Tidak ada ciptaan Tuhan yang sia-sia, semua pasti ada manfaatnya. Coba Anda sebutkan, apa makhluk yang paling berbahaya bagi manusia? Ya, untuk saat ini, pasti banyak yang menyebut virus corona (Covid-19)! Apakah ada manfaatnya bagi manusia?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya teringat satu mahfudhat (kata mutiara) “khudzil hikmah min ayyi ainin kharajat, wala yadhurruka walau kana min famil kalb” –yang banyak dihapalkan para santri di pesantren-pesantren. Artinya, ambillah hikmah (kearifan/kebaikan) dari manapun asalnya, dan tidak ada kerugian bagimu walau hal itu keluar dari mulut seekor anjing.

Pesan dari mahfudhat ini, jangan selalu memandang negatif terhadap sesuatu yang dianggap negatif seperti jangan selalu memandang positif terhadap sesuatu yang dianggap positif. Dengan kata lain, sesuatu yang negatif belum tentu negatif, seperti juga yang positif belum tentum positif. Tergantung dimana, kapan, dan bagaimana sesuatu itu mengada.

Ditegaskan Allah SWT dalam Al-Quran “Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS. Al Baqarah [2]: 216)

Kembali pada pertanyaan, apakah Covid-19 ada manfaatnya bagi manusia? Menurut foto satelit NASA, polusi udara di China menurun drastis akibat corona (bbc.com, 3/3/2020). Menurut Badan Antarika Eropa (ESA), karena lockdownCovid-19 membuat kota-kota di Eropa jauh lebih bersih (okezone.com, 30/3/2020). Menurut LAPAN, imbas Covid-19, udara Jakarta menjadi lebih bersih (teknologi.id, 31/3/2020). Ketika udara menjadi lebih bersih, apakah tidak ada manfaatnya bagi manusia?

Dalam al-Quran, surat al-Baqarah [2]:26 disebutkan “Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan (kebaikan) bagi seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu…” Yang lebih kecil dari nyamuk bisa kuman, bakteri, dan virus!

Anjing pun Dimuliakan

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1937-1943, K.H. Mas Mansur, adalah sosok kiai yang pernah memelihara anjing betina jenis Keeshond. Mas Mansur adalah ulama yang luas ilmunya dan luas pergaulannya. Mengapa memelihara anjing? Karena anjing juga termasuk binatang yang dimuliakan dalam al-Quran, yang setia menemani pemuda-pemuda saleh yang disebut ashabul kahfi (lihat, Al Quran surat al-Kahfi [18]:22).

Padahal, anjing (juga babi) adalah di antara binatang yang kerap disebut seseorang untuk memaki orang lain. Anjing lu!Babi lu! Umumnya umat Islam di Indonesia yang bermazhab Syafi’i (penganut ajaran Imam Syafi’i) menganggap anjing sebagai binatang najis. Air liur anjing, seperti babi, termasuk najis kelas berat (mughalladzah).

Pada saat ada anjing yang dimuliakan al-Quran, jika kita tarik dalam kondisi kekinian, bisa kita jadikan sebagai alat dekonstruksi, atau counter narasi, terutama terhadap wacana formalisme agama yang memenuhi ruang publik kita saat ini.

Formalisme agama adalah bentuk pemutlakan ajaran (syariat) agama yang cenderung menafikan tafsiran/pemahaman (fikih) yang berbeda dari pemahaman utama (mainstrem/jumhur). Formalisme agama cenderung mengutamakan simbol tinimbang substansi.

Di antara efek (negatif) dari formalisme agama adalah munculnya fenomena komersialisasi agama. Simbol agama dijual dengan harga yang murah, baik di pasar komersial maupun di panggung politik kekuasaan.

Maka ketika muncul narasi yang dianggap bertolak belakang seperti “gubernur kafir” atau “nasi anjing” akan serta merta ditolak karena dianggap haram!

Padahal keberagamaan seseorang bukan dilihat dari bagus dan indahnya baju yang dikenakan, atau dari cantik dan gagahnya penampilan. Baju kumal tidak merendahkan derajat Bilal. Sebaliknya, penampilan yang aduhai tidak memuliakan Abdullah bin Ubai. Namanya “Abdullah” yang berarti “hamba Allah”, tapi dikenal sebagai munafik kelas wahid di zaman Rasulullah.

Khusuk dan Ikhlas

Cara beragama yang diterima di sisi Allah adalah yang dilakukan dengan khusuk dan ikhlas. Khusuk berkaitan dengan harakah (perbuatan/gerakan), sedangkan ikhlas berkaitan dengan pemberian/persembahan.

Sebagai contoh, kurban seekor kambing (saat Idul Adha) yang dipersembahkan dengan ikhlas jauh lebih baik di sisi Allah tinimbang seekor sapi limousin yang diberikan dengan penuh pencitraan (riya).

Persembahan “nasi anjing” yang tulus diperuntukkan bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan akan lebih baik di sisi Allah daripada bingkisan berlabel halal yang diberikan dengan publikasi di ruang publik untuk menjaring dukungan politik.

Maka tepat sekali jika Nabi SAW pernah bersabda, sesungguhnya Allah tidak melihat pada bagaimana cara kamu berpakaian dan bagaimana cara kamu berpenampilan, tapi (lebih) pada bagaimana ketulusan hati dan tindakan-tindakanmu.

Covid-19, harus diakui telah memaksa kita untuk mengubah cara beragama. Ibadah ramai-ramai di Masjid dan Musala dipindahkan ke rumah masing-masing. Cara dan citra beragama kita diluruskan, dari yang cenderung demonstratif, ke suasana yang lebih sunyi dan kontemplatif.

Penulis: Abd Rohim Ghazali

Direktur Eksekutif MAARIF Institute

Sumber: Koran Tempo, 8 Mei 2020

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

14 + 1 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.