MAARIF Institute menyelenggarakan kegiatan Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif: Islam, Kebhinekaan dan Keadilan Sosial, pada 12 Nopember 2022 di Ruang auditorium Muhammad Djazman, Kampus I UMS Solo. Dalam kegiatan Muktamar Pemikiran ini ada empat sesi diskusi. Sesi pertama dengan mengusung tema Inklusivitas, kesetaraan dan Persaudaraan Lintas Batas, dengan narasumber oleh Prof Dr. Amin Abdullah (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Anggota Dewan Pengarah BPIP), Dr. Romo Greg Soetomo (Koordinator Dialog dengan Muslim di Jesuit Conference of Asia Pacific, Manila, Filipina), dan Elga Sarapung (Dian Interfidei).
Sesi kedua mengusung tema Arabisme, Lokalitas, dan Kosmopolitanisme Islam, dengan narasumber Ulil Abshar Abdalla (Ketua Lakpesdam NU), Dr. Azhar Ibrahim (National University of Singapore) dan, Yayah Khisbiyah, MA (Dosen UMS).
Sesi ketiga mengusung tema Alquran, Pancasila dan Keadilan Sosial dengan narasumber Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani (Kepala OR IPSH-BRIN), Dr. J Haryatmoko, SJ (Universitas Sanata Dharma Yogyakarta) dan, Nurani, MA (Alumni SKK-ASM 2 2018).
Sedangkan sesi keempat mengusung tema Tantangan Intoleransi dan Politik Identitas di Indonesia: Meneruskan Legacy Perjuangan Ahmad Syafii Maarif. Narasumber pada sesi empat ini terdiri dari Philips J. Vermonte, Ph.D, Thung Ju Lan, Ph.D (Peneliti Senior BRIN) dan, Cici Situmorang (Alumni SKK-ASM 1 – 2018).
Dalam pemaparannya Prof. Amin Abdullah menyampaikan, sosok Buya Syafii harus menjadi inspirasi bagi anak-anak muda, sebab tantangan hari ini jauh lebih kompleks dan mendesak untuk segera mencari solusinya, misalnya konservatisme dalam dunia Pendidikan Islam. “Munculnya praktik konservatisme dan intoleransi di Indonesia di antaranya kurangnya tradisi literasi di kalangan masyarakat muslim Indonesia. Kedua, disebabkan pemahaman akan anti filsafat, dan ketiga penggunaan dan pendekatan terhadap pemahaman teks keagamaan yang tidak kaya sehingga mendistorsi dari makna dan substansi dari beragama itu sendiri”, jelas Prof. Amin.
Sementara, Dr. Romo Greg Soetomo juga menjelaskan bahwa sosok buya memiliki pendapat Islam sebagai agama hanya akan memiliki dampak perubahan sosial bila seorang Muslim memiliki pemahaman yang luwes terhadap Al-Quran. Sudah barang tentu topik ‘keluwesan dalam memahami Quran’ ini membutuhkan penjelasan sistematis dan terinci untuk menghindari kesalahpahaman.
“Islam, menurut Buya Syafii, harus senantiasa bersentuhan dengan realitas dan konteks masyarakat yang sedang berkembang. Islam bukan ajaran spiritual yang serba abstrak dan melulu hanya bicara tentang langit. Ia menyampaikan ajaran yang membumi dan memberikan efek sosial yang nyata. Oleh karena itu, isu – isu dan permasalahan seperti ketidakadilan menjadi keprihatinan Islam dan seorang muslim untuk mengubahnya. Adil dan tidak adil adalah nilai inti dari mana nilai-nilai kebaikan lain lahir dan tumbuh”, kata Greg Soetomo.
Kemudian sesi kedua lebih fokus pada isu fenomena praktik arabisme, lokalitas dan kosmopolitanisme Islam di Indonesia. Dalam kesempatan ini, Ulil Abshar Abdallah memotret fenomena gerakan arabisme dan lokalitas serta kosmopolitanisme. Menurutnya, Salafisme memiliki sejumlah sumbangan positif seperti semangat untuk konsisten kepada Quran dan Sunnah. Namun begitu, ada sejumlah kelemahan mendasar dalam gerakan ini, yaitu adanya asumsi bahwa ajaran-ajaran masa lampau seluruhnya masih memadai untuk menjawab berbagai persoalan masa kini. Gerakan ini tidak menyadari bahwa ada keterkaitan erat antara teks dan konteks; saat konteks berubah, maka teks harus dipahami ulang. “Masalah besar terjadi, ketika sebagian masyarakat menjadikan teks Quran dan Sunnah sebagai “penyetop perbincangan”. Ini bukan sesuatu yang sehat”, tegas Ulil.
Sementara Azhar Ibrahim, menyampaikan bahwa Isu-isu keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan yang selama ini disuarakan Buya Syafii, bukan hanya mewakili Indonesia, tapi sangat cocok dengan alam melayu secara keseluruhan, dan dapat pula disesuaikan kepada tuntutan zaman dan budaya setempat. “Saya sendiri beruntung mengenali beliau, mendapat limpahan ilmu dan pengalaman yang sangat berharga”, kata Azhar.
Kegiatan ini diikuti oleh 100 orang peserta dari berbagai daerah yang tersebar di lintas provinsi di seluruh Indonesia yang terdiri dari, peserta SKK – ASM periode tahun 2022, Peneliti Muda alumni program Maarif Fellowship dan alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan (SKK) Ahmad Syafii Maarif, kader intelektual dan aktivis lintas agama serta intelektual dan aktivitas ormas – ormas islam.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!