Tag Archive for: OTG

Komputer Tua dan Para Sahabat

OLEH AHMAD SYAFII MAARIF

Sahabat dalam hidup itu amatlah penting. Penting sekali. Di kala suka, di kala duka, sahabat itu mutlak harus selalu hadir. Alangkah sepi dan gersangnya kehidupan ini manakala para sahabat menjauh dan menyingkir.

Mungkin karena egoisme dan ketidakarifan kita dalam merajut pergaulan. Jangan sampai kita melupakan prinsip sosiologi bahwa manusia itu adalah makhluk sosial.

Dengan karunia Allah, jumlah sahabat saya sudah berjibun dalam berbagai lintas. Di antara mereka itu adalah empat nama di bawah ini yang akan ditulis saat saya sedang mondok di RS PKU Muhammadiyah Gamping, Yogyakarta, 11-20 Februari 2021.

Gara-gara OTG (orang tanpa gejala), saya diserang Covid-19, sebagaimana telah ditulis dalam ResonansiSelasa yang lalu. Dalam neraca perbandingan, sebagian para sahabat itu lebih arif dan lebih baik dibandingkan saya.

Mungkin virus yang menyerang saya, kata dokter, sudah merupakan bangkai. Yang jadi sasaran tidak merasakannya. Para sahabat semisal DR Sudhmamek AWS (Jakarta) dan DR Sulthon Amien (Surabaya), Prof Muhadjir Effendy (Jakarta), dan Prof Achmad Jainuri (Sidoarjo) sengaja tidak diberi tahu, sekalipun akhirnya tercium juga oleh mereka.

Terhadap banyak sahabat yang lain juga demikian. Janganlah hendaknya berita tentang saya ini jadi tambahan beban bagi mereka. Pihak yang semula mengerti hanyalah keluarga inti dan kalangan yang sangat terbatas lainnya.

Salah seorang dokter yang merawat saya, Dr Evan Gintang Kumara SpD suka berbagi ilmu dengan pasien. Termuda di antara para dokter yang lain. Pasien yang awam dalam masalah kesehatan, seperti saya ini, pendekatan Dr Evan ini sungguh menghibur.

Bagi dokter ini, angka CT value yang dijadikan ukuran dalam menilai kadar Covid-19 tidaklah teramat penting. Yang terpenting sehat, bukan angka-angka, bukan positif-negatif.

Keterangan yang diberikan langsung kepada saya pada 19 Februari itu sangat melegakan pasien. Dada rasanya jadi semakin longgar. Inilah pendekatan psikosomatik dari seorang dokter. Pasien sungguh memerlukan sentuhan kejiwaan semacam ini, terutama saat sakit berat dan berbahaya. Kepada dokter muda ini, saya sarankan agar ilmu psikosomatik diperdalam.

Kembali kepada judul di atas. Tujuan menyebut komputer tua milik PKU adalah untuk menunjukkan bahwa saya harus belajar dari kelakuannya yang menuntut kesabaran. Hurufnya yang sering meloncat kian ke mari harus diikuti dengan sabar dan tenang.

Telat saja sedikit menyimpan kata atau kalimat yang telah ditulis langsung kabur. Tetapi saya menikmatinya. Sebagai merek ASUS yang memang sudah berumur, bisa dimengerti, tetapi jangan disandingkan dengan usia saya. Komputer ini adalah tipe tahun 2007. Tahun 2021 ini, jika diibaratkan siswa, baru masuk SMP.

Tetapi bagi komputer yang tak pernah rehat, usia sekian itu sudah cukup lanjut. Adalah DR Sudhamek AWS dengan mengutip pendapat Peter Drucker yang mengatakan: “Never leave yourself unemployed” (Jangan pernah nganggur). Tujuannya agar saya jangan banyak bermenung saat dirawat.

Lalu saya katakan telah mulai menulis dengan menggunakan komputer tua. Langsung saja ditanggapi: “Saya kirim laptop baru, ya… kalau berkenan.” Karena Sudhamek kelahiran Jawa, tawaran itu saya jawab dalam bahasa Jawa: “Inggang anyar wonten teng omah, mboten perlu perlu Pak Dhamek. Nuwun sanget.

Sudhamek masih melanjutkan: “Sebetulnya saya bisa kirim dari anak buah yang di Yogya.” Selain menawarkan komputer, sahabat ini juga telah mengirimkan Clover Honey ke rumah kami. Selama Covid-19, entah sudah berapa kali saya mendapat kiriman macam-macam dari bos Garuda Food Group ini.

Sebagai seorang pengusaha kelas hiu, DR Sudhamek sudah banyak memberikan bantuan kepada para intelektual Muslim Indonesia, khususnya untuk kepentingan studi lanjut. Ini sudah berjalan puluhan tahun.

Tidak perlulah nama-nama yang dibantu itu dituliskan di sini. Sebagian sudah wafat. Yang lain belum lama ini juga dibantu, bahkan dicarikan pekerjaan dan tempat tinggal.

Maka jika Sudhamek menulis buku: Mindful-Based Business (Berbisnis Dengan Hati Nurani) yang diluncurkan belum lama ini, tidaklah mengejutkan. Apa yang ditulis dalam buku itu rupanya itu pulalah yang dipraktikkan dalam perusahaannya. Keuntungan semakin membesar, tetapi juga untuk berbagi dengan yang lain yang memerlukan, di samping perusahaan dijalankan secara benar.

Filosofi bisnis sejenis ini adalah lawan tangguh dari sistem kapitalisme, klasik ataupun modern. Di dunia yang semakin sekuler, corak bisnis yang dijalankan Sudhamek ini mungkin sudah absen lebih dari dua abad dari muka bumi, termasuk di dunia Muslim yang lagi terkapar di pinggir peradaban. Penganut agama Buddha Mahayana ini punya filosofi bisnis dengan landasan spiritual yang dalam dan kuat sekali.

Persahabatannya dengan kami yang sudah berlangsung cukup lama tidak pernah dingin. Selalu hangat. Bagi saya, pengalaman bergaul dengan manusia tipe Sudhamek ini amatlah langka. Bahasa hati yang selalu digunakannya terasa tulus sekali.

Tanpa topeng, tanpa sandiwara, tanpa agenda terselubung apa pun. Ibarat tinggal di rumah kaca, semuanya terang benderang. Apa yang terlihat dari luar, itu pulalah yang ada di dalam. Saya “iri”, saya sedih, mengapa sebagian teman seagama saya belum tentu punya sifat semulia itu.

Padahal, Islam dalam bacaan saya menyediakan bergudang-gudang ajaran dan pedoman hidup untuk membentuk manusia mulia sampai ke tingkat spiritual tertinggi sekalipun.

Sekarang beralih ke DR Mohammad Sulthon Amien, pengusaha klinik darah Parahita dari Surabaya. Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur, di samping ahli pendidikan yang juga mengembangkan teori joyful learning(belajar dengan ceria).

Cabang perusahaannya sudah melebar di berbagai kota besar di Indonesia. Saya tidak tahu sudah berapa banyak harta bendanya yang diserahkan untuk kepentingan umum. Perkenalan saya dengan Sulthon sudah berjalan lebih dari 30 tahun.

Kontak tidak pernah putus, sekalipun saya tidak lagi di jajaran pengurus Muhammadiyah. Sulthon juga sebagai Preskom PT Cita Mulia Group. Sulthon adalah contoh hidup dari seorang yang sudah berusia 62 (tahun 2019) masih mau belajar sampai mendapatkan gelar doktor dari Universitas Gadjah Mada pada Januari 2019 dengan predikat cum laude (sangat memuaskan).

Ini nasihat Sulthon kepada saya saat dirawat. “Obat yang ada hanya suplemen. Fondasinya fisik dan psikis kita. Makan dan istirahat cukup serta spirit tetap terjaga.”

Dalam filosofi bisnis, ada kemiripan antara Sulthon dan Sudhamek. Sulthon mengembangkan apa yang disebutnya sebagai manajemen spiritual. Artinya, dalam berbisnis, nilai-nilai kerohanian harus diutamakan.

Manusia tidak boleh rakus. Harta kekayaan punya fungsi sosial, selain ada kewajiban membayar pajak. Sudhamek yang Buddha, Sulthon yang Muslim punya sikap yang sama terhadap harta. Dengan demikian, antara Budhisme dan Islam jika dipahami secara benar dapat membentuk sikap yang sama terhadap kekayaan.

Saat sampai berita tentang saya lagi dirawat, Sulthon langsung menanyakan kondisi kesehatan saya. Lalu diteruskan apakah kerso (mau) dikirimkan obat herbal berbasis mikroba.

Sulthon berkirim sesuatu kepada saya bukan hanya ketika dirawat ini. Macam-macam sudah dilakukan sebelumnya. Maka pada pagi 17 Februari obat herbal plus sari buah dan jeruk nipis digantungkan pada pintu kamar rawatan saya.

Oh ya, pada 18 Februari siang Menko PMK Prof Muhadjir Effendy juga berkunjung ke PKU Gamping. Sempat kontak via video call dengan saya dan meninggalkan sesuatu, sebagaimana sebelumnya telah berulang dilakukannya. Dan pada 20 Februari Pof Achmad Jainuri juga menitipkan bandeng dan buku di rumah kami.

Perhatian mereka terhadap saya demikian besar. Saya tidak mungkin mengimbanginya. Nama sahabat lain yang daftarnya panjang itu tidak akan disebut di sini. Tersebar di berbagai tempat.

Matur nuwun para sahabat! Itulah persahabatan, tetapi posisi saya seringkali sebagai tangan di bawah. Sudhamek, Sulthon, Muhadjir, dan Jainuri sebagai tangan di atas. Menurut agama, tangan di atas lebih mulia dan lebih baik daripada tangan di bawah.

Akhirnya, terima kasih komputer tua yang telah berjasa membunuh kejenuhan selama saya menjalankan perawatan.

Catatan: Ketika artikel ini ditulis, belum ada berita tentang wafatnya DR Artidjo Alkostar, asketis garda depan. Artikel ini dengan demikian belum terpengaruh oleh kepergian sahabat agung kita itu.

Serangan Covid-19 Kategori OTG

OLEH AHMAD SYAFII MAARIF

“OTG seperti saya ini, mungkin yang masih beruntung karena perlindungan Allah belaka.”

Orang tanpa gejala (OTG). Kami sekeluarga sebelumnya sama sekali tak mengira, saya akan termasuk kategori ini.

Ketika istri saya (Hj Nurkhalifah) di-swab pada 11 Februari 2021, sekitar pukul 10.30 WIB, oleh petugas RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, karena sebelumnya berdekatan dengan menantunya yang terpapar, saya hanya ikut-ikutan.

Tidak ada tanda-tandanya. Pusing tidak, panas tidak, sesak napas tidak, batuk tidak. Makan biasa. Lidah dan hidung berfungsi normal. Singkat kata, tidak ada keluhan. Maka, tidak cukup alasan untuk khawatir.

Sorenya, apa yang terjadi? Dr Muhammad Adnan Sp HTT dari PKU menelepon saya, memberitahukan hasil swab. Istri negatif, saya malah positif dengan CT value32,25. Artinya, sudah diserang beberapa hari sebelumnya. Kami semua tentu saja kaget.

Istri saya menjerit. Karena saya sudah berusia 85 tahun plus gula sekalipun terjinakkan, dan batu ginjal, macam-macamlah yang terbayang. Awak yang sudah sepuh ini diserang pandemi lagi, sekalipun dalam bentuk OTG.

Sore itu dalam suasana agak galau karena dalam persiapan isolasi ke PKU malam itu juga, saya masih sempat kirim artikel yang sudah siap untuk Republika, yang kemudian dimuat pada 16 Februari dengan judul: “Muhammadiyah Cabang Babat Sulit Ditandingi”.

PKU Gamping yang baru berusia 12 tahun ini dipilih karena lebih lapang dan sepi. Di lantai tiga, dari jendela menghadap ke utara, kita dengan leluasa memandang Gunung Merapi yang lagi batuk-batuk saat tidak diliputi kabut.

Di ruang ini pula pada Juli 2019, saya pernah dirawat karena batu ginjal. Sebagai OTG, saya harus sendirian tinggal di ruang ini. Sekitar setahun sebelumnya, istri saya juga operasi kedua tempurung lututnya di PKU ini. Hasilnya sangat memuaskan.

Di antara dokter yang mengawasi pasien, ada yang memakai APD seperti pakaian astronaut dengan sepatu botnya dan masker berlapis. Dr Evan Gintang Kumara Sp D dan Dokter Maskur Rahmat Sp D kemudian datang pula Dr Ardorisye Saptaty Fornia Sp P.

Mereka yang pertama mengunjungi saya dan menanyakan, mengapa saya sampai terpapar. Sebelum masuk kamar, ada proses ambil darah dan CT Scan terlebih dulu. Sebuah panorama rumah sakit yang tidak biasa kita lihat sebelum serangan Covid-19.

OTG seperti saya ini, mungkin yang masih beruntung karena perlindungan Allah belaka. Di mana saya terserang dan melalui siapa, tidak bisa dijawab. Sejak Maret 2020, saya patuhi protokol kesehatan. Selalu cuci tangan.

Pergi ke toko swalayan dan ke bank tak berani. Selama lima bulan absen shalat Jumat dan tidak mendekati kerumunan. Jika bersepeda sendirian ke luar rumah biasanya pakai masker. Tamu amat jarang datang. Jika berkunjung dengan jarak aman.

Tamu terakhir awal Februari 2021 adalah Ketua BPK DR Agung Firman Sampurna, bersama pengusaha dermawan Jenderal Fahmi SH. Agak jauh sebelum itu ada kunjungan Kepala BNPT Komjen DR Boy Rafli Amar MH, dengan jarak aman.

Sesudah itu, kunjungan Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri Komjen DR Rycko Amelza Dahniel MSi, juga menaati protokol kesehatan. Jadi, dugaan saya, terpapar bukan dari para tamu penting itu.

Mereka sebelumnya sudah wanti-wanti untuk sama-sama menjaga jarak. Lalu dari jurusan mana virus ini menyerang? Dalam bahasa Minang, jawabannya adalah antalah yuang (entahlah buyung)!

Perasaan takut pergi ke rumah sakit selama ini harus ditundukkan. Isolasi di rumah jelas tak memadai, sekalipun virus yang datang itu mungkin jenis yang lebih sopan. Ada rasa kasihannya kepada si tua renta ini.

Para dokter dan semua tenaga kesehatan lainnya di PKU Gamping adalah manusia penuh dedikasi. Saya wajib berterima kasih kepada mereka itu. Terlalu banyak jika disebut satu per satu.

Dirut PKU Gamping, Dr Ahmad Faesol Sp Rad, alumnus pandemi ini, terus saja memantau kondisi saya. Untuk staf perawat, cukup seorang saja ditulis di sini: Rubi Yanto dari bagian MPP (manajer pelayanan pasien).

Bung Rubi selalu menanyakan keadaan saya. Tidak sebatas itu, urusan komputer pun dibantunya. Pada 16 Februari pagi, Dr Evan Sp D menemui saya sambil memberitahukan keadaan saya, yang sudah semakin membaik dan boleh pulang sebelum 11 hari.

Untuk swab kedua kali dapat dilakukan di rumah, tetapi tetap mematuhi ketentuan isolasi mandiri. Dalam kamar harus sendiri, piring makan dan gelas untuk minum mesti terpisah, dan lain-lain.

Setelah keluarga berunding, anak kami, Mohammad Hafiz, menyarankan jangan pulang dulu sebelum di-swab lagi di PKU dengan hasil negatif agar semuanya merasa tenang. Dr Evan setuju dengan saran ini.

Pada 20 Februari pagi, Dr Adnan melakukan swab lanjutan untuk saya. Sorenya, alhamdulillah, hasilnya sudah negatif dan saya boleh pulang setelah sembilan hari dirawat. Matur nuwun sanget atas segala kebaikan, atas segala doa.

PKU Gamping untuk sekian kalinya berjasa menjaga kesehatan kami sekeluarga. Hanya Allah yang bisa membalas semua bantuan dan kebaikan itu. Amin.

Sumber:

https://www.republika.id/posts/14430/serangan-covid-19-kategori-otg