Ramadan, bulan yang dirindukan kehadirannya oleh segenap umat Islam, kini datang bersamaan dengan duka yang mendalam. Akibat wabah covid-19 yang mematikan, sudah ribuan manusia jadi korban.

Bahkan, termasuk para dokter yang bertugas menyembuhkan. Suasana ingar-bingar yang biasanya meramaikan masjid dan tempat-tempat ibadah hanya menjadi angan-angan menyedihkan. Betapa tidak? Saat-saat syahdu untuk bersalaman saling memaafkan tidak diperbolehkan. Saat-saat indah merapatkan barisan di safsaf jemaah Tarawih pun tak lagi diperkenankan. Buka bersama yang menjadi ajang melepas rindu teman lama juga tak bisa lagi menjadi prioritas agenda.

Menggugah kesadaran

Barangkali inilah Ramadan yang menggugah kesadaran. Meruntuhkan keangkuhan, bahwa manusia tak berdaya bahkan di hadapan makhluk mahakecil bernama virus korona. Ia tak terlihat, tapi bisa menular cepat. Hingga saat ini belum ditemukan vaksin yang bisa menyembuhkan. Yang bisa kita lakukan hanya menghambat lajunya, memutus rantai penularan, dengan tinggal di rumah, dan menjaga jarak fisik antarsesama.

Inilah Ramadan yang memaksa kita introspeksi untuk menyulap dusta jadi nyata, membalik benci jadi cinta, meredam amarah dan  engubahnya jadi rahmah. Rumah Tuhan yang mewujud dalam  Kemegahan arsitektur dibuat sunyi, menjadi isyarat bahwa Tuhan yang sejati ialah yang bersemayam dalam hati.

Ramadan ialah saatnya mengelak dari nafsu yang terus bergejolak. Kita redam kerakusan dengan menyepikan pusat-pusat perbelanjaan. Dengan masker yang kita kenakan, mungkin itulah cara Tuhan membungkam mulut kita dari ucapan-ucapan tak senonoh dalam ragam pergunjingan.

Perintah untuk tetap di rumah, larangan untuk bepergian, ialah pesan terkuat agar hubungan dengan keluarga makin erat.  Mungkin karena sudah sekian lama kita hanya berbusa-busa menyatakan rindu pada keluarga, nyatanya tiap hari sibuk kerja dan kerja.

Memanggil Tuhan dengan suara keras dari atas menara mungkin sudah tak lagi berguna karena Tuhan sejati ada dalam ketulusan hati. Memohon ampun pada Tuhan tak perlu dengan cara berteriak, tapi dengan khusyuk dan terisak. Cobalah menepi di sudut-sudut sepi, dan berbisiklah dengan pasrah, “Tuhan, aku datang memohon ampunan.”

Jadikan Ramadan sebagai saksi, kecintaan pada Tuhan tak cukup hanya diucapkan, tapi harus diaktualisasikan dengan menumpahkan kasih sayang pada sesama manusia: memberi makan kepada saudara-saudara kita yang papa. Memberi kehidupan kepada fakir muskin yang senantiasa menderita.

Berpuasa pada hakikatnya juga cara berempati kepada mereka yang menahan lapar dan dahaga setiap hari karena tak mampu membeli sesuap nasi. Covid-19 mengubah cara pandang kita terhadap banyak hal, termasuk bagaimana cara kita beragama. Sejatinya sudah banyak firman Tuhan atau sabda Nabi Muhammad SAW yang kita baca, bahwa Allah tidak melihat baju yang kita kenakan, juga bukan pada cantik dan gagahnya penampilan. Namun, pada teguhnya keimanan serta satunya kata dan perbuatan.

Ujian

Mari kita buktikan bahwa Ramadan benar-benar bulan yang mulia, dengan terus berupaya meningkatkan iman dan takwa. Yakinlah bahwa tidak ada ujian kecuali semuanya datang dari Tuhan. “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman’, dan mereka tidak diuji?” (QS 29:2).

Wabah covid-19 ialah ujian ketangguhan, dari perspektif agama apakah kita sudah benar-benar  beriman. Dari sisi kemanusiaan, apakah kita sudah benar-benar memiliki kepedulian dan, dari sudut pandang kebangsaan/keindonesiaan, apakah kita sudah benar-benar rela berkorban. Agama, kemanusiaan, dan kebangsaan ialah satu kesatuan.

Beragama di era covid-19, tak bisa dilakukan secara egoistis, dengan tetap ngotot berjemaah di masjid misalnya, tanpa menghiraukan  anjuran pemerintah dan seruan fatwa para ulama. Bisa jadi, kitalah yang membawa virus korona atau bisa jadi juga jemaah lain.

Hakikat iman yang benar ialah pada saat orang lain merasa aman dan nyaman dengan kehadiran kita. Itulah makna bersatunya agama dan kemanusiaan. Beragama yang tidak mencelakakan orang lain dan tidak pula membuat orang lain merasa terancam karena agama diturunkan untuk membawa rahmat bagi siapa saja di jagat raya (rahmatan lil ‘alamin).

Hakikat iman yang benar juga pada saat kita lebih mengutamakan orang lain walaupun kita sendiri dalam kesulitan. Nabi SAW bersabda, tidak beriman seseorang kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai diri sendiri. Pada kali lain Nabi SAW bersabda, tidak beriman seseorang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan.

Kualitas keimanan senantiasa diuji, baik dengan kenikmatan maupun kesusahan. Keimanan yang berkualitas ialah pada saat kita bisa mengutamakan pertolongan pada orang lain, padahal kita sendiri dalam kesulitan. Inilah yang pernah dicontohkan penduduk Madinah yang disebut sebagai kaum anshar (para penolong) yang lebih mengutamakan muhajirin (para pendatang) meskipun mereka dalam kesulitan (lihat QS 59:9).

Ramadan di tengah wabah covid-19 ialah bulan pembuktian bahwa keimanan ialah kebersatuan antara agama, kemanusiaan, dan kebangsaan. Kita dituntut tidak hanya berteriak minta pertolongan kepada orang lain atau pada pemerintah, tapi yang penting ialah bukti bahwa kita peduli bukan hanya pada diri sendiri.

Penulis: Abd Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif Maarif Institute

Sumber

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

one × one =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.