Pengarang: http://nasional.kompas.com

JAKARTA, KOMPAS.com – Maarif Institute akan merancang Indeks Kota Islami (IKI) terhadap 93 kota di Indonesia. Indeks ini merupakan upaya Maarif Institute dalam menyusun parameter untuk mengukur dan menyusun peringkat kinerja pemerintah kota dalam menjalankan pemerintahannya, yang berbasis nilai-nilai Islam.

Manajer Program Islam dan Media Maarif Institute, Khelmy K Pribady mengatakan, Indeks Kota Islami ini nantinya akan diukur melalui sejumlah variabel dan indikator berdasarkan nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits.

“Kita tidak hanya mengukur dari segi Perda Syariah, tidak hanya berapa banyak soal mesjid. Ada nilai-nilai kesetaraan, keterbukaan, akuntabilitas pelayanan publik dan nilai-nilai islami lainnya yang akan kita ukur,” ujar Khelmi pada saat ditemui dalam acara Public Expose Indeks Kota Islami di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, (27/8/2015).

Lebih lanjut, Ketua Tim Riset Indeks Kota Islami Maarif Institute, Ahmad Imam Mujadid Rais mengatakan, perancangan Indeks Kota Islami ini disusun dengan mempertimbangkan enam prinsip tujuan syariah, yaitu menjaga harta benda, menjaga kehidupan, menjaga akal, menjaga agama, menjaga keturunan dan menjaga lingkungan.

Ahmad menyimpulkan, berdasarkan enam prinsip tersebut, Kota Islami adalah kota yang aman, sejahtera, dan bahagia. Ahmad menambahkan bahwa saat ini tim riset IKI masih melakukan tahap diskusi dengan masyarakat dari berbagai macam elemen agar hasil indeks nantinya sesuai dengan harapan.

“Saat ini kita masih lakukan public expose, jadi hasilnya belum ada. Kita masih akan mensolidkan variabel dan indikator indeksnya agar hasilnya valid,” ujar Ahmad.

Kota Aman akan dinilai berdasarkan dua variabel penelitian yang terdiri dari kebebasan menjalankan agama dan keyakinan serta pemenuhan hak dasar negara. Kedua variabel tersebut akan diturunkan menjadi sejumlah indikator seperti toleransi, mendirikan tempat ibadah, pendidikan agama, tidak adanya kebencian, transparansi pemerintahan, partisipasi, kepemimpinan, akuntabilitas dan kontrol terhadap tingkat kejahatan.

Kota Sejahtera akan dinilai berdasarkan empat variabel penelitian yang terdiri dari pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan kesehatan. Keempat variabel tersebut diturunkan menjadi beberapa indikator, seperti akses terhadap layanan kesehatan, rasio ketersediaan tenaga kesehatan, standar gaji berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR), akses dan ketersediaan fasilitas pendidikan, serta tersedianya sejumlah lapangan pekerjaan dan kemudahan untuk berusaha.

Kota Bahagia akan dinilai berdasarkan tiga variabel penelitian, yang terdiri dari kenyamanan, dimensi kolektif, dan kepedulian lingkungan. Ketiga variabel tersebut diturunkan menjadi beberapa indikator seperti regulasi, infrastruktur, perda perlindungan lingkungan, sistem pengelolaan sampah, tersedianya ruang terbuka hijau dan pengelolaan sumber daya alam yang baik.

“Ketika kota aman, tentu warga akan berekspresi, bekerja, bekarya sehingga akan menghasilkan kesejahteraan, setelah sejahtera warga akan meresapi nilai-nilai kebudayaan, kesenian, lingkungan sehingga akan memunculkan kebahagiaan,” ucap Ahmad.

Sementara itu, Prof Muhammad Ali juga menilai indeks kota islami nantinya bisa digunakan oleh masyarakat luas, karena indeks-indeks ini berdasarkan nilai-nilai islami yang bersifat universal.

“Indeks Kota islami ini memiliki kesamaan dengan nilai-nilai universal bisa dipakai untuk kota yang secara agama bukan mayoritas muslim, katakanlah misal Papua atau Bali. Mereka bisa menggunakan indeks ini karena nilai-nilainya universal,” ujar Ali.

Peneliti LIPI, Siti Zuhro mengapresiasi langkah Maarif Institute dalam penyusunan IKI. Namun, ia mengingatkan tim riset agar berhati-hati dalam penyusunan indeks tersebut. Tim riset harus menentukan indikator-indikator yang jelas dalam melakukan pengukuran.

Kemudian, Siti menambahkan tim riset perlu membawa indeks kota islami ini dalam kerangka berpikir sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia secara keseluruhan yang penuh dengan keberagaman. Hal ini untuk menghindari potensi ketimpangan yang muncul antar berbagai macam pihak.

“93 kota ini harus dijelaskan apakah provinsi, kabupaten atau kota, harus jelas. Harus ada argumentasi dan rasionalisasi mengapa 93 kota tersebut bisa menjadi representasi. Hal ini untuk menghindari kesewenang-wenangan,” ucap Siti.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

14 + nineteen =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.