Amin Abdullah mengatakan bahwa mengkaitkan humanisme dengan Islam adalah sesuatu yang menarik. Karena hal tersebut tidak mudah. Misalnya saja Muhammad Iqbal yang tidak bisa menyelesaikan konflik kemunculan Pakistan di India. Hal tersebut tidak selesai hingga sekarang.
Guru Besar Filsafat di UIN Sunan Kalijaga ini bahkan memiliki asumsi bahwa humanisme Islam adalah mission impossible. Menurut Amin, Buya Syafii lah yang mampu mengubah humanisme Islam menjadi mission possible. Islam sebagai identitas harus berdialog dengan nilai-nilai humanisme secara keras.
Hal ini ia katakan dalam kegiatan Serial Diskusi Pemikiran Buya Syafii Maarif yang diadakan pada Rabu (3/6). Diskusi yang diadakan oleh Maarif Institute ini mengambil tema “Humanisme Islam dalam Pemikiran Ahmad Syafii Maarif”.
“Buya adalah navigator, tetapi ada pengaruh dari Fazlur Rahman. Kemudian pergaulan beliau dalam memimpin Muhammadiyah mewarnai pemikiran beliau tentang humanisme Islam”, tegasnya.
Faktor Penguat Humanisme Islam
Ada beberapa faktor yang membuat humanisme Islam menjadi mungkin. Pertama, pendidikan. Amin mencontohkan ketika Buya bertemu dengan Fazlurrahman dan membaca buku The Major Theme of Quran. Setelah itu Buya mengalami transformasi yang luar biasa menjadi seorang yang sangat humanis. Disinilah pentingnya referensi yang beragam bagi seorang muslim.
Kedua, konteks. Saya kira konteks Buya berbeda sama sekali dengan pengalaman-pengalaman negara muslim yang lain. Indonesia memiliki modal sosial tentang kebhinekaan yang kuat. Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan Sidang Konstituante turut mewarnai pemikiran Buya”, ujarnya.
Ketiga, Amin menyebut bahwa Buya tidak terjun ke politik praktis. Sekalipun Buya tidak buta politik. Buya selalu menolak ketika ditawari jabatan-jabatan politik tertentu. Amin mencoba membandingkan Buya dengan Amien Rais, Gus Dur, dan Cak Nur. Dalam hal ini Cak Nur dan Buya masih cukup objektif dalam memahami humanisme Islam karena masih terbebas dari tendensi politik tertentu.
Amin memberikan contoh pemikir humanis dari Maroko dan Mauritania. Mereka mengambil inspirasi humanisme bukan dari modal sosial atau modal kultural, tetapi dari Alquran. Menurut Thaha Abdurrahman dari Maroko, humanisme diartikan sebagai spirit agama Islam yang diambilkan dari asmau al-husna. Sedangkan Abdullah bin Bayah dari Mauritania menggunakan pendekatan fiqh siyasah. Insaniyyatul insan (memanusiakan manusia) dilihat dari perspektif akhlak dan maqasid asy-syariah. Sedangkan Buya lebih menjiwai sisi keindonesiaan.
Ceklis Humanisme Islam
Amin kemudian menyebutkan ceklis humanisme Islam. Pertama, at-tasamuh (toleransi). Di Indonesia harus ada toleransi. Konflik-konflik antar suku sudah relatif menurun. Kedua, al-amn (keamanan, perdamaian). Al-amn qobla al-iman (perdamaian sebelum keimanan), bukan al-iman qobla al-amn (keimanan sebelum perdamaian). Akan tetapi orang puritan akan mengatakan al-iman qobla al-amn.
Menurut Filsuf UIN Sunan Kalijaga ini, yang ketiga adalah huquq al-insan (hak asasi manusia). Bagaimana Buya dengan gagah berani membela Ahok sehingga dirundung dimana-mana. Keempat, tentang ekstrimisme dan terorisme. Kelima, minoritas. Pandangan untuk minoritas tidak segregatif, tetapi mengayomi dan melindungi.
Amin melanjutkan bahwa toleransi tidak hanya terhadap umat beragama lain. Tetapi juga harus toleran terhadap kelompok Islam yang lain. Disitu keberislaman masyarakat diuji. Sehingga, setelah tahun 1998 mulai muncul gerakan-gerakan yang sangat beragam. Masyarakat harus bersahabat dalam arti konstruktif, dan menghilangkan sifat sumbu pendek.
Ia menceritakan bahwa guru Buya, Fazlurrahman pernah memiliki jabatan di Pakistan. Namun justru di usir dari Pakistan ketika mengajukan ide-ide yang progresif. Sehingga akhirnya hijrah ke Amerika. Fazlurrahman hidup di lingkungan sunni. Adapun di lingkungan syiah, hal yang sama juga terjadi. Misalnya pada Abdul Karim Soroush yang kemudian pergi dan mengajar di Amerika.
Kabar baiknya, menurut Amin, di Indonesia tidak ada kasus seperti itu. Setajam apapun Buya, tidak ada yang mengusirnya dari Jogja, Jakarta, atau tempat lainnya. Sehingga, menurut Buya, politisi harus menjadi negarawan agar tidak mudah menolak intelektual-intelektual yang kritis terhadap negara. Bukan berarti intelektual harus menjauhi dunia politik. Tetapi dunia perpolitikan harus juga berbenah secara terus-menerus.
“Orang-orang yang memiliki keilmuan dan pembelaan terhadap ideologi yang diyakini, harus memiliki sikap yang tangguh. Dan Buya berhasil menjadi salah satunya. Populisme Islam, media sosial, dan 212 merupakan fenomena yang harus disikapi dengan sabar dan baik”, tutupnya.
Sumber: kalimahsawa.id
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!