Lya Fahmi

“Do you know what your mother wanted to be when she was young?”

Pertanyaan ini menjadi caption unggahan media sosial The Jakarta Post tentang ulasan film Kim Ji Young, Born 1982. Saya merasa sudah banyak yang tahu kalau film ini menyinggung budaya patriarki yang meminggirkan perempuan, selain isu kesehatan mental yang mereka usung. Diakui atau tidak, perempuan memang kerap menghentikan langkah jika urusannya soal mengejar cita-cita.

Peran Perempuan dan Laki-Laki dalam Keluarga

Dalam ulasan film itu, budaya patriarki yang membebankan banyak tanggung jawab domestik hanya pada perempuan dianggap sebagai penyebab utama terhentinya langkah perempuan dalam meraih cita-cita. Perempuan yang berperan sebagai penanggungjawab utama pendidikan anak, pelayanan pada suami, dan kenyamanan rumah tangga, sering kali kehabisan waktu dan energi untuk mencapai keinginan pribadi.

Sebaliknya, laki-laki dianggap sebagai penanggung jawab utama pemenuhan kebutuhan keluarga. Mencari nafkah dan menghidupi keluarga adalah tugas utama suami. Sebagai pencari nafkah, tentulah suami yang bekerja. Itulah mengapa dahulu dalam ujian Bahasa Indonesia, jawaban C. Bekerja adalah jawaban yang paling benar dari melengkapi kalimat, “Siang hari ayahku pergi…”

Laki-laki bekerja dan tampak eksis di ranah publik. Tapi, bekerja tidak sama dengan mengaktualisasikan diri. Sangat mungkin laki-laki bekerja semata-mata demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sangat mungkin laki-laki membenci pekerjaannya, tapi merasa tak punya pilihan karena memiliki pekerjaan adalah harga diri seorang laki-laki. Sangat mungkin laki-laki ingin menjadi yang lain dari apa yang ia kerjakan hari ini.

Dengan logika yang sama, bukankah juga bisa kita ajukan pertanyaan begini: Apakah ayahmu sekaang menjadi seseorang yang ia cita-citakan dulu?

Ya, aku tahu lebih mudah bagi laki-laki untuk mewujudkan cita-citanya. Tapi, tidak bisa juga kita abaikan bahwa ada laki-laki yang cita-citanya mentok sebatas punya uang dan bisa menghidupi keluarga. Bukankah laki-laki yang begini sama menyedihkannya dengan perempuan yang tidak bisa lagi memikirkan hal lain selain mengurus rumah tangga?

Jika kita mendorong komunitas untuk memberi kesempatan bagi perempuan, bukankah kita juga perlu mendorong komunitas untuk memberi kesempatan pada laki-laki agar bisa menjadi dirinya sendiri? Menjadi dirinya sendiri tanpa rasa takut dan kekhawatiran dihakimi.

Suami Memberi Kesempatan Istri untuk Lanjut Studi

Saya ingin sedikit menceritakan bagaimana upaya-upaya saling memberi kesempatan itu berlaku dalam keluarga kami. Terus terang, saling memberi kesempatan tak semudah yang dikatakan. Proses mental yang harus kulalui amat panjang dan melelahkan. Proses ini masih terus berlanjut dan saya anggap penting untuk direfleksikan.

Salah satu benefit menjadi isteri Pak Luqman adalah diberi keleluasaan dalam proses mengejar cita-cita. Tidak cuma dibebaskan, tetapi juga didorong untuk menggapai cita-cita tersebut. Aku masih ingat saat tiba-tiba ia berkata, “Setelah Bilqis disapih, d’ya lanjut S2, ya.”

Enam bulan setelah dia mengatakan itu, saya ke Jogja untuk mengikuti tes AcEPT dan PAPs yang menjadi persyaratan mendaftar S2 di UGM. Beberapa bulan setelahnya, aku resmi terdaftar sebagai mahasiswa baru di program S2 Psikologi Profesi bidang klinis di almamater yang sama saat S1.

Masa S2 adalah masa-masa hidup prihatin. Prihatin buat kami semua, baik secara ekonomi maupun secara emosi. SPP S2 profesi terhitung tinggi, pada waktu itu besarannya 11 juta / semester. Yang dibiayai Pak Luqman tidak hanya aku, tapi juga SPP PAUD Bilqis yang biaya per semesternya nyaris setengah dari besaran SPP ku. Iya, Pak Luqman menanggung semua tuition fee dan living cost kami selama sekolah di Jogja.

Perjuangan Studi sambil Mengasuh Anak

Secara emosi, lanjut S2 itu berat karena kami harus hidup terpisah. Dan, hal yang baru kuketahui setelah menjalani S2, nyambi sekolah sambil mengasuh anak usia dua tahun itu tak semudah yang kukira. Ada banyak drama yang terjadi antara aku dan Bilqis, tapi intinya beban emosi menjalani S2 sambil membawa anak itu di luar perkiraanku sebelumnya.

Syukurnya, aku memiliki support system yang cukup bisa diandalkan. Ada adikku di Jogja, ada orang tua yang sanggup bolak-balik Riau-Jogja demi mendukungku menyelesaikan S2, dan ada teman-teman kuliah yang mau membantu merawat Bilqis (Bilqis itu sampai pernah dua kali mandi sore di kampus dan dimandikan oleh temanku).

Kadang, aku masih nggak habis pikir bagaimana Pak Luqman mau bertaruh banyak hal untuk mendukung pendidikanku. Pasti berat tinggal sendirian di hutan Kalimantan tanpa keluarga. Selain itu, dia harus super berhemat untuk membiayai pendidikan kami dan biaya hidupnya sendiri. Setelah aku lulus, Pak Luqman baru cerita kalo ada masa di mana ia tiap hari hanya makan telur demi kepentingan berhemat itu.

Sulit membayangkan bagaimana jadinya aku sekarang tanpa langkah drastis yang ia putuskan bertahun-tahun lalu. Tanpa dukungan penuh dari Pak Luqman, bahkan Tuan dan Puan pun tak kan pernah menikmati tulisan-tulisanku seperti sekarang. Harus diakui, proses selama menjalani S2 berpengaruh signifikan terhadap apa adanya diriku saat ini.

Setelah aku lulus S2 dan menjadi seorang psikolog, Pak Luqman mengambil keputusan drastis lainnya. Ia memutuskan resign dari pekerjaan dan memulai hidup yang diidam-idamkannya: berwirausaha. Hmm, abot lho gaes gaji bojomu dua digit per bulan, trus kemudian ora gajian meneh. So, hidup ini cuma soal pindah dari satu hidup prihatin ke hidup prihatin lainnya.

Memberi Kesempatan Suami Berwirausaha

Sebagai konsekuensi dari resign-nya Pak Luqman adalah kami harus menanggung biaya hidup secara bersama-sama. Jika sebelumnya semua kebutuhan dipenuhi oleh Pak Luqman, maka terhitung sejak ia resign aku pun bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan itu. Soal pekerjaan domestik, akhirnya kami kerjakan juga bersama-sama karena kami tak lagi menggunakan asisten rumah tangga.

Singkat kata, Pak Luqman memulai usahanya dan aku memulai karir sebagai psikolog. Tapi, ada sebuah pengalaman unik sesaat setelah menjalani pola relasi yang baru ini. Meskipun aku orang yang pro-keadilan gender, tapi ternyata aku tetap sambat ketika bojoku bukan penanggung jawab utama nafkah keluarga. Aku yang pro-feminis ini, ternyata tetap ingin suamiku yang bekerja dan aku ongkang-ongkang kaki saja.

Maka, hal terberat yang kurasakan selama masa transisi adalah bayangan-bayangan kehidupan kami saat suami masih bekerja jauh lebih nyaman daripada saat suami memulai wirausaha. Namun di saat yang sama, aku juga mengabaikan fakta bahwa berbagai privilege yang melekat pada diriku hari ini berawal dari kerelaan suami untuk mengurangi banyak kenyamanannya. Jadi, memang ada masa di mana aku ingin enaknya saja.

Butuh waktu yang tidak sebentar bagi kami untuk mencapai titik kesetimbangan psikologis dan finansial. Meskipun pada awalnya terasa amat berat, namun makin lama kami semua beradaptasi. Aku mulai menerima pilihan suami, apalagi selama dua tahun ia konsisten dan persisten dengan pilihannya sendiri. Apakah kemudian ia kembali menjadi sumber utama nafkah keluarga, tampaknya hanya soal waktu saja.

Sebenarnya, tak penting siapa yang menjadi sumber nafkah utama. Yang terpenting adalah masing-masing pihak punya mental mandiri dan tidak manja. Cita-cita rumah tangga kami adalah jika salah satu pihak meninggal dunia, maka tidak boleh ada pihak lain yang terguncang secara ekonomi. Kalau terguncang secara emosi, ya itu sudah pasti.

Laki-laki dan Perempuan Memiliki Kesempatan yang Sama untuk Meraih Keinginannya

Belakangan, aku mengembangkan sebuah keyakinan bahwa kesempatan adalah hak semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Tidak hanya perempuan yang bisa terkungkung oleh patriarki, tapi juga laki-laki. Atas nama harga diri dalam budaya patriarki, laki-laki kadang juga melupakan dirinya sendiri.

Pak Luqman memberiku banyak kesempatan agar menjadi apa yang aku inginkan, aku pun mesti memberinya kesempatan untuk menjalani apa yang ia yakini. Mengurangi sedikit kenyamanan rasanya tidak apa-apa selama bisa menjadi diri sendiri. Menjadi diri sendiri dan happy adalah kunci agar kita merasa pernikahan sebagai sebuah jebakan.

Penulis, psikolog, dan influencer

Artikel ini kerjasama MAARIF Institute dan Rahma.id

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

thirteen + three =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.