REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Dengan melupakan kekacauan teknis, manipulasi suara, dan kekerasan di beberapa tempat, pemilu legislatif (pileg) pada 9 April 2014 relatif berjalan aman, sekalipun jumlah mereka yang tidak menggunakan hak konstitusinya masih terbilang tinggi. Karena peminat untuk bertarung di panggung politik berjumlah ribuan, sementara daya tampung ruang perwakilan terbatas, maka mereka yang gagal bisa jadi stres, miskin, rusak ingatan, atau meminta kembali setoran uang atau materi yang dipakai sebagai umpan agar dipilih rakyat. Politik uang, janji palsu, atau pemberian bersyarat sebenarnya adalah di antara cacat demokrasi yang harus dihalau jauh-jauh pada pemilu-pemilu yang akan datang. Proses demokrasi Indonesia harus semakin beradab sejalan dengan capaian pendidikan nasional dalam upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Secara teknis, memang tidak mudah melaksanakan pemilu di negeri yang terdiri dari sekitar 13.466 pulau ini, sekalipun yang berpenghuni kurang dari separuhnya. Kawasan-kawasan terpencil yang sulit dijangkau oleh sarana transportasi modern adalah di antara kendala yang cukup berat untuk ditanggulangi. Tetapi kita patut bersyukur sebab sekitar 75% rakyat yang memenuhi syarat telah memberikan suaranya di TPS-TPS yang telah disiapkan. Saya bersama keluarga telah turut antre di sekitar TPS sebelum jam buka. Perkara hati yang belum mantap dengan calon yang dipilih adalah persoalan lain yang harus dijalani dengan sabar. Demokrasi bukanlah sistem politik yang terbaik dan ideal, tetapi tingkat peradaban umat manusia sejauh ini belum menemukan cara atau metode yang lebih unggul dalam upaya menghargai posisi manusia yang setara di depan sejarah, selain demokrasi.
Adapun mereka yang skeptik dan apatis karena sistem demokrasi belum mengubah kondisi hidup mereka yang tetap miskin dan terlantar, sehingga tidak mau menggunakan hak pilihnya, harus dihormati. Sebab siapa tahu pada masa-masa yang akan datang seiring dengan perbaikan keadaan sosial ekonomi rakyat kecil, mereka akan bergairah mendatangi TPS untuk memberikan suaranya sebagai warga negara yang semakin terdidik dan faham akan pentingnya fungsi pemilu bagi kemajuan demokrasi.
Nah, sekarang, apa, sesudah pileg tahun 2014 ini? Petinggi parpol (partai politik) sedang sibuk-sibuknya mengatur strategi menjelang pilpres 9 Juli tahun ini. Tentu tidak mustahil melalui praktik “dagang sapi” yang tidak asing di Indonesia selama ini. PDI-P dan Golkar yang sebelumnya begitu berharap-harap cemas akan menduang suara di atas 20%, ternyata berdasarkan angka hitungan cepat harus menerima kenyataan. Keputusan para pemilih demikian berkuasa, bujukan uang dan janji tidak banyak menolong. Parpol yang biasa disebut sebagai Parpol Islam yang telah dikuyo-kuyo selama beberapa bulan terakhir sebagai partai yang semakin terpuruk minus peminat oleh berbagai lembaga survei yang belum tentu jujur dan bahkan mungkin partisan, boleh sedikit bernafas lega.
Kecuali PBB yang masih terengah-engah, PKB, PAN, PKS, PPP sekalipun masih belum meraih suara dua digit, posisi mereka menjadi strategis untuk dipinang oleh partai-partai di atas dua digit untuk diajak berkoalisi. Sebagaimana pernah saya tulis di kolom ini beberapa waktu yang lalu, kekurangan parpol Islam terletak pada kenyataan tiadanya tokoh sentral sebagai negarawan yang mampu mempersatukan mereka. Dalam kultur politik kontemporer, boleh jadi semua rahim parpol Islam ini belum mampu melahirkan para negarawan visioner untuk memimpin negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim ini. Tetapi dari sisi moral politik, mohon dicermati, apakah masih ada perbedaan antara parpol dengan label Islam dan partai-partai di luarnya yang juga sebagian besar anggotanya beragama Islam?
Fakta ini tentu akan menyulitkan mereka untuk menawarkan calon presiden alternatif dalam pilpres yang akan datang, padahal punya suara gabungan di atas 30%, lebih dari dari cukup sebagai persyaratan pencalonan presiden/wakil presiden. Kecuali mereka punya jiwa besar dengan kemampuan mengendalikan ego dan kepentingan partainya masing-masing dengan jalan menampilkan calon presiden alternatif dengan tingkat keperpilihan yang tinggi, sekalipun berasal dari luar partai mereka, maka suasana pilpres akan semakin hangat dan menggairahkan. Tetapi siapa yang sudah siap untuk berfikir dan bergerak ke arah itu?
Akhirnya, untuk semua politisi yang mencintai negeri ini dengan tulus, mohon belajar menjadi negarawan sejati. Rakyat banyak yang sudah lelah sekian lama sedang menanti kedatangan anda semua untuk memulihkan kembali kedaulatan dan harga diri bangsa dan negara yang kurang terurus selama ini. Viva Indonesia yang adil, berdaulat, dan bermartabat!
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!