Konflik bernuansa agama yang mengoyak Poso, Sulawesi Tengah, tahun 1998-2001, mengubah jalan hidup Budiman Maliki (38). Saat ribuan orang mengungsi ke Palu, pemuda itu tergerak mengurusi mereka. Ketika konflik reda, ia pulang ke Poso dan terlibat dalam penyembuhan luka akibat konflik, menyemai perdamaian, seraya memberdayakan mantan pengungsi.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Budiman adalah warga Poso Pesisir, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Saat konflik, ia tengah menyelesaikan kuliah di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tadulako, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Ia masih ingat, terjadi gesekan kecil di Poso Kota pada akhir 1998. Gesekan itu berubah jadi api pertikaian akibat dirasuki kepentingan politik dan-terutama-dikipas-kipasi oleh sentimen perbedaan agama oleh pihak-pihak tertentu.
Tahun 2000, pecah konflik lebih besar di Poso Kota, Poso Pesisir, dan Lage, lantas merembet ke daerah-daerah lain. Ratusan korban berjatuhan. Ribuan orang mengungsi ke Kota Palu (ibu kota Sulawesi Tengah) serta beberapa wilayah di provinsi itu, seperti Tentena, Lore, Parigi Moutong, Tojo Una-Una, dan Morowali.
“Saya sangat ingin ke Poso untuk mengevakuasi keluarga,” kenang Budiman di Jakarta, Minggu (12/6) siang.
Ia lelaki yang bersahaja. Ketika mengisahkan tragedi berdarah di Poso, ia kadang berhenti untuk menemukan kalimat yang pas, tidak provokatif. Kata-katanya meluncur lancar saat membahas proses rekonsiliasi.
Niat pemuda itu ke Poso tak kesampaian karena kampung halamannya sudah ditutup dengan alasan keamanan. Saat bersamaan, ada informasi bahwa keluarganya telah mengungsi ke Tojo Una-Una. Ia pun kembali ke Palu.
Palu diserbu ribuan pengungsi dengan bekal apa adanya, bahkan ada yang hanya berbekal baju melekat di badan. Sebagian anggota keluarga mereka hilang, terpisah, atau bahkan terbunuh. Situasi penuh ketakutan, tidak menentu, dan mereka tak punya tempat bernaung. “Saya dan beberapa teman merasa harus ada yang mengurus para pengungsi,” katanya.
Para aktivis lantas membentuk jaringan Relawan Penanganan Pengungsi Poso di Palu. Budiman dipercaya menjadi koordinator posko pengungsi di Stadion Gawalise. Ada sekitar 100 keluarga pengungsi yang tinggal di stadion. Relawan mengurus semua kebutuhan mereka, mulai makanan, kesehatan, pendidikan anak-anak, hingga penyembuhan trauma. Itu kerja menantang karena logistik terbatas, sementara pengungsi tertekan secara fisik dan mental.
“Kami pastikan semua pengungsi mendapat makanan, yang sakit diobati, dan anak-anak bisa sekolah. Kami ajak mereka mengatasi kebosanan dengan kegiatan positif,” katanya.
Budiman bahkan ikut mengurusi pernikahan antara pengungsi dan warga di sekitar stadion. “Saya kadang menjadi wali pernikahan,” ujarnya tersenyum.
Tak terbatas untuk pengungsi Muslim, Budiman dan kawan-kawan juga membantu pengungsi Kristen. Mereka sepakat, semua pengungsi, apa pun latar belakang agamanya, harus memperoleh bantuan. “Kami tak ingin terbawa arus sentimen perbedaan SARA (suku, ras, agama, dan antar-golongan). Kami bantu semua. Ini soal kemanusiaan,” katanya.
Tahun 2001, lewat perjanjian Malino 1, pihak-pihak yang bertikai di Poso bersepakat untuk berhenti saling serang. Para pengungsi pun mulai kembali ke kampung halaman.
Pasca konflik
Pasca konflik, kehidupan Poso masih dirundung trauma, dendam, permusuhan, dan syak wasangka antarkelompok masyarakat. Belum lagi masalah tempat tinggal, sekolah anak-anak, dan keterpurukan ekonomi akibat mereka kehilangan rumah, pendidikan, pekerjaan, dan anggota keluarga. “Dampak konflik masih panjang. Kami harus terus membantu orang-orang Poso,” kata Budiman.
Tahun 2002, ia bergabung dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional untuk memberikan bantuan kepada umat Islam ataupun Kristen. Kerja itu penuh risiko karena setiap kelompok kerap menggelar sweeping yang rentan berujung kekerasan. Suatu saat, mobil yang dibawa Budiman-dengan penumpang Muslim dan Kristen-dicegat. “Saya buru-buru bilang, kami dari LSM bawa bantuan beras. Alhamdulillah, boleh lewat.”
Bersama para aktivis, Budiman mendirikan Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil (LPMS) tahun 2003. Ia menjadi koordinator program, sementara aktivis Iskandar Lamuka sebagai Direktur LPMS. Bermodal dana patungan terbatas, lembaga ini sempat berkantor di kamar kos Budiman di Palu sebelum pindah ke Poso dan menyewa rumah.
LPMS mengajak masyarakat untuk membangun perdamaian. Mereka menggelar pelatihan manajemen pasca konflik, diskusi, dan pemberdayaan ekonomi. Jaringan relawan dimanfaatkan untuk merintis rekonsiliasi. “Kami buat pertemuan-pertemuan terbatas di akar rumput, tidak menyentuh tokoh-tokoh yang menjadi ikon umat masing-masing.”
Para aktivis tersebut juga membantu pertanian warga. Dengan sokongan donatur internasional, misalnya, dikembangkan program percepatan tumbuhan kakao. Langkah ini cukup berhasil.
Bergabung dengan sejumlah LSM lain dalam Poso Center, LPMS mengawal bantuan untuk masyarakat korban konflik. Konsorsium ini pernah mengungkap dugaan penyimpangan bantuan oleh seorang pejabat pemerintah daerah. Kasus itu menjadi perhatian publik dan berlanjut hingga proses hukum.
Namun, LPMS-yang kebetulan menjadi markas Poso Center-sempat diteror. Suatu malam, sekitar pukul 21.00, bom rakitan diledakkan di kantor lembaga. Tidak ada korban jiwa, tetapi pintu, kaca, dan plafon rumah hancur. “Kami lapor ke polisi. Tapi, sampai kini, pelakunya tak terungkap.”
Tahun 2008, Budiman menjadi Direktur LPMS dan segera membuka Pos Pelayanan Informasi dan Pengaduan Masyarakat (P2IPM). Bekerja sama dengan lembaga bantuan hukum (LBH), mereka menemani warga korban kekerasan hingga penyelesaian hukum. Ia juga menggiatkan pemenuhan layanan dasar pemerintah untuk masyarakat, seperti bantuan kesehatan, pendidikan, air bersih, dan pemberdayaan lain. “Kami jadi jembatan,” katanya.
Aktivis yang tekun
Ketika kehidupan Poso berangsur membaik, jumlah LSM semakin berkurang. Sebagian besar aktivis beralih menjadi politisi, wirausaha, atau pegawai. Budiman juga sempat menjadi kader partai politik, tetapi tidak betah. Ia akhirnya kembali menekuni kerja aktivisme dengan merawat LPMS. “Ini mungkin jalan hidup saya agar bermanfaat untuk masyarakat.”
Jalan itu terinspirasi oleh ayahnya, Opiti Maliki (almarhum). Awalnya hidup mapan sebagai karyawan perusahaan minyak di Sorong, Papua, tetapi sang ayah lantas pulang ke Poso untuk mengabdi sebagai guru honorer di SMA Muhammadiyah dengan fasilitas seadanya. Keikhlasan ayah memantapkan pilihan Budiman untuk terus mengabdi bagi masyarakat. “Mudah-mudahan saya kuat,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Untuk menafkahi keluarga, Budiman mengembangkan usaha kecil-kecilan. Bersama istrinya, Eva Nuhung, ia membuat es lilin, lantas mengedarkannya ke warung-warung atau ibu-ibu rumah tangga yang mau menjualnya. “Hasilnya lumayan. Yang penting halal.”
Atas pengabdian itu, Maarif Institute-lembaga yang didirikan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif-memilih Budiman sebagai salah satu penerima Maarif Award 2016. Dia dinilai turut memberdayakan masyarakat dan mendorong rekonsiliasi pasca konflik di Poso.
“Ini tantangan bagi saya untuk konsisten melanjutkan kerja kemanusiaan,” katanya.
Oleh: ILHAM KHOIRI
http://print.kompas.com / 15 Juni 2016
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!