Tag Archive for: buya syafii

Kekuatan dan Kelemahan Indonesia Sebagai Bangsa (I)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Sudah lebih dari sekali saya menulis di ruang ini bahwa Indonesia sebagai bangsa baru muncul tahun 1920-an berkat perjuangan heroik dari PI (Perhimpunan Indonesia) di negeri Belanda dengan mitra seidenyanya yang memprakarsai SP (Sumpuh Pemuda) 1928 di Batavia.

Baik tokoh PI maupun penggerak SP adalah anak-anak muda yang berasal dari berbagai suku di Nusantara. Mereka ini semua berkat pendidikan Barat di usia yang peka itu telah semakin menjadi sadar tentang makna penjajahan yang mengisap anak negeri dengan cara-cara kasar dan biadab.

Realitas getir yang dirasakan itu kemudian menyatu dengan cita-cita demokrasi dan gagasan nasionalisme yang didapatkan melalui sarana pendidikan dan bacaan yang luas. Gemblengan situasi ini telah semakin mematangkan sikap mental mereka untuk merebut sebuah kemerdekaan bangsa pada suatu hari.

Dan, kemerdekaan itu hanya mungkin menjadi kenyataan jika semua suku bangsa di Nusantara bersedia bersatu padu dalam susunan kekuatan yang kompak dengan menjinakkan rasa kedaerahannya masing-masing.

Cita-cita luhur untuk melepaskan diri dari rantai penjajahan yang ingin berkuasa di negeri kepulauan ini sampai akhir zaman akan menjadi sebuah angan-angan kosong manakala suku-suku bangsa tetap bertahan dengan primordialisme kesukuan sempitnya masing-masing. Tanpa didahului PI dan SP yang mengusung bendera demokrasi dan nasionalisme, saya tidak bisa membayangkan Proklamasi 17 Agustus 1945 akan terwujud.

Keberhasilan PI dan SP dalam membentuk sebuah bangsa baru adalah di antara kekuatan dan jasa anak-anak muda Nusantara yang sungguh dahsyat. Semboyan satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa adalah kekuatan pemersatu yang luar biasa tinggi nilainya yang kita warisi sampai detik ini.

Adapun masih ada saja muncul kelompok sempalan yang ahistoris dan daerah-daerah tertentu yang ingin melepaskan diri dari ikatan keindonesiaan adalah pertanda bahwa proses pembentukan kebangsaan kita belum lagi rampung. Dan, proses menjadi bangsa yang utuh dan padu ini bisa dipercepat dengan meratakan kerja pembangunan di seluruh Tanah Air, sesuatu yang masih terbengkalai sejak proklamasi.

Para pendiri bangsa sangat paham bahwa kerja mempersatukan anak-anak suku bangsa dengan subkultur dan bahasa lokal yang kaya dan beragam bukan perkara mudah. Dalam perspektif inilah ungkapan: “nation and character building” (pembangunan bangsa dan karakter) masih tetap relevan, sekalipun usia kemerdekaan kita telah melampaui angka 70 tahun.

Selama tujuh dasawarsa itu, berbagai cobaan dalam bentuk perpecahan dan perang saudara telah kita lalui dengan selamat dan dengan susah payah, tetapi masih berujung dengan keutuhan nasional. Ini modal utama bangsa ini untuk menciptakan masa depan yang lebih adil dan bermartabat.

Apa arti semuanya itu? Artinya, perjuangan PI dan SP dengan puncaknya Proklamasi 17 Agustus masih merupakan kekuatan perekat yang ampuh dengan daya tahan yang lentur. Kekuatan perekat inilah yang wajib dijaga oleh kita semua agar tangan-tangan kotor pemecah-belah persatuan tidak mendapat tempat dalam proses berbangsa dan bernegara.

Seandainya para politisi kita mau memahami proses yang tidak mudah dalam pembentukan bangsa ini, mereka tentu akan lebih arif dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai “wakil rakyat” di DPR. Tanda dua koma ini menunjukkan bahwa saya belum begitu percaya bahwa kebanyakan politisi itu benar-benar menghayati aspirasi rakyat yang telah mendudukkan mereka di kursi legislatif itu. Keraguan semacam ini juga dirasakan oleh banyak teman sebangsa.

Dalam bacaan saya, politisi yang mengaku mewakili rakyat banyak itu hanya segelintir yang mau membaca perjalanan sejarah bangsa ini dengan sungguh-sungguh. Buktinya, perilaku yang korup dan tunamartabat a.l. disebabkan oleh minimnya penghayatan mereka terhadap suka-dukanya perjuangan para pendiri bangsa, khususnya sejak permulaan abad ke-20.

Seandainya penghayatan itu dilakukan secara jujur, tentu perilaku menyimpang yang dipertontonkan selama ini akan lebih terawasi karena nurani mereka akan selalu meluruskan niat mereka dalam berpolitik. Perilaku buruk dan busuk ini telah melemahkan dan merusak sendi-sendi kultur bangsa. Dan, itu sangat memprihatinkan serta mesti dicarikan obat penyembuhannya dalam tempo dekat.

Pembungkaman Pembangkang Gaya Arab Saudi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

(“Resonansi” ini adalah saduran dan ringkasan artikel Hala al-Dosari, perempuan aktivis Saudi dan fellow di the Radcliffe Institute for Advanced Study, Universitas Harvard, di bawah judul “Silencing Dissent in Saudi Arabia”, dalam Sada, 7 November 2017. Analisis Hala ini lebih terperinci menggambarkan yang sebenarnya berlaku di pusat Kerajaan Saudi akhir-akhir ini).

Gelombang penangkapan di Saudi Arabia baru-baru ini jelas menunjukkan adanya peningkatan penggunaan pendekatan keamanan untuk mengawasi publik sementara menjanjikan reformasi terbatas untuk menghindarkan ketidakstabilan politik. Tetapi, apakah akan efektif? Inilah pertanyaannya.

Seperti telah disiarkan secara luas di media global, pada 5 November 2017, sejumlah 11 pangeran, 4 menteri, lusinan pejabat penting lain, dan para pengusaha telah ditahan beberapa jam setelah Raja Salman bin Abdulazis al-Saud memerintahkan pembentukan sebuah komite antikorupsi yang diketuai oleh MBS (Pangeran Mohammed bin Salman). Tindakan ini telah memicu spekulasi yang luas karena MBS menggunakan tuduhan korupsi dalam rangka konsolidasi politiknya lebih jauh.

Sementara itu, kelompok garis keras dan aktivis Muslim telah dijadikan target penangkapan. Bukan saja faksi ini, miliarder Alwaleed bin Talal juga ditangkap. Ini membuktikan MBS sedang menghabisi pesaing-pesaing potensialnya yang selama ini punya kaitan dengan militer dan dunia bisnis. Penahanan semacam ini juga menunjukkan tindakan tergopoh-gopoh, konfrontatif, dan penuh risiko sebagai watak kepemimpinan MBS.

Namun, kenaikan MBS ke puncak kekuasaan tertinggi telah menyulitkan para pejabatnya untuk membangun jaringan kepercayaan dan tanggung jawab bersama. MBS sekarang nyaris telah mendapatkan kekuasaan penuh atas posisi-posisi kunci kerajaan. Maka, dengan ini mudah saja baginya melakukan pembersihan politik atas lawan-lawannya yang penuh risiko itu.

Bulan September 2017 ditargetkan untuk ditangkap lebih dari 70 kaum intelektual, penulis, akademisi, dan tokoh-tokoh Islam lainnya. Tuduhannya karena mereka itu telah memicu tindakan kekerasan terhadap kerajaan agar politik menjadi tidak stabil. Sedangkan, bukti atas tuduhan itu masih dicari-cari.

Ada pula sedikit yang ditahan itu mereka yang mengkritik terjadinya konflik antara kerajaan dengan Qatar. Pendek kata, pola penahanan itu tidak lain dari upaya kerajaan untuk mengetatkan tangan kekuasaan atas kaum pembangkang, terlepas dari corak tuduhan yang disampaikan dalam rangka pengendalian masalah-masalah domestik dan luar negeri.

Di antara yang ditahan itu adalah misalnya pegawai-pegawai publik dan akademisi yang punya posisi berpengaruh, seperti tujuh hakim dari Pengadilan Kriminal Khusus yang bertugas menangani masalah terorisme. Boleh jadi para hakim ini dijadikan target terutama karena mereka punya hubungan dengan mantan putra mahkota Pangeran Mohammed bin Nayef yang sebelumnya secara langsung mengawasi pengadilan itu.

Dalam pada itu, pada 26 September 2017, isu yang tidak berkaitan dengan penahanan itu adalah dicabutnya larangan mengemudi bagi kaum perempuan serta membolehkan mereka menonton kegiatan olahraga. Sebagai tambahan dari reformasi sosial yang memang sudah lama dinanti itu, MBS pada 24 Oktober berjanji mengembalikan Saudi Arabia menempuh jalan Islam moderat dan terbuka saat dia meluncurkan proyek kota masa depan Neom yang raksasa itu.

Publik secara luas bergembira agar Saudi kembali kepada Islam moderat, tetapi klaim ini menjadi sukar dibayangkan karena tokoh pembaru semisal Abdullah al-Malki juga telah dipenjarakan. Oleh sebab itu, adanya ketimpangan antara janji reformasi dan tindakan keras atas para pembangkang bukanlah pertanda dari konteks sosial-ekonomi yang baru atau sinyal dari sebuah kepemimpinan yang progresif.

Lalu bagaimana? Itu hanyalah pertanda dari cengkeraman yang lebih ketat sistem politik kerajaan atas wacana publik. Maka, tidaklah mengejutkan, karena berhadapan dengan masalah keterbatasan ekonomi dan politik, kerajaan sekarang menggulirkan isu reformasi, terlepas dari afiliasi politik atau agama demi meyakinkan pengawasan atas suara publik.