Tag Archive for: NU

Larangan Menebar Kebencian

 

Oleh: Ust. Jamal Ma’mur Asmani

 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan  kaum (laki-laki)  yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula suatu kaum (perempuan) merendahkan kaum yang lainnya, boleh    jadi yang direndahkan itu lebih baik…(QS. Al-Hujurât: 11)

 

 

Ayat di atas melarang kita agar tidak  menebar kebencian   kepada   sesama, baik kepada non-muslim, apalagi kepada sesama muslim. Asas persaudaraan harus dikedepankan sesuai dengan ajaran Islam yang suci dan agung. Allah melarang umat Islam agar tidak merendahkan orang lain  yang membuat persaudaraan tercerai-berai. Menurut Imam Ibnu Abbas, ayat al-Quran di atas turun untuk merespons sikap  Tsabit bin Qais bin Syamas yang mengejek  seorang laki-laki dari sahabat Anshar dengan ejekan yang bernada Jahiliyah. Sikap seperti  ini tak pantas dilakukan seorang muslim. Karena Islam sarat dengan ajaran-ajaran luhur, menghormati yang lain, dan berlaku bijaksana dalam keadaan apa pun.

Dalam perspektif Islam, sesama manusia adalah saudara sehingga harus saling mengenal, merekatkan hubungan, dan bekerjasama dalam kebaikan. Kehidupan membutuhkan kebersamaan, kekompakan,  toleransi, dan agenda bersama yang dinamis dan progresif bagi kemajuan dan kebahagiaan umat manusia. Jangan merendahkan orang lain, jangan perlakukan orang lain sebagai musuh yang harus dibasmi dan disingkirkan.

Hidup dengan kedamaian adalah kunci meraih keberhasilan. Hidup dengan permusuhan adalah awal malapetaka. Merendahkan, mencela, mengejek, menggunjing, berburuk sangka, dan mencari-cari kejelekan orang lain adalah penyebab terjadinya permusuhan. Tragedi kemanusiaan seringkali berawal dari permusuhan dan kebencian

Islam meletakkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar utama dalam kehidupan di dunia ini. Pluralitas adalah sunnatullahyang harus dimanfaatkan sebagai media pembelajaran untuk saling mengenal, menebar benih kebaikan, dan merekatkan persaudaraan. Betapa indah dunia ini bila tidak ada kebencian di antara kita, kehidupan berjalan dengan penuh kedamaian lahir batin.

Trilogi persaudaraan yang disampaikan  KH. Achmad Siddiq, yaitu ukhuwwah islamiyah(persaudaraan atas dasar keagamaan), ukhuwwah wathaniyah(persaudaraan atas dasar kebangsaan), dan ukhuwwah basyariyah(persaudaraan atas dasar kemanusiaan) merupakan manifestasi agung dari ajaran Islam yang harus dibumikan di negeri tercinta yang heterogen dan plural ini.

Dalam konteks ini, peristiwa  pembebasan kota Mekah (Fathu Mekah) menarik untuk kita perhatikan bersama. Pasca pembebasan kota suci ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, Barang siapa masuk ke rumah Abu Sufyan, maka dia akan aman. Abu sufyan berkata, Hanya berapa orang yang dapat ditampung di rumahku?Kemudian Nabi bersabda kembali, Barang siapa yang masuk ke masjid, maka ia akan aman. Abu Sufyan berkata lagi, Hanya berapa orang yang dapat ditampung di masjid?Nabi pun kembali bersabda, Barang siapa yang meletakkan senjatanya, maka dia aman, dan barang siapa yang mengunci pintunya, maka dia aman.

Di pintu Masjid Al-Haram Nabi melanjutkan sabdanya, Wahai penduduk Mekah, apa yang kalian lihat terkait dengan  perbuatanku terhadap kalian?Mereka menjawab, Baik, wahai saudara yang mulia dan anak saudara yang mulia. Nabi bersabda kembali, Pergilah, kalian semua dibebaskan(Imam Nawawi, Tafsir Munir,2/469-470).

Dalam peristiwa yang bersejarah ini tampak terlihat semangat persaudaraan Nabi Muhammad SAW. Tidak ada balas dendam dalam hati Nabi dan para sahabatnya terhadap penduduk kota Mekah. Justru yang ada adalah kasih sayang  terhadap sesama, menebarkan perdamaian dan kerukunan, dan menjauhi permusuhan.

Padahal ditilik dari sejarahnya, penduduk kota Mekah seringkali menzalimi dan mengintimidasi Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya, terutama sebelum umat Islam hijrah ke Madinah. Seandainya Nabi atau para sahabatnya pun membalas perlakuan yang diterima umat Islam dahulu, mungkin juga masih bisa dipahami. Mengingat parahnya aksi kezaliman yang kerapkali dilakukan oleh penduduk Mekah kepada Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Tapi bukan ini yang dilakukan Nabi Muhamamd SAW. Beliau justru memaafkan dan membebaskan mereka dari dosa-dosa di masa lalu. Itu sebabnya, penduduk Mekah disebut sebagai orang-orang yang dibebaskan. Dan mereka pun berbaiat masuk Islam.

Patut disayangkan, ajaran persaudaraan seperti di atas seperti hilang dari kesadaran  umat Islam belakangan ini. Sebagian umat Islam sedemikian mudah terpancing provokasi pihak lain, mudah tersinggung, dan kehilangan nalar obyektif dan proporsional. Fanatisme primordial dan egoisme berlebihan menjadi pembakar api kebencian. Sesama umat Islam pun sering terjadi ketegangan, percekcokan, bahkan pembunuhan.

Polarisasi umat Islam terbagi ke dalam segregasi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan pendidikan. Satu dengan yang lain tidak bisa menutupi kelemahan dan kekurangan masing-masing. Hubungan dengan non-muslim berjalan dalam bayang-bayang permusuhan dan kebencian yang berpotensi melahirkan konflik horizontal. Kekhawatiran dan kecemasan menyatu dalam kejiwaan dan kepribadian umat Islam. Beberapa kasus yang terjadi belakangan ini (baik bermotif agama, ekonomi, budaya, pendidikan, dan politik) adalah bukti faktual dari rentannya persaudaraan internal umat Islam. Kematangan dan kedewasaan dalam menyikapi masalah yang ada masih jauh dari yang diharapkan. Kesan emosional subyektif sangat kuat. Inilah yang harus diantisipasi dan diperhatikan oleh semua pihak, terutama kaum agamawan.

 

Menebar Kedamaian

Menghadapi masa depan yang penuh problem, kedewasaan dan kematangan dalam menyikapi masalah haruslah dipersiapkan, sikap permusuhan harus dihilangkan dan perdamaian harus disemai. Kebencian terhadap agama lain, etnis lain, golongan lain, dan suku lain sudah waktunya untuk dihilangkan secara bertahap.

Dakwah Nabi dalam menyebarkan Islam  dengan membumikan nilai-nilai persaudaraan, kedamaian, kerukunan dan kasih sayang semestinya menjadi teladan baik bagi semua pihak. Dalam surat An-Nahl ayat 125 Nabi diperintahkan untuk berdakwah dengan cara-cara bijak (alhikmah), nasehat yang baik (mau’idzah hasanah), dan perdebatan yang bersifat konstruktif (mujadalah). Nabi tidak diperintahkan menebarkan kebencian, permusuhan, dan pembunuhan.

Kerjasama antar-kelompok masyarakat, bahkan antar agama perlu dilakukan demi harmonisasi dan humanisasi. Interaksi sosial dapat berjalan secara inklusif, moderat, dan progresif. Masing-masing kelompok hanyalah bisa memahami hakikat eksistensi dirinya manakala berinteraksi dengan orang  lain, mencoba memahami orang lain dan mengambil manfaat realitas majemuk yang ada.

Benih-benih kebencian yang bersumber dari pemahaman keagamaan yang bercorak eksklusif, kontestasi ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik dengan sendirinya akan hanyut oleh pemahaman keagamaan yang inklusif. Di mana pemahaman seperti ini tidak akan tumbuh kecuali melalui proses interaksi positif dengan umat agama lain. Dalam konteks ini, agama lahir sebagai sumber kedamaian dan kebahagiaan lahir batin, bukan sumber kebencian, konflik, dan agitasi yang melahirkan disharmoni sosial.[]

 

Ust. Jamal Ma’mur Asmani, dosen Institute Pesantren Mathaliul Falah, Direktur Lembaga Studi Kitab Kuning, Pati.

e-PDF Buletin Jumat dapat diunduh disini

Pesan Buat Cawapres KH Ma’ruf Amin

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Berdasarkan info dari pihak pimpinan PDIP Daerah Istimewa Yogyakarta dan dari kepolisian, Senin, 15 Oktober 2018 pukul 12.30-13.00, cawapres KH Ma’ruf Amin akan menemui saya di Nogotirto bersama tim kampanye yang mendampinginya. Sekalipun saya bersikap kritis atas proses pencalonannya sebagai cawapres, terhadap tamu menurut ajaran Islam dan kultur Indonesia, kedatangannya harus diterima dengan sebaik-baiknya.

Ada beberapa pesan yang akan saya sampaikan kepadanya, sekiranya jadi berkunjung. Jika berhalangan, semoga pesan ini akan sampai juga kepadanya.

Selain itu, ada pula titipan pesan dari dua intelektual muda NU papan atas, ZM dan SQ, untuk disampaikan pula kepada kiai ini, jika nanti terpilih jagi wapres. Titipan itu kita sebut lebih dulu. Dari ZM, agar fatwa MUI tidak dijadikan sebagai keputusan negara; MUI harus dijadikan lembaga pembentukan moral dan karakter bangsa; fatwa soal Ahmadiyah punya dampak negatif di bawah karena warga Ahmadiyah menjadi telantar dan dipersekusi.

Kemudian dari SQ, ada pesan singkat agar Kiai Ma’ruf kelak menjaga pentingnya toleransi agama di Indonesia. Pesan dari ZM dan SQ itu perlu menjadi perhatian serius dari Kiai Ma’ruf agar MUI, siapa pun ketua umumnya nanti, bisa menjadikan lembaganya sebagai payung moral umat Islam Indonesia. Politik praktis harus dihindari sebab akan menurunkan martabatnya.

Pesan dari saya sendiri ada tiga yang penting. Pertama, jika terpilih sebagai wapres, Kiai Ma’ruf mesti mendudukkan dirinya sebagai wapres seluruh rakyat Indonesia, bukan wapres dari parpol-parpol pendukung.

Ini perlu ditekankan, sebab sekali seseorang menempati posisi nomor 1 atau nomor 2 di republik ini, dia bukan lagi milik satu atau beberapa partai atau golongan, melainkan secara konstitusional sudah menjadi milik seluruh bangsa yang harus diperlakukan secara adil, tanpa pilih kasih.

Kedua, sejalan dengan semangat di atas, Kiai Ma’ruf tidak hanya mahir menyebut ‘Islam Nusantara’ sebagai produk dari wawasan kebangsaan NU, tetapi pada saat yang sama perlu pula menyebut ‘Islam Berkemajuan’ sebagai produk pemikiran Muhammadiyah. Selintas, masalah ini terkesan sepele, tetapi bagi perasaan umumnya manusia punya nilai penting dalam mengukuhkan pilar-pilar integrasi nasional.

Kiai Ma’ruf tentu sangat paham dengan apa yang saya sampaikan ini. Sebab, dia selama puluhan tahun telah malang melintang dalam dunia politik Indonesia melalui berbagai partai yang dimasukinya.

Pengalamannya di panggung politik nasional pasti telah mengkristal dalam pemikirannya sebagai modal utama baginya untuk berkiprah lebih bijak dan lebih adil sekiranya posisi wapres berhasil diraihnya nanti.

Ketiga, terhadap kelompok Syi’ah dan Ahmadiyah, Kiai Ma’ruf agar mau berpikir ulang. Mereka harus diperlakukan sebagai warga negara penuh, sekalipun kita tidak setuju dengan pandangan keagamaannya. Pengusiran dan persekusi terhadap mereka harus dihentikan sekali dan untuk selama-lamanya.

Indonesia adalah Bumi Pancasila, Bumi Bhinneka Tunggal Ika, dan Rumah Kita Bersama yang wajib dijaga dan dilindungi secara bersama pula. Sampai hari ini, kelompok-kelompok ini masih belum merasa aman hidup di tanah airnya sendiri.

Pimpinan ABI (Ahlul Bait Indonesia), salah satu komunitas Syi’ah di negeri ini setidaknya sudah dua kali menemui saya di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Mereka masih saja dibayangi ketakutan hidup di Bumi Pancasila ini, gara-gara adanya fatwa keagamaan MUI yang tidak arif dan tidak konstitusional atas keberadaan mereka.

Memang tidak dapat dimungkiri, teman-teman Syi’ah dan Ahmadiyah sering bersikap eksklusif dalam pergaulannya dengan umat Islam yang lain. Sikap semacam ini dapat mengundang kecurigaan dari pihak lain.

Satu-satunya jalan lempang untuk mengatasi masalah ini adalah diktum Alquran dalam surah al-Hujurât (49) ayat 10: “Sesungguhnya orang-orang beriman itu tidak lain melainkan bersaudara, maka oleh sebab itu damaikanlah antara dua saudara kamu, dan takwalah kepada Allah agar kamu beroleh rahmat.”

Itulah beberapa pesan yang perlu diketahui oleh Kiai Ma’ruf Amin!