Tag Archive for: dunia islam

PERINGATAN NUZULUL QUR’AN

Ust. Andri Ardiansyah

 

 

“Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah,185)

 

Nuzulul Qur’an diperingati setiap bulan Ramadhan—bertepatan, pada malam Lailatul Qadar. Bagi umat Islam peristiwa Nuzulul Qur’an merupakan suatu kejadian yang memiliki nilai spiritual yang agung, di mana Al-Qur’an diturunkan saat malam Lailatul Qadar, yang kemudian dikenal sebagai “malam yang nilainya lebih mulia dari seribu bulan”. Oleh karenanya, semestinya aktualisasi nilai-nilai Nuzulul Qur’an disongsong dengan kesiapan spiritual yang baik, sehingga transformasi nilai yang terdapat di dalamnya dapat diambil hikmahnya, utamanya dalam rangka peningkatan moral dan akhlak umat.

 

Al-Qur’an merupakan landasan moral, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, berbangsa dan bernegara. Dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an, maka hidup kita akan terbimbing sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Dalam Al-Qur’an terkandung petunjuk yang mencakup semua bidang kehidupan, seperti politik, agama, dan budaya. Karena itu sangat penting mempelajari dan mendekatkan diri dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an bukan cuma untuk dibaca, tapi direnungkan ayat-ayatnya.

Turunnya Al-Quran pada tanggal 17 Ramadhan dan pengkaitannya dengan turunnya surat pertama kepada Nabi Muhammad Saw. saat melakukan khalwat di gua Hira, masih diperdebatkan oleh para ulama. Surat pertama tersebut kemudian dinamakan surat Al-‘Alaq, berjumlah lima ayat. Namun satu yang pasti, pada tanggal 17 Ramadhan telah terjadi perang Badar. Perang tersebut merupakan perang yang pertama kali terjadi dalam sejarah awal perkembangan agama Islam. Oleh karena itu, perang tersebut begitu berarti dan sangat menentukan, karena menyangkut kelangsungan agama Islam di kemudian hari.

 

Namun demikian, ada baiknya di sini disinggung arti kata nuzûl al-Qur’ân untuk memberikan pengertian yang memadai berkaitan dengan peristiwa atau kejadian tersebut. Dalam Al-Quran terdapat tiga kata yang menjelaskan turunnya Al-Quran—ketiganya merupakan derivasi atau kata turunan dari akar kata yang sama, yakni na-za-la. Ketiga kata tersebut adalah inzâl, dari akar kata anzala, nuzûl dari akar kata nazala, dan tanzîl dari akar kata nazzala.

 

Al-Quran diturunkan pada malam-malam ganjil dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Malam-malam tersebut dinamakan laylat al-qadr atau malam kepastian. Proses turunnya Al-Quran disebut inzâl, yakni diturunkannya Al-Quran ke lawh al-mahfûzh dalam wujud prototipe kitab suci—proses yang serupa juga dialami oleh kitab-kitab suci lain sebelumnya. Selanjutnya, Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., prosesnya disebut nuzûl—membutuhkan waktu 23 tahun.

 

Semantara itu, kata tanzîl mengandung pengertian proses pembumian Al-Quran ke dalam realitas kehidupan. Di sini, fungsi dan peran Al-Quran adalah merespons, menjawab, dan memberikan berbagai solusi atau pemecahan atas berbagai persoalan sosial yang dihadapi oleh umat Islam. Contohnya, ada seseorang yang bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. tentang bulan sabit, al-ahillah, seperti dalam ayat Al-Quran disebutkan, Mereka bertanya kepadamu tentang bulan-bulan baru. Katakanlah,Itu hanya tanda-tanda waktu untuk manusia dan untuk musim haji…,” (Q.S. 2: 189).

 

Pembumian Al-Qur’an perlu untuk memanusiakan manusia. Kehadiran Islam melalui kandungan normativitas Al-Qur’an, dimaksudkan untuk mengubah masyarakat (nas) dari apa yang diistilahkan sebagai ‘kegelapan’ (dzulumat) kepada ‘cahaya’ (nur). Dan sesungguhnya inilah inti dari Al-Qur’an yang mengandung pesan-pesan moral-sosial bagi umat manusia. Ini relevan dengan salah satu sabda Rasulullah yang mengatakan bahwa beliau diutus oleh Allah sebagai penyempurna moralitas manusia.

 

Misi Al-Qur’an itu sendiri, yakni transformasi sosial melalui jalan pembebasan untuk menciptakan moral-sosial yang berkeadilan, berkeadaban, maju, progresif, dan inklusif.  Tuhan tidak berbicara pada suatu ruang hampa dan tidak mengirim pesan yang dibentuk di dalam kehampaan. Karena itu, peringatan Nuzulul Qur’an bagi umat Islam memberikan pesan perlunya transformasi dalam seluruh segmen kehidupan berbangsa dan bernegara, dari tingkat paling bawah hingga tingkat paling atas. Transformasi sosial ini harus dimulai dari perubahan individual yang kemudian diikuti dengan perubahan institusional.

 

Akan tetapi, transformasi tidak akan terwujud tanpa dilandasi dengan apa yang disebut oleh Al-Qur’an di dalam wahyu pertama dengan ‘Iqra’, yakni membaca. Ayat pertama surat Al-‘Alaq memerintahkan kepada semua umat manusia untuk mempelajari fenomena-fenomena ciptaan Allah, semua ilmu-ilmu Allah, baik yang tertulis di dalam teks-teks Kitab Suci, maupun yang tersebar di jagad raya. Dengan kata lain, basis utama sebuah transformasi sosial adalah pemuliaan terhadap ilmu pengetahuan.

 

Pengetahuan membuka pikiran manusia dari tidak tahu menjadi tahu. Pengetahuan menjadi cahaya yang menyingkap kegelapan itu. Al-Qur’an telah memberikan semacam ‘road map’ atau peta jalan bagi sebuah transformasi sosial berbasis ilmu pengetahuan. Transformasi itu sendiri, di dalam dirinya, terkandung semangat pada ilmu pengetahuan. Peringatan Nuzulul Qur’an dengan demikian kembali menggugah kita untuk memuliakan ilmu pengetahuan demi terciptanya transformasi sosial, membawa bangsa dan negara ini ke arah yang lebih baik.

 

Al-Qur’an mengandung isyarat-isyarat tentang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta ayat-ayat alam (kauniyah) yang dapat dijadikan motivasi dan inspirasi dalam berbagai rekayasa, baik sosial, teknik maupun genetika. Al-Qur’an tidak hanya mengandung pokok-pokok ajaran agama yang meliputi akidah, syariah dan akhlak, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama manusia dan lingkungannya, tetapi juga isyarat-isyarat tentang iptek.

 

Al-Qur’an tidak hanya mengandung pokok-pokok ajaran agama. Al-Qur’an juga membawa misi perubahan yang memungkinkan masyarakat mewujudkan peradaban baru berkat kemampuannya mengembangkan iptek dan pengamalan hukum-hukum Ilahi, baik yang termaktub dalam kitab suci maupun yang terbentang di alam raya. Banyak sekali iptek yang telah ditemukan dan memberi manfaat besar bagi dunia berkat adanya informasi dalam Al-Quran. Namun demikian masih terdapat lebih banyak lagi informasi kemukjizatan yang masih menjadi misteri yang menunggu kesanggupan manusia untuk membuktikan kebenarannya.

 

Dengan menjadikan peringatan Nuzulul Qur’an sebagai momentum untuk memperbaiki interaksi dengan Al-Qur’an, meningkatkan kualitas interaksi dengan kitab suci, bukan hanya sekedar membacanya pada tingkat aspek ibadah. Tetapi juga pada perenungan atau penggalian hikmah dan isyarat-isyarat Al-Qur’an. Dengan cara itu kita dapat menerjemahkan nilai-nilai universalitas Al-Qur’an yang diyakini sebagai pandangan hidup dan petunjuk bagi kehidupan manusia sehingga dapat menjadi petunjuk bagi arah perjalanan bangsa ini. []

 

Andri Ardiansyah, Pengajar di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor

 

e-PDF buletin Jumat dapat diunduh disini

Spirit Kemanusiaan Ibadah Puasa

Oleh: Ust. Edi Sutrisno

 

 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”(QS. al-Baqarah/2:183)

 

 

Agama hadir membawa pesan moral dan senantiasa mengawal gerak laju manusia dalam menjalani kehidupan sosialnya. Sebab, agama melalui berbagai ajarannya membimbing manusia agar tidak keluar dari garis-garis besar kemaslahatan. Puasa Ramadhan sebagai salah satu kewajiban agama adalah sebuah fase yang menyimpan berbagai nilai dalam segenap aktivitas ritual peribadatan. Puasa adalah kewajiban yang telah ditetapkan terhadap umat-umat yang lalu. Begitulah salah satu penegasan dari Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183 yang telah dikutip di bagian awal tulisan ini.

 

Prof. Quraish Shihab menjelaskan tafsir atas ayat tersebut bahwa ayat di atas menyebut kewajiban berpuasa tanpa menyebut siapa yang mewajibkannya. Hal ini untuk mengisyaratkan bahwa seandainya bukan Allah SWT yang mewajibkannya, manusia sendiri akan melaksanakannya setelah tahu besarnya manfaat puasa. Puasa yang diajarkan al-Qur’an dapat membuahkan kesucian jiwa, keikhlasan, dan ketulusan. Puasa juga menjadi alat pengawasan diri dan sekaligus perwujudan ketakwaan kepada Allah SWT.

 

Pada hakikatnya, bulan puasa Ramadan adalah bulan kemanusiaan. Kewajiban puasa Ramadan tidak hanya menuntut peningkatan hubungan vertikal manusia dengan Tuhannya, tetapi juga dengan sesama manusia dan alam raya pada umumnya Di balik ibadah-ibadah yang disyariatkan, terdapat pesan-pesan agar kita lebih peka terhadap persoalan kemanusiaan. Dalam ibadah puasa, diri kita dilatih untuk mempunyai solidaritas kemanusiaan.

 

Secara pemaknaan, puasa bisa dipahami dalam dua pengertian, yakni teosentrisdan antroposentris. Puasa bukan hanya ibadah mahdhah  (ibadah murni) yang hanya berorientasi vertikal (teosentris) tetapi juga horizontal (antroposentris). Namun demikian, pengaruh nalar teologis-bayani begitu kuat dalam pemaknaan agama (religion meaning), yakni pemusatan segala aktivitas dan persoalan apapun kepada Tuhan, sedangkan problem kemanusiaan cenderung terabaikan. Cara manusia memahami agama senantiasa akan mengalami hambatan jika ia tidak mampu menangkap pesan-pesan yang tersirat dalam setiap sendi ajaran agama. Dalam pemaknaan seperti ini, puasa akan semakin jauh dari nilai fungsionalnya untuk menjadikan manusia bertaqwa `la`allakum tattaquun` (QS. Al-Baqarah: 183).

Spirit Kemanusiaan

Pada bulan Ramadan tahun ini, spirit dan aksi kemanusiaan harus lebih ditingkatkan, mengingat kita sedang bersama-sama diuji oleh Allah SWT dengan virus COVID-19. COVID-19 menguji solidaritas kemanusiaan kita, apakah hanya sebatas slogan atau diwujudkan dalam aksi nyata. Ramadan kali ini banyak yang terdampak COVID-19 baik kesehatannya maupun perekonomiannya. Mereka adalah sasaran aksi kemanusiaan yang harus lebih diintensifkan selama Ramadan.  Oleh sebab itu, mentransformasikan nilai peribadatan keagamaan menjadi seperangkat nilai sosial kemanusiaan merupakan sebuah upaya yang perlu terus menerus dilakukan.

 

Nilai-nilai kemanusiaan yang dikandung dalam ibadah puasa tidak cukup hanya dipahami, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Maka, salah satu jalan untuk memeriksa diri dan menghidupkan rasa kemanusiaan adalah dengan berpuasa, karena ibadah ini mengandung dua aspek sekaligus: kesalehan individual dan kesalehan sosial; kombinasi keduanya mampu melahirkan efek yang besar dalam pola interaksi sosial. Dengan berlapar-lapar, haus dan menahan hasrat-nafsu, kita bisa belajar menerapkan empati kepada orang lain dan menahan diri untuk tidak berlaku negatif dan merugikan orang lain.

 

Dengan puasa, manusia diajarkan untuk lebih mengerti empati dan menerapkannya dalam lingkungan sosial. Pada titik inilah terjadi transformasi nilai dari kesadaran individual menuju kesadaran sosial. Rasa empati antar-sesama manusia yang diajarkan oleh puasa Ramadhan kemudian berproses menjadi sebuah refleksi etis.

 

Puasa mengandung pesan esoteris, “Aku sudah berjanji kepada Allah Yang Mahakasih untuk melakukan shaum.” (QS. Al-Baqarah: 26). Pada surah Maryam itu Allah menggunakan redaksi “shaum” untuk memberitakan puasanya Siti Maryam, seorang perempuan suci yang dari rahimnya lahir Nabi Isa AS. Di mana Siti Maryam menjalankan puasa fisik dan non-fisik, yang hidupnya berharap keridlaan-Nya semata. Di sini Siti Maryam berpuasa untuk mengendalikan diri dari kondisi dan situasi masyarakat sekitarnya. Inilah bentuk puasa yang bisa membangkitkan lagi jiwa kemanusiaa manusia. Puasa syariat sekaligus hakikat. Puasa fisik sekaligus nonfisik. Puasa yang bergerak jauh ke atas menuju keridhaan Allah. Menahan berbicara kecuali yang penting saja dan sesuai ajaran Allah. Mendengar hanya yang menjadi kewajiban kita untuk mendengarnya. Melihat hanya yang menjadi haknya.

 

Sekali lagi, puasa tidak hanya memberikan pesan spiritual, tetapi juga mengandung pesan sosial. Ibadah menjadi tidak ada artinya jika pesan sosialnya tak diindahkan. “Maka, celakah orang-orang yang shalat; yang lalai dalam shalatnya yang hanya pamer; yang tidak memberi pertolongan.” (QS al-Ma’un: 5-7). Semoga melalui puasa Ramadhan, kita belajar memanusiakan manusia. []

 

Ust. Edi Sutrisno,Ketua I bidang Ibadah dan Dakwah, Masjid Jami’ Bintaro Jaya Jakarta.

 

e-PDF buletin Jumat dapat diunduh disini

Ranah Minang, ABS-SBK-AM-SM, dan Kebanggan Semu I

Jika saya menyoroti sisi negatif mentalitas Minang modern, bukan berarti etnisitas lain lebih baik.

Sudah menjadi sunnatullah, manusia mencintai tanah kelahirannya. Tidak jarang cinta itu dalam sekali, sekalipun sudah berpisah lama dengannya, terutama bagi mereka yang pernah hidup sampai usia belia di  tempat itu.

Warisan pribasa nenek moyang suku Melayu yang berbunyi “Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri awak, masih lebih baik jua negeri awak” belum sepenuhnya terkuras digerus zaman. Gaungan pesannya masih dirasakan cukup kuat.

Artinya, betapa pun hidup senang dan mewah di negeri orang, kenangan indah terhadap tanah kelahiran sekalipun tersuruk lagi miskin tetap hidup dan punya daya pikat tersendiri. Setidak-tidaknya begitulah  perasaan saya terhadap nagari tersuruk Sumpur Kudus di lingkaran Bukit  Barisan, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari alam Minangkabau.

Saya belajar agama sampai tingkat sekolah menengah pertama masih di bumi Minang.

Jika pun saya kadang bersikap kritikal terhadap realitas sosial keagamaan di ranah yang memang bangga dengan adat-lembaganya itu, hendaklah dibaca dalam perspektif kecintaan dan kerinduan yang mendalam itu. Filosofi ABS-SBK-AM-SM (Adat Bersendi Syarak-Syarak  Bersendi Kitabullah-Adat Memakai-Syarak Mengata) secara teoretik adalah pedoman hidup manusia Minang.

Sebuah Minang yang telah  menerima nilai-nilai luhur keislaman semenjak agama itu menjadi arus utama di sana. Setidak-tidaknya, demikianlah secara teori yang memang didukung oleh fakta sejarah yang kuat.

Rumusan filosofi yang demikian padat itu mengajarkan bahwa  antara prilaku manusia Minang dan agama tidak boleh pecah kongsi.

Bagi para pembaca yang kurang akrab dengan filosofi suku Minang itu, baiklah saya jelaskan sepintas apa yang dimaksud. ABS-SBK mengandung arti bahwa adat Minang mestilah bersendikan agama Islam dan agama Islam berpedoman kepada Alquran. AM-SM berarti adat yang jadi pedoman harian hidup suku Minang tidak boleh melanggar perintah atau larangan agama Islam.

Dengan demikian, agama telah mengunci prilaku manusia Minang agar selamat dunia-akhirat, agar tidak menerabas batas-batas yang telah disepakati turun temurun.

Rumusan filosofi yang demikian padat itu mengajarkan bahwa  antara prilaku manusia Minang dan agama tidak boleh pecah kongsi, sekalipun dalam menghadapi perubahan sosial adat harus lentur, tidak  boleh kaku. Apa yang dikenal dalam pribasa kuno “Tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan” ternyata sudah melapuk dimakan perputaran zaman.

Hamka suatu ketika mengatakan bahwa adat itu bukanlah batu yang antiperubahan. Tentu yang dimaksud adalah  perubahan yang membawa kemajuan dan kemaslahatan. Bukan asal berubah.

Saat Hamka baru berusia 12 tahun, ayahnya menceraikan ibunya karena tekanan adat persukuan yang kejam. Hamka menulis: “Pihak suku ibunya tegak di tanah kalah. Suku ayahnya tegak di tanah menang. Karena  pada hakekatnya, hal ini adalah pertentangan di antara dua suku.” (lih.  Hamka, Kenang-Kenangan Hidup, Jakarta, Gema Insani, 2018, hlm 42- 43).

Sebenarnya bukan hanya kekakuan adat yang harus dipersoalkan, tafsiran dan pemikiran terhadap agama juga jangan sampai membatu.

Seorang Haji Rasul (DR Abdul Karim Amrullah) yang perkasa tidak  berdaya menghadapi tekanan adat matrilineal yang lapuk itu. Akibat perceraian ini, jiwa bocah Hamka menjadi goncang. Jika Hamka mengeritik adat Minang dengan keras, dapat difahami, karena dia adalah  korban dari sistem adat yang tidak manusiawi itu.

Sebenarnya bukan hanya kekakuan adat yang harus dipersoalkan, tafsiran dan pemikiran terhadap agama juga jangan sampai membatu. Pemahaman terhadap wahyu pasti berkembang dan berubah sejalan  dengan evolusi yang mempengaruhi struktur otak manusia. Home sapiens (si bijak dalam definisi AJ Toynbee) yang satu ini tidak pernah puas dalam mencari dan mencari.

Itulah manusia yang pernah menaklukkan malaikat  dalam memahami alam semesta. “Tunduklah kepada Adam,” perintah Tuhan kepada malaikat, “maka tunduklah malaikat, kecuali iblis yang  menolak dan angkuh.” (Lih. Alquran surat al-Baqarah ayat 34).

Manusia Minang adalah bagian dari homo sapiens yang selalu  mencari tanpa henti itu. Wawasan kesemestaan manusia Minang  tercermin dalam ungkapan “Alam Terkembang Jadi Guru.” Demikian cermatnya manusia Minang itu merumuskan kepribadian kolektifnya dengan kemasan-kemasan bahasa yang singkat, padat, dan padu. Siapa yang tidak bangga dengan semua warisan ini.

Jika saya turut menyoroti sisi-sisi negatif mentalitas Minang modern, bukan berarti etnisitas yang lain tentu jauh lebih baik.

Tetapi mengapa ungkapan “Kebanggaan Semu” masih  ditambahkan juga di ujung judul artikel ini? Apa yang terjadi dengan  Minang modern? Bukankah filosofi ABS-SBK-AM-SM sudah menghunjam dalam di Ranah Minang sejak lama? Justru, di sinilah masalah yang  merisaukan itu perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh oleh manusia Minang, baik yang tinggal di ranah, mau pun yang hidup di rantau.

Jika saya turut menyoroti sisi-sisi negatif mentalitas Minang modern, bukan berarti etnisitas yang lain tentu jauh lebih baik. Tetapi biarlah anggota suku itu yang membincangkannya, seperti WS Rendra  mengeritik budaya Jawa dan Ajip Rosidi membedah budaya Sunda.

Semua suku yang bertebaran di Nusantara ini kaya dengan kearifan lokal  masing-masing, tetapi pasti tidak bebas dari titik-titik lemah yang perlu diperbaiki dan dibenahi bersama. Dalam membaca fenomena sosial sebuah masyarakat tertentu, para sastrawan dan budayawan mungkin  punya penglihatan tersendiri yang perlu disimak.

Karena saya menulis tentang Ranah Minang, maka budayawan dan  sastrawan yang dirujuk berasal dari daerah ini. Ada yang sudah wafat, tetapi yang berusia lebih muda juga dikutip dan dibicarakan.

https://www.republika.id/posts/15759/ranah-minang-abs-sbk-am-sm-dan-kebanggan-semu-i%c2%a0

Ranah Gurindam dalam Sorotan 3

Ada fakta lagi yang menyangkut masalah amanah. Seorang pengusaha berhasil asal Solok yang sering mondar-mandir antara Jakarta-Australia, beberapa minggu yang lalu menyampaikan keluhan kepada saya di Jakarta, bahwa di kampungnya untuk mencari orang yang dapat dipercaya dalam masalah uang, termasuk di kalangan keluarganya sendiri, amatlah sukar.

Pengalaman pahit serupa juga dirasakan oleh para perantau yang ingin membantu kampung. Kebocoran amanah berserak di berbagai kampung dan nagari. Saya sendiri amat maklum dengan keluhan ini, sebab itu semua juga merupakan bagian dari apa yang saya alami sejak sekian lama. Jika demikian, di mana agama, di mana adat yang diperkatakan saban hari sebagai sumber kearifan dan kejujuran?

Jawabannya, agama dan adat lebih banyak diperkatakan dalam khotbah, perhelatan, dan pertemuan-pertemuan khusus, tetapi dikhianati dalam laku dan perbuatan, persis seperti bangsa ini telah mengkhianati nilai-nilai Pancasila sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945.

Kata dan laku telah pecah kongsi, dipicu oleh “mentalitas menerabas”, ingin cepat kaya melalui jalan pintas tanpa berkeringat, untuk meminjam hasil penelitian Koentjaraningrat tahun 1970-an. Antropolog ini membidik laku usahawan baru Indonesia dengan menggunakan ungkapan:…’menyikat keuntungan sebesar-besarnya mumpung ada kesempatan’, “tanpa mau untuk juga mengunyah pahit getirnya masa permulaan berusaha.”

Hal serupa juga terjadi di kalangan birokrasi… “yang ingin segera mencapai fasilitas-fasilitas pangkat-pangkat tinggi dalam waktu secepat-cepatnya dengan cara-cara menerabas, tanpa rela berkorban dan berjuang melawan kesukaran-kesukaran dalam mencapai suatu ketrampilan dan kepandaian ilmu yang diperlukan.” Ironisnya, pernyataan Koentjaraningrat ini yang sudah muncul sejak pertengahan tahun 1970-an, tidak saja relevan dengan era kita di permulaan abad ke-21 ini, malah kondisinya semakin keruh dan kumuh saja.

Di mana-mana kita temui kanyataan merajalelanya cara hidup ikan lele: “semakin keruh air, semakin lahap makannya.” Fatwa agama, pengarahan pejabat, seruan adat, sudah lama tidak berfungsi. Jika ada ungkapan lama sebagai kritik terhadap kebebalan seseorang: “masuk telinga kanan, keluar telinga kiri,” sekarang kondisinya semakin hitam: “masuk telinga kanan, ke luar telinga kanan.” Segala kritik sosial, nasehat-nasehat agama, petuah-petuah adat seakan-akan tidak ada gunanya lagi. Nurani dan akal sehat sudah lama lumpuh.

Di lingkungan birokrasi dan aparatur negara dalam upaya melawan korupsi, misalnya, fakta terlihat dalam formula yang menghebohkan ini: “Koruptor dan aparat penegak hukum sebenarnya bersahabat!” Kita sedang kehilangan kesungguhan dalam mengurus bangsa dan negara.

Anda bisa bayangkan tentang betapa kumuhnya lingkungan budaya bangsa ini, dan Minang, negeri beradat, tampaknya tidak kebal dari serangan virus semacam itu. Dalam beberapa hal, boleh jadi layanan birokrasi di Jawa lebih baik dibandingkan dengan yang berlaku di Sumatera Barat. Maka tidaklah mengherankan benar, para perantau Minang tidak betah berlama-lama tinggal di negeri beradat ini, ada perasaan resah dan perih yang selalu melingkari, apalagi jika anda rakyat kecil.

Dalam suasana mentalitas dan budaya yang keruh ini, adalah sebuah nonsens besar bila para elit masih juga berbicara tentang idealisme, tentang hari depan bangsa, tentang melawan kemiskinan, sementara laku mengkhianati itu semua tanpa rasa dosa. Perasaan tidak takut kepada dosa dan dusta adalah salah satu buah dari penyakit “mentalitas menerabas” yang semakin kronis menggerogoti urat nadi bangsa ini.

Minangkabau, negeri elok, sudah lama menantikan anak-anaknya agar berani menyimpang dari “pola umum” yang korup yang sedang melilit batang tubuh Indonesia sekarang, tetapi alangkah sukarnya. Gravitasi mumpungisme sungguh merupakan gelombang besar untuk dilawan, tetapi kita harus sadar bahwa dalam perlawanan itulah terletak masa depan kita semua. Oleh sebab itu, stamina spiritual kita tidak boleh kendor. Kita jangan menyerah kepada segala bentuk kekumuhan dan kekeruhan budaya, karena kita orang merdeka!

Minang dan Mitologi

Kelampauan Minang yang juga tidak bebas dari mitologi masih dirasakan pengaruh psikologisnya sampai hari ini. Ada dua mitos karut yang perlu mendapat perhatian kita dalam upaya bangkit kembali secara autentik. Mitos-mitos yang dapat membawa kita ke lingkaran hidup dalam kebanggaan semu harus ditinggalkan dengan sadar dan berani.

Mitos itu berkaitan dengan cerita tentang Iskandar Zulkarnain dan tentang kemenangan adu kerbau Minang melawan kerbau Jawa. Kita harus mencari kelampauan yang historis dalam upaya membangun jati-diri kita, apalagi jika kita mau berpedoman kepada Al-Qur’an yang anti-mitos.

Dengan bahasa sinisme yang tajam, sastrawan Wisran Hadi menulis dalam Orang-Orang Blanti tentang asal-usul orang Minang yang dikaitkan dengan Iskandar Zulkarnain sebagai berikut: “Lalu, kita bangga dengan keaslian turunan kita. Kita menganggap diri kita keturunan langsung dari Raja Iskandar Zulkarnain yang termasyhur. Padahal mungkin kita keturunan budak-budaknya. Kita menganggap turunan dari Indo Jalito, Indo Jati, nenek yang kita keramatkan, padahal kita mungkin keturunan kuntilanak, musang atau burung hantu.”

Pernyataan ini bagi saya dahsyat sekali karena Wisran Hadi mau dan berani menelanjangi diri sendiri dalam kerja membangun autentisitas. Berkaca diri dan melihat diri apa adanya adalah sikap terpuji yang harus dikembangkan. Mitologi yang sering berfungsi sebagai penghibur lara itu jika dijadikan pertimbangan dalam membangun peradaban hanyalah akan mempertinggi tempat jatuh, karena faktanya memang tidak ada.

Jadi, fondasinya rapuh sekali. Percaya kepada mitos adalah bayangan dari masyarakat yang tidak percaya kepada diri sendiri, lalu bernaung di bawah payung kebesaran masa lampau yang kosong dan hampa. Sama halnya dengan kepercayaan kepada kedatangan ratu adil yang akan membawa lampu aladin untuk melepaskan suatu bangsa atau masyarakat dari ketertindasan.

Minangkabau adalah kampung umat beriman yang secara lahiriah bangga dengan ajaran agamanya. Islam datang ke muka bumi dengan suluh matahari, bukan suluh batang pisang. Sebagai agama terbuka, Islam membela keterbukaan dan kejernihan berfikir, bebas dari segala mitos yang mematikan hati nurani dan akal sehat. Perintah Al-Qur’an untuk mempelajari sejarah dan alam semesta bertujuan agar manusia tidak terpasung dalam perbudakan mitologi.

Sebenarnya ungkapan yang populer di Minangkabau: “Alam terkembang jadi guru” sangat akrab dengan diktum-diktum yang bertebaran Al-Qur’an. Kita kutip terjemahan ayat ini: “Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di cakrawala (alam semesta) dan pada diri mereka sendiri, sehingga menjadi jelas bagi mereka bahwa ia (al-Qur’an) itu benar.”

Oleh sebab itu, jika memang kita berpegang kepada diktum “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah,” segala mitologi yang menidurkan orang Minang harus dibuang jauh-jauh. Tidak ada pilihan lain untuk bangkit, kecuali membebaskan diri dari segala macam kepercayaan dan mitologi, betapa pun kadang-kadang menyenangkan, tetapi pada saat yang sama pasti menggerogoti posisi dan martabat manusia sebagai teman sekerja Tuhan dalam mengubah wajah kenyataan.

Mitos lain yang juga terdengar sampai di pelosok adalah cerita adu kerbau. Ada semacam kepiawaian, jika bukan kelicikan, yang terkandung dalam cerita itu. Kerbau jantan Jawa yang gagah perkasa dibunuh oleh anak kerbau Minang yang sebelumnya dilaparkan selama tiga hari, tetapi diberi tanduk emas. Maka di sebuah tanah lapang, berlagalah dua kerbau itu. Karena merasa sangat lapar, kerbau Minang langsung menyeruduk ke bawah perut kerbau Jawa yang perkasa itu.

Dalam tempo beberapa detik kerbau Jawa lumpuh, isi perutnya terberai ke luar, tertusuk oleh tanduk emas anak kerbau Minang. Maka pertandingan dimenangkan oleh Minang, Jawa menyerah, tidak berkutik. Alangkah hebatnya Minang itu, bukan?

Dari kejadian itulah, kata mitologi itu, nama Minangkabau berasal, bukan dari nama lain: Menang Kerbau menjadi Minangkabau. Saya tidak tahu apakah di masa PRRI, cerita semacam ini juga dikembangkan, tetapi di ujung perjalanan pergolakan, dengan korban yang cukup tinggi di pihak daerah, sekitar 30.000, fakta sejarah mengatakan bahwa perlawanan Minang akhirnya menjadi lumpuh total digempur Jakarta, sekalipun Ahmad Husein masih berani mengintrupsi Sukarno di Istana Bogor tahun 1961 itu.

Apa yang Mungkin Dilakukan?

Sekiranya kesan umum saya tentang Minangkabau sekarang ada unsur kebenarannya, apalagi jika semuanya itu adalah puncak sebuah gunung es, maka perlu difikirkan langkah-langkah serius berdasarkan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif dalam upaya mencari jalan ke luar yang masuk akal dan dapat dilaksanakan. Tentu dalam pelaksanaannya akan melibatkan semua unsur dari masyarakat Minang: pemerintah, organisasi-organisasi kemasyarakatan, lembaga adat, anak muda, perantau, kaum cerdik-cendekia, dan bundo kandung.

Dicari tokoh-tokoh siuman dari berbagai komponen itu untuk merumuskan solusi yang terbaik bagi masa depan Minang, jika kesimpulan kita mengatakan bahwa memang Minang sedang digoncang gempa budaya. Sebenarnya kegiatan untuk mencari solusi ini sudah berkali-kali dilakukan, tetapi barangkali belum ada perencanaan yang matang dan tidak ada kontinuitas dari sebuah upaya ke upaya yang lain.

Ada ungkapan menarik dari seorang antropolog asal Minang kepada saya beberapa minggu yang lalu, bunyinya begini: “Orang Minang itu bisa sama-sama bekerja, tetapi tidak bisa bekerja sama.” Mudah-mudahan pernyataan ini tidak didukung oleh realitas yang sebenarnya, orang Minang masih mau dan bisa bekerja sama, mengapa tidak?

Akhirnya, sebagai perantau saya merasa sangat dekat dengan keminangan ini, tetapi polusi suara dalam angkot tetap saja menyisakan pertanyaan ini: quo vadisMinangkabau? Apakah secara kultural dan moral Minang akan tetap menjadi bagian dari Indonesia yang rusak atau berusaha bangkit dengan melakukan penyimpangan dari pola umum bangsa yang sarat dengan beban itu? Jawabannya sebaiknya kita cari bersama!

Ranah Gurindam dalam Sorotan 1

Istilah “bencana budaya” bukan berasal dari saya, tetapi dari seorang sastrawan Minang yang setia menetap di Padang, seperti pendahulunya almarhum A.A. Navis yang di akhir hayatnya juga telah menjadi sahabat saya. Judul “Ranah Gurindam” jika disempurnakan menjadi “Ranah Gurindam, Petatah-Petitih, Mamang, Bidal, Pantun, dan Sya’ir,” tetapi agar tidak terlalu panjang, saya singkatkan saja dalam kemasan “Ranah Gurindam,” di samping terasa lebih manis dan sedikit puitis.

Sebagai seorang yang bukan sastrawan, dalam orasi ini nanti sudah barang tentu akan banyak ditemui ungkapan-ungkapan yang kurang pas dan kurang sedap di telinga orang Minang yang memiliki modal budaya yang sangat kaya itu. Beberapa minggu yang lalu, di kantor Akademi Jakarta, Taman Ismail Marzuki, ketika saya sampaikan rencana pertemuan budaya ini kepada Rosihan Anwar, kontan dijawab: “Saya tidak berani.”

Jika seorang sastrawan dan wartawan kawakan sekaliber Rosihan Anwar, angkatan Chairil Anwar dan Asrul Sani, tidak berani bicara budaya Minang, pertanyaannya adalah: mengapa saya berani? Jawabannya singkat dan sederhana: karena saya bukan sastrawan dan bukan budayawan, paling tinggi posisi saya adalah seorang peminat, tidak lebih dan tidak kurang. Dengan posisi yang seperti ini, izinkanlah saya menyampaikan sesuatu yang sudah lama terasa di hati, terpendam di fikiran, dan terngiang di angan, tentang Minangkabau kontemporer dengan segala permasalahannya yang berdimensi banyak.

Minangkabau dan Indonesia: Sebuah Kegalauan Budaya

Sebagai seorang yang berasal dari nagari tersuruk, Sumpur Kudus, saya sudah merantau sejak usia 18 tahun. Barangkali saya sudah tidak begitu akrab lagi dengan apa yang sedang dirasakan oleh orang yang masih setia menetap di kawasan yang dikenal sebagai “Fabrik Kearifan Kata” yang kaya. Oleh sebab itu, saya hanya akan memberikan kesan secara umum dan selintas saja tentang Minangkabau sekarang.

Terlihat dan terasa oleh saya bahwa Minangkabau atau ranah Minang dalam perspektif budaya sudah menjadi bagian dari Indonesia yang sedang bingung merumuskan jati-dirinya di tengah-tengah peluang dan ancaman globalisasi yang tidak mengenal rasa iba. Indonesia sebagai bangsa dan negara muda, karena kelalaian para pemimpin sejak proklamasi 1945 sampai detik ini, masih tertatih-tatih dan sempoyongan dalam menjaga kedaulatannya yang telah agak lama dilecehkan oleh negara-negara jiran seperti Singapura dan Malaysia.

Dengan penduduk sekitar 240 juta dibandingkan dengan Malaysia yang hanya 24 juta dan Singapura lima juta, Indonesia adalah ibarat gajah setengah lumpuh. Telinga dan sela-sela jari kakinya dimasuki berbagai jenis semut kecil-kecil yang ganas, sehingga menyebabkan si gajah menjadi gelisah dan tidak percaya diri.

Semut-semut ini berupa manuver-manuver kecil dari Malaysia dan Singapura, dua negara jiran yang lagi bermaya secara ekonomi. Mereka tahu betul bahwa Indonesia sedang sakit yang agak parah. Mereka sedang mengukur Indonesia sampai di mana daya tahannya. Hutan yang 2/3 luasnya sudah gundul semakin menyulitkan posisi Indonesia untuk angkat kepala dalam berbagai pertemuan dunia.

Tetapi apakah benar negeri-negeri jiran ini ingin melihat Indonesia semakin lemah? Dalam pembicaraan saya dengan para diplomat dari Malaysia, Singapura, dan Brunei dalam berbagai kesempatan, mereka sebenarnya tidaklah menginginkan Indonesia jatuh, tetapi tetap tegak utuh sebagai bangsa yang kuat. Sebab jika Indonesia goyang dan labil, maka keseimbangan geo-politik di kawasan Asia Tenggara akan mengalami kegoncangan dahsyat yang tak terbayangkan akibatnya. Oleh sebab, itu semestinya “semut-semut” jiran itu dijinakkan satu persatu melalui kemampuan diplomasi dengan kualitas super tinggi. Dalam diplomasi inilah kita sering benar kedodoran.

Sebagai bangsa yang lagi “gerah” dengan masalah domestik yang berketiakular, Indonesia sekarang memang tidak memiliki kemampuan diplomasi yang tangguh dan meyakinkan, seperti dulu pernah diperlihatkan Agus Salim, Hatta, Sjahrir, Roem, L.N. Palar, Adam Malik, Soedjatmoko, Mochtar Kusumaatmadja, dan masih ada nama-nama lain. Ada semacam kekosongan di ruang diplomasi ini karena banyak dihuni oleh birokrat yang bekerja umumnya secara mekanis dan tunggu perintah.

Dunia diplomasi adalah dunia silat lidah yang sangat sesuai dengan bakat anak bangsa yang berasal dari “Ranah Bidal dan Gurindam.” Lingkungan kultur Minang asli merupakan modal utama untuk berdebat dengan penuh percaya diri di fora dunia dalam upaya membela martabat bangsa ini dari segala pelecehan dan pencibiran yang dilakukan pihak lain.

Dengan modal kultur Minang asli yang dikembangkan lebih jauh melalui interaksi aktif dan kreatif dengan kultur bangsa-bangsa lain, maka kepiawaian untuk membuktikan kebenaran bidal ini: “Takilek ikan dalam aiealah tantu jantan batinonyo,” atau “Alun takilek alah tabayang” bukan sesuatu yang mengada-ada, sekalipun dikemas dalam format yang agak berlebihan. Memang sebagian orang Minang suka melebih-lebihkan, agar terlihat hebat dan keren, sekalipun kadang-kadang jauh dari kenyataan.

Saya harus menekankan keaslian Minang, sebagaimana yang tersurat dan terbaca dalam kumpulan gurindam, petatah-petitih, mamang, bidal, dan pantun yang sangat impresif. Keaslian yang dikawinkan dengan unsur budaya rantau inilah yang melahirkan Agus Salim, Tan Malaka, Hatta, Sjahrir, Yamin, Adinegoro, Natsir, Hamka untuk “bersilat lidah” di fora nasional atau internasional.

Tetapi harus dicatat pula seorang Tan Malaka jika tetap terbenam di nagari Pandan Gadang, Suliki, tentu ia tidak akan pernah menjadi salah seorang tokoh komintern tahun 1920-an, sekalipun kemudian “bentrok” dengan Stalin, sang diktatur. Jika tidak beranjak dari Pandan Gadang, Tan Malaka paling-paling menjadi camat atau bupati Limo Puluah Koto.

Dengan latar keminangannya, Tan Malaka tidak pernah kehilangan watak merdekanya di bumi mana pun ia berada, dengan siapa pun ia berhadapan, karena menurut catatan Hatta, Tan Malaka “tidak mempunyai tulang punggung yang mudah membungkuk,” persis seperti diajarkan oleh warisan budaya Minang asli, khususnya yang terdapat dalam sub-kultur Bodi Caniago yang sarat dengan nilai-nilai egalitarian dan demokrasi. “Bulek aie dek pambuluahbulek kato dek mufakek” adalah bagian dari pesan egalitarian itu.

Sisa dari jiwa merdeka itu masih dimiliki oleh tokoh Dewan Banteng Ahmad Husein, saat dipanggil Presiden Sukarno akhir 1961. Inilah suasana dalam dialog itu:

Akhir 1961. Ahmad Husein gelisah ketika ke selnya, di Rumah Tahanan Militer, Jakarta Pusat, datang Kolonel Suparman. Ia diperintahkan menghadap Bung Karno di Istana Bogor. Husein menyangka inilah saatnya ia betul-betul disingkirkan.

Setiba dia di Istana, Bung Karno sudah dikelilingi Perdana Menteri Djuanda Kertawidjaja, Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena, Menteri Pembangunan Chairul Saleh, dan Jenderal Ahmad Yani. Pembicaraan seputar PRRI.

Don’t talk about that anaymore,” Bung Karno menyergah. “Itu peristiwa sejarah yang pasti terjadi walaupun Ahmad Husein tidak dilahirkan di Indonesia atau tidak ada di Indonesia., dan ini proses sejarah. Tak ada satu kekuatan yang dapat menghambat atau menghalanginya.”

“Kalau saya memberontak, Pak,” Husein menimpali, “bukan kehendak saya memberontak, tapi Bapak yang menyuruh saya.”

“Lo, kok kamu bilang saya yang menyuruh?”

“Ingatkah Bapak, pada tahun 1958 bulan Januari, Bapak berpidato di Surabaya: ‘Kalau saya pemuda, saya akan berontak terhadap keadaan ini.’”

Jiamput, lu!” Bagi saya, dialog ini bernilai sejarah bila dikaitkan dengan kultur Minang yang mendidik manusia menjadi merdeka yang dengan kepala tegak menghadapi kenyataan, betapa pun mungkin pahit dan penuh risiko. Nilai kemerdekaan itu masih belum hilang dari diri Ahmad Husein.

 

Ranah Gurindam dalam Sorotan 2

Bayangkan, seorang tahanan Ahmad Husein berani menyela pembicaraan Bung Karno yang pada saat itu sedang berkuasa penuh, dikelilingi oleh para pejabat tinggi negara, termasuk Jenderal Yani yang memerintahkan mengebom Painan tahun 1958 itu. Bukankah panorama ini sekaligus menujukkan bahwa asli keminangan Ahmad Husein masih bertahan, sekalipun datang dari sel tahanan? Sungguh keberanian Husein ini sesuatu yang luar biasa.

Reaksi Bung Karno “Jiamput, lu!” telah mencairkan suasana dan menghilangkan kegelisahan Ahmad Husein, si Minang, sampai batas yang sangat jauh. Saya tidak tahu, setelah hampir setengah abad berlalu pasca PRRI, apakah jiwa merdeka itu masih bertahan atau telah larut dalam kubangan sub-budaya pragmatisme materialistik sebagai bagian dari budaya Indonesia yang sedang jatuh. Apakah demi pragmatisme jangka pendek, si Minang kontemporer masih menjadi pewaris Tan Malaka atau telah berlaku ungkapan ini tanpa reserve: “Bialah kapalo bakubang asa tanduak lai manganai?”

Saya katakan tanpa reserve karena sering kali parameter moral dan etika sudah tidak berfungsi lagi. Orang sudah berenang dalam limbah mumpungisme tanpa hirau batas dan pematang. Kabarnya konon, di Minang sekarang, ungkapan-ungkapan “sakti” seperti: “adaik basandi syaraksyarak basandi Kitabullahsyarak mangatoadaik mamakai” plus petatah-petitih, gurindam, dan sebagainya yang sarat makna itu sudah agak lumpuh tak berdaya, telah dijadikan retorika murahan tanpa ada bukti dalam kenyataan dan pergaulan sehari-hari.

“Fabrik Kearifan” ini sudah berubah menjadi “Fabrik Komersial,” uang telah menjadi “agama” ditingkahi khotbah para khatib Jum’at yang kehabisan energi dan kosa-kata. Untuk kota-kota besar, polusi suara keras yang diputar via kaset sopir para angkot telah semakin menyempurnakan krisis budaya yang berdimesi banyak itu. Saya gagal memahami mengapa para sopir itu tidak lagi menghargai telinga manusia yang masih normal. Alangkah manisnya jika lagu-lagu yang diputar itu dengan suara yang lebih beradab.

Situasi semakin menjadi parah pada saat politik sedang menjadi mata pencarian, karena lapangan kerja sulit sekali. Lautan pengangguran terbentang di berbagai pojok tanah air. Lagi-lagi Minang sedang memosisikan diri sebagai Indonesia mini dalam formatnya yang sempurna. Apakah ini akibat trauma PRRI plus kemudian merajalelanya PKI di Minangkabau setelah PRRI dikalahkan tahun 1960-an? Tidak cukup itu.

Dengan UU No 5/1979 yang memecah nagari menjadi desa telah membuyarkan basis kultural Minang pada tingkat yang paling bawah. Nagari yang semula berjumlah 543 disunglap menjadi desa dengan jumlah 3500, sebuah perubahan yang sangat dahsyat. Pada era otoritarian itu, lembaga adat seperti LKAAM terpecah di antara yang mendukung dan ragu-ragu. Dengan kenyataan ini, masyarakat di akar rumput menjadi berserakan, tidak ada lagi tali pengikat kultural yang berwibawa. Sekalipun sekarang nagari telah mulai difungsikan kembali, keadaannya masih pada tahap masa transisi yang tidak mudah.

Gejala lain yang pernah disampaikan kepada saya oleh perantau adalah jika dulu orang Minang umumnya hampir tidak ada yang gila kuasa. Puncaknya di panggung nasional terlihat, misalnya, pada sikap Hatta, Sjahrir, Assaat, Natsir, yang dengan mudah dan enteng saja melepaska jabatan. Tetapi kabarnya sekarang perubahan drastis sedang berlaku.

Orang Minang jika sudah berada dalam posisi tertentu, apalagi jika posisi itu menguntungkan secara materi dan gengsi, mereka akan mempertahankannya mati-matian dengan segala cara. Saya tidak tahu apakah gejala ini sudah merupakan gelombang besar atau hanya sekadar riak-riak kecil yang tidak terlalu signifikan untuk dicemaskan.

Tentu budaya tak hirau kuasa ini ada plus-minusnya. Plusnya akan terlihat bahwa orang Minang sangat peduli dengan prinsip moral dan etika, kekuasaan bukan tujuan, tetapi sekadar alat untuk menegakkan kesalehan sosial; minusnya, orang lain yang belum tentu baik akan dengan cepat merebut posisi itu.

Jika ini yang terjadi, publik akan mengalami kerugian besar, sebab pengganti si Minang ternyata cacat secara moral. Oleh sebab itu, ketika Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden, banyak anak muda yang menyayangkan. Sebab, ibarat gas dan rem pada mobil, sepeninggal Hatta, Sukarno sebagai gas tidak bisa direm lagi. Setelah Hatta sebagai benteng demokrasi berada di luar sistem, Sukarno yang dibantu partai-partai tertentu dalam tempo tidak lama dengan mudah mengubur sistem politik egalitarian ini. Rezim Orde Baru hanyalah meneruskan sistem anti-demokrasi ini.

Sikap Saling Memahami antara Islam dan Barat (3)

OLEH AHMAD SYAFII MAARIF

Agak panjang kita bicarakan faktor sejarah yang mewarnai hubungan Islam dan Barat.

Oleh sebab itu, jangan cepat percaya kepada penguasa mana pun, sekalipun mendapat pembenaran dan dukungan dari lembaga-lembaga keagamaan. Mungkin boleh saya katakan dalam kalimat pendek bahwa dalam istana yang sangat mewah itu fenomena gundik, intrik, dan mistik bukan rahasia lagi.

Ironisnya, dinding istana ini juga dihiasi oleh ayat-ayat Alquran untuk menunjukkan bahwa pemiliknya adalah Muslim. Maka semakin jelaslah oleh puan dan tuan bahwa Islam telah lama jadi mainan penguasa. Sistem model ini pulalah yang mau dihidupkan lagi di era sekarang oleh kelompok yang buta sejarah.

Menurut catatan Akbar Ahmed, semua sultan Turki Usmani yang perkasa itu menghabiskan waktunya di lingkungan pergundikan yang penghuninya bisa melebihi 1.000 perempuan, dijaga oleh kasim (lelaki yang dikebiri, eunuchs) berkulit hitam yang punya masjid tersendiri. Para gundik muda usia di Istana Topkapi itu didatangkan dari Cina, Maroko, Eropa, dan Persi (hlm. 74-75).

Umumnya berasal dari keluarga terhormat. Mereka mau mengadu nasib ke sana dengan sebuah mimpi siapa tahu di antara mereka ada yang akan jadi ibu sultan Imperium Turki Usmani berikutnya sebagai “one of the most powerful men on earth” (salah seorang yang paling berkuasa di muka bumi), tulis Akbar Ahmed pada hlm. 75.

“Agak panjang kita bicarakan faktor sejarah yang mewarnai hubungan Islam dan Barat dalam rentangan waktu berabad-abad”

Agak panjang kita bicarakan faktor sejarah yang mewarnai hubungan Islam dan Barat dalam rentangan waktu berabad-abad. Ternyata fakta sejarah atau tafsiran terhadap fakta sejarah yang kemudian mengendap dalam ingatan kolektif manusia terus saja dipelihara. Para sejarawan punya minat besar dalam pelestarian kejadian sejarah ini.

Semua bangsa melakukan cara serupa ini, tidak peduli apa pun agama atau ideologi politiknya, untuk tujuan baik atau pun tujuan buruk. Sejarah pergundikan juga tidak luput dari perhatian penulis sejarah.

Sekarang kita beralih ke masalah yang lebih serius dan abstrak: teologi. Pihak Kristen dan pihak Muslim sama-sama terlibat dalam “perang” teologi ini. Sampai abad ke-21 ini hanyalah dalam jumlah yang sangat terbatas intelektual dan umat Kristen yang bersedia mengakui bahwa Muhammad itu seorang nabi yang mendapat wahyu dari Allah, sebagaimana para nabi dan rasul sebelumnya. Sebaliknya bagi setiap Muslim beriman kepada para nabi dan para rasul sebelum Muhammad punya dasar dan pijakan teologi yang sangat kuat.

“Inti pesan risalah para nabi dan rasul itu sebenarnya adalah tentang keesaan dan kemahakuasaan Tuhan, serta kepercayaan kepada akhirat”

Ayat-ayat Alquran tentang hal itu terdapat di berbagai tempat. Kita kutip satu saja dalam surat al-Baqarah ayat 4: “Dan orang-orang beriman kepada apa yang diturunkan kepada engkau [Muhammad] dan apa-apa yang diturunkan sebelum engkau. Dan kepada akhirat mereka yakin.” Dalam teologi Islam, risalah kenabian itu merupakan satu kesatuan, tidak boleh dipisahkan. Jika mau dibedakan, sebagian nabi dan rasul terdahulu itu hanya diutus untuk kaum tertentu.  Muhammad sebagai nabi terakhir diutus untuk seluruh manusia.

Tetapi dalam perkembangannya, berbeda dengan agama Yahudi yang tidak giat menambah pengikut, agama Kristen dan agama Islam adalah missionary religions (agama dakwah) yang berlomba-lomba menambah penganut baru. Perlombaan itu terjadi di mana-mana, khususnya di benua hitam Afrika, kedua agama ini benar-benar jor-joran memperluas pengaruh masing-masing.

Sementara di Eropa dan Amerika yang dikenal sebagai dunia Kristen, Islam pun telah mencatat pengikut-pengikut baru, baik dari penduduk asli, mau pun dari pendatang yang migrasi ke sana.

Inti pesan risalah para nabi dan rasul itu sebenarnya adalah tentang keesaan dan kemahakuasaan Tuhan, serta kepercayaan kepada akhirat. Iman seorang Muslim akan menjadi rusak jika tidak percaya kepada para nabi dan para rasul terdahulu, termasuk Nabi Musa dengan Kitab Tauratnya dan Nabi ‘Isa dengan Kitab Injilnya.

Musa dan ‘Isa dari Bani Israel, sedangkan Muhammad dari Bani Isma’il, semuanya keturunan nabi Ibrahim sebagai bapak monoteisme. Tetapi mengapa pengikut ketiga agama itu sulit sekali akur dan masih saja mencoraki hubungan Islam dan Barat sampai hari ini?

“Luka lama jangan diperlebar lagi. Maka, demi persaudaraan dan perdamaian universal, semua pihak mesti berangkat dari sebuah filosofi bahwa kemanusiaan itu tunggal”

Sekalipun tuduhan brutal Barat terhadap nabi Muhammad sudah semakin melemah, berkat kajian ilmiah dari sarjana mereka, untuk mengakuinya sebagai nabi baru penerus Musa dan ‘Isa baru merupakan riak-riak kecil. Teologi Kristen khususnya, seperti konsep trinitas, status ketuhanan Yesus, dan dosa warisan memang tidak mungkin berdamai dengan teologi Islam yang bertumpu pada tauhid. Kritik Alquran terhadap teologi serupa itu memang keras, tetapi tidak perlu saya buka di sini.

Luka lama jangan diperlebar lagi. Maka, demi persaudaraan dan perdamaian universal, semua pihak mesti berangkat dari sebuah filosofi bahwa kemanusiaan itu tunggal. Perbedaan dalam teologi tidak boleh digunakan untuk merusak filosofi agung itu.

Alquran dalam surah al-Hajj ayat 40 bukan saja mengakui tentang kemanusiaan itu tunggal, bahkan lebih jauh ditegaskan bahwa nama Tuhan itu disebut di mana-mana, tidak hanya di masjid.

Kita kutip arti ayat itu: “…dan sekiranya Allah tidak memberi kemampuan kepada manusia untuk mempertahankan dirinya terhadap satu sama lain, maka  biara-biara (shawami’), gereja-gereja (biya’), sinagog-sinagog (shalawat), dan masjid-masjid pasti akan hancur berantakan, di dalamnya nama Allah banyak disebut. Dan sungguh Allah menolong siapa yang menolongnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat, Mahaperkasa.”

Sikap Saling Memahami Antara Islam dan Barat (1)

Dunia Islam sampai hari ini dalam ketidakberdayaannya juga memendam dendam tak berkesudahan terhadap Barat.

OLEH AHMAD SYAFII MAARIF

Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. sudah memasuki ruang sejarah sekitar 1455 tahun dalam hitungan hijriah. Dalam hitungan miladiah 1411 tahun, dimulai sejak turunnya wahyu yang pertama pada 610. Penentuan permulaan tahun hijriah adalah hasil ijtihad ‘Umar bin Khattab dan ‘Ali bin Abi Thalib. Dimulai bulan September tahun 622 saat nabi berhijrah ke Madinah.

Menurut kesaksian Alquran (s. al-Hajj ayat 78) nama umat Muslim diberikan oleh nabi Ibrahim, yang juga menjadi bapak spiritual umat Yahudi dan umat Kristen (Nasrani). Peradaban Barat lebih banyak dibentuk oleh tradisi Yahudi dan tradisi Kristen (Judeo-Christian tradition), di samping oleh warisan Yunani.

Dibandingkan dengan agama Yahudi dan agama Kristen, Islam adalah pendatang baru yang selama ratusan tahun terhambat untuk memasuki pusat-pusat peradaban Barat modern. Seakan-akan Islam itu hanyalah fenomema Timur, padahal Alquran dengan jelas mengatakan bahwa Timur dan Barat adalah milik Allah (s. al-Baqarah: 115 dan 142). Atau dalam ungkapan lain, Alquran menyebut “Tuhan Timur dan Barat” (s. al- Syu’arâ ayat 28 dan al-Muzammil ayat 9).

Ketika ayat-ayat itu turun, tentu Barat yang dimaksud bukan Barat sebagai unit peradaban seperti yang kita kenal kemudian. Barat dan Timur dalam ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa milik Allah itu adalah seluruh kemestaan ini, di samping Timur sebagai tempat terbit matahari dan Barat sebagai tempat terbenamnya matahari. Tetapi saya rasa juga tidak salah kalau kita tafsirkan Barat sebagai unit peradaban yang dipengaruhi oleh tradisi Yahudi dan Kristen, seperti tersebut di atas.

Resistensi umat Kristen terhadap Islam demikian keras dan frontal karena dua faktor: sejarah dan teologi. Kita lihat dulu faktor sejarah. Setelah 100 tahun pasca wafatnya nabi Muhammad, Islam telah telah menjadi agama dunia, baik karena penaklukan politik-militer mau pun karena dakwah yang sangat gencar. Afrika Utara sebagai jajahan Bizantium ditaklukkan, tanah Andalusia dikuasai sampai tujuh abad.

Di antara peristiwa yang paling menyakitkan Barat adalah jatuhnya kota Konstantinopel, ibu kota Bizantium, pada 1453 ke tangan Sultan Muhammad II (1429-1481) dari dinasti Turki Usmani. Kota ini memang sudah diincar sejak era Imperium Umayyah (661-749), tetapi selalu gagal. Sultan Muhammad saat itu baru berusia 24 tahun dengan semangat ghazi (penyerangan) yang mendidih.

Merebut kota Konstantinopel bagi Sultan Muhammad bukan perkara mudah. Perlawanan pihak Bizantium dibantu relawan Yunani dan Italia terhadap pasukan Turki sengit sekali. Demikian sengitnya, sampai-sampai pernyataan Ibn Khaldun yang disampaikan jauh sebelum peristiwa itu terjadi dikutip penulis Inggris modern berikut ini: “Tidak ada kepastian kemenangan dalam perang, bahkan di saat perlengkapan dan angka kekuatan yang membawa kemenangan cukup tersedia. Kemenangan dan keunggulan dalam perang datang dari keberuntungan dan peluang. ”(Lih. Roger Crowley, 1453: The Holy War for Constantinopel and the Clash of Islam and the West. New York-Boston: Hachette Books, 2014, hlm. 203). Seakan-akan pendapat Ibn Khaldun itu sudah merupakan sebuah dalil, sebuah aksioma.

Setelah dikepung dan baku hantam selama tujuh pekan, maka baru pada 29 Mei 1453 kota itu takluk. Di mata Barat, kehilangan Konstanstinopel ini benar-benar teramat memalukan dan menyakitkan. Sebuah penghinaan yang luar biasa.

Kaisar Bizantium ke-57 dan yang terakhir, Constantine XI Dragases Palaiologos (1405-1453) adalah lawan tangguh Sultan Muhammad yang mati terbunuh dalam pertempuran dahsyat itu dalam usia 48 tahun. Di mana makamnya, sampai sekarang tidak diketahui (lih. Roger, hlm. 257).

Dendam Barat atas kejatuhan kota kebanggaan ini masih dirasakan sampai sekarang. Sebaliknya, umat Islam juga punya dendam berkepanjangan akibat penjajahan panjang Barat atas bangsa dan negara mereka, seperti yang akan dijelaskan selanjutnya.

Tetapi Barat tidak selalu jujur. Karena sebelum akhir abad ke-16, untuk mengutip AJ Toynbee, Barat telah memasang tali lasso ke leher dunia Muslim untuk mencekiknya. Maka hasilnya di akhir abad ke-19, hampir seluruh negeri Muslim telah berubah jadi tanah jajahan Barat, termasuk Nusantara kita. (Lih. AJ Toynbee, Civilization on Trial and the World and the West. Cleveland-New York: The World Publishing Company, 1963, hlm. 248).

Dibandingkan dengan kejatuhan Konstantinopel, penjajahan Barat atas dunia Muslim jauh lebih parah dan lebih menyakitkan. Skalanya global, sifatnya brutal dan ganas.

Dunia Muslim sampai hari ini dalam ketidakberdayaannya juga memendam dendam tak berkesudahan terhadap Barat, seperti baru saja dikatakan. Tidak jarang dendam itu dibungkus dengan jubah teologis. Tetapi apakah sifat saling dendam ini mau diteruskan sampai hari kiamat?

Akal sehat tentu akan menjawab: ”Hentikan dendam itu, dan ciptakan budaya saling memahami dan saling berbagi, demi perdamaian abadi dan persaudaraan universal umat manusia. Bukankah kemanusiaan itu tunggal adanya? Barat, Timur, Utara, Selatan hanyalah dinding-dinding artifisial dalam perspektif ayat-ayat Alquran di atas. Semuanya kepunyaan dan ciptaan Allah.”