Tag Archive for: pemilu

Integrasi Nasional dalam Taruhan (2)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Jika orang hendak berbicara tentang masalah integrasi nasional, pengetahuan sejarah Indonesia yang memadai sangat diperlukan. Tentu semua pemangku kepentingan tidak perlu menjadi ahli sejarah, tetapi cukup memahami tonggak-tonggak sejarah utama dalam perjalanan bangsa dan negara ini.

Dengan memahami tonggak-tonggak ini, polarisasi masyarakat Indonesia akibat pemilu sejak 2014 akan dapat dipahami dengan baik, tajam, adil, dan lapang dada. Juga bagaimana solusinya yang tepat akan lebih mudah ditawarkan. Pada seri pertama, saya telah menyinggung tentang gerakan separatis dan bentrokan sosial yang pernah terjadi pada era pascaproklamasi.

Gerakan separatis yang masih terngiang dalam ingatan kolektif kita adalah RMS (Republik Maluku Selatan), DI/TII di Aceh, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan, serta Pemberontakan PKI di Madiun. Ada pun PRRI/Permesta (1958-1962) punya karakteristik sendiri sebagai pemberontakan terhadap pemerintah pusat di bawah pimpinan Presiden Sukarno yang dianggap telah melanggar UUDS 1950 karena mengangkat dirinya sendiri sebagai formatur kabinet Juanda. Gerakan ini bukan untuk memisahkan diri, melainkan sebagai bentuk protes terhadap Jakarta yang juga dinilai telah menganaktirikan daerah dalam pembangunan nasional, dan memberikan angin segar kepada PKI sebagai kekuatan komunisme terbesar ketiga setelah Uni Soviet dan Cina Komunis.

Sekalipun PRRI/Permesta tidak bertujuan untuk membentuk negara sendiri, dalam kenyataannya integrasi nasional telah tersobek dan api perpecahan bangsa sedang dinyalakan. Terlepas dari perbedaan sikap dalam cara penyelesaian pergolakan daerah ini antara Presiden Sukarno dan Bung Hatta yang dianggap sebagai payung daerah, kedua pemimpin ini punya tujuan yang sama: Indonesia sebagai bangsa dan negara tidak boleh pecah berkeping-keping.

Keduanya adalah patriot dan nasionalis sejati yang teramat paham tentang betapa mahalnya harga persatuan dan keutuhan nasional jika sampai dikorbankan. Bung Karno dan Bung Hatta adalah alumni penjara kolonial dalam bilangan tahun di tempat yang terpisah.

Menurut Jenderal AH Nasution, PRRI/Permesta pernah menguasai 1/7 wilayah republik. Jika tidak segera ditumpas, Indonesia sedang menghadapi bahaya yang serius, apalagi di belakang gerakan ini Amerika Serikat turut bermain dalam suasana Perang Dingin antara blok kapitalisme Barat/Amerika dan komunisme Uni Soviet.

PRRI/ Permesta yang anti PKI, di mata Amerika perlu dibantu, sekalipun tidak dengan sepenuh hati. Aktor utama PRRI/Permesta semula adalah tokoh-tokoh militer daerah, khususnya perwira AD (Angkatan Darat), sedangkan pihak sipil yang kemudian turut bergabung karena didorong oleh sikap yang sama: anti PKI dan perasaan marah karena pembangunan daerah yang nyaris terlupakan. Dalam tubuh PRRI/Permesta ini, apa yang disebut politisi agama tidak mengemuka, jika bukan sepenuhnya absen.

Sejak Proklamasi PRRI pada 15 Februari 1958 di Padang sampai hancurnya sistem Demokrasi Terpimpin pada 1965/1966, situasi politik nasional tidak nyaman sama sekali. Sikap saling mencurigai (terbuka atau secara diam-diam) sangat dirasakan.

PKI dan kekuatan pendukungnya telah memanfaatkan sisuasi labil ini untuk kepentingan politik kekuasaannya di bawah patron penguasa. Penyusupan ideologinya merembet ke mana-mana, termasuk ke tubuh TNI Angkatan Udara. AD (Angkatan Darat) juga disusupinya, tetapi arus besarnya tetap antikomunis.

Maka itu, tidaklah mengherankan saat Gerakan 30 September 1965 meledak, AD dengan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat)-nya bersama kekuatan organisasi sipil antikomunis bergerak bersama untuk menyelamatkan bangsa dan negara agar integrasi nasional dapat dipertahankan, tidak menjadi berantakan. Keadaan genting sekali.

Dalam posisi yang sudah tersudut, sebenarnya Bung Karno, jika dia bukan seorang patriot dan nasionalis sejati, dapat saja memberikan komando kepada pendukungnya yang cukup besar untuk memberikan perlawawan dengan risiko bangsa dan negara terbelah. Dalam kondisi semacam ini, tampak sekali bahwa Bung Karno telah membiarkan dirinya hancur lebur asal bangsa dan negara selamat. Bukankah sikap ini adalah warisan keteladanan seorang negarawan dalam bentuk yang sempurna?

Sudah 440 Nyawa KPPS Melayang

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Dalam Resonansi pekan yang lalu berdasarkan sumber Republika, sudah tercatat 272 petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang wafat. Baru berjalan seminggu, Republika (5 Mei 2019, hlm. 3) kembali mengutip sumber KPU bahwa jumlah nyawa yang melayang sudah berada pada angka 440.

Pada bagian akhir Resonansi, 30 April saya menulis: “Saya juga kecewa berat karena paslon 01 dan 02 seperti membisu atas kematian yang tragis dan dramatis ini.”

Jelas bukan para paslon itu yang bersalah, melainkan setidak-tidaknya mereka semestinya menunjukkan rasa duka yang dalam, mengapa penyelenggaraan pemilu yang relatif aman dan damai itu harus menelan korban yang begitu banyak.

Mungkin saja rasa duka telah disampaikan, tetapi sepengetahuan saya, gemanya tidak memasuki arus besar pemberitaan media, baik cetak maupun elektronik.

Menurut keterangan KPU, penyebab kematian ini terutama adalah faktor kelelahan para petugas sebagai penyelenggra pemilu yang begitu rumit dengan ketegangan mental yang tinggi.

Inilah pernyataan Komisioner KPU Ilham Saputra tentang pemilu 17 April itu: “Penyelenggaraan pemilu seperti kemarin merujuk kepada undang-undang. Jadi, sudah melalui pertimbangan yang matang…” (Republika, 5 Mei 2019, hlm. 3 di bawah judul: “440 KPPS Wafat Harus Dievaluasi”).

Pernyataan semacam ini bagi saya bernada pembelaan diri karena sudah sesuai dengan undang-undang dan bahkan katanya sudah melalui pertimbangan yang matang. Hal senada juga terbaca dalam pernyataan para pengusul judicial review, seperti telah saya kutip dalam Resonansi, Selasa yang lalu.

Jika demikian masalahnya, apakah secara moral dapat dibenarkan bahwa kematian yang sebesar itu menjadi sah dan biasa saja karena sudah sesuai dengan undang-undang dan pertimbangan yang matang?

Cobalah tuan dan puan bayangkan bagaimana perihnya keluarga yang ditinggal para petugas yang penuh dedikasi itu. Maka santunan Rp 36 juta bagi keluarga yang telah menjadi korban sama sekali tidak bisa diukur dengan kehilangan nyawa manusia yang dikasihi anak, istri, dan suami, yang jumlahnya bisa mencapai di atas 2.000.

Jika ditambah lagi dengan sanak famili yang lain, jumlah yang berduka itu bisa menembus 10 ribu orang.

Seperti telah saya jelaskan dalam Resonansi yang lalu, sekiranya korban petugas tidak membengkak seperti angka di atas, maka pemilu serentak bisa saja dilanjutkan pada masa yang akan datang, betapa pun sistem itu rumit dan sangat melelahkan.

Tetapi, semuanya sekarang telah menjadi sangat jelas bahwa jumlah yang mati demikian dahsyat, apakah bangsa ini akan membiarkan drama maut tanpa catatan yang serius?

Sahabat saya, Bung Dr Effendi Gazali, sebagai salah seorang pengusul judicial review untuk pemilu serentak melalui WA menyesalkan isi Resonansi yang lalu itu, dan dia siap bertanggung jawab.

Semua pihak harus bertanggung jawab dengan cara mengevaluasi segera sistem pembunuh yang sesuai dengan undang-undang itu. Pemilu sebagai salah satu ciri demokrasi modern semestinya dilalui dengan perasaan riang gembira, tidak mewariskan luka dan duka bagi petugas yang menjadi korban dan keluarganya yang ditinggal buat selama-lamanya.

Bagi saya, kematian yang semacam ini dapat dihindarkan jika saja pihak-pihak yang bertanggung jawab benar-benar telah memikirkan masak-masak secara perinci tentang pelaksanaannya di lapangan, yang ternyata telah membawa maut itu.

Adapun suara-suara yang mengaitkan kematian para petugas itu dengan politik persaingan antarpaslon dan antarpolitisi jelas tidak sehat, bahkan sesat pikir yang hanya akan semakin memicu ketegangan dalam masyarakat yang nyaris terbelah ini.

Oleh sebab itu, marilah kita semua bersikap jujur, realistik, dan lapang dada dalam membaca berbagai persoalan bangsa dan negara, khususnya yang menyangkut sistem demokrasi Indonesia yang belum menemukan bentuknya yang mendekati ideal.

Demokrasi yang membunuh warga negara adalah demokrasi yang cacat dan buruk, tidak akan banyak bedanya dengan sistem autoritarian yang memandang nyawa manusia dengan perasaan ringan.

Maka itu, demokrasi Indonesia harus membebaskan dirinya dengan segala cacat dan segala keburukan itu karena kelalaian kita dalam merumuskan teori dan pelaksanaan di lapangan yang bisa berakibat fatal.

Sistem Pemilu yang Membunuh

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Berdasarkan sumber Republika pekan yang lalu, korban meninggal dunia KPPS plus aparat negara yang bertugas baru berada pada angka 20 orang (lih. “Resonansi”, 23 April 2019, hlm. 9). Empat hari kemudian, pada 27 April, menurut KPU, anggota KPPS yang menjadi korban meninggal dunia ada pada angka 272 (naik jadi sekitar 1.400 persen) dan yang sakit sebesar 1.878.

Ini bukan angka kematian yang main-main. Tinggi sekali. Siapa yang harus memikul dosa? Tentunya ini adalah dosa kolektif. Tetapi yang lebih besar dosanya adalah MK dan para pengusul sistem pemilu serentak ini dengan dalih efisiensi dan biaya lebih murah.

Jelas para pengusul dan hakim MK pada 2014 itu tidak berpikir jauh dengan mengabaikan manajemen pelaksanaan yang ruwet dan sangat melelahkan. Publik pun waktu itu mengamini saja gagasan pemilu serentak ini.

Sekiranya korban tidak mencapai angka setinggi itu, keruwetan pelaksanaan pemilu mungkin tidak akan memicu keguncangan psikologis seperti sekarang ini. Negara dan para pengusul tidak cukup hanya minta maaf dan memberikan santunan kepada keluarga korban, tetapi harus berjanji untuk tidak mengulang kesalahan fatal yang merenggut nyawa para petugas ini. Sistem pemilu wajib diubah segera.

Sekiranya korban meninggal dunia dalam jumlah itu akibat jatuhnya pesawat terbang, misalnya, jagat raya pasti akan heboh berbulan-bulan. Namun, jika karena korban pemilu hanyalah dinilai ringan karena meninggal dunia dalam menjalankan tugas negara. Cara berpikir yang semacam ini adalah sesat dan keliru setelah diuji dalam pelaksanaan.

Oleh sebab itu, UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dan pelaksanaannya di lapangan jangan dibiarkan menggantung terlalu lama, demi menghormati korban nyawa yang setinggi itu. Kita semua harus belajar dari kesalahan fatal dalam merumuskan sesuatu UU dan risiko pelaksanaannya di lapangan.

UU ini dengan persetujuan DPR RI ditekan Presiden Joko Widodo tanggal 15 Agustus 2017 dan diundangkan oleh Menkumham Yasonna H Laoly pada 16 Agustus 2017. UU ini sangat gemuk dengan 573 pasal plus penjelasan dan empat lampiran.

Memang dalam UU ini tidak dimuat tentang sistem pemilu serentak yang dilaksanakan pada 2019 ini, karena hal itu berdasarkan Keputusan MK No 14/PUU-XI/2013 tentang pemilu serentak yang diputuskan pada 23 Januari 2014 dengan Ketua MK Hamdan Zoelvan ketika itu.

Keputusan MK ini disambut gembira oleh berbagai pihak. Effendi Gazali sebagai salah seorang pengusul berkata: “Ini merupakan kemenangan rakyat, tetapi kita kecewanya putusan ini ditunda-tunda pembacaannya.”

Ada lagi komentar pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin yang menyambut dengan riang keputusan MK ini: “Saya kira semua dimenangkan dengan keputusan ini dan tidak ada yang kalah.” Anggota DPR Fraksi PDI-P Trimedya Panjaitan malah menilai “keputusan MK ini cukup negarawan, arif, dan bijaksana.”

Nah, sekarang, karena ternyata pemilu serentak itu telah menjadi sistem pembunuh terhadap anggota KPPS, apakah komentar dan pujian di atas tidak perlu dicabut kembali dan sampaikan penyesalan yang mendalam.

Ternyata para penegak hukum, pakar, dan elite politik telah melakukan kesalahan karena tidak mampu memperkirakan pelaksanaannya di lapangan yang demikian sulit, ruwet, dan sangat melelahkan.

Nyawa manusia yang melayang dalam jumlah ratusan itu semestinya, menyadarkan elite bangsa ini untuk ekstra hati-hati dalam membuat keputusan politik dan hukum publik, yang menyangkut masalah besar tentang nasib bangsa dan negara.

Para hakim MK yang menyandang kedudukan sebagai negarawan pada masa sekarang dan pada masa yang akan datang harus benar-benar bijak, cerdas, dan hati-hati dalam mengabulkan atau tidak mengabulkan usulan judicial review yang diajukan oleh mereka yang mengaku para pakar komunikasi, tata negara, dan siapa pun yang menjadi pengusul. Cukup sekali ini saja korban pelaksana pemilu yang telah merenggut nyawa manusia demikian banyak.

Terakhir, sekali lagi, pemilu serentak yang relatif aman dan damai ini, jika tidak dicederai oleh pelaksanaan di lapangan yang telah membunuh demikian banyak warga bangsa, bisa saja diteruskan pada pemilu-pemilu yang akan datang. Namun, dengan korban nyawa yang demikian masif maka sistem pemilu ini wajib ditinjau, dipelajari, dan diubah segera.

Nyawa manusia jangan lagi dikorbankan oleh sistem pemilu serentak yang semula demikian dielu-elukan: efisien dan lebih murah! Saya juga kecewa berat karena paslon 01 dan 02 seperti membisu atas kematian yang tragis dan dramatis ini.

Saatnya Mengendorkan Emosi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii

Masih terngiang dalam ingatan saya ucapan Jimmy Carter saat dikalahkan Ronald Reagan dalam Pilpres 1980: “I can’t say it doesn’t hurt.” (Tidak bisa saya katakan ia [kekalahan] itu tidak menyakitkan).

Adalah aneh saat kalah orang akan bergembira ria, kecuali jika kemenangan itu memang tidak diinginkannya. Dalam Pilpres Indonesia 2019, kedua kontestan sama-sama ingin menang, tidak ada yang mau kalah. 

Kalimat bersayap: “Siap menang, siap kalah,” adalah untuk menjaga emosi pendukung agar mampu menjaga kedewasaan sikap menghadapi semua kemungkinan. Secara tersirat kalimat bersayap itu bisa saja berbunyi: “Siap menang, tidak siap kalah,” karena kekalahan itu memang menyakitkan, menggoreskan luka.

Namun, sebagai bangsa besar yang bineka, Indonesia sudah lulus dalam ujian dalam mengatasi bermacam tantangan dan cobaan yang pernah mengganggu keutuhan dan integrasi nasionalnya. Bahkan, pada akhir tahun 1950-an ketika daerah-daerah bergolak melawan Jakarta, menurut AH Nasution, kekuatan perlawanan sudah menguasai sepertujuh wilayah republik.

Nyaris saja Indonesia pada tahun-tahun penuh musibah itu terbelah. Tokh, pada akhirnya dapat dipertautkan kembali, sekalipun dengan meninggalkan luka bagi daerah-daerah yang bergolak.

Tantangan Pileg dan Pilpres 2019 berbeda wataknya dibandingkan pergolakan daerah tahun 1950-an/1960-an. Jika dulu bersifat vertikal: daerah versus pusat, sekarang horizontal: elite versus elite, pendukung versus pendukung dalam komunitas yang sama. Bahkan, getarannya terasa sampai di akar rumput, dalam rumah-rumah ibadah, dan di kedai-kedai kopi. 

Bahkan, dalam hubungan suami-istri. Suami ke utara, istri ke selatan, anak-anak ke barat, menantu ke timur. Tetapi yang menghibur adalah kenyataan dalam fenomena yang serbahorizontal ini hanya sedikit yang serius. Gelombang besarnya terlihat santai-santai saja.

Sabtu pagi, 20 April, saya didatangi seorang pengusaha dari Jakarta. Dia bercerita tentang keluarganya yang berbeda pilihan dengan sikap landai saja. Masing-masing bebas menyalurkan aspirasi politiknya, tanpa gesekan sedikit pun. Ada lagi, cerita teman saya beretnis Jawa, sedangkan istrinya etnis Gayo (Aceh). 

Etnis Jawa ke 01, etnis Gayo ke 02, senapas dengan kecenderungan masyarakat Aceh di daerah asal. Semuanya berjalan normal, tidak perlu neng-nengan (Jawa, saling membisu). Bagi saya, suasana semacam ini menyiratkan kedewasaan politik dalam sistem demokrasi yang semoga semakin waras.

Ada pun masih ada segelintir elite yang membawa-bawa agama sebagai pembenaran kecenderungan politik partisannya tak usah terlalu dirisaukan. Dalam perjalanan waktu, ketika demokrasi semakin sehat dan kuat, cara-cara semacam itu pasti akan ditelan musim.

Apalagi, ‘ancaman’ people power yang diteriakkan tanpa mematuhi konstitusi dan perangkat hukum, anggap saja sebagai hiburan politik saat demokrasi masih dalam proses menjadi. 

Kecemasan sebelum pemilu akan banyak yang golput ternyata tidak terbukti. Bahkan, info yang kita dapat bahwa semangat menggunakan hak pilih pada 17 April yang lalu sangat membesarkan hati, mencapai angka 80 persen, sementara politik uang kabarnya mulai berkurang.

Selain hal-hal positif di atas, kita juga perlu ingat bahwa proses pemilu kali ini sungguh ruwet, lima lembar surat suara (empat di DKI Jakarta) yang harus dicoblos, sungguh merepotkan, tidak saja bagi mereka yang kurang melek huruf, yang paling melek huruf sekalipun harus membolak-balik lembaran itu. Bahkan, kabarnya cawapres 02 memerlukan tempo 10 menit di kotak suara.

Jika ada korban dalam pemilu kali ini bukan karena perbedaan pilihan politik, melainkan apa yang menimpa para petugas di lapangan. Dalam catatan Republika, sampai tanggal 19 April sudah jatuh korban 20 orang petugas pemilu dan polisi sebagai aparat pengawal keamanan. (lih. Republika, hlm. 2).

Mereka sebagian besar wafat karena kelelahan dalam bertugas, sebagian kecil karena sakit dan kecelakaan. Bayangkan para petugas itu telah bekerja siang dan malam dengan waktu istirahat yang sangat sempit.

Saya sarankan kepada negara agar keluarga para korban ini disantuni dengan memadai, seperti untuk pendidikan dan kesehatan anak-anaknya. Mereka telah memberikan nyawanya demi menegakkan sistem demokrasi Indonesia menjadi sehat dan kuat. Dan mohon diingat, anggaran pemilu kali kabarnya berada pada angka di atas 20 triliun, sebuah angka raksasa.

Oleh sebab itu, segala bentuk sengketa pemilu harus diselesaikan secara konstitusional. Tidak di luar jalur itu, sebab bisa memicu anarkisme dan tindakan brutal lainnya. Jika ini berlaku, korbannya bukan siapa-siapa, melainkan bangsa negara ini.

Sambil menanti pengumunan resmi KPU tentang hasil pemilu pada 22 Mei 2019, mari kita semua sama-sama mengendorkan emosi untuk bersabar kemudian menerima hasil final itu