iBerita.com – Rangkaian demi rangkaian Muktamar Muhammadiyah ke-47 di kota Makassar, Sulawesi Selatan terus berlangsung. Salah satu agenda menarik dalam rangkaian forum musyawarah tertinggi ormas Islam terbesar kedua di Indonesia itu adalah peluncuran buku Fikih Kebhinekaan oleh Maarif Institute. Fikih Kebhinekaan tersebut berisi berbagai pandangan mengenai sikap umat Islam terhadap perbedaan. Salah satunya membahas mengenai pandangan Islam terhadap pemimpin non-muslim. Direktur Eksekutif Maarif Institute, Fajar Riza Ul Haq menyampaikan pentingnya Fikih Kebhinekaan sebagai pedoman bagi hubungan sosial kemasyarakatan.
Menurutnya, peristiwa di Tolikara telah menyadarkan umat Islam pentingnya merumuskan pedoman hubungan sosial kemasyarakatan yang majemuk seperti Indonesia. Semua umat beragama mesti memahami realitas kemasyarakatan dan bisa bersikap arif. Lebih lanjut ia menekankan bahwa toleransi tulus haruslah bersifat dua arah, ada hubungan positif saling memberikan rasa aman bagi masing-masing pihak. Hal itu seperti keterangan tertulisnya yang dilansir dari CNN Indonesia Rabu (5/8/2015).
Dalam Fiqih Kebhinekaan, kesetaraan hak tidak dibatasi oleh perbedaan identitas dan latarbelakang (gender, strata sosial, keagamaan dan etnis). Hal tersebut dicontohkan ketika Halija Marding di Minahasa, seorang minoritas Muslim yang menjadi kepala desa di daerah yang mayoritas non-Muslim. Begitu pun sebaliknya, ada fenomena Lurah Susan di Jakarta.
Fajar mengatakan Fikih Kebhinekaan ditujukan untuk mencapai kemaslahatan umum dan sesuai dengan visi dari Muhammadiyah. Selain itu juga bertujuan untuk mendorong hubungan sosial yang harmonis, menghilangkan diskriminasi, memperkuat demokratisasi dan memberikan landasan normatif- religius bagi negara dalam memenuhi hak-hak masyarakat secara berkeadilan.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!