Signifikansi makna puasa apabila benar-benar dilakukan untuk ketakwaan akan memperkuat inklusi dan koeksistensi. Selain kemauan membuka diri, juga pengakuan terhadap perbedaan, serta kesediaan hidup damai berdampingan.
Menurut Ahmad Syafii Maarif, Nusantara adalah panggung interaksi lintas agama dan kultur. Kedatangan Islam di Nusantara merekatkan kebinekaan itu.
Islam merekatkan melalui kegiatan perdagangan dan berbagai interaksi sosial yang konstruktif dan saling menguntungkan.
Dalam berdagang, Islam menekankan kejujuran. Apabila ada barang yang cacat, harus ditunjukkan kepada calon pembeli. Watak kejujuran ini berdampak pada kedamaian dan welas asih, salah satu faktor yang membawa Islam menjadi agama mayoritas di Nusantara.
Puasa adalah ibadah kejujuran. Jujur pada diri sendiri, pada orang lain. Orang bisa berpura-pura puasa, berpura-pura lapar dan haus, menampilkan wajah memelas. Kata Tuhan, puasa adalah milik-Ku. Aku yang akan memberikan pahalanya. Manusia tidak bisa berpura-pura di hadapan Tuhan.
Bukan sontoloyo
Watak jujur, damai, dan welas asih itu ikut mewarnai proses kelahiran bangsa Indonesia pada 28 Oktober 1928. Jawa yang mayoritas tidak berkukuh dengan kemayoritasannya sehingga yang minoritas tidak merasa terancam. Maka, pada saat bahasa Melayu yang minoritas dijadikan ”bahasa Indonesia”, Jawa, Sunda, atau suku lain yang lebih banyak jumlahnya menerima dengan ikhlas. Demikian pula dengan pengakuan satu bangsa dan tanah air dengan nama Indonesia.
Dengan demikian, tak salah jika Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H, dikatakan sebagai katalisator kebinekaan. Pengakuan keberagaman itu diteguhkan dengan deklarasi kemerdekaan berisi cita-cita mulia dan dirumuskan dalam pembukaan konstitusi negara.
Watak jujur, damai, dan welas asih sejalan dengan Islam berkemajuan gagasan KH Ahmad Dahlan. Suatu Islam yang terbuka dan mau bekerja sama dengan berbagai kalangan untuk memajukan Islam.
Sayangnya, Islam berkemajuan, yang digaungkan kembali oleh Soekarno dan mengontraskannya dengan Islam sontoloyo, kini tercederai semangat keislaman yang sempit. Islam sontoloyo yang dimaksud Soekarno (ditulis dalam Panji Islam, 1940) adalah Islam yang diperalat ”guru”, ”ustaz”, atau siapa pun yang mengaku ahli agama, tetapi dengan pemahaman fikih yang sempit dan menghalalkan perbuatan nista.
Makna takwa
Tujuan puasa sebagaimana ditegaskan dalam Al Quran (2:183) adalah ketakwaan. Untuk mencapai ketakwaan, puasa harus dilandasi keimanan. Kata iman (percaya pada Tuhan) senantiasa disandingkan dengan amal saleh (serangkaian perbuatan baik dan benar).
Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa tidak beriman seseorang hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Tidak beriman seseorang yang makan kenyang sementara tetangganya kelaparan. Ekspresi (cabang) iman yang paling sederhana adalah menyingkirkan duri dari tengah jalan. Semua ciri keimanan mencerminkan kebajikan, memuliakan kemanusiaan.
Ketika puasa digunakan untuk mengekspresikan kebencian terhadap yang tidak berpuasa, atau untuk menistakan kelompok yang berbeda keyakinan, atau memiliki keyakinan sama tetapi dianggap telah tersesat, maka sama saja dengan menjauhkan puasa dari tujuan mulianya. Puasa yang benar adalah yang berdampak pada terciptanya kehidupan bersama yang harmonis dan damai.
Puasa yang benar adalah yang berdampak pada terciptanya kehidupan bersama yang harmonis dan damai.
Dari moderasi ke inklusi
Untuk memperkuat hubungan antar-umat beragama, pemerintah menggalakkan paham agama yang moderat atau agama tengahan (wasatiyah) yang tidak terlalu ke kiri atau terlalu ke kanan (ekstrem).
Dalam masyarakat majemuk yang di dalamnya terdapat kebebasan berekspresi (demokrasi), mengampanyekan agama moderat merupakan langkah bagus, tetapi itu belum cukup. Moderasi beragama harus diikuti dengan penguatan paham agama yang inklusif, terbuka, dan bersedia menerima perbedaan sebagai anugerah.
Banyak konflik terjadi karena perbedaan dipersepsi sebagai liyan atau lawan. Perbedaan diberangus karena dianggap mengganggu keharmonisan, bahkan merusak keimanan. Bertetangga dengan yang berlainan agama dianggap sebagai ancaman. Keberadaan tempat ibadah agama lain dianggap sebagai bencana.
Padahal, Allah SWT dengan tegas menyebutkan bahwa manusia diciptakan dalam keberagaman (laki-laki, perempuan, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku) untuk saling mengenal (Al Quran, 49:13).
Pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Manusia hadir di muka bumi untuk saling menyayangi. Karena perbedaan, sesama manusia bisa saling membantu, bisa saling mengisi kekurangan yang lain.
Toleransi ke koeksistensi
Selain moderasi beragama, yang digalakkan pemerintah adalah toleransi. Makna toleransi menurut KBBI adalah ’sikap tenggang rasa (menghargai, membolehkan) pendirian (pendapat, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian dirinya’. Dalam masyarakat majemuk, toleransi merupakan keniscayaan untuk membangun keharmonisan dan menjaga perdamaian.
Namun, menurut Kuntowijoyo (2001:95), dalam toleransi ada sikap apologetis, setiap agama ingin menunjukkan bahwa dirinya yang paling rukun dan toleran. Ketika apologi dilakukan secara tekstual (ajaran tertulis) dan kontekstual (tataran historis), diakui atau tidak, itu akan memunculkan ketegangan-ketegangan baru.
Munculnya ketegangan wajar belaka karena sejatinya dalam toleransi terdapat nalar pembiaran, pembolehan, atau bahkan penghargaan. Namun, belum sampai pada persetujuan atau pengakuan. Ungkapan ”saya menoleransi pendapatmu” artinya ”saya membiarkan pendapatmu walaupun tidak setuju atau tidak mengakui kebenarannya”. Ini belum cukup memadai untuk membangun keharmonisan dan perdamaian.
Persetujuan dan pengakuan hanya bisa lahir dari inklusi dan koeksistensi.
Persetujuan dan pengakuan hanya bisa lahir dari inklusi dan koeksistensi. Selain ada kemauan membuka diri, juga ada pengakuan terhadap perbedaan. Kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai akan jauh lebih kuat kohesivitas dan daya lentingnya dari ancaman perpecahan pada saat dilandasi inklusi dan koeksistensi. Di sinilah signifikansi makna puasa.
Jika benar-benar dilakukan untuk ketakwaan, niscaya bisa berfungsi untuk memperkuat inklusi dan koeksistensi.
Abd Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif Maarif Institute
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/04/10/puasa-untuk-inklusi-dan-koeksistensi
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!