Oleh Pdt. Sylvana Apituley

Wakil Presiden World Communion of Reformed Churches

Salam Pancasila.

Pertama-tama, saya menyampaikan terimakasih banyak kepada panitia, sahabat saya mas Rohim, untuk kesempatan istimewa ini. Saya bukan tokoh bangsa dan merasa tidak layak disebut tokoh bangsa. Malam ini saya akan menyampaikan refleksi sebagai perempuan pendeta Protestan yang mengagumi Buya sejak saya aktif dalam gerakan dialog/kerjasama lintas iman/kepercayaan pada tahun 1997.

Bagi saya Buya tokoh yang sangat rendah hati, terbuka dan menghargai orang lain, komunikasi kami sangat intens walau hanya beberapakali saja bertemu dan berkomunikasi. Saya beruntung bisa satu kelompok dengan Buya dan Cak Nur menghadiri General Assembly of World Conference on Religions of Peace di Amman-Jordania, pada tahun 2001. Gus Dur Presiden ke-4 Republik Indonesia juga hadir dalam pertemuan raya WCRP, sebab beliau adalah salah satu pimpinan Lembaga dunia itu.

Tim dari Indonesia dipimpin oleh pak Djohan Effendy dan ibu Amanda Damayanti, terdiri dari sejumlah tokoh dan praktisi berbagai agama dan kepercayaan dari beberapa wilayah Indonesia. Pada tahun 2009 saya menghubungi Buya memohon kesediaan beliau menjadi Komisioner Komnas Perempuan. Namun Buya tidak bersedia dengan alasan lebih baik generasi muda saja.

Tahun 2014 saya meminta Buya memberi endorsement atas buku laporan tentang pelanggaran HAM perempuan Papua yang ditulis oleh tim Gugus Kerja Papua, Komnas Perempuan. Saat itu Buya mengatakan beliau sedang di kampung halaman di Sumatera Barat. Buya bersedia menyampaikan endorsement lisan dulu. Beliau mengatakan bahwa akar masalah pelanggaran HAM di Papua harus ditangani dengan baik, keadilan harus ditegakkan bagi masyarakat asli Papua.

Ada tiga percik pemikiran Buya yang menurut saya perlu direnungkan saat ini. Yaitu: prinsip Anti Korupsi, rasa cinta serta panggilan/tanggungjawab orang beragama untuk memelihara alam/bumi ciptaan Tuhan serta konsep syura. Buya berprinsip bahwa korupsi adalah penyakit sosial yang dapat membunuh peradaban. Karena itu memberantas korupsi adalah jihad bagi pemeluk agama.

Senada dengan pesan Buya yang tegas tentang prinsip anti korupsi ini, pada akhir April 2020 lalu empat lembaga gereja-gereja sedunia bersatu menyatakan pendapatnya di tengah konteks terjadinya Pandemi Covid-19. Dalam pesan pastoral yang berjudul “Panggilan untuk Menghayati dan Mengimplementasikan Ekonomi Kehidupan” Dewan Gereja Dunia, Dewan Misi Dunia, Federasi Gereja-gereja Lutheran Dunia dan Persekutuan Gereja-gereja Reformasi Dunia menyatakan bahwa Krisis karena Pandemi Covid-19 adalah simptom dari sebuah penyakit sistemik dan manusiawi sekaligus.

Krisis dashyat ini disebabkan oleh sistem ekonomi yang opresif dan eksploitatif, pengabaian ekologis, kepentingan politik kelompok sendiri dan warisan kolonialisme. Pemerintahan dan birokrasi yang korup dan tidak efektif akan memperburuk ketidakmampuan pemerintah untuk mendukung dan melindungi kelompok masyarakat yang paling rentan dari dampak Pandemi. Pendirian Buya maupun kesimpulan Lembaga-lembaga dunia ini penting untuk diuji di Indonesia.

Dalam konteks itu agama-agama perlu mengambil tanggungjawabnya, pro aktif bekerjasama dengan pemerintah secara kritis dan konstruktif untuk memastikan bahwa seluruh upaya penanganan Pandemi Covid19 bersih dari korupsi, efektif dan menjangkau semua orang yang rentan, tanpa terkecuali (no one left behind). Baik itu penanganan di bidang kesehatan, jaminan dan perlindungan sosial maupun pemulihan ekonomi.

Kategorisasi yang konservatif tentang penerima manfaat pembangunan, termasuk penerima manfaat program khusus penanganan dampak Pandemi Covid-19 berpotensi pengabaian bagi kelompok masyarakat. Terutama bagi mereka yang karena kondisi sosialnya terpinggirkan, terstigma dan dikucilkan, baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah.

Misalnya: perempuan kepala keluarga/rumah tangga miskin/sangat miskin (band. prinsip laki-laki sebagai kepala keluarga); waria miskin/sangat miskin; pekerja seks komersial miskin/sangat miskin; penyandang disabilitas miskin/sangat miskin dengan kerentanan ganda; masyarakat terpencil dan tertinggal; serta kelompok minoritas lainnya. Potensi terjadinya praktik diskriminasi berlapis ini harus dikenali dan ditangani dengan tepat, agar prinsip keadilan ditegakkan selama masa tanggap darurat Covid-19 dan jelang memasuki tatanan kehidupan baru (era Normal Baru).

Saya membaca bahwa Buya memberi perhatian khusus pada pentingnya mencintai alam, hidup dalam harmoni dengan alam, serta mengelola isi bumi secara bertanggungjawab dan adil/merata. Menurut Buya, kerusakan ekologis (atau kiamat ekologis/kata yang sering dipakai pengamat dan advokat lingkungan) adalah dosa dan dusta kolektif orang-orang dan sistem di balik perusakan alam, seperti penggundulan hutan. Menurut Buya, sikap dzalim terhadap hutan dan lingkungan mengakar pada sifat rakus dan tamak manusia.

Terkait ancaman serius kiamat ekologis ini, dalam dokumen yang sama disebut di atas, empat lembaga kristen global meyakini ada kaitan erat antara krisis ekonomi dengan krisis ekologis, sebagai akar-akar krisis global yg kita alami hari ini.

Dalam dokumen “Ekonomi untuk Kehidupan” disebutkan bahwa krisis ekologi adalah konsekuensi langsung dari sistem ekonomi ekstraktif, juga sebagai akibat langsung dari keyakinan dan prilaku manusia yang eksploitatif terhadap alam. Manusia merasa planet bumi adalah sumber daya tanpa batas yang bebas dieksploitasi tanpa henti.

Para ahli yang mengamati keanekaragaman hayati dan kesehatan ekosistem mewanti-wanti bahwa pengrusakan hutan yang sistematis dan massif, ekspansi pertanian yang tidak terkontrol, pertambangan dan pembangunan infrastruktur yang lapar lahan, diyakini ikut mempercepat munculnya/menyebarnya penyakit.

Karena itu, Pandemi Covid-19 seharusnya mengubah paradigma kita tentang kehidupan, tentang alam dan relasi manusia dengan alam, agar dengannya manusia berperan bukan sebagai “tuan atas alam” melainkan memosisikan diri sebagai bagian yang terhubung dan bergantung kepada alam. Sehingga, perlindungan dan keberlanjutan ekologis mustinya menjadi agenda kemanusiaan agama-agama. Buya mengulang pesan Kitab Suci, bahwa manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah.

Sallie Mac Fague dalam tafsir ekofeminisnya terhadap teks Alkitab meyakini bahwa, jika alam semesta terdiri dari bahan yang sama dengan manusia, maka kita/manusia pun satu dengan segala mahluk ciptaan TUHAN yang bergerak maupun tidak bergerak. Semuanya dijadikan dari “abu bintang”, itulah dasar kesatuan kita. Segala sesuatu terkait dan bergantung satu sama lain, setiap bagian bermutu khas. Martabat semua mahluk pada dirinya, hubungannya dengan yg lain dan hubungannya dengan Sang Pencipta, kesemuanya merupakan satu keutuhan ciptaan. Diperlukan perubahan paradigmatik untuk menyikapi kompleksitas dan keseriusan situasi global paska Pandemi Covid-19.

Dari titik ini, saya sekarang beranjak ke percik pemikiran Buya yang ketiga yang tak kurang pentingnya untuk direfleksikan menjadi elemen dari tatanan dunia baru (atau Era Normal Baru) yang kini sedang ramai dibincangkan orang. Buya mengangkat pentingnya konsep Syura, bahwa semua manusia diciptakan setara dan sejajar. Dalam kerangka ini pula mustinya kita memahami keberpihakan Buya kepada kesetaraan dan keadilan gender. Dalam otobiografi beliau, Buya menyatakan mendukung perempuan menjadi pemimpin dan menolak Poligami. Sikap seperti ini tidak banyak dinyatakan secara terbuka oleh laki-laki, tokoh agama apapun.

Kita telah belajar dari sejarah bangsa, bahwa perempuan ikut memainkan peran kunci dalam merebut kemerdekaan Indonesia dari imperialisme-kolonialisme Belanda. Sejarah mencatat agensi perempuan-perempuan istimewa seperti Rasuna Said di Sumatra Barat, Walanda Maramis di Minahasa, RA Kartini di Jawa dan Christina Martha Tiahahu di Maluku. Juga banyak perempuan hebat lainnya, walau tak ada penabalan sebagai pahlawan nasional bagi mereka.

Adalah fakta yang memprihatinkan bahwa setelah hampir seratus limapuluh tahun, sebagian dari perjuangan perempuan pahlawan nasional masih terus menjadi pergulatan dan perjuangan perempuan Indonesia saat ini. Mulai dari perjuangan menghapus praktik perkawinan anak, poligami hingga perjuangan memastikan perempuan terlibat dalam pengambilan keputusan.

Sejak Sumpah Pemuda Oktober 1928 perempuan-perempuan nasionalis bekerjasama lintas batas identitas primordial untuk kebangkitan bangsa, demikian kesaksian Johanna Masdani-Tumbuan, salah satu dari sepuluh perempuan pembaca ikrar Sumpah Pemuda 1928. Sementara itu, bersama Aisyiyah terdapat Wanita Katolik, dua dari tujuh organisasi perempuan inisiator Kongres Perempuan Indonesia yang pertama pada 22-25 Desember 1928 di Jogjakarta. Agenda kongres bersejarah ini mencakup antara lain: hal pendidikan perempuan, penghapusan perkawinan anak hingga perjuangan kemerdekaan dari kekuasaan kolonial Belanda.

Akhir-akhir ini, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi perempuan seolah bergerak ke dua arah yang berlawanan. Kemajuan signifikan terjadi pada September 2019 ketika DPR-RI melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 22/PUU-XV/2017 dengan mengesahkan revisi terbatas UU nomor 1 tahun 1974 pasal 7 ayat 1 tentang usia kawin perempuan, dari 16 tahun menjadi 19 tahun.

Pada akhirnya negara mengakhiri legalisasi perkawinan anak, walau masih mengijinkan dispensasi dengan syarat ketat (pasal 7 ayat 2). Namun demikian, arus gerakan sosial dan/atau kebijakan politik yang bertentangan dengan kemajuan ini, yang berpotensi menarik perempuan mundur ke belakang, juga masih cukup dominan . RUU Penghapusan Kekerasan Seksual inisiatif DPR, misalnya, yang didukung oleh kelompok pegiat HAM anak dan perempuan, mengalami hambatan besar. Sementara angka Kekerasan Seksual, yang dilaporkan dan ditangani, masih sangat tinggi.

Menurut Komnas Perempuan selama delapan tahun terakhir (2011-2019) ada 46.698 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan baik dalam ranah personal maupun publik. Setiap dua jam setidaknya ada tiga kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia.

Selain itu, kampanye budaya poligami juga diam-diam merebut ruang publik. Pegiat dan pemerhati hak asasi manusia perempuan dan anak mengkritisi dan berupaya membendung arus setback ini karena bertentangan dengan semangat kesetaraan dan keadilan, serta melanggar HAM perempuan yang dilindungi oleh Konstitusi negara Republik Indonesia, Undang-undang Dasar RI tahun 1945.

Dalam konteks perkembangan dua arah inilah, suara Buya Syafii Maarif tentang kesetaraan dan keadilan penting dibaca dengan lensa HAM perempuan dan anak, serta diamplifikasi kepada publik secara lebih luas dan massif, khususnya di kalangan agama-agama. Bukan hanya tentang bias, ketimpangan dan ketidakadilan gender, tetapi juga bias etnis/ras, agama, kelas sosial, abilitas, usia, geografis dan minoritas lainnya, yang realitanya makin kompleks sekarang ini.

Bagi saya Buya juga pendukung gerakan kesetaraan dan keadilan gender. Kita sendiri menyaksikan bertambahnya jumlah laki-laki berperspektif gender, bahkan feminis, yang mendukung gerakan perempuan memperjuangkan kesetaraan dan keadilan yang substantive dan inklusif. Perkembangan ini perlu disambut positif. Laki-laki yang makin kritis terhadap hegemoni ideologi patriarki meyakini bahwa ideologi patriarki melahirkan hirarki maskulinitas, yang pada gilirannya menciptakan relasi kuasa antara the powerful man dan the powerless man. Berkelindannya patriarki dengan kekuatan dan kekuasaan lain yang eksploitatif dan menindas, merugikan siapapun pihak yang diposisikan inferior dan subordinat dalam hirarki sosial, bukan hanya merugikan perempuan. Karenanya, sudah saatnya kesetaraan dan keadilan berbasis gender menjadi agenda bersama agama-agama.

Pada sisi lain, sosiolog mengatakan bahwa agama-agama akan dapat memainkan peran transformatifnya apabila ia membebaskan diri dari pengaruh kekuatan konservatisme atau bahkan fundamentalisme yang membayanginya. Dua kekuatan yang selama dua dekade terakhir ini menjadi benteng paling kokoh kekuatan arus balik patriarki, di masyarakat pun di ruang negara.

Selama ini perempuan-perempuan lintas iman telah ikut menjadi motor perubahan dan pembaruan. Terutama mendorong gerakan tranformasi internal agama-agama, dalam hal tafsir teks Kitab Suci dan tradisi agama dan hubungannya dengan jatidiri dan kehidupan perempuan dan gender lainnya. Gerakan pembaruan ini terjadi di lingkungan komunitas dialog lintas iman, maupun lingkungan pegiat HAM perempuan dan anak.

Saya mengenal dekat dan banyak belajar dari kader-kader Muhammadiyah yang cemerlang seperti Prof. Dr. Siti Chamamah, Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin dan mbak Lies Marcoes. Juga bersatu dalam barisan perjuangan HAM perempuan dan anak bersama Yuniyanti Chuzaifah, mbak Ninik Rahayu, Yulianti Muthmainah dan Ulfah Mawardi. Dukungan moral Buya Syafii Maarif akan sangat bermanfaat dan efektif memperkuat gerakan pembaruan dan perubahan yang juga telah dimotori oleh perempuan-perempuan hebat Muhamaddiyah ini.

Terakhir, pandemi Covid-19 telah mengubah secara fundamental konteks sosial, ekonomi, budaya, politik dan keamanan dunia. Diperlukan perubahan paradigmatik untuk memahami dan menyesuaikan diri dengan perubahan cepat dan mendasar yang dipaksakan oleh Pandemi Covid-19.

Tatanan kehidupan normal baru yang dibayangkan bukanlah semata-mata tentang prosedur menjaga dan merawat kesehatan fisik dan sintas ekonomi. Tatanan normal baru memerlukan refleksi dan kontemplasi mandalam, tulus dan menyeluruh. Agar spesies manusia bertahan dan hidup berdamai dan dalam kesatuan dengan sesama dan alam.

Pengalaman perempuan dan kaum marjinal/minoritas lainnya perlu menjadi salah satu titik berangkat refleksi dan kontemplasi, khususnya di lingkungan agama-agama. Percik-percik permenungan dan laku hidup Buya dapat menjadi cermin bagi komunitas lintas agama. Agar agama-agama berpikir dan bersikap melampaui hal-hal fisik, instrumentalistik, apalagi primordialistik, dalam memaknai dan menghidupi era normal baru.

Selamat ulangtahun ke-85 Buya Syafii Maarif. Semoga Buya tetap sehat dan menginspirasi sebagai guru Bangsa. Tuhan Memberkati Buya sekeluarga. Amin.

Catatan Webinar Merawat Buya, Merawat Indonesia:Buya Syafii Maarif di Mata Tokoh Bangsa Jumat, 5 Juni 2020, jam 19.00 WIB

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 × five =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.