Belum lekang dari ingatan kasus pembakaran masjid di Tolikara, Papua, kini masyarakat kembali disuguhi aksi perusakan rumah ibadah.
Pembakaran gereja Huria Kristen Indonesia (HKI), Selasa (12/10) di Desa Dangguran, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Singkil, Aceh, menunjukkan betapa kebhinekaan belum menjadi ruh bangsa. Kebhinekaan masih belum menyatuh dalam deru langkah kebangsaan. Bangsa ini masih suka saling cakar dan saling mengenyahkan.
Padahal, mengutip pernyataan Ahmad Syafii Maarif, kebhinekaan dan toleransi adalah modal besar bangsa ini yang selama ini tertutupi dan sengaja dipinggirkan oleh kepentingan-kepentingan elite yang hanya mengejar kekuasaan. Kebhinekaan pada dasarnya bisa menjadi kekuataan untuk menghadapi berbagai krisis dan persoalan yang mengancam persatuan bangsa.
Namun, potret keberagamaan dan kebhinekaan Republik masih sangat rapuh. Intoleransi masih cukup tinggi di Republik ini. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM sepanjang Juli-September menerima 17 pengaduan terkait hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Pengaduan itu meliputi pelanggaran hak mendirikan rumah ibadah, pelanggaran hak kebebasan beribadah atau menjalankan aktivitas keagamaan, pelanggaran hak bebas dari tindakan diskriminatif, pelanggaran atas hak berserikat, serta pelanggaran atas hak menyatakan pendapat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa kebhinekaan masih belum tersemai dengan baik di Nusantara?
Transfomatif Humanis
Meminjam istilah Mukti Ali, harmoni keberagamaan selayaknya terbangun atas dasar agree in disagreement (sepakat dalam perbedaan). Umat selayaknya bertegur sapa dengan penuh ketulusan dan kedamaian. Mereka bersama menyatakan diri berbeda. Namun, perbedaan itu bukan alasan untuk berkonflik.
Perbedaan menjadikan mereka semakin dekat dan mengagumi kekuasaan Tuhan. Tuhan menciptakan perbedaan guna semakin mendekatkan manusia kepada keagungan-Nya. Sekiranya Tuhan mau menyatukan perbedaan, itu bukanlah perkara sulit. Namun, inilah ujian bagi makhluk berakal dan berbudi untuk menjalin harmoni. Saat harmoni tak terwujud— dan malah—mendapat legitimasi dari negara, maka, negara berhak mendapat hukuman. Pasalnya, ia tak mampu menegakkan keadilan.
Padahal, Antony Giddens menyatakan bahwa negara berkewajiban mengeluarkan kebijakan-kebijakan transformatif humanistisnya. Yaitu kebijakan yang mampu mengarahkan kepastian perubahan sosial, membangun kesejahteraan dan keadilan sosial (Novri Susan, 2012). Negara—dalam hal ini aparatur— mempunyai tanggungjawab moral dan hukum untuk menegakkan aturan demi terwujudkan keadilan sosial dan peradaban bangsa.
Pasalnya, saat aparat negara tak mampu melakukan hal tersebut, ia akan terperosok dalam “permainan” the black hand (kekuatan jahat) yang menghancurkan kebangsaan. Negara akan menjadi alat legitimasi untuk meruntuhkan sendi bangsa yaitu agama. Konflik yang dipicu oleh sentiment agama lebih berbahaya dibandingkan dengan isu lain. Agama dapat menjadi pembenar seseorang untuk menyatakan diri masuk surga dan atau neraka. Melalui pembenaran itu, seseorang dapat melakukan apa saja atas nama panji agama.
Oleh karenanya, saat pemerintah tak mampu mengurai masalah itu dan malah menjadi aktor intoleransi, maka ini adalah lonceng kematian berbangsa dan bernegara. Agama dan negara menjadi pemantik konflik. Konflik yang membunuh kemanusiaan yang dilegitimasi oleh doktrin agama dan produk peraturan perundang- undangan yang sah dan legal.
Fikih Kebhinekaan
Guna mengurangi konflik dan intoleransi, pemerintah selayaknya membangun komunikasi aktif minus kekerasan. Artinya, pemerintah selayaknya menghapus stigma mayoritas dan minoritas. Semua kelompok layak mendapat apresiasi atas pilihan keberagamaanya. Pilihan itu adalah hak, dan pemerintah berkewajiban menjamin hak itu mewujud dalam sebuah komunitas beradab (bonum communae), meminjam istilah Habermas.
Komunitas beradab terbangun atas pengakuan keberadaan antarkelompok. Kelompok lain bukan liyan (laisa minni, bukan golonganku). Kelompok lain adalah saudara yang perlu dijaga martabat, hak, dan kewajibannya. Melalui pandangan itu, surga tak lagi menjadi milik mutlak kelompok tertentu. Melalui pemahaman tersebut perdamaian menjadi mantra abadi.
Perdamaian dalam bingkai kesalehan sosial inilah merupakan prasyarat keberagamaan yang sehat. Keberagamaan yang sehat membutuhkan kontribusi umat dalam membangun harmoni kehidupan menuju peradaban utama. Peradaban utama terbangun atas fitrah manusia sebagai makhluk berakal, yaitu mereka yang senantiasa mau berkomunikasi dan berbesar hati untuk menerima perbedaan.
Inilah yang kemudian oleh Anjar Nugroho SB, perlu dipertimbangkan kehadiran fikih yang mempunyai prinsip untuk menciptakan kemaslahatan manusia. Tujuan fikih ini sangat terkait erat dengan tujuan utama kehidupan umat beragama, yaitu terciptanya kehidupan yang harmonis tanpa diskriminasi dan kezaliman.
Di sinilah pentingnya menghadirkan fikih kebhinekaan, yaitu fikih yang membangun cara berfikir yang memandang keberbedaan sebagai bagian dari sunnatullah. Juga fikih yang berupaya untuk membangun kehidupan yang harmonis antar umat manusia yang berbeda-beda.
Spirit Keindonesiaan
Lebih lanjut, pemerintah perlu bersinergi dengan para tokoh agama dalam membangun dan mengembalikan spirit ke-Indonesia-an. Spirit itu berbangun atas sila-sila Pancasila, UUD 1945, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang tak pernah lepas dari ruh dan esensi agama.
Semua menyatu dalam deru dan derap langkah membangun tatanan masyarakat beradab (masyarakat madani, baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur). Yaitu, dengan menilik kembali keunggulan-keunggulan beragama yang tidak didasarkan pada apologisme, namun, berdasarkan praktik nyata keseharian umat (best practices).
Pada akhirnya, pemerintah dan umat beragama selayaknya terus belajar dari sejarah. Sejarah kelam dan kebrutalan kekerasan atas nama agama (praktik intoleransi) selayaknya tak terjadi lagi. Prinsip Bhinneka Tunggal Ika selayaknya kembali menjadi semangat dalam membangun kebangsaan. Semoga umat dan pemerintah (negara) semakin bijak dan dewasa dalam menjaga keutuhan dan merawat kebhinekaan Republik. Wallahu a’lam.
Benni Setiawan, Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!