Tag Archive for: P3M

Spirit Kemanusiaan Ibadah Puasa

Oleh: Ust. Edi Sutrisno

 

 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”(QS. al-Baqarah/2:183)

 

 

Agama hadir membawa pesan moral dan senantiasa mengawal gerak laju manusia dalam menjalani kehidupan sosialnya. Sebab, agama melalui berbagai ajarannya membimbing manusia agar tidak keluar dari garis-garis besar kemaslahatan. Puasa Ramadhan sebagai salah satu kewajiban agama adalah sebuah fase yang menyimpan berbagai nilai dalam segenap aktivitas ritual peribadatan. Puasa adalah kewajiban yang telah ditetapkan terhadap umat-umat yang lalu. Begitulah salah satu penegasan dari Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183 yang telah dikutip di bagian awal tulisan ini.

 

Prof. Quraish Shihab menjelaskan tafsir atas ayat tersebut bahwa ayat di atas menyebut kewajiban berpuasa tanpa menyebut siapa yang mewajibkannya. Hal ini untuk mengisyaratkan bahwa seandainya bukan Allah SWT yang mewajibkannya, manusia sendiri akan melaksanakannya setelah tahu besarnya manfaat puasa. Puasa yang diajarkan al-Qur’an dapat membuahkan kesucian jiwa, keikhlasan, dan ketulusan. Puasa juga menjadi alat pengawasan diri dan sekaligus perwujudan ketakwaan kepada Allah SWT.

 

Pada hakikatnya, bulan puasa Ramadan adalah bulan kemanusiaan. Kewajiban puasa Ramadan tidak hanya menuntut peningkatan hubungan vertikal manusia dengan Tuhannya, tetapi juga dengan sesama manusia dan alam raya pada umumnya Di balik ibadah-ibadah yang disyariatkan, terdapat pesan-pesan agar kita lebih peka terhadap persoalan kemanusiaan. Dalam ibadah puasa, diri kita dilatih untuk mempunyai solidaritas kemanusiaan.

 

Secara pemaknaan, puasa bisa dipahami dalam dua pengertian, yakni teosentrisdan antroposentris. Puasa bukan hanya ibadah mahdhah  (ibadah murni) yang hanya berorientasi vertikal (teosentris) tetapi juga horizontal (antroposentris). Namun demikian, pengaruh nalar teologis-bayani begitu kuat dalam pemaknaan agama (religion meaning), yakni pemusatan segala aktivitas dan persoalan apapun kepada Tuhan, sedangkan problem kemanusiaan cenderung terabaikan. Cara manusia memahami agama senantiasa akan mengalami hambatan jika ia tidak mampu menangkap pesan-pesan yang tersirat dalam setiap sendi ajaran agama. Dalam pemaknaan seperti ini, puasa akan semakin jauh dari nilai fungsionalnya untuk menjadikan manusia bertaqwa `la`allakum tattaquun` (QS. Al-Baqarah: 183).

Spirit Kemanusiaan

Pada bulan Ramadan tahun ini, spirit dan aksi kemanusiaan harus lebih ditingkatkan, mengingat kita sedang bersama-sama diuji oleh Allah SWT dengan virus COVID-19. COVID-19 menguji solidaritas kemanusiaan kita, apakah hanya sebatas slogan atau diwujudkan dalam aksi nyata. Ramadan kali ini banyak yang terdampak COVID-19 baik kesehatannya maupun perekonomiannya. Mereka adalah sasaran aksi kemanusiaan yang harus lebih diintensifkan selama Ramadan.  Oleh sebab itu, mentransformasikan nilai peribadatan keagamaan menjadi seperangkat nilai sosial kemanusiaan merupakan sebuah upaya yang perlu terus menerus dilakukan.

 

Nilai-nilai kemanusiaan yang dikandung dalam ibadah puasa tidak cukup hanya dipahami, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Maka, salah satu jalan untuk memeriksa diri dan menghidupkan rasa kemanusiaan adalah dengan berpuasa, karena ibadah ini mengandung dua aspek sekaligus: kesalehan individual dan kesalehan sosial; kombinasi keduanya mampu melahirkan efek yang besar dalam pola interaksi sosial. Dengan berlapar-lapar, haus dan menahan hasrat-nafsu, kita bisa belajar menerapkan empati kepada orang lain dan menahan diri untuk tidak berlaku negatif dan merugikan orang lain.

 

Dengan puasa, manusia diajarkan untuk lebih mengerti empati dan menerapkannya dalam lingkungan sosial. Pada titik inilah terjadi transformasi nilai dari kesadaran individual menuju kesadaran sosial. Rasa empati antar-sesama manusia yang diajarkan oleh puasa Ramadhan kemudian berproses menjadi sebuah refleksi etis.

 

Puasa mengandung pesan esoteris, “Aku sudah berjanji kepada Allah Yang Mahakasih untuk melakukan shaum.” (QS. Al-Baqarah: 26). Pada surah Maryam itu Allah menggunakan redaksi “shaum” untuk memberitakan puasanya Siti Maryam, seorang perempuan suci yang dari rahimnya lahir Nabi Isa AS. Di mana Siti Maryam menjalankan puasa fisik dan non-fisik, yang hidupnya berharap keridlaan-Nya semata. Di sini Siti Maryam berpuasa untuk mengendalikan diri dari kondisi dan situasi masyarakat sekitarnya. Inilah bentuk puasa yang bisa membangkitkan lagi jiwa kemanusiaa manusia. Puasa syariat sekaligus hakikat. Puasa fisik sekaligus nonfisik. Puasa yang bergerak jauh ke atas menuju keridhaan Allah. Menahan berbicara kecuali yang penting saja dan sesuai ajaran Allah. Mendengar hanya yang menjadi kewajiban kita untuk mendengarnya. Melihat hanya yang menjadi haknya.

 

Sekali lagi, puasa tidak hanya memberikan pesan spiritual, tetapi juga mengandung pesan sosial. Ibadah menjadi tidak ada artinya jika pesan sosialnya tak diindahkan. “Maka, celakah orang-orang yang shalat; yang lalai dalam shalatnya yang hanya pamer; yang tidak memberi pertolongan.” (QS al-Ma’un: 5-7). Semoga melalui puasa Ramadhan, kita belajar memanusiakan manusia. []

 

Ust. Edi Sutrisno,Ketua I bidang Ibadah dan Dakwah, Masjid Jami’ Bintaro Jaya Jakarta.

 

e-PDF buletin Jumat dapat diunduh disini

Larangan Menebar Kebencian

 

Oleh: Ust. Jamal Ma’mur Asmani

 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan  kaum (laki-laki)  yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula suatu kaum (perempuan) merendahkan kaum yang lainnya, boleh    jadi yang direndahkan itu lebih baik…(QS. Al-Hujurât: 11)

 

 

Ayat di atas melarang kita agar tidak  menebar kebencian   kepada   sesama, baik kepada non-muslim, apalagi kepada sesama muslim. Asas persaudaraan harus dikedepankan sesuai dengan ajaran Islam yang suci dan agung. Allah melarang umat Islam agar tidak merendahkan orang lain  yang membuat persaudaraan tercerai-berai. Menurut Imam Ibnu Abbas, ayat al-Quran di atas turun untuk merespons sikap  Tsabit bin Qais bin Syamas yang mengejek  seorang laki-laki dari sahabat Anshar dengan ejekan yang bernada Jahiliyah. Sikap seperti  ini tak pantas dilakukan seorang muslim. Karena Islam sarat dengan ajaran-ajaran luhur, menghormati yang lain, dan berlaku bijaksana dalam keadaan apa pun.

Dalam perspektif Islam, sesama manusia adalah saudara sehingga harus saling mengenal, merekatkan hubungan, dan bekerjasama dalam kebaikan. Kehidupan membutuhkan kebersamaan, kekompakan,  toleransi, dan agenda bersama yang dinamis dan progresif bagi kemajuan dan kebahagiaan umat manusia. Jangan merendahkan orang lain, jangan perlakukan orang lain sebagai musuh yang harus dibasmi dan disingkirkan.

Hidup dengan kedamaian adalah kunci meraih keberhasilan. Hidup dengan permusuhan adalah awal malapetaka. Merendahkan, mencela, mengejek, menggunjing, berburuk sangka, dan mencari-cari kejelekan orang lain adalah penyebab terjadinya permusuhan. Tragedi kemanusiaan seringkali berawal dari permusuhan dan kebencian

Islam meletakkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar utama dalam kehidupan di dunia ini. Pluralitas adalah sunnatullahyang harus dimanfaatkan sebagai media pembelajaran untuk saling mengenal, menebar benih kebaikan, dan merekatkan persaudaraan. Betapa indah dunia ini bila tidak ada kebencian di antara kita, kehidupan berjalan dengan penuh kedamaian lahir batin.

Trilogi persaudaraan yang disampaikan  KH. Achmad Siddiq, yaitu ukhuwwah islamiyah(persaudaraan atas dasar keagamaan), ukhuwwah wathaniyah(persaudaraan atas dasar kebangsaan), dan ukhuwwah basyariyah(persaudaraan atas dasar kemanusiaan) merupakan manifestasi agung dari ajaran Islam yang harus dibumikan di negeri tercinta yang heterogen dan plural ini.

Dalam konteks ini, peristiwa  pembebasan kota Mekah (Fathu Mekah) menarik untuk kita perhatikan bersama. Pasca pembebasan kota suci ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, Barang siapa masuk ke rumah Abu Sufyan, maka dia akan aman. Abu sufyan berkata, Hanya berapa orang yang dapat ditampung di rumahku?Kemudian Nabi bersabda kembali, Barang siapa yang masuk ke masjid, maka ia akan aman. Abu Sufyan berkata lagi, Hanya berapa orang yang dapat ditampung di masjid?Nabi pun kembali bersabda, Barang siapa yang meletakkan senjatanya, maka dia aman, dan barang siapa yang mengunci pintunya, maka dia aman.

Di pintu Masjid Al-Haram Nabi melanjutkan sabdanya, Wahai penduduk Mekah, apa yang kalian lihat terkait dengan  perbuatanku terhadap kalian?Mereka menjawab, Baik, wahai saudara yang mulia dan anak saudara yang mulia. Nabi bersabda kembali, Pergilah, kalian semua dibebaskan(Imam Nawawi, Tafsir Munir,2/469-470).

Dalam peristiwa yang bersejarah ini tampak terlihat semangat persaudaraan Nabi Muhammad SAW. Tidak ada balas dendam dalam hati Nabi dan para sahabatnya terhadap penduduk kota Mekah. Justru yang ada adalah kasih sayang  terhadap sesama, menebarkan perdamaian dan kerukunan, dan menjauhi permusuhan.

Padahal ditilik dari sejarahnya, penduduk kota Mekah seringkali menzalimi dan mengintimidasi Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya, terutama sebelum umat Islam hijrah ke Madinah. Seandainya Nabi atau para sahabatnya pun membalas perlakuan yang diterima umat Islam dahulu, mungkin juga masih bisa dipahami. Mengingat parahnya aksi kezaliman yang kerapkali dilakukan oleh penduduk Mekah kepada Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Tapi bukan ini yang dilakukan Nabi Muhamamd SAW. Beliau justru memaafkan dan membebaskan mereka dari dosa-dosa di masa lalu. Itu sebabnya, penduduk Mekah disebut sebagai orang-orang yang dibebaskan. Dan mereka pun berbaiat masuk Islam.

Patut disayangkan, ajaran persaudaraan seperti di atas seperti hilang dari kesadaran  umat Islam belakangan ini. Sebagian umat Islam sedemikian mudah terpancing provokasi pihak lain, mudah tersinggung, dan kehilangan nalar obyektif dan proporsional. Fanatisme primordial dan egoisme berlebihan menjadi pembakar api kebencian. Sesama umat Islam pun sering terjadi ketegangan, percekcokan, bahkan pembunuhan.

Polarisasi umat Islam terbagi ke dalam segregasi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan pendidikan. Satu dengan yang lain tidak bisa menutupi kelemahan dan kekurangan masing-masing. Hubungan dengan non-muslim berjalan dalam bayang-bayang permusuhan dan kebencian yang berpotensi melahirkan konflik horizontal. Kekhawatiran dan kecemasan menyatu dalam kejiwaan dan kepribadian umat Islam. Beberapa kasus yang terjadi belakangan ini (baik bermotif agama, ekonomi, budaya, pendidikan, dan politik) adalah bukti faktual dari rentannya persaudaraan internal umat Islam. Kematangan dan kedewasaan dalam menyikapi masalah yang ada masih jauh dari yang diharapkan. Kesan emosional subyektif sangat kuat. Inilah yang harus diantisipasi dan diperhatikan oleh semua pihak, terutama kaum agamawan.

 

Menebar Kedamaian

Menghadapi masa depan yang penuh problem, kedewasaan dan kematangan dalam menyikapi masalah haruslah dipersiapkan, sikap permusuhan harus dihilangkan dan perdamaian harus disemai. Kebencian terhadap agama lain, etnis lain, golongan lain, dan suku lain sudah waktunya untuk dihilangkan secara bertahap.

Dakwah Nabi dalam menyebarkan Islam  dengan membumikan nilai-nilai persaudaraan, kedamaian, kerukunan dan kasih sayang semestinya menjadi teladan baik bagi semua pihak. Dalam surat An-Nahl ayat 125 Nabi diperintahkan untuk berdakwah dengan cara-cara bijak (alhikmah), nasehat yang baik (mau’idzah hasanah), dan perdebatan yang bersifat konstruktif (mujadalah). Nabi tidak diperintahkan menebarkan kebencian, permusuhan, dan pembunuhan.

Kerjasama antar-kelompok masyarakat, bahkan antar agama perlu dilakukan demi harmonisasi dan humanisasi. Interaksi sosial dapat berjalan secara inklusif, moderat, dan progresif. Masing-masing kelompok hanyalah bisa memahami hakikat eksistensi dirinya manakala berinteraksi dengan orang  lain, mencoba memahami orang lain dan mengambil manfaat realitas majemuk yang ada.

Benih-benih kebencian yang bersumber dari pemahaman keagamaan yang bercorak eksklusif, kontestasi ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik dengan sendirinya akan hanyut oleh pemahaman keagamaan yang inklusif. Di mana pemahaman seperti ini tidak akan tumbuh kecuali melalui proses interaksi positif dengan umat agama lain. Dalam konteks ini, agama lahir sebagai sumber kedamaian dan kebahagiaan lahir batin, bukan sumber kebencian, konflik, dan agitasi yang melahirkan disharmoni sosial.[]

 

Ust. Jamal Ma’mur Asmani, dosen Institute Pesantren Mathaliul Falah, Direktur Lembaga Studi Kitab Kuning, Pati.

e-PDF Buletin Jumat dapat diunduh disini

Menghindari Kekerasan

 

Manusia menempati posisi yang sangat sentral dalam Islam. Manusia adalah obyek ajaran, sekaligus subyek dan pelaksana dari ajaran tersebut. Allah Swt menciptakan manusia sebagai makhluk yang terhormat dan bermartabat. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna (QS. Al-Tin: 4). Allah juga memuliakan manusia sebagai keturunan Adam dengan kelebihan-kelebihan yang mereka miliki (QS. Al-Isra’: 70).

Tentu saja, status manusia yang demikian mulia, terhormat dan bermartabat, merupakan rahmat Allah Swt. Dan sekiranya tidak karena karunia Allah atas kamu dan rahmat-Nya, niscaya tidak sekali-kali seorangpun dari kamu jadi bersih, tetapi Allah membersihkan siapa yang Ia kehendaki (QS. al-Nur: 21). Watak manusiawi tak memiliki nilai sejati kecuali karena kebaikan Tuhan “yang menciptakan manusia yang lemah” (QS. al-Nisa’: 28).

Keistimewaan manusia dibanding mahluk-mahluk lain sebagai ciptaan Tuhan karena kedudukannya sebagai wakil Allah di dunia (QS. al-Baqarah: 30) yang mempunyai kemampuan khusus. Dalam kondisinya yang asli dan tinggi, manusia adalah suatu tanda yang ajaib dari suatu kekuasaan dan rahmat Tuhan (QS. Fushshilat: 53).

Sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, tentu saja manusia harus diperlakukan secara mulia juga. Anjuran untuk berbuat baik terhadap sesama manusia adalah salah satu ajaran inti dari Islam. Itulah sebabnya, tidak ada satu pun alasan yang membolehkan seseorang untuk melecehkan orang lain. Islam menganjurkan berbuat baik tidak hanya kepada sesama manusia, bahkan terhadap budak sekalipun, kita diharuskan berbuat baik, sebagaimana firman Allah:

 

“Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.”(An-Nisa’, 36)

“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (An-Nahl, 71)

“Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).”(An-Nur, 33)

 

Ketiga ayat ini menekankan agar budak tidak semata-mata diperlakukan sebagai “alat” bagi majikannya, tetapi juga diimbangi dengan sikap dan perlakuan yang lebih manusiawi terhadap budak.

Itulah sebabnya, kekerasan merupakan tindakan yang sama sekali tidak dibenarkan. Kekerasan dalam pengertian tindakan yang melukai orang lain, baik secara fisik maupun secara psikis.

 

Boleh untuk Pembelaan

Pada prinsipnya, tindakan melukai orang lain, baik fisik maupun psikis, apalagi tindakan yang dapat mengancam keselamatan jiwa, tidak dibenarkan dalam Islam. Namun, ada sejumlah ayat dan hadits yang seringkali digunakan untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain, seperti:

 

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: ‘Tuhan kami hanyalah Allah’.” (QS Al-Hajj [22]: 39–40)

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang menyukai batas.” (QS Al-Baqarah [2]: 190)

Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama kali memulai memerangi kamu.” (QS At-Taubah [9]: 13)

“Aku (Muhammad) diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan lafadz la ilaha illa Allah” (HR. Imam Bukhori, Imam Muslim, Turmudzi, Nasa’I, Ibn Majah, Daramy, Abu Dawud, dan Imam Ahmad).

Barang siapa melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan dengan tangan, jika tidak bisa maka gunakanlisan; jika tidak bisa, gunakan dengan hati. Sesungguhnya (menggunakan hati) itu termasuk selemah-lemahnya iman.(HR Bukhari)

 

Sejumlah ayat dan hadits di atas memang memberi legitimasi bagi penggunaan kekerasan. Namun, nash di atas harus dipahami dalam konteks yang tepat, baik konteks kesejarahan maupun konteks dengan ayat dan hadits yang lain. Dalam kenyataannya, ayat dan hadits di atas tidak dalam konteks menyerang (ofensif), tetapi lebih dalam konteks mempertahankan diri (defensive). Kita dibolehkan menyerang hanya dalam keadaan kita diserang.

Namun, sebagian kelompok muslim mengartikulasikan ayat-ayat di atas secara ofensif. Makna jihad, misalnya, bagi mereka tidak lain adalah perang suci. Dan memenuhi panggilan jihad, menurut mereka, adalah kewajiban setiap muslim.

Inilah yang menyebabkan citra Islam seolah-olah tidak bisa dilepaskan dari kekerasan. Bahkan sebagian pengamat Barat mengidentikkan Islam dengan terorisme. Pendapat ini, meskipun keliru, didasarkan pada tindakan sejumlah kaum muslim yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan, seperti terjadi dalam kasus bom Bali, Bom di Kedubes Australia dan sejumlah kasus lainnya.

Maraknya kekerasan atas nama agama menunjukkan betapa beragamnya pandangan dan eksresi keberagamaan umat Islam. Ekspresi keberagamaan seperti ini mewakili pandangan yang menganggap manusia hanya sebagai obyek dari kehendak Tuhan. Manusia dianggap tidak memiliki hak. Atas dasar inilah mereka menolak konsep hak asasi manusia (HAM). Hak sepenuhnya milik Allah. Sedangkan manusia hanya menjalani apa yang sudah disyariatkan oleh Allah.

Perspektif seperti ini perlu dikritisi bukan hanya karena mudah terjebak dalam kategori hitam putih sesuai dengan apa yang dinyatakan Al-Qur’an dan Hadits, terutama dalam memandang kelompok lain, tetapi karena doktrin Islam sendiri terlalu kompeks untuk direduksi hanya sebagai kitab undang-undang yang sudah final tanpa ada usaha yang sungguh-sungguh untuk mendalami konteks kesejarahan serta makna tersirat yang terdapat di balik teks suci tersebut.

Baik Qur’an maupun Sunnah tidak cukup dipahami secara harfiah seperti yang tersurat dalam bunyi teksnya. Disamping konteks kesejarahannya perlu ditelusuri, makna di balik teks juga perlu disingkap untuk memperoleh pesan yang paling substansial dari teks suci tersebut. Usaha seperti ini perlu dilakukan agar pemahaman terhadap teks suci tersebut lebih dekat dengan apa yang dalam ushl fiqh disebut maqashid al-syariah (tujuan penetapan syariat).

Secara umum, maqashid al-syariah telah terangkum Surat al-Anbiya’, 107: Dan tidaklah Kami utus engkau Muhammad kecuali untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam.Islam datang  untuk menjawab berbagai masalah yang dihadapi umat manusia, untuk menyelamatkan manusia dari jalan yang sesat menuju jalan yang benar; dari jalan gelap menuju jalan terang; dari kemungkaran, kedzaliman dan ketertindasan menuju kearifan, kedamaian dan keadilan.

 

Kewenangan Negara

Dalam kehidupan sehari-hari, kekerasan merupakan salah satu problem serius yang dihadapi bangsa ini. Kita layak prihatin bukan semata-mata karena gejala kekerasan menunjukkan grafik yang kian naik dengan tingkat eskalasi yang terus meluas, tetapi juga karena negara sebagai satu-satunya lembaga yang diberi otoritas menggunakan kerasan untuk mewujudkan tertib sosial, justru justru seolah-olah tidak berdaya menghadapi masalah itu. Kegagalan negara mengatasi masalah kekerasan membuat bangsa ini seperti kembali ke zaman primitif di mana penyelesaian masalah selalu menggunakan cara-cara kekerasan.

Kekerasan yang terjadi belakangan ini lebih dari sekadar patologi individu seperti terlihat pada berbagai kasus kriminalitas. Kekerasan juga mencerminkan patologi sosial, di mana masyarakat cenderung main hakim sendiri menghadapi kasus-kasus kriminal seperti pencurian, penjamberetan, pencopetan. Ada semacam dendam sosial terhadap kejahatan yang kian berani dan terang-terangan dengan menghukum pelakunya dengan cara yang lebih sadis.

Lebih dari itu, seringkali kekerasan dilakukan dengan mengatasnamakan agama. Tindakan main hakim sendiri terhadap tempat-tempat yang dianggap sebagai sarang maksiat dengan mengobrak-abrik secara bringas justru membuat citra Islam semakin tercoreng.

Sebagaimana kisah agama-agama samawi lainnya, Islam hadir pada saat masyarakat betul-betul membutuhkan semacam “juru selamat” dari keterpurukan moral, sosial, ekonomi maupun politik. Melalui Nabi sebagai pembawa risalah Tuhan, agama hadir untuk melawan berbagai bentuk penindasan dan kedzaliman guna mewujudkan tatanan baru yang lebih berkeadilan, berkemanusiaan dan berkeadaban.

Sebagaimana ditunjukkan dalam masa-masa awal Islam, Nabi Muhammad ditentang keras oleh kaum Quraisy Mekkah, bukan semata-mata karena Nabi membawa agama baru yang sama sekali berbeda dengan kepercayaan sebelumnya, tetapi terutama karena ajaran yang dibawa Nabi dapat mengancam kepentingan kaum elite Quraisy yang begitu dominan menguasai berbagai sumber daya, baik ekonomi, sosial maupun politik. Dan, sebagaimana kita lihat dalam sejarah, keberhasilan Nabi membangun tatanan ekonomi, sosial dan politik yang berkeadilan, berkemanusiaan dan berkeadaban lebih mengutamakan jalan damai melalui musyawarah ketimbang jalan kekerasan melalui perang.***

 

Masykurudin Hafidz, Direktur Eksekutif Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat.

 

Download e-PDF Buletin Jum’at disini

Megedepankan Dialog dan Musyawarah

Oleh Ust. Hasibullah Satrawi

 

Musyawarah adalah salah satu ajaran penting dalam Islam. Setidaknya ada tiga ayat dalam al-Qur’an yang secara tegas memerintahkan kita untuk bermusyawarah dalam menghadapi segala masalah, khususnya yang terkait dengan orang lain. Ketiga ayat tersebut adalah:

 

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS Ali Imron, 159)

 

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.(QS Asy-Syura [42], 38)

 

Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.(QS At-Thalaq [65], 36)

Islam memang datang untuk menghentikan tradisi kekerasan dalam menyelesaikan konflik dan diganti dengan cara-cara perdamaian melalui dialog dan musyawarah. Apalagi, Islam berasal dari kata s-l-m (kata kerja infinitifnya; aslama-yuslimu-islaman) yang berarti tunduk’, ‘menyerah’, dan memenuhi atau melakukan’. Dalam konteks kalimat, ia bisa juga berarti al-silm  dan al-salam yangberarti ‘kedamaian’ dan perdamaian.

Asghar Ali Engineer, pemikir muslim asal India, lebih senang menafsirkan kata Islam dengan “perdamaian” (al-silm) dengan merujuk kepada misi perdamaian dan kedamaian yang intrinsik dalam wahyu. Mengutip Ahmad Amin, Asghar menganggap makna kedamaian dalam Islam sesuai dengan petunjuk al-Quran dan konteks zaman Nabi.

Sebagaimana dalam al-Quran ditunjukkan ada beberapa ayat, antara lain: “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila ‘orang-orang keras hati’ (Jahiliyah) menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang damai (qalu salama)(QS. Al-Furqan: 63).

Secara kontekstual, kata kedamaian menunjukkan bahwa kedatangan Islam sebagai rahmat dan pengikat bagi kebiasaan orang Arab yang suka berperang dan bermusuhan berdasarkan emosi kesukuan. Orang-orang Arab masa itu terkenal sangat keras, arogan, dan frontal.

Sistem sosial bangsa Arab pada masa pra-Islam berjalan berdasarkan sistem kesukuan. Identitas seseorang berakar pada afiliasinya dengan klan dan suku tertentu. Klan merupakan struktur sosial yang dibangun oleh sejumlah keluarga besar dan suku merupakan asosiasi dari beberapa klan.

Sistem kesukuan menggambarkan kerasnya kehidupan orang-orang Arab. Peperangan dan kekerasan menjadi suatu keseharian yang integral dalam kehidupan mereka. Tidak ada satu alasanpun untuk menolak adanya kekerasan dalam kehidupan mereka. Peperangan setiap saat bisa terjadi guna memperluas pengaruh suku masing-masing dengan menjadikan suku-suku lain sebagai “wilayah jajahan”. Mereka melakukan genjatan senjata pada bulan-bulan tertentu yang disepakati. Singkatnya, tiada hari tanpa perjuangan mempertahankan diri dengan segala upaya. Hukum saling menguasai dan balas dendam menjadi suatu hal yang lazim dalam pandangan hidup bangsa Arab.

Tradisi perang dan kekerasan inilah yang kemudian berusaha diminimalisir oleh Islam dan kemudian digantikan dengan cara-cara perdamaian melalui dialog dan musyawarah.

 

Teladan Nabi

Ada dua peristiwa penting yang dialami Nabi Muhammad  – satu peristiwa sebelum menjadi Nabi dan satu lagi setelahnya – yang menunjukkan dasar-dasar pentingnya dialog dan musyawarah: yakni pembangunan kembali Mekkah tahun 605 M dan penaklukan kembali Mekkah pada tahun 630 M.

Ketika pada tahun 605 masyarakat Mekkah berjuang untuk membangun Ka’bah muncul konflik di kalangan beberapa suku mengenai siapa yang berhak untuk meletakkan “batu hitam” di atas Ka’bah. Konflik bermula ketika masing-masing klan saling berkeinginan untuk memperoleh kehormatan sebagai pengangkat batu tersebut dan meletakkannya di tempatnya. Setelah hampir lima hari terjadi perang urat syarat, muncul usulan dari orang tersepuh yang hadir agar mengikuti saran orang yang kemudian memasuki Ka’bah melalui pintu “Bab al-Shafa”. Kebetulan yang beruntung melewati pintu tersebut adalah Nabi Muhammad.

Nabi Muhammad yang dipercaya atas tugas menyelesaikan konflik tersebut meminta agar didatangkan jubah dan meletakkan batu hitam di atas jubah yang telah dibentangkan di atas tanah. Beliau kemudian meminta masing-masing klan untuk memegang pinggir jubah, kemudian mengangkatnya secara bersama-sama dan  Nabi Muhammad mengambil batu tersebut untuk diletakkan di tempatnya. Maka dimulailah kembali pembangunan Ka’bah tersebut.

Peristiwa tersebut menunjukkan betapa Nabi sangat mengedepankan kebersamaan ketimbang kepentingan pribadi. Dengan kesepakatan yang telah dicapai sebelumnya, Nabi bisa saja mengangkat batu tersebut dan melekakkan di Ka’bah. Namun, demi menjaga kebersamaan diantara suku-suku di Mekkah, Nabi mengajak para pemimpin suku untuk bersama-sama mengangkat baru suci tersebut.

Peristiwa kedua terjadi tahun 622 ketika Nabi bersama pasukannya berupaya kembali ke Mekkah setelah hijrah selama delapan tahun di kota Madinah. Orang-orang Mekkah yang merasa berbuat salah dengan mengusir Muhammad ke Madinah takut akan kemungkinan balas dendam yang mungkin menimpa mereka. Ketika memasuki Mekkah, Nabi Muhammad berpidato: “Apa yang akan kalian katakan dan apa yang kalian pikirkan?” Mereka menjawab, “Kami berkata dan berpikir baik: Saudara yang terhormat dan murah hati, Andalah yang memberi perintah.” Kemudian Nabi pun mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya aku berkata seperti yang diucapkan saudarakan Yusuf: Pada hari ini tidak ada celaan yang ditimpakan atas kalian: Tuhan akan mengampuni kalian, dan Dialah Maha Penyayang di antara para penyayang.”

Apa yang dilakukan Nabi Muhammad baik sebelum maupun setelah menjadi Nabi ini merupakan contoh bagaimana konflik sesungguhnya bisa diatasi dengan cara damai, tanpa dengan kekerasan. Alih-alih mendorong kepada klan tertentu untuk meletekkan batu tersebut, Nabi memberikan kesempatan yang sama kepada mereka guna menghindari kemungkinan terjadinya konflik yang lebih tajam. Nabi juga tidak melakukan balas dendam, tetapi justru memberikan maaf kepada orang-orang Mekkah yang pernah melakukan kesalahan pada beliau.

Dari tindakan Nabi ini ada beberapa nilai inti yang bisa diidentifikasi untuk terciptanya dialog, musyawarah dan perdamaian. Pertama, kesabaran karena Muhammad mau mendengar terlebih dulu mengenai problem yang sesungguhnya. Kedua, menghargai mertabat kemanusiaan dengan memberikan kesempatan yang sama kepada pihak-pihak yang terlibat konflik. Ketiga, kehormatan tidak harus diperoleh dengan mengorbankan kehormatan pihak lain, tetapi bisa dengan cara membaginya secara setara. Keempat, berbagi bersama ini didasarkan atas partisipasi yang sama di antara semua pihak yang terlibat konflik. Kelima, perlu sikap kreatif untuk mencari media yang bisa menyelesaikan konflik. Keenam, memberikan maaf kepada pihak yang memang seharusnya diberi maaf.

 

Mendamaikan Konflik

Dialog, musyawarah dan perdamaian dibutuhkan karena kehidupan ini penuh dengan perbedaan. Setiap orang memiliki keinginan dan kepentingan mungkin berbeda dengan orang lain. Jika kepentingan tersebut bertabrakan dengan kepentingan orang lain, maka yang akan terjadi adalah konflik. Jalan terbaik untuk mengatasi konflik adalah dengan cara dialog dan musyawarah, sebagaimana diperintahkan oleh Allah Swt.

 

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (QS Al-Hujurat [48]. 10)

 

Bahkan, dalam ayat sebelumnya, Allah mengancam orang yang tidak mau berdamai dan malah berkhianat, agar diperangi.

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.(QS Al-Hujurat [48]. 9)

Perintah untuk menyelesaikan konflik dengan cara damai diulang dalam banyak ayat lainnya, yakni Al-Baqarah, 182; An-Nisa, 128; Al-Anfal 61). Pengulangan ini tentu saja menunjukkan bahwa penyelesaian masalah dengan cara damai melalui dialog dan musyawarah adalah pilihan yang sangat dianjurkan dalam Islam.

Sebagai jalan terbaik dalam menyelesaikan konflik, tentu saja musyawarah membutuhkan prasyarat. Musyawarah dapat membuahkan hasil yang baik jika masing-masing orang bermusyawarah saling percaya satu sama lain dan menganggap orang lain sebagai setara. Syarat ini penting karena musyawarah tidak akan berjalan dengan baik jika ada anggota musyawarah  yang merasa lebih tinggi dari yang lain. Itulah sebabnya, dalam musyawarah, berlaku pepatah yang sudah sangat populer: Lihatlah apa yang dibicarakan orang, dan jangan lihat siapa yang berbicara.

Pepatah ini ingin menegaskan bahwa dalam musyawarah, tidak terlalu penting dari siapa pendapat itu berasal.  Yang jauh penting adalah apakah gagasan itu membawa maslahat atau tidak bagi kepentingan orang banyak.[]

 

Ust. Hasibullah Satrawi, alumni Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.

 

Download e-PDF buletin Jumat disini