Abd Rohim Ghazali Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Direktur Eksekutif Maarif Institute

SEJARAH Muhammadiyah ialah sejarah kemandirian. Sejak usia sangat dini, KH Ahmad Dahlan, pendiri organisasi itu, sudah berkorban dengan harta miliknya untuk menggerakkan Muhammadiyah. Wejangannya, hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah, menjadi pedoman siapa pun yang bersedia memimpin Muhammadiyah dari masa ke masa. Yang enggan berkorban sebaiknya tidak menjadi pemimpin Muhammadiyah.

Kalaupun ada bantuan dari pihak lain pada Muhammadiyah, dari pemerintah, misalnya, sifatnya tidak mengikat atau tanpa syarat. Dengan adanya bantuan tidak membuat Muhammadiyah dependen. Karena ada atau tidak adanya bantuan dari pihak lain, Muhammadiyah akan tetap berdiri dan berkiprah memajukan umat dan bangsa.

Pada saat membuka Muktamar Muhammadiyah-Aisyiyah ke-48 di Stadion Manahan Surakarta (Solo), Jawa Tengah, 19 November tahun lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan apresiasi atas kontribusi Muhammadiyah dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa dan mengucapkan terima kasih karena telah membantu penanganan covid-19 pada tiga tahun terakhir.

Kontribusi Muhammadiyah yang diapresiasi presiden tidak mungkin muncul jika organisasi yang berdiri pada 18 November 1912 itu tidak memiliki kemandirian. Mengamati dari dekat atau bahkan terlibat langsung dalam pelaksanaan Muktamar Muhammadiyah, saya merasakan betul betapa mandirinya Muhammadiyah. Indikasinya bisa dilihat, setidaknya dari dua hal: pertama, pembiayaan muktamar; dan kedua, tidak adanya intervensi dari pihak mana pun (termasuk dari pemerintah) dalam memilih pimpinan

Dari segi pembiayaan, semua ditanggung sendiri. Setiap anggota, peserta, dan penggembira muktamar datang dengan biaya sendiri, baik secara institusional maupun individual. Karenanya, tidak terdengar isu muktamar dibiayai/ditanggung baik oleh si A, si B, maupun oleh kementerian atau BUMN A, B, dan lain-lain.

Yang penting dicatat, setelah selesai muktamar hingga saat ini, tidak ada pimpinan atau panitia yang dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kejaksaan Agung untuk dimintai keterangan karena terindikasi korupsi atau setidaknya melakukan penyelewengan uang negara karena muktamar tidak menggunakan uang negara. Itu yang pertama.

Yang kedua, dalam proses pemilihan, ada sistem (dengan memilih 13 formatur yang sejak awal sudah diseleksi dari bawah) yang membuat pihak mana pun sulit melakukan intervensi. Terpilihnya (kembali) Haedar Nashir sebagai ketua umum dan Abdul Mu’ti sebagai sekretaris umum, murni berdasarkan kehendak anggota muktamar yang memiliki hak pilih yang tecermin dalam jumlah perolehan suara keduanya.

Tidak ada intervensi dari pihak mana pun, telah membuat Muktamar Muhammadiyah ke-48 berjalan damai, mulus tanpa gejolak, sangat kontras, misalnya, dengan aksi ‘adu jotos’ yang mewarnai Musyawarah Nasional (Munas) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) XVII yang digelar setelah Muktamar Muhammadiyah, 21-23 November 2022, di kota yang sama.

Tiga pilar

Ada tiga pilar yang menopang kemandirian Muhammadiyah, yakni ekonomi, politik, dan sumber daya manusia (SDM). Pertama, pilar ekonomi. Dalam laporan Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2015-2022, keuangan yang beredar di pimpinan pusat saja, dengan menghitung amal usaha yang dikelolanya, jumlahnya mencapai triliunan rupiah. Untuk keuangan di tingkat wilayah (provinsi), daerah (kabupaten/kota), cabang (kecamatan), dan ranting (desa/kelurahan) yang dilaporkan di tingkat permusyawaratan masing-masing jumlahnya bisa variatif.

Bisa dibayangkan, jika semua aset Muhammadiyah yang–sesuai laporan saat muktamar–terdiri dari 171 perguruan tinggi, 1.364 SMA (sederajat), 1.826 SMP (sederajat), 2.817 SD (sederajat), 20.233 TK/PAUD, 440 pesantren, 355 rumah sakit/klinik, dan 562 panti asuhan, berikut tanah, gedung, dan lain-lain ikut dihitung. Lalu, termasuk tanah wakaf serta aset yang ada di luar negeri, jumlahnya diperkirakan bisa mencapai lebih dari Rp330 triliun. Dengan aset sebanyak ini, Muhammadiyah bisa menjadi organisasi Islam terkaya, tak hanya di Indonesia, mungkin di dunia.

Sayangnya, tidak semua aset itu telah dikelola secara profesional dan sistemis sehingga bisa dimanfaatkan secara lebih optimal dalam memajukan Muhammadiyah khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Sebagian aset Muhammadiyah masih dikelola secara konvensional dengan mengandalkan prinsip keikhlasan. Keikhlasan itu baik, tapi jika tidak dibarengi dengan profesionalitas dan akuntabilitas akan menjadi persoalan tersendiri. Meskipun demikian, kekayaan Muhammadiyah ini, diakui ataupun tidak, telah menjadi pilar utama kemandirian Muhammadiyah secara ekonomi.

Kedua, kemandirian ekonomi Muhammadiyah berimplikasi pada kemandirian secara politik. Dalam setiap perhelatan politik seperti pemilu dan pilkada, Muhammadiyah tidak bisa ‘dibeli’ baik oleh parpol maupun kandidat pejabat publik. Bahkan, untuk kandidat yang berasal dari kader/aktivis Muhammadiyah pun tidak bisa memanfaatkan organisasi Muhammadiyah untuk kepentingan politiknya.

Dalam setiap menjelang pemilu, Muhammadiyah biasanya mengeluarkan semacam pedoman politik yang menjadi panduan semua warga Muhammadiyah. Dalam panduan, terdapat sejumlah langkah yang boleh dan tidak boleh dilakukan, termasuk pelarangan pimpinan amal usaha Muhammadiyah untuk menjadi caleg atau tim sukses. Semua amal usaha, seperti sekolah, rumah sakit, panti asuhan, panti jompo, panti rehabilitasi, dan lain-lain dilarang digunakan sebagai fasilitas kampanye.

Ketiga, kemandirian dalam bidang SDM. Hal inilah yang membuat pengelolaan semua amal usaha Muhammadiyah (AUM) dijalankan SDM yang digaji secara profesional. Bisa dari kader Muhammadiyah sendiri, bisa juga dari luar Muhammadiyah. Prinsip tata kelolanya mengacu pada sistem meritokrasi. Demikian juga dengan Badan Usaha Milik Muhammadiyah (BUMM) yang terdiri atas perusahaan dan lembaga keuangan. Intinya, dalam soal SDM, Muhammadiyah tidak memiliki ketergantungan kepada pihak mana pun.

Namun, harus diakui, dalam hal SDM ini terdapat kerumitan tersendiri manakala para profesional yang dimiliki Muhammadiyah menjadi bagian dari aparatur pemerintah. Pada saat pemerintah membutuhkan, tidak ada pilihan lain bagi Muhammadiyah selain melepaskannya. Inilah yang terjadi pada saat ada ribuan guru Muhammadiyah yang diangkat menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Mereka yang telah lama dididik dan bekerja di sekolah-sekolah Muhammadiyah harus hengkang karena ditempatkan di sekolah-sekolah negeri.

Ini seyogianya menjadi catatan penting bagi pemerintah. Agar tidak merugikan Muhammadiyah, juga organisasi-organisasi yang lain, seharusnya guru-guru yang diangkat menjadi PPPK itu tetap diberi kebebasan untuk berkhidmat di tempat mengajarnya. Di mana pun mereka mengajar, pada hakikatnya mengabdi untuk negara. Karena Muhammadiyah, juga lembaga-lembaga swasta yang lain, ialah bagian dari negara. Kepada lembaga-lembaga ini seharusnya pemerintah membantu atau menyubsidi ketersediaan guru, bukan malah mengambilnya.

Kekuatan penyeimbang pemerintah

Dalam setiap negara, dibutuhkan satu mekanisme yang secara sistemis bisa mengatur agar negara tetap survive dan mampu meraih cita-cita yang diimpikannya. Sebagai negara, Indonesia memiliki tujuan mulia sebagaimana tercantum dalam pembukaan konstitusi (pembukaan UUD NRI 1945), yakni memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Untuk mencapai cita-cita tersebut, dalam menjalankan pemerintahan, Indonesia menganut sistem demokrasi yang membagi kekuasaan menjadi tiga, yakni kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sistem pembagian kekuasaan itu pertama kali dikemukakan filsuf Inggris John Locke (1632-1704) yang kemudian dikembangkan pemikir Prancis Mostesquieu (1689-1755) menjadi trias politika yang diimplementasikan seperti pembagian kekuasaan yang ada di Indonesia saat ini.

Dalam praktik, trias politika tak selalu berjalan sesuai dengan harapan. Masalah yang muncul biasanya kekuasaan eksekutif terlalu dominan sehingga memandulkan dua kekuasaan yang lain, legislatif dan yudikatif. Dominannya kekuatan eksekutif akan menjadikan kekuasaan yudikatif cenderung terkooptasi dan kekuatan legislatif yang seharusnya menjalankan fungsi kontrol terhadap eksekutif, justru menjadi pendukung yang melegitimasi kebijakan-kebijakan eksekutif. Kondisi semacam itu pernah dialami Indonesia pada era Orde Baru

Setelah Orde Baru tumbang, terjadi penataan sistem politik secara menyeluruh. Tiga cabang kekuasaan berjalan relatif lebih baik dan indeks demokrasi Indonesia juga membaik, dari negara nondemokratis menjadi negara demokratis meskipun masih jauh dari sempurna.

Yang amat disayangkan, kualitas demokrasi Indonesia tidak kunjung naik kelas, stagnan atau bahkan cenderung mengalami penurunan. Salah satu indikatornya ialah melemahnya fungsi kontrol lembaga legislatif. Sebagaimana disinyalir Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta, Paryanto, dalam rubrik Opini Media Indonesia (11/01/2023) bahwa kekuatan legislatif saat ini memiliki kecenderungan kembali sebagai rubber stamp (tukang stempel), sebagaimana yang terjadi pada era Ode Baru.

Dalam situasi politik semacam itu, meskipun bukan sebagai kekuatan politik formal, kemandirian Muhammadiyah bisa menjadi kekuatan penyeimbang yang berada di luar pemerintah. Mandulnya fungsi kontrol lembaga legislatif, sebagai akibat dari koalisi jumbo partai-partai politik pendukung pemerintah, membuat fungsi penyeimbang beralih pada kekuatan masyarakat sipil yang terdiri atas lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi (kampus), kelompok penekan (pressure groups), media massa, dan organisasi kemasyarakatan (Ormas). Hal itu sesuai dengan pendapat Alexis de Tocqueville (1805-1859) yang memandang masyarakat sipil sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara.

Namun, dengan kekuatan minimalis, LSM pun tidak cukup kuat untuk menjadi lembaga yang mampu mengontrol jalannya pemerintahan, kecuali pada kasus-kasus kebijakan parsial. Begitu juga akademisi (kampus) karena terlampau sibuk dengan urusan akreditasi kelembagaan dan upaya memenuhi tuntutan menulis dalam jurnal ilmiah (sinta atau scopus), baik berstandar nasional maupun internasional, tidak sempat lagi membuat kajian mendalam yang bisa mengevaluasi kebijakan pemerintah.

Untuk itu, satu-satunya harapan itu ada pada ormas, tentu dengan catatan yang memiliki kemandirian. Kemandirian Muhammadiyah secara ekonomi, politik, dan SDM patut menjadi pelajaran bagi siapa pun (baik individu maupun organisasi). Dengan kemandiriannya, Muhammadiyah mampu berperan sebagai penyeimbang pemerintah yang konstruktif dengan cara tidak asal mengkritik (nyinyir) dan tidak asal mendukung (tanpa reserve).

Kritik-kritik Muhammadiyah terhadap pemerintah senantiasa dilandasi dengan argumentasi yang memadai karena didahului dengan rapat/rembukan yang menghadirkan para ahli di bidangnya. Jika ada kritik yang kurang argumentatif, bisa dipastikan berasal dari individu yang mungkin saja aktivis atau bahkan pimpinan Muhammadiyah, tetapi kritik yang dilontarkan sejatinya tidak mewakili Muhammadiyah secara kelembagaan.

Kekuatan kritik itu selain karena didasarkan pada argumentasi, karena kemandirian. Jika Muhammadiyah selalu berharap pada bantuan pemerintah atau memiliki ketergantungan pada pemerintah, tidak mungkin bisa mengritik. Ormas yang rajin meminta bantuan pada pemerintah atau memiliki ketergantungan pada pemerintah, alih-alih menjadi penyeimbang, malah menjadi kuasi pemerintah.

Sumber: https://m.mediaindonesia.com/opini/556520/pilar-kemandirian-muhammadiyah

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

two × 3 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.