Term of Reference

Jurnal Maarif Edisi ke-25 Vol.11 No.1 Juni 2016

Tafsir Kontemporer: Membedah Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah

Pendahuluan

Pasca reformasi 1998 yang mengakhiri kekuasaan Orde Baru, praktek Penataran P-4 yang kental nuansa indoktrinasi dibubarkan. Pelan tapi pasti, Pancasila seolah mulai terlupakan. Situasi ini berkelindan dengan tumbuhnya keresahan di tengah masyarakat bahwa Indonesia telah kehilangan jati diri bangsa, maraknya kasus korupsi, neo-liberalisme telah merasuk dalam setiap relung kebijakan ekonomi dan politik, maraknya praktek-praktek intoleransi mengancam keberagaman dan harmoni kehidupan bangsa, hingga tawaran ideologi alternatif seperti khilafah.

Kasus kelompok Gafatar yang ingin mendirikan negara sendiri hingga keberangkatan sebagian kecil warga negara Indonesia untuk bergabung dengan Negara Islam di Suriah dan Irak menjadi bukti terbaru bagaimana tawaran ideologi lain kian menggerus rasa kebangsaan dan Ideologi bangsa. Tidak kurang 500-700 pejuang dari Indonesia bergabung dengan ISIS dan bergabung bersama kurang lebih 31.000 orang dari total 86 negara yang bergabung ke Suriah. (TSG, 2015). Bahrun Naim adalah satu diantara ratusan “pejuang asing” (foreign fighters) dari Indonesia yang berangkat ke Suriah untuk bergabung bersama ISIS dan Khalifah al-Bagdadi dan dianggap menjadi otak serangan bom Thamrin 17 Januari 2016 lalu. Sejalan dengan itu, menurut hasil survey yang dilakukan oleh Setara Institute, 11 % dari anak-anak SMU di Jakarta dan Bandung memilih khilafah sebagai sistem politik atau pemeritahan yang paling baik untuk diterapkan di Indonesia. 86% memilih demokrasi. 2 persen menjawab tidak tahu dan 1 persen memilih monarki (Setara Institute, 2016). Fenomena ini cukup mengkhawatirkan. Terlebih, yang menjadi sasaran adalah generasi muda dari sekolah menengah.

Fenomena di atas yang terus terjadi dan berkembang di tanah air menyadarkan pemerintah dan masyarakat akan pentingnya Pancasila sebagai dasar yang mempersatukan Indonesia. Pancasila bersumber dari nilai-nilai kebijaksanaan masa silam yang terpendam di bumi nusantara selama ribuan tahun, Pancasila menjadi perekat ideologis bagi sekat-sekat anak bangsa demi terciptanya ‘rumah kebangsaan’. Kebangkitan filosofi kebangsaan ini menjadi suatu keniscayaan di tengah kegamangan kehidupan bangsa. Namun bagaimana mendorong kebangkitan kembali Pancasila? Yudi Latif menulis:

Kebangkitan atau renaissance Pancasila hanya dimungkinkan bila mengikuti cara Soekarno menggali kembali mutiara terpendam, mengargumentasikan, mengontekstualisasikan dalam kehidupan semasa, dan mengupayakan aktualisasinya dalam kehidupan masa kini dan masa depan” (2011: 50).

Semangat dan kesadaran untuk mengkampanyekan, mengkontekstualisasikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila kian meluas, dan dilakukan tidak hanya oleh pemerintah, namun juga kelompok masyarakat. Di masa kepemimpinan almarhum Taufik Kiemas, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2009-2014, giat mengkampanyekan Empat Pilar Negara, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini dilakukan untuk membangun kesadaran warga akan pentingnya empat pilar tersebut untuk persatuan dan kesatuan bangsa. Di masa itu juga ditetapkan tanggal 18 Agustus sebagai Hari Konstitusi.

Demikian pula kini Presiden Joko Widodo menetapkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Kelahiran Pancasila melalui Surat Keputusan Presiden (Keppres) No.24 Tahun 2016. Dalam keputusan tersebut, tertera bagaimana proses ditetapkannya tanggal tersebut. Walau ada kritik yang menyatakan bahwa seharusnya penetapan Hari Pancasila bukanlah pada 1 Juni, melainkan tanggal 22 Juni mengingat pada tanggal yang disebut terakhir, sidang BPUPKI menetapkan susunan Pancasila yang telah direvisi—dengan merubah struktur Pancasila sebagaimana isi Pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 (Ketuhanan menjadi sila 1 dan diikuti klausul “…dengan kewajiban menjalankan syariát Islam bagi pemeluk-pemeluknya). Selain 22 Juni, ada pula yang mengusulkan Hari Pancasila pada tanggal 18 Agustus, karena pada tanggal itu susunan Pancasila menjadi rumusan final dan tercantum dalam naskah UUD 1945 serta mengganti 7 kata dengan “…Yang Maha Esa”setelah kata “Ketuhanan”. Namun, sebagaimana dijelaskan dalam Surat Keputusan Presiden tersebut di atas, tanggal 18 Agustus telah ditetapkan sebagai Hari Konstitusi. Selain itu, dalam pertimbangan, telah dijelaskan bahwa proses Pancasila menjadi dasar Negara tidak terpisahkan dengan tanggal 22 Juni dan 18 Agustus 1945. Penetapan Hari Pancasila tanggal 1 Juni lebih pada menghargai dan menghormati Soekarno sebagai pencetus gagasan tersebut.

Selain itu, di kelompok masyarakat, Muktamar Muhammadiyah ke 47 di Makassar, 3-7 Agustus 2015, PP. Muhammadiyah mempresentasikan dokumen Negara Pancasila Sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah di depan ribuan muktamirin. Dokumen tersebut kemudian disetujui sebagai produk muktamar. Dengan demikian, dokumen tersebut merupakan sikap resmi Muhammadiyah. Dokumen ini mempertegas keberpihakan Muhammadiyah kepada Negara Pancasila di tengah perebutan wacana dan konsep pemerintahan di ruang publik pasca reformasi. Muhammadiyah meyakini bahwa Pancasila merupakan ideologi yang mempersatukan anak bangsa di bawah bendera merah putih.

Sikap Muhammadiyah kepada Pancasila bukanlah hal baru. Menilik sejarah, dialektika Muhammadiyah dengan Pancasila merupakan proses yang panjang. Di tahun 1980-an, pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan Asas Tunggal kepada semua kekuatan politik. Merespon hal itu, Muhammadiyah menemui Menteri Dalam Negeri saat itu, Amir Mahmud, untuk mendapat penjelasan mengenai kebijakan Soeharto tersebut. Menurut Amir Mahmud, yang terkena kebijakan tersebut hanya kekuatan politik seperti Parpol dan Golkar. Sedang Ormas tidak perlu mengganti asasnya. Penjelasan Amir Mahmud membuat Muhammadiyah lega. Namun pada kenyataannya, ormas-ormas pun diwajibkan untuk mengganti asasnya. Di tingkat pimpinan Muhammadiyah, sebetulnya juga terjadi perbedaan pendapat ihwal pergantian asas ini. Namun hal ini diselesaikan melalui proses dialog di antara pimpinan.

Namun karena situasi nasional saat itu menentukan perjalanan organisasi, pembahasan mengenai asas itu pun di bawa ke Muktamar Muhammadiyah ke-41 pada tahun 1985 di Surakarta. Setelah perdebatan yang hangat, akhirnya muktamar menetapkan menerima Pancasila sebagai asas organisasi. Pak A.R. Fakhrudin, ketua PP. Muhammadiyah saat itu, membuat perumpamaan kebijakan asas tunggal dengan peraturan helm bagi pengendara motor yang dibuat oleh pemerintah. Helm digunakan untuk melindungi pengendara selama dalam perjalanan. Ketika tiba di rumah, kita bisa menggunakan peci atau tutup kepala. Dengan keputusan Muktamar ke 41 di Surakarta tersebut, secara resmi Muhammadiyah menerima Pancasila sebagai asasnya. Hal ini berlaku menyeluruh hingga ke tingkat organisasi otonom Muhammadiyah yang disarankan (diharuskan) untuk mengganti asasnya. Dinamika pun terjadi di tingkat organisasi otonom. Namun, secara keseluruhan, ortom mengikuti keputusan induk organisasinya.

Seiring perubahan politik dengan terjadinya reformasi 1998, aspirasi warga yang selama ini terkekang mendapat ruang-ruang berekspresi. Termasuk dalam hal ini adalah asas organisasi, baik orpol ataupun ormas. Penetapan kebijakan asas tunggal membuat organisasi yang selama ini tidak puas dengan kebijakan Soeharto serta praktik manipulasi nilai-nilai Pancasila untuk kepentingan politik, memutuskan untuk merubah asasnya kembali ke asas Islam. Termasuk di dalamnya Muhammadiyah. Muktamar ke 44 di Jakarta menetapkan pergantian asas Muhammadiyah. Pergantian asas ini bukan berarti Muhammadiyah tidak mengakui Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa, namun bentuk akomodasi Muhammadiyah terhadap aspirasi yang berkembang di tengah konstituennya.

Muhammadiyah menyadari peran penting Pancasila dalam merawat taman sari Indonesia, menjaga keberlangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu, tugas sejarah yang telah ditorehkan oleh Prof. Kahar Mudzakir, Mr.Kasman Singodimejo dan Ki Bagus Hadikusumo dalam Sidang-Sidang BPUPKI dan PPKI pada tahun 1945, diteruskan oleh pimpinan Muhammadiyah dengan menyusun dokumen persyarikatan yang disebutkan di atas, yakni Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah. Hal ini sejalan dengan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) poin 5, yaitu:

Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT:

“BALDATUN THAYYIBATUB WA ROBBUN GHOFUR” (MKCH Muhammadiyah)

Namun apa yang dimaksud dengan konsensus nasional? Apa pula yang dimaksud dengan (tempat) kesaksian? Apa konsekuensi dari Pancasila sebagai konsensus nasional? Edisi ini ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana genealogi Darul Ahdi dari konsep fiqh Islam klasik (Fiqh Siyasah) hingga fikih kontemporer, Bagaimana konsep Darul Ahdi Wa Syahadah menurut dokumen resmi Muhammadiyah, Bagaimana aktualisasi konsep tersebut dalam kehidupan bangsa dan negara, bagaimana landasan historis dan ideologis Pancasila sebagai dasar atau asas negara? Mengapa kelahiran Pancasila dipersoalkan? Apakah Ideologi Pancasila merupakan sintesa dari tiga ideologi besar dunia (Nasionalis, religius, sosialis)? Apakah negara Pancasila merupakan bangunan Negara Sekuler-Religius/Sekuler-Islami? Bagaimana aktualisasi nilai Ketuhanan dalam kehidupan bangsa? Bagaimana upaya cendekiawan agama untuk menempatkan demokrasi dan sekularisme dalam kerangka agama? Bagaimana upaya cendekiawan Nasionalis untuk Menempatkan agama dalam kerangka negara sekuler dan demokrasi? Bagaimana aktualisasi nilai kemanusiaan dan keadilan di tengah pembangunan ekonomi dan tantangan perdagangan bebas? Apa itu Demosyurakrasi Pancasila? Bagaimana demokrasi perwakilan mendorong kesejahteraan rakyat? Mengapa Pancasila memiliki titik temu dengan Tauhid Sosial? Apakah otonomi daerah gerbang menuju federasi? Bagaimana konsep keadilan sosial Pancasila dan relevansinya dengan Teologi Al-Maun?

Para kontributor diharapkan bisa menyumbangkan artikel-artikel yang bisa memberikan perspektif dan Tafsir Kontemporer Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah. Kami berharap bahwa diskusi ini dapat membantu memperjelas konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah dan aktualisasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Call for Paper

Adapun Call for Paper akan dibuka dengan tema atau topik sebagai berikut:

  1. Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah?
  2. Negara Kesejahteraan: Upaya Membumikan Keadilan Sosial
  3. Otonomi Daerah: Gerbang  Menuju Federasi?
  4. Demosyurakrasi Pancasila: Jembatan Demokrasi dan Permusyawaratan

Petunjuk dan Format Penulisan Artikel

  1. MAARIF hanya memuat artikel atau esai hasil refleksi, riset, atau kajian kritis yang belum pernah dipublikasikan mengenai tema-tema yang ditetapkan oleh redaksi berdasarkan Term of Reference yang dibuat.
  2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia dengan batas minimal panjang tulisan 4.000 kata (10 halaman) dengan batas maksimal 6000 kata (15 halaman), 1 spasi, A4; dilengkapi dengan abstrak maksimal 100 kata, dan kata-kata kunci maksimal 7 kata.
  3. Artikel memuat: Judul, Nama Penulis (beserta deskripsi biodata singkat dan alamat e-mail pribadi), Abstrak (dalam bahasa Indonesia), Kata-kata Kunci (dalam bahasa Indonesia), Pendahuluan (tanpa anak judul), Subjudul-subjudul (sesuai kebutuhan), Penutup, dan Daftar Pustaka (bahan rujukan).
  4. Catatan-catatan berupa referensi ditulis secara lengkap dalam Catatan Kaki dengan urutan: Nama Lengkap Pengarang, Judul Lengkap Sumber, Tempat Terbit, Penerbit, Tahun Terbit, dan nomor halaman. Rujukan dari internet harap mencantumkan halaman http secara lengkap serta tanggal pengaksesannya.
  5. Kutipan lebih dari empat baris diketik dengan spasi tunggal dan diberi baris baru. Kutipan empat baris atau kurang dituliskan sebagai sambungan kalimat dan dimasukkan dalam teks memakai tanda petik.
  6. Daftar Pustaka diurutkan secara alfabetis, dan hanya memuat literatur yang dirujuk dalam artikel. Contoh:

Lijphart, Arend. Democracy in Plural Societies. New Haven: Yale University Press, 1977.

Skolimowski, Henryk, David Skrbina, and Juanita Skolimowski. World As Sanctuary: The Cosmic Philosophy of Henryk Skolimowski. Detroit: Creative Fire Press, 2010.

Glazer, Sidney, and A L. Tibawi. “Review of American Interests in Syria, 1800-1901: a Study of Educational, Literary and Religious Work.” The American Historical Review. 73.1 (1967): 187-188.

  1. Pengiriman artikel (dalam bentuk file atau file-attachment) paling lambat pada Jumat, 15 Agustus 2016). Tulisan dikirimkan ke alamat redaksi: Kantor MAARIF Institute, Jl. Tebet Barat Dalam II, no. 6, Tebet, Jakarta Selatan 12810. dan atau dikirim ke alamat e-mail: [email protected], cc. [email protected], [email protected], [email protected]
  1. Atas tulisan yang telah dimuat, penulis berhak memperoleh ucapan terimakasih berupa bukti terbit 2 eksemplar dan honorarium tulisan sebesar Rp. 800.000,-

 

Terima kasih banyak atas perhatian dan kerjasamanya.