Oleh: Erik Tauvani

Rabu, 31 Maret 2021

 

Seorang pengarang, kata Hamka, harus mengatasi zamannya.

Pada Sabtu, 20 Maret 2021, Buya Syafii meminta untuk dicarikan buku “Kenang-Kenangan Hidup” karya Hamka. Alasannya karena ada beberapa fragmen yang belum sempat dibaca. Barangkali alasan sesungguhnya adalah karena Buya ingin membaca ulang karya ini. Sementara buku yang lama telah usang atau hilang di tengah tumpukan buku yang menjulang sampai menutupi dinding-dinding ruangan.

Rabu pagi, 24 Maret 2021, Buya Syafii mengirim sebuah pesan: “Anak muda, mohon dibaca ulang “Kenang-kenangan Hidup” oleh Hamka, hlm. 194-201 (terbitan 2018) tentang ‘Beberapa Catatan Bagaimana Jadi Pengarang’.” Pesan ini juga diteruskan ke beberapa nomor WA lainnya.

Hamka sebagai Seorang Pengarang

Buya Hamka memang tak habis dibicarakan orang. Kisah hidupnya selalu menjadi inspirasi dan pelajaran, khususnya di Alam Melayu. Ia dikenal secara luas sebagai seorang ulama, muballigh, mufassir, pujangga, sastrawan, pejuang, dan sederet sebutan lainnya. Namun yang orang tak boleh lupa, Hamka adalah seorang pengarang yang prolifik, sekalipun ia hidup tanpa ijazah.

Karya Hamka yang berbilang-bilang itu menjangkau berbagai sisi mulai dari agama Islam, tafsir, sejarah, filsafat, tasawuf, sastra, hingga roman. Ia melahirkan karya buku pertamanya di usia 17 tahun yang berjudul Khatibul Ummah. Hingga usia 21 tahun ia telah menerbitkan lima buku. Tahun-tahun berikutnya, tuan dan puan tahu sendiri.

Hamka adalah seorang multitalenta autodidak yang fenomenal. Buya Syafii menyebutnya sebagai self-made man. Pahit getir kehidupan telah membentuk jiwa seorang Hamka yang kenyang asam garam. Soal pahit getir ini, Haidar Musyafa mengisahkannya dalam novel Buya Hamka setebal 837 halaman.

Soal karang-mengarang, Hamka sendiri merasa tak tahu lagi kapan ia memulainya, belajar dari mana, diajar oleh siapa. Yang ia ingat adalah terletak pada kekuatan membaca karya orang lain. Semakin banyak membaca, semakin kaya inspirasi. Namun dengan tetap mengembangkan ciri khas dan menjadi diri sendiri.

Apakah Hamka selalu berhasil sebagai seorang pengarang? Jawabannya adalah Tidak! Ia pun jatuh bangun. Pasca-Tenggelamnya Kapal Vander Wijck, beberapa roman yang ditulisnya tak lagi naik daun seperti pendahulunya.

Lalu ia tak lagi menulis roman. Tapi sebagai seorang yang keatif, ia tak berhenti menulis. Buku-buku tentang agama Islam yang ia tulis pun tak kalah fenomenalnya dari Tenggelamnya Kapal Vander Wijck, Merantau Ke Deli, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan roman Hamka lainnya.

Hamka mengatakan bahwa kegagalan dan kekecewaan pastilah ada. Namun justru dengan itu kita dapat semakin mengetahui titik dan batas kelemahan kita. Artinya, Hamka mengajak agar orang berani menghadapi masalah seperti halnya Hamka sendiri yang telah kenyang asam garam. Seorang pengarang, kata Hamka, harus mengatasi zamannya.

Hamka di Mata Syafii Maarif

Kedua tokoh ini sama-sama berasal dari Sumatra Barat, sama-sama disapa sebagai Buya, dan sama-sama pernah berkhidmat di Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dengan segala persamaan dan perbedaannya, keduanya adalah penulis ulung!

Buya Syafii sangat mengagumi sosok Hamka. Hamka baginya adalah manusia merdeka hasil tempaan pengalaman hidup yang berliku. Hamka dengan daya ingat di atas manusia rata-rata itu membentuk dirinya sendiri dengan banyak membaca, sekalipun ada pengaruh ayahanda dan kakak iparnya (Haji Rasul dan AR Sutan Mansur).

Jika tuan dan puan membaca Memoar Seorang Anak Kampung, sesungguhnya kisah hidup Hamka yang berliku-liku itu nyaris serupa dengan kisah hidup Buya Syafii. Keduanya pun sama-sama merantau. Bedanya, Hamka menjadi orang besar tanpa ijazah, sedangkan Buya Syafii menempuh pendidikan tinggi hingga ke negeri orang.

Seorang Hamka, bagi Buya Syafii, adalah figur yang patut terus dibaca dan dijadikan pelajaran hidup bagi generasi penerus bangsa. Semakin mendalam dibaca, semakin banyak pula ditemukan mutiara kehidupan agar orang tidak percaya pada kegagalan. Kegagalan adalah bagian dari liku kehidupan yang harus dihadapi dan dilalui, bukan ditakuti.

Kekaguman lain Buya Syafii kepada Buya Hamka adalah kedalaman dan ketulusannya dalam bertutur. Hamka bukanlah tipe orang yang berpura-pura, sekalipun ia pernah menjadi orang berpengaruh di republik ini. Ia adalah sosok manusia yang autentik. Ia tidak pernah meleburkan kepentingan umum untuk diri dan kelompoknya sendiri.

Akhirnya, saya melihat refleksi seorang Buya Hamka pada diri seorang Buya Syafii, tentu dengan segala kekuatan dan kelemahan masing-masing. Refleksi tentang perjuangan hidup, kekuatan membaca dan menulis, kemerdekaan berpikir, dan autentik. Semoga Allah merahmati keduanya, amin.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

nine + six =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.