REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Di bagian akhir “Resonansi”, 10 Juni 2014, terbaca kalimat ini, “Demokrasi memang lamban dan melelahkan, tetapi peradaban umat manusia belum lagi menemukan sistem politik yang lebih baik dari itu.”

Pilpres yang baru saja rampung adalah bagian penting bagi pelaksanaan demokrasi kita, sebuah pemilihan presiden/wakil presiden langsung yang ketiga sepanjang sejarah Indonesia. Relatif, pelaksanaannya berlangsung damai dan aman, sebuah prestasi yang patut dipuji.

Partisipasi warga negara juga cukup tinggi dibandingkan saat pileg 6 April yang lalu. Tampaknya orang menilai pilpres dengan dua pasang pilihan ini lebih penting dan lebih mudah dari pileg yang secara teknis sedikit ruwet. Adapun hasilnya menanti keputusan Komisi Pemilihan Umum pada 22 Juli ini, sekalipun metode hitungan cepat telah membeberkan temuannya yang menghebohkan itu.

Tulisan ini tidak akan menyoroti hitungan cepat yang bikin heboh itu, sebab bisa semakin mempertajam polarisasi dalam masyarakat, sesuatu yang tidak baik bagi kohesi sosial masyarakat Indonesia. Catatan di bawah ini tentang beberapa cacat praktik demokrasi perlu ditulis, sebab menyangkut landasan moral bangsa ini. Jika landasan itu digerogoti oleh syahwat kekuasaan yang tak terkendali, maka masa depan demokrasi Indonesia akan selalu rapuh dan oleng.

Catatan pertama, praktik kampanye gelap yang sarat fitnah jangan diulang lagi pada pemilu-pemilu yang akan datang, sebab telah mencemarkan sistem demokrasi yang dengan susah payah kita bangun. Di lapangan, pengaruh kampanye gelap dan fitnah ini dahsyat sekali. Karena dipercaya, para pemilih jadi fanatik, sehingga akal sehat tidak lagi berfungsi. Cara-cara semacam ini harus dihentikan sekali dan untuk selama-lamanya.

Catatan kedua, persaingan antara perusahaan TV, khususnya antara TV One dan Metro TV sampai batas-batas tertentu sudah tidak sehat. Penonton yang tidak kritikal bisa kehilangan nalar dalam menentukan pilihan. Dari sisi pendidikan politik, persaingan serupa ini dapat melahirkan fanatisme berlebihan, sesuatu yang berbahaya bagi perjalanan demokrasi Indonesia yang belum stabil dan masih sedang mencari bentuk yang pas.

Catatan ketiga, maraknya praktik politik uang yang masif, entah pihak mana yang terlibat, telah menghina martabat kemanusiaan para pemilih yang mungkin sebagian memang masih tergoda oleh guyuran uang itu. Ini penyakit kronis yang sukar sekali dihalau dalam kultur politik negeri ini, termasuk di kawasan perdesaan dalam proses pemilihan kepala desa yang sebagian rakyatnya masih belum berdaya secara ekonomi.

Adapun pengeluaran untuk ongkos kampanye, seperti untuk bikin spanduk, baliho, cetak gambar, dan yang sejenis itu tentu tidak termasuk dalam kategori politik uang itu. Tetapi, praktik beli suara yang dapat memandulkan nalar seorang pemilih adalah perbuatan keji yang merusak bangunan moral manusia.

Politik uang yang liar dalam jumlah besar ini untuk meraih sebuah posisi politik jelas akan menghalangi anak-anak bangsa yang masih idealis, tetapi miskin untuk tampil sebagai wakil rakyat. Sekali uang dijadikan raja, maka tingkat peradaban politik suatu bangsa tidak akan pernah naik. Percayalah, posisi politik sebagai hasil dari beli suara adalah ibarat “sarang di atas dahan yang rapuh”, untuk meminjam Iqbal, “yang tidak akan tahan lama”.

Catatan keempat, adanya slogan “siap kalah dan siap menang” jangan dibiarkan mengapung sebagai slogan mati, tetapi harus diikuti secara kesatria dalam sikap dan perbuatan. Oleh sebab itu, KPU, dibantu oleh polisi dan TNI, yang diberi otoritas tertinggi oleh negara haruslah selalu menjaga dan mengawasi secara ketat agar proses pilpres ini benar-benar berlangsung secara jujur, lurus, tanpa kecurangan apa pun.

Dan di ujungnya, siapa pun yang terpilih dalam proses pilpres yang bermartabat itu bukan lagi presiden/wakil presiden partai/golongan, tetapi sepenuhnya menjadi milik Indonesia, tanpa kecuali. Demokrasi kita harus bergerak ke arah tujuan mulia itu!

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 + 1 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.