REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Menyaksikan bencana demi bencana dahsyat yang menimpa negeri ini, hati saya berdoa lirih. “Ya Allah, semoga Indonesia tercinta bisa bertahan lama. Teramat berat derita yang harus ditanggung rakyat akibat banjir, tanah longsor, ledakan Gunung Sinabung yang belum juga reda setelah empat bulan berlangsung.”

Di samping alam yang sedang marah, sumbangan manusia tunamoral terhadap kerusakan lingkungan juga tidak sedikit. Sekitar 50 persen lingkungan alam Indonesia sudah semakin parah dari waktu ke waktu. Negara seperti tidak berdaya menahan proses kerusakan ini.

Kerakusan terhadap benda adalah pemicu utamanya. Hari depan negeri ini dalam taruhan. Siapa yang bisa menyelamatkan? Jawabnya, mereka yang bebas dari virus tunamoral dan tunatanggung jawab.

Saya sudah lama dengar, lingkungan alam di Manado sudah demikian parah. Manado yang selama ini dikenal sebagai kota aman dan damai bagi semua pemeluk agama dan aliran, toleransi mereka yang tinggi, hubungan bertetangga yang baik, kini dihantam banjir bandang yang sangat mengerikan. Rakyatnya menjerit mohon bantuan yang tidak selalu datang pada waktunya. Politik transaksional yang kini sedang mewabah di seluruh nusantara yang elok ini hanyalah melengkapi beban berat yang harus dipikul oleh bahu bangsa ini. Sekali lagi, “Ya Allah, semoga Indonesia tercinta bisa bertahan lama.”

Semakin lanjut usia ini, kecintaan kepada Indonesia yang dirusak oleh anak-anaknya semakin dalam terasa. Namun, tidak banyak yang bisa diperbuat selain bersuara dan bersuara sekalipun tidak banyak telinga yang mau mendengar. Terbayanglah wajah HOS Tjokroaminoto, wajah Sukarno, wajah Hatta, wajah Tan Malaka, wajah Wilopo, wajah IJ Kasimo, wajah Agus Salim, wajah Sjahrir, wajah Ki Hadjar Dewantara, wajah Soekiman, wajah Natsir, wajah AA Maramis, wajah Sjafruddin Prawiranegara, wajah Roem, wajah Soedirman, dan sederetan wajah para pejuang yang lain. Bagaimanalah perasaan mereka menyaksikan Indonesia yang semakin tak terurus ini. Kemerdekaan bangsa telah disalahgunakan untuk meraih tujuan-tujuan yang rendah, tunamartabat.

Orang cerdas otak cukup banyak, orang cerdas hati semakin defisit. Dunia pendidikan telah gagal melahirkan manusia berkarakter kuat. Demokrasi di tangan mereka yang tidak bertanggung jawab dan kotor hanyalah akan memperpanjang derita rakyat banyak. Sulit sekali menemukan orang jujur sekarang ini, sementara si pembohong berkeliaran di mana-mana atas nama rakyat, dan bahkan atas nama Tuhan.

Demikian teganya orang mencatut nama Tuhan, padahal kelakuannya jorok. Juga, begitu ringannya sebagian orang berlaku culas di atas derita pihak lain. Mengapa hidup yang sekali ini tidak diisi dengan perbuatan baik dan terhormat? Bukankah kedatangan banjir bandang ini semestinya mampu mengetuk nurani kita untuk bertobat dari dosa dan dusta?

Kemerdekaan bangsa bertujuan sangat mulia, tetapi dalam perjalanan mengapa sering dikhianati? Politikus rabun ayam tidak berkurang jumlahnya, sedangkan para negarawan yang mampu melihat jauh ke depan belum banyak muncul. Bangsa merdeka amat memerlukan kehadiran mereka. Tanpa para negarawan ini, demokrasi Indonesia akan tetap compang-camping, benjol. Pihak asing telah memanfaatkan kerapuhan moral politikus, pejabat, dan aparat ini untuk menangguk di air keruh, demi keuntungan materi yang menggunung.

Selain banjir air yang tengah mengepung Indonesia, banjir korupsi yang memiskinkan rakyat banyak juga belum mereda. Birokrat, politikus, pejabat agama, aparat penegak hukum, sudah lama bergelimang dalam perbuatan nista dan kumuh itu. Sebagian mereka telah berkali-kali menunaikan ibadah haji, tetapi tanpa ada korelasi positif dengan kelakuan harian mereka.

Angka indeks korupsi tak perlu lagi diulang di sini, sudah sering dipampangkan dalam media massa. Berjibun kelakuan hitam itu tertulis di sana. Semoga KPK akan tetap memiliki stamina spiritual dan keberanian yang prima untuk mencari dan menangkap para koruptor ini, tetapi jangan sampai tebang pilih. Tegaknya hukum dan keadilan harus dijadikan pedoman pertama dan utama KPK tanpa pandang bulu.

Akhirnya, rintihan untuk ketiga kalinya perlu diulang lagi. “Ya Allah, semoga Indonesia tercinta bisa bertahan lama.”

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

14 − four =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.