Jakarta, 13 Maret 2025 – MAARIF Institute bekerja sama dengan Faculty of Social Sciences Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) menggelar acara “Diseminasi Hasil Survei Nasional: Variasi Pandangan dan Praktik Keagamaan Muslim Indonesia; Pendidikan, Pancasila, dan Kewarganegaraan Global.” Acara ini berlangsung di Gedung Pusat Dakwah PP Muhammadiyah pada Kamis (13/3) dan dihadiri oleh sejumlah pakar serta pemangku kebijakan di bidang pendidikan dan agama. Turut hadir para Penanggap Diseminasi Hasil Survei Nasional yaitu Prof. Nina Nurmila, Ph.D., Dekan Fakultas Pendidikan UIII, Faried F. Saenong, Ph.D., Koordinator Staf Khusus Kementerian Agama, dan Tatang Muttaqien, Ph.D., Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Pendidikan Layanan Khusus Kemendikdasmen.

Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Andar Nubowo, Ph.D dalam sambutan pembukanya menegaskan bahwa fenomena keberagaman di masyarakat berkaitan erat dengan pendidikan sebagai isu fundamental. “Pendidikan menjadi faktor kunci dalam membentuk perspektif masyarakat. Survei ini menunjukkan bahwa umat Islam kini melihat Pancasila secara lebih positif dibandingkan masa lalu,” ujarnya. Ia juga menyoroti bagaimana isu global seperti konflik Palestina-Israel, westernisasi, dan Arabisme turut berpengaruh terhadap budaya Indonesia, sebagaimana tergambar dalam hasil survei nasional.

Pemaparan hasil riset disampaikan oleh Yahya Fathur Rozi, peneliti MAARIF Institute. Dalam survei yang dilakukan pada 19-23 Desember 2024, ditemukan bahwa kualitas pengajar menjadi prioritas utama dalam dunia pendidikan, diikuti oleh demokrasi kewarganegaraan, kesejahteraan, kekerasan di lingkungan sekolah, serta akses pendidikan menengah dan perguruan tinggi. “Kualitas pengajaran menjadi prioritas karena guru memegang peran sentral dalam proses pendidikan,” jelasnya.

Selain itu, survei juga mengungkap adanya perbedaan prioritas berdasarkan gender. “Sebanyak 23,9% responden laki-laki lebih menekankan nilai demokrasi, sementara 26,6% responden perempuan lebih memprioritaskan kualitas pengajaran di kelas,” tambahnya. Dari perspektif agama, umat Muslim cenderung lebih memprioritaskan kualitas pengajaran, sedangkan kelompok non-Muslim lebih mengutamakan demokrasi dan kewarganegaraan.

Menariknya, Dalam survei yang dilakukan pada 19-23 Desember 2024 menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia merasa bangga menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), dengan separuh responden menyatakan rasa kebanggaan tersebut dalam tingkat yang sangat tinggi.

Nina Nurmila, menyoroti hasil survei dari perspektif interseksionalitas, yang menganalisis hubungan antara gender, ras, etnis, agama, dan orientasi sosial dalam pendidikan. “Semakin tinggi tingkat pendidikan dan penghasilan seseorang, semakin besar pula penolakannya terhadap proteksi budaya Indonesia dari pengaruh budaya asing. Mereka memiliki kesempatan lebih besar untuk mengeksplorasi budaya global dan menyadari bahwa budaya Indonesia juga memiliki aspek yang perlu dikritisi,” paparnya. Ia juga menekankan pentingnya pendidikan inklusif agar masyarakat tidak terjebak dalam eksklusivitas berlebihan dalam beragama.

Sementara itu, Faried F. Saenong, menegaskan bahwa meskipun Pancasila dan agama tidak lagi menjadi isu ideologis yang diperdebatkan secara luas, refleksi terhadap Pancasila sebagai ideologi tetap perlu dilakukan. “Kadang kita berpikir bahwa perdebatan ideologis telah selesai, tetapi di lapisan tertentu masih ada tantangan terkait kelompok yang ingin menghidupkan kembali wacana negara Islam di Indonesia,” ungkapnya. Ia juga menyoroti pentingnya apresiasi terhadap nilai-nilai keindonesiaan dalam menghadapi dinamika budaya global. “Ekspresi budaya lokal harus tetap ada jika kita ingin mengadopsi budaya asing yang datang ke Indonesia,” tambahnya.

Di sisi lain, Tatang Muttaqien, menekankan pentingnya pendidikan vokasi dalam memperkuat wawasan kebangsaan. “Pendidikan vokasi yang berbasis praktik kolaboratif akan membuat peserta didik memiliki wawasan kebangsaan yang lebih kokoh. Dengan begitu, mereka bisa memahami fenomena global sambil tetap mempertahankan identitas nasional,” jelasnya. Ia juga menyoroti pentingnya visualisasi kondisi nyata dalam pembelajaran. “Ketika teori digabungkan dengan praktik di lapangan, pemahaman tentang ideologi dan pendidikan vokasi akan lebih kuat,” tegasnya.

Acara diseminasi ini memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai dinamika keberagamaan dan pendidikan di Indonesia. Hasil survei menunjukkan bahwa pendidikan tetap menjadi faktor kunci dalam membentuk perspektif masyarakat terhadap demokrasi, kebangsaan, dan identitas budaya. Dengan berbagai tantangan yang muncul dari pengaruh budaya global dan pergeseran nilai-nilai sosial, pemangku kebijakan dan akademisi diharapkan dapat terus menggali strategi yang tepat untuk menjaga keseimbangan antara modernisasi dan identitas nasional. (VP)

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

20 + seventeen =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.