Ahmad Syafii Maarif yang akrab disapa Buya adalah sosok intelektual muslim yang yang unik. Namanya melambung tinggi, tapi tetap akrab dengan tukang sapu, tukang kebun, pedagang sayur, dan marbot masjid. Dalam beraktivitas, sepanjang masih bisa melakukannya sendiri, pantang baginya meminta bantuan orang lain. Ia membawa tas, menyetir mobil, dan mencuci pakaian sendiri. Hobinya naik sepeda dan sampai sekarang masih ia lakukan.
Lahir di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935, Buya berusia 85 tahun pada Minggu, 31 Mei 2020. Karena perjalanan hidupnya yang terjal dan penuh liku, ia kerap menyebut dirinya “terdampar di pantai karena belas kasihan ombak.”
Jika kita senaraikan beberapa nama intelektual muslim papan atas di Indonesia saat ini, kita bisa pastikan beliaulah yang paling tua. Tapi semangatnya masih menyala-nyala seperti anak muda. Bicaranya lugas. Kritik-kritiknya sangat tajam walau dikemas dengan bahasa metaforis. Politikus rabun ayam, politikus ikan lele, dan preman berjubah adalah di antara metafora yang khas dan orisinal dari Buya.
Untuk menggambarkan cara berpolitik yang baik, Buya menyebutnya dengan politik garam, metafora yang ia pinjam dari Mohammad Hatta, salah satu tokoh republik yang selain ia kagumi. Selain kagum pada Hatta, Buya juga meneladani cara-cara hidupnya yang saleh, bersahaja, dan tepat waktu.
Seperti kata pepatah, “tua-tua kelapa, makin tua banyak santannya,” Buya bagaikan oase yang tak pernah kering. Hingga saat ini masih aktif berkiprah di ranah keislaman dan kebangsaan, termasuk memenuhi dahaga intelektualisme anak-anak muda. Di usia yang makin menyenja, Buya masih tetap produktif dengan karya-karya yang inspiratif.
Salah satu inspirasi yang sulit mencari padanannya, setidaknya untuk saat ini, adalah sikap kesederhanaan dan keterbukaannya dalam menerima beragam perbedaan. Buya merupakan cermin berjalan dari seorang demokrat sejati. Banyak tokoh berbusa-busa bicara kesederhanaan, tapi belum tentu mewujud dalam tindakannya sehari-hari. Banyak tokoh memiliki pandangan yang hebat tentang demokrasi dan keterbukaan, tapi dalam tindakan sehari-hari masih mempersoalkan perbedaan ras, suku, dan agama. Buya, dalam bahasa pemimpin organisasi agama Budha cum-pengusaha Sudhamek AWS, adalah “walk the talk” (menjalankan apa yang dikatakan).
Dimulai dari Rumah
Dalam suatu perbincangan santai tentang demokrasi di Indonesia, salah satu sahabat Buya, (almarhum) Nurcholish Madjid pernah mengatakan bahwa sikap demokrat seseorang bisa dilihat secara makro dan mikro. Secara makro, pandangan dan gagasannya tentang demokrasi, sedangkan secara mikro, bagaimana menerapkan demokrasi dalam keluarga dan lingkup organisasinya. Ada yang berpandangan ideal secara makro, tapi bermasalah secara mikro, misalnya otoriter dalam memimpin organisasi. Demokrat sejati adalah yang memadukan antara makro dan mikro.
Sebagai demokrat sejati, jejak Buya bisa dilacak mulai dari rumah. Menurut Muhammad Hafiz, satu-satunya putra Buya yang tersisa (dua lainnya meninggal waktu kecil), keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, hidup dalam suasana demokratis dan liberal, di mana berlaku one person one voice. Ketiganya memiliki suara yang equal dalam menyampaikan pendapat. Kadang disertai adu argumen dan malah bisa sampai debat kusir yang tidak ada ujung. “Namun opini pribadi tetap dihargai,” kata Hafiz dalam buku Cermin untuk Semua, Refleksi 70 tahun Ahmad Syafii Maarif (2005).
Di dalam buku yang sama, pendapat Hafiz selaras dengan pendapat ibunya, Hj. Nurkhalifah (istri Buya). Menurutnya, Buya tidak pernah memaksa, termasuk perihal keputusannya untuk berbusana muslimah (memakai jilbab). Semua ia lakukan atas kemauan sendiri.
Menjaga Muhammadiyah
Sikap demokratis Buya semakin menonjol saat memimpin Muhammadiyah. Menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah selama satu periode (2000-2005) ditambah kurang lebih satu setengah tahun sebelumnya karena Amien Rais sebagai Ketua Umum periode 1995-2000 mengundurkan diri karena mendirikan dan memimpin Partai Amanat Nasional (PAN), partai paling reformis pada saat berdirinya, 28 Agustus 1998.
Memimpin organisasi sebesar Muhammadiyah pada era spirit demokrasi masyarakat menyala-nyala jelas bukan perkara gampang. Apalagi, lokomotif demokrasi saat itu adalah Amien Rais, ketua umum yang digantikan Buya. Euforia berpartai, terutama PAN, berimbas sangat kuat mewarnai perjalanan Muhammadiyah dari tingkat pusat hingga daerah dan ranting di seluruh Indonesia.
Secara pribadi, Buya sangat mendukung sahabatnya, Amien Rais, menjadi calon Presiden RI. Ia bahkan kerap berseloroh, andaikan dirinya masih semuda Amien, pasti mau juga menjadi Presiden. “Tapi sayang, usia sudah uzur,” kata Buya sambal tertawa.
Namun, sebagai pemegang amanat organisasi, Buya berkewajiban menjaga Muhammadiyah dari pengaruh “negatif” politik praktis. Pada saat pembukaan Sidang Tanwir Muhammadiyah, 24 Januari 2002 di Bali, ia memberi garis demarkasi antara dakwah yang menjadi tugas utama Muhammadiyah dengan politik yang menjadi tugas partai. Dengan ungkapan yang khas, Buya mengatakan begini:
“Politik mengatakan: Si A adalah kawan, si B adalah lawan. Dakwah mengoreksi: Si A adalah kawan, si B adalah sahabat. Politik cenderung berpecah dan memecah, dakwah merangkul dan mempersatukan.”
Meskipun demikian, Buya tak bisa mengelak dari tuntutan sebagian besar peserta Tanwir yang hasrat politiknya sedang memuncak. Sebagai ketua umum yang memiliki otoritas di atas yang lain, bisa saja Buya memaksakan kehendak. Tapi, cara seperti itu jauh dari karakternya, maka ia pun harus tetap taat pada keputusan Tanwir yang merekomendasikan “kader terbaik” sebagai calon Presiden pada Pemilu 2004.
Keputusan Muhammadiyah ini menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Selain dianggap bertentangan dengan ungkapan Ketua Umumnya sendiri, Muhammadiyah dianggap telah berputar haluan menjadi organisasi politik. Kontroversi terus berlanjut hingga Sidang Tanwir tahun berikutnya (26-29 Juni 2003) di Makassar, Sulawesi Selatan. Setelah melalui perdebatan sengit, Sidang Tanwir memutuskan tidak merekomendasikan satu nama pun, termasuk Amien Rais, untuk menjadi calon Presiden pada Pemilu 2004. Banyak kalangan mengapresiasi keputusan Tanwir Makassar yang “mengoreksi” keputusan Tanwir Bali.
Apakah persoalan politik sudah selesai? Ternyata belum. Masih ada gelombang desakan terhadap Muhammadiyah untuk berpolitik, terutama dari tokoh-tokoh Pimpinan Pusat dan Wilayah, yang berafiliasi, baik langsung maupun tidak langsung dengan PAN. Maka pada 9-10 Februari 2004, digelarlah Rapat Pleno yang dihadiri anggota Pimpinan Pusat dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah dari seluruh Indonesia yang keputusannya secara eksplisit mengusulkan kader terbaiknya, Amien Rais, menjadi calon Presiden RI.
Muhammadiyah kembali menuai kritik tajam, sampai-sampai beredar secara luas (waktu itu belum dikenal istilah viral) short message service (SMS) –belum ada Black Berry Messenger (BBM), apalagi WatsApp (WA)– yang bunyinya kira-kira begini:
“Mulai tahun depan, ibadah haji bisa dilakukan di Istiqlal, dengan melempar jumrah di MA dan Depag yang banyak setannya. Melempar jumrah ketiga di kantor PP Muhammadiyah, biar Muhammadiyah konsisten dengan khitahnya, tidak melakukan aksi dukung mendukung capres.”
Dengan mendukung capres, ada yang menganggap Muhammadiyah “berdosa” seperti Mahkamah Agung (MA) yang saat itu baru saja membebaskan terpidana tiga tahun penjara Akbar Tandjung. Begitu pula dengan Departemen -sebelum berubah nama jadi Kementerian-Agama (Depag) yang menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) termasuk paling korup daripada departemen yang lain.
Primus Inter Pares
Yang mendapat kritik tak hanya Muhammadiyah, sebagai Ketua Umum, Buya juga ikut kena imbasnya. Saya masih ingat, mantan Sekjen PAN, Faisal Basri yang sudah tidak sejalan dengan Amien Rais, ikut mengritik keras Buya.
Merespon kritik-kritik itu, Buya mengatakan bahwa dirinya hanya primus inter pares. Dalam soal ini, Bendahara PP Muhammadiyah waktu itu, Dasron Hamid, memberi kesaksian: “Dalam rapat-rapat PP Muhammadiyah, walaupun pada dasarnya sebagai ketua beliau mempunyai otoritas, tapi tidak pernah terkesan memaksakan kehendak dan pendapatnya. Kalau hasil mjusyawarah A, ya A, belum pernah mengklaim pendapatnya sendiri sebagai pendapat PP Muhammadiyah,” kata Dasron dalam Cermin untuk Semua.
Itulah Buya Syafii Maarif yang dalam pemikiran keislaman pernah berubah, dari seorang fundamentalis menjadi seorang liberalis sehingga menginspirasi Butet Kartaredjasa dan kawan-kawan untuk mementaskan teater Fundamentalis Insyaf (2016). Tapi dalam sikap, ia tak pernah berubah, konsisten menjadikan al-Quran sebagai landasan etik, dan menjalankan prinsip-prinsip demokrasi dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
Selamat Ulang Tahun ke-85, Buya! Semoga tetap sehat, terus menjadi panutan dan inspirator segenap anak bangsa.
Sumber: detikNews, Minggu, 31 Mei 2020
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!