaliul Falah, Direktur Lembaga Studi Kitab Kuning, Pati.

e-PDF Buletin Jumat dapat diunduh disini