Pada salah satu pertemuan mata kuliah Teori Kota di salah satu perguruan tinggi Islam yang penulis ajar, mahasiswa-mahasiswa berdiskusi tentang perencanaan kota islami. Subjek kota islami masuk sebagai salah satu topik dalam silabus mata kuliah, dan bukan hal yang baru dalam kajian ‘urban planning and design’. Beberapa artikel internasional pernah mengulas tentang  tema ini, seperti Idrus. M.T. dalam  Between Western Values and Islamic Ideals in Town Planning, Challenges of transformation built env. in Islamic countries., Mortada H dalam Traditional Islamic Priciples of Built Environment, dan yang terbaru lainnya.

Namun, wacana mengenai subjek kota islami memang belum begitu berkembang dan belum memasyarakat dengan baik.

Mahasiswa-mahasiswa pun dominan berdiskusi hanya berputar pada persoalan perencanaan fisik perkotaan. Misalnya, bangunan fisik masjid sebagai pusat gravitasi kota. Barangkali karena mereka  dari Fakultas Teknik sehingga pembahasan hanya menyinggung tentang aspek fisik. Namun, tidak salah sepenuhnya.

Penulis teringat juga pada debat pemilihan calon walikota Makassar tahun 2009 yang disiarkan langsung oleh salah satu TV swasta. Seorang calon walikota berkata bahwa ingin menjadikan Kota Makassar sebagai kota yang islami, seperti Makkah, dan bukan kota maksiat seperti kota-kota Amerika.

Pernyataan calon walikota itu menarik, sekaligus menumbuhkan banyak pertanyaan yang cukup serius secara akademik. Apa itu kota yang islami? Apa betul kota-kota Amerika itu buruk dan layak jadi objek percontohan sebagai kota yang perlu dihindari?

Tahun lalu Maarif Institute mengekspos tentang Indeks Kota Islami (IKI). Gagasan ini cukup brilian untuk memberi pengantar kepada pemahaman mengenai kota islami. Indikator yang digunakan yaitu Aman (meliputi kebebasan menjalankan agama/ keyakinan dan pemenuhan hak dasar negara), Sejahtera (meliputi pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan kesehatan), serta Bahagia (meliputi kenyamanan, dimensi kolektif, dan kepedulian lingkungan) (Republika Online, 30/8/15).

Kajian mengenai kota islami sejauh ini memang tidak banyak disentuh oleh ulama fikih. Dyayadi (2008) dalam buku “Tata Kota Menurut Islam” menyebutnya sebagai Fikih Perkotaan, yaitu ilmu tentang pengaturan kepentingan manusia yang bermukim di kota berupa hukum, peraturan, dan kebijaksanaan yang bernapaskan ajaran Islam. Hanya saja Dyayadi dalam bukunya pun tidak memberi penjelasan mendalam mengenai solusi Islam dalam penataan kota. Jawaban-jawaban yang diberikan masih bersifat universal.

IKI Maarif Institut juga sebenarnya menggunakan indikator-indikator yang universal.  Maka tidak heran jika muncul pertanyaan menggelitik, kalau memang IKI memiliki kesamaan nilai universal, kenapa harus dikatakan kota islami? Bukankah indeks  penilaian kota sudah cukup banyak dikembangkan dan sejalan dengan prinsip IKI sebagaimana yang dimaksud Maarif Institut? Apa yang berbeda?

Hemat penulis, bagaimana pun juga perlu ada pembedaan, misal secara teknis desain suatu kota.

Dalam sejarah perkembangan kota, seperti di Indonesia, terdapat perbedaan cukup signifikan ketika agama Islam mulai meluas. Ajaran-ajaran Islam tercermin melalui desain penataan kota. Sebagai misal, setelah Islam masuk, susunan ruang perkotaan lebih menegaskan batas-batas publik dan privat, serta penyatuan ruang ekonomi, politik, dan agama yang sebelumnya terpisah-pisah (Markus Zahnd, 2008). Peranan masjid tentu juga sangat signifikan.

Oleh sebab itu, seberapa pun demokratis dan sejahteranya suatu kota, misal sebut saja Macau, tidak serta merta bisa dikatakan sebagai kota yang paling islami. Napas islami pada aspek lain mungkin besar, tetapi pada aspek desain kota tentu tidak.

Terlepas dari semua itu, yang mendesak untuk dikembangkan lebih lanjut ialah Fikih Perkotaan sebagaimana disebut tadi, dengan lebih mendalam. Ajaran-ajaran Islam diharapkan bisa memberi jawaban terhadap persoalan-persoalan menyangkut hajat hidup di perkotaan. Salah satu misal, bagaimana status kepemilikan tanah yang ideal dalam Islam? Apakah perlu warga negara punya hak milik atas tanah? Bagaimana penerapan hadist riwayat Al-Bukhari, “Siapa yang membuka tanah yang tidak berpunya, dialah yang lebih berhak memilikinya”?  Atau cukupkah negara saja yang memiliki tanah dan warga hanya memanfaatkan?

Pertanyaan-pertanyaan lainnya yaitu sejauh mana batasan kepemilikan sumber daya air? Batasan penebangan pohon dan pembukaan hutan? Dengan mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, ajaran-ajaran Islam dirasa lebih membumi.

Fitrawan Umar

Pemerhati lingkungan dan perkotaan

sumber : http://berkota.co/2016/03/15/menimbang-kembali-indeks-kota-islami/

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

seventeen − one =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.