Mendengar aksi anarkis pembakaran sejumlah kelenteng dan vihara di Tanjung Balai, Sumatra Utara, yang mengatasnamakan ‘membela’ agama, membuat kita geleng-geleng kepala. Masalahnya terlihat sepele dan tidak seharusnya ditanggapi dengan aksi yang destruktif.
Kerusuhan di penghujung Juli lalu berawal dari permohonan seorang wanita Tionghoa kepada pengurus masjid untuk mengecilkan volume pengeras suara yang mengumandangkan azan yang dirasanya cukup mengganggu. Kemarahan massa yang lepas kontrol ini disinyalir juga akibat provokasi di media sosial. Tindak perusakan rumah ibadah itu sudah merupakan bentuk tindak kriminal. Padahal, Undang-Undang Pasal 9 Ayat 2 Nomor 9 Tahun 1998 telah mengatur larangan rumah ibadah dijadikan sasaran demonstrasi massa.
Gesekan-gesekan terkait agama sepertinya sangat mudah diusik di negara ini. Kejadian tersebut bukanlah yang pertama. Masih banyak kekerasan radikal fenomenal seputar isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang terjadi, seperti kerusuhan etnis tahun ’98 yang menjadi catatan kelam sejarah bangsa ini, konflik antaragama di Ambon (1999), pembantaian umat muslim di Poso, Sulawesi Tengah, yang masih bergulir sejak tahun 2000, kerusuhan antarsuku di Sampit (2001), pembongkaran gereja di Aceh Singkil (2015), dan yang baru-baru ini terjadi, insiden berdarah akibat perusakan musala di Tolihara, Papua, Juli lalu.
Menurut data yang dimiliki Komnas HAM sejak tahun 2014, tiap tahunnya pengaduan terkait dugaan pelanggaran hak kebebasan berkeyakinan selalu meningkat. Pada tahun 2014 tercatat 74 pengaduan dan tahun 2015 mencapai 89 pengaduan. Sedangkan pada periode Januari-Mei 2016, terdapat 34 pengaduan.
Sebaran wilayah tertinggi pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terdapat di Provinsi Jawa Barat, disusul DKI Jakarta, Aceh, dan Bangka Belitung. Pernyataan itu didasari penghitungan jumlah laporan tentang diskriminasi atau perilaku tidak menyenangkan yang diadukan masyarakat.
“Konflik yang dipicu oleh persoalan agama memang lebih sensitif daripada permasalahan suku dan ras. Penyebabnya, karena agama menjadi keyakinan yang paling esensial. Apabila terusik, orang cenderung lebih mudah sakit hati sehingga terdorong berespons keras untuk memperjuangkan keyakinannya,” jelas M. Abdullah Darraz, Direktur Program MAARIF Institute, LSM yang memperjuangkan pluralisme. Padahal, menurutnya, tidak jarang kepentingan politik disisipkan di balik aksi adu domba ini.
Tidak hanya perseteruan yang besar, percikan isu SARA juga banyak ditemui di laman media sosial. Misalnya, caci makinetizen terhadap Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), pemimpin yang non-muslim dan dari etnis nonpribumi. Ada juga kasus ejekan Florence di akun Path terhadap warga Yogyakarta yang dinilainya bodoh, dan Ibnu yang menghina perayaan Nyepi di Bali beberapa tahun lampau.
Kebebasan berkicau di laman sosial ini apabila dirasa menyudutkan pihak tertentu bisa dilaporkan terkait Pasal 27 UU ITE tentang Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik seperti yang diatur dalam Pasal 27 Ayat 3 Jo Pasal 45 Ayat 1 UU RI Tahun 2008 tentang ITE dengan pidana penjara selama 1 tahun dengan masa percobaan selama 2 tahun.
Lontaran ejekan sukuisme antarteman juga sudah jadi santapan sehari-hari di tengah kita dan akhirnya mengarah jadi stereotip. Misalnya, suku Minang sering dipandang pelit, wanita Sunda matre dan (maaf) murahan, orang Manado lebih mementingkan penampilan dan suka hura-hura, orang Batak kasar dan bermental kriminal, dan masih banyak lagi. Sebagai negara yang memiliki 1.700 pulau dengan ratusan suku bangsa yang menghuninya, tak heran gesekan antarsuku menjadi sangat rentan di Indonesia, akibat perbedaan budaya dan adat istiadat. (f)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!