Seperti biasa, tiap Selasa jam 23.15 terdengar suara seseorang sedang menggoreng dari kompleks rumah yang beradu dapur. Itulah Shanti, istri seorang koki restaurant hotel berbintang di daerah Sudirman-Thamrin. Ia akan memasak kala suaminya tiba di rumah. Saya pernah bertanya, apakah suaminya pernah memasak di rumah. Shanti menjawab ‘nggak pernah bu, masak kodrat istri kan’.
Kisah Shanti bisa jadi mewakili para perempuan di kompleks saya, atau bahkan jutaan perempuan seluruh dunia, bahwa memasak dianggap ‘kodrat’ istri/perempuan. Kodrat, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti sesuatu yang tidak bisa ditentang manusia, karena pemberian Tuhan.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menjelaskan kodrat, dibawa manusia sejak lahir, tidak bisa diubah, dan melekat pada jiwa seseorang. Misalnya warna kulit, bentuk mata, jenis kelamin, serta warna atau bentuk rambut.
Selain itu, kewarganegaran juga dianggap kodrat. Karena seseorang tidak bisa memilih atau memesan pada Tuhan dilahirkan sebagai warga Asia, Arab, Afrika, Australia, atau Amerika. Galibnya, memasak, mengasuh anak, melayani seluruh anggota keluarga, termasuk melayani kebutuhan biologis suami dianggap kodrat perempuan/istri.
Berambut panjang, tegas, penyayang, lembut, baik hati, emosional, dan sifat-sifat lainnya juga dikategorikan kodrat. Sehingga kodrat bukan hanya mengalami perluasan makna tetapi juga kesalahan signifikan.
Perempuan dan Lelaki Memasak
Menghabiskan waktu lebih kurang tiga jam di dapur untuk menyajikan tiga atau empat menu hidangan, seorang istri/ibu akan menerima upah nol rupiah. Bandingkan bila di restaurant atau hotel berbintang, seorang koki laki-laki bisa mendapatkan upah sekurang-kurangnya dua juta atau lebih untuk waktu yang sama. Mengapa ada jurang upah yang besar, bila makanan yang dimasak sama dan waktu yang dihabiskan juga sama?
Mengapa ada penghargaan yang berbeda antara perempuan di dapur rumah tangga dengan laki-laki di dapur restaurant? Sekalipun perempuan diberi peran memasak di dapur, Ironinya, industri restoran atau perhotelan relatif tertutup bagi koki perempuan.
Madame Brassart berkata ‘There is one other class but you will not like it. It’s for professional which you will never be, I’m sure. All men,’ pada Julia Child (pakar kuliner legendaris Amerika Serikat), dalam sebuah film adaptasi kisah nyata tentang seorang koki berjudul ‘Julie & Julia’ (2009).
Apa yang diungkapkan Brassart bahwa koki dapur hanya laki-laki adalah stereotype koki hanya domain laki-laki dan sangat menguntungkan laki-laki. Ia akan mendapatkan akses, pelatihan, dan keuntungan finansial (David Knoke dan Yoshito Ishio, The Gender Gap in Company Job Training, 1998).
Di sisi lain, situasi ini sangat merugikan perempuan. Harus diakui, koki perempuan mengalami tantangan yang jauh lebih berat daripada koki laki-laki. Terkonfirmasi pula melalui ‘A Fine Line’, film dokumentar penyabet banyak penghargaan tahun 2018, mengisahkan kehidupan koki perempuan yang rentan menghadapi diskriminasi, mengagungkan maskulinitas, dan pelecehan seksual/kekerasan seksual.
Minimnya penghargaan dan dukungan pada koki perempuan juga nampak dalam liputan Time Magazine’s (Nomor 18, 2013), ketika membahas ‘The Gods of Foods’ hanya menampilkan tiga koki laki-laki dalam sampul depannya dan tidak satupun melibatkan koki perempuan dalam liputannya. Time Magazine’s berkontribusi menghapuskan sejarah koki perempuan di dunia.
Padahal, di belahan dunia lainnya, kisah perempuan yang menjadi koki dan menemukan ragam obat-obatan melalui makanan sudah ada. Mereka adalah para perempuan koki istana, yang mengabdi pada Dinasti Joseon di Korea tahun 1392-1897.
Meruntuhkan Stereotype
Jumlah koki perempuan di sebuah negara, rata-rata dua hingga tujuh persen saja. Tak mengherankan, hasil sejumlah penelitian yang mengurai tentang koki menarasikan, pertama, ada anggapan perempuan lebih sensitive secara emosional sehingga tidak mampu menghadapi tekanan tinggi di dapur, apalagi bila tamu (restaurant) sedang ramai atau pesanan beragam. Kedua, asumsi jam kerja yang panjang, minimal 10 jam sehari.
Ketiga, di dapur harus memiliki tenaga kuat, harus bisa mengangkat panci berisi air penuh, angkat gas, atau wajan besar. Keempat, di dapur harus disiplin, penuh loyalitas, tepat waktu, berdedikasi, bahkan terkadang berbudaya militer.
Di sisi lain, koki perempuan diimajinasikan selain harus mampu memenuhi empat kreteria di atas, yang tidak hanya pandai memasak, ahli di dapur, tetapi juga harus cantik, bertubuh seksi, dan menarik. Tenaga kuat, siap bekerja di bawah tekanan, pintar memasak, cantik, seksi, ataupun stereotype lainnya adalah bias gender yang berpunggungan, dilekatkan pada koki perempuan. Kondisi ini mencerminkan beban ganda yang harus dipikul koki perempuan.
Koki laki-laki tidak dituntut ganteng atau bertubuh atletis/sixpack. Itu yang disebutkan Mansour Fakih dalam ‘Analisa Gender dan Transformasi Sosial’ sebagai diskriminasi. Salah satu bentuk ketidakadilan gender yang dialami perempuan dan menyebabkan terhalanginya perempuan mendapatkan pekerjaan ataupun upah yang sama untuk tanggung jawab dan pekerjaan yang sama dengan laki-laki, sebagai koki. Ganteng, cantik, cerdas, rajin, teliti, kuat, tahan banting, lemah lembut, didefinikan Kamla Bhasin dalam ‘Understanding Gender’, sebagai gender atau peran sosial.
Sejatinya semua hal itu bisa dilakukan oleh laki-laki ataupun perempuan, tergantung kebiasaan dan latihan. Seorang atlit perempuan angkat besi, jauh lebih kuat daripada koki laki-laki yang mengangkat panci berisi air.
Penulis: Yulianti Muthmainnah
Artikel ini kersana MAARIF Institute dan Ibtimes
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!