KBR, Jakarta – Sebanyak 3 kota yang menerapkan perda syariah yakni Tangerang, Padang, dan Padang Panjang dinilai justru gagal menerapkan nilai Islam ke program pembangunannya. Dalam penelitiannya, lembaga Maarif Institute menemukan perda syariah tidak menjamin kualitas pembangunan suatu kota. Ketiga kota itu berada di urutan terbawah dari 29 kota yang diteliti dalam Indeks Kota Islami.
Akademisi Yudi Latief mengatakan perda syariah justru sering digunakan sebagai tameng oleh pemerintah daerah untuk menutupi kegagalan mereka.
“Baik itu yang komunitasnya Islam maupun non Islam ternyata berdasarkan ukuran objektif dari sisi keamanan, kesejahteraan, tidak terpenuhi klaim itu. Banyak kota yang selama ini sering klaim sebagai kota agamis seperti Banda Aceh, Tanggerang, Tasikmalaya,” ujar Yudi, Selasa (17/5/2016).
Tangerang membatasi jam malam bagi perempuan hingga jam 22.00. Hal yang sama juga dilakukan oleh Aceh. Di samping itu, menurut perwakilan dari Maarif Institute, Ahmad Imam Mujadid Rais, ada setidaknya 151 perda syariah lainnya di seluruh Indonesia.
Maarif Institute melihat pasca otonomi daerah tahun 2001, ada tren pemerintah daerah mengeluarkan perda syariah. Ia menyayangkan pemerintah justru fokus memproduksi peraturan berbasis agama.
“Sejak perkembangan otonomi daerah banyak kota fokus membangun perda berdasarkan agama. Pertanyaan kita, kenapa jadi seperti ini? Bukankah daerah harus menekankan aspek pada pembangunan?”
Penelitian ini dilakukan dengan melihat kebijakan pemerintah daerah di 29 kota di Indonesia. 6 kota menerapkan perda Syariah, yaitu Banda Aceh, Padang, Padang Panjang, Tangerang, Tasikmalaya, dan Mataram. Sisanya adalah ibu kota provinsi dan beberapa kota lain
Tim peneliti menggunakan tiga faktor penentu sebuah kota layak disebut kota Islami, yaitu keamanan, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Berdasarkan 3 faktor tersebut, Yogyakarta, Bandung, dan Denpasar dinobatkan sebagai 3 kota paling Islami dengan skor 80,64. Ironisnya, keenam kota yang menerapkan perda syariah justru gagal masuk 10 peringkat teratas. Denpasar yang mayoritasnya beragama Hindu justru bertengger di peringkat 3.
Meski begitu, Yudi mengkritisi penelitian ini masih kurang di beberapa aspek. Pertama, data yang digunakan hanya data sekunder. Tim peneliti tidak mendalami bagaimana perspektif masyarakat terhadap pelayanan pemerintah daerahnya. Selain itu, data yang digunakan sebagai dasar penelitian juga masih berdasarkan data 2014. Ini menjadikan aktualitas hasilnya dipertanyakan.
Berikut urutan Indeks Kota Islami versi Maarif Institute.
1. Yogyakarta – 80.64
2. Bandung – 80.64
3. Denpasar – 80.64
4. Bengkulu – 78.40
5. Pontianak – 78.14
6. Serang – 77.82
7. Metro – 77.50
8. Semarang – 75.58
9. Palembang – 74.36
10. Malang – 73.72
11. Ambon – 73.53
12. Surakarta – 72.66
13. Salatiga – 71.22
14. Mataram – 70.71
15. Manado – 70.10
16. Batam – 69.94
17. Surabaya – 69.74
18. Tasikmalaya – 69.65
19. Banda Aceh – 69.62
20. Jayapura – 68.53
21. Banjarmasin – 66.79
22. Palu – 66.15
23. Pangkalpinang – 65.71
24. Jambi – 63.91
25. Tangerang – 61.99
26. Padang Panjang – 61.67
27. Kupang – 59. 39
28. Padang – 58.37
29. Makassar 51.28
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!