REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Ternyata memang tidak mudah membangun demokrasi yang sehat dan kuat di Indonesia. Jika tujuan kita untuk berdemokrasi itu adalah untuk menciptakan keadilan, demi terwujudnya kesejahteraan rakyat banyak, maka pengamalaman hampir 70 tahun Indonesia merdeka, baru sebagian kecil harapan itu dapat dicapai. Tetapi, harus juga diingat bahwa demokrasi itu pernah pula ditindas dalam tempo yang panjang.
Yaitu, pertama, antara tahun 1959 dan 1966 di bawah sistem Demokrasi Terpimpin (DT). Kedua, antara tahun 1968 dan 1998. Antara tahun 1966 dan 1968, ada periode harapan bagi demokrasi untuk dihidupkan kembali, kemudian layu lagi karena langsung dikerangkeng di bawah sistem yang dikenal dengan nama Demokrasi Pancasila.
Dalam kedua sistem itu, nama demokrasi tetap dipertahankan, tetapi realitas politik menunjukkan bahwa yang berlaku adalah kekuasaan otoritarian dengan memasung kebebasan berekspresi bagi warga negara yang berbeda pendapat. Ajaibnya, gagasan sistem DT diterima oleh sebagian besar parpol, hanya ada dua parpol yang tegas-tegas menolaknya: Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dengan Bung Hatta sebagai payung utamanya. Nasib kedua parpol ini tinggal menunggu komando untuk dibubarkan pada akhir 1960.
Gagasan demokrasi itu tidak pernah lenyap di Indonesia karena sudah tertanam kuat sejak masa pergerakan nasional abad yang lalu, maka akibat hantaman krisis moneter tahun 1997/1998, Demokrasi Pancasila atau disebut sistem Orde Baru (Orba) langsung menggali kuburnya. Dengan penuh sorak-sorai rakyat Indonesia, dipelopori oleh mahasiswa dan kaum intelektual idealis, sama-sama mengusung mayat Orba itu ke liang lahat untuk digantikan Era Reformasi yang sampai hari ini telah berjalan selama 16 tahun.
Amat disayangkan kaum idealis yang turut menumbangkan sistem Orba segera bertukar kelakuan menjadi kaum idealis musiman. Cita-cita reformasi yang terumus dalam format demokratisasi, desentralisasi, dan anti-KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) semula demikian membahana, tetapi khusus untuk KKN, telah lama mati suri.
Semua parpol yang muncul di era ini bahkan terlibat tanpa malu dalam tiga penyakit moral yang merusak demokrasi itu. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semula dikutuk itu, dalam perjalanan kemudian sama-sama dipraktikkan untuk meraih tujuan-tujuan murahan oleh mereka yang tunamoral yang telah menjadi gelombang besar di Era Reformasi ini. Dengan demikian, cita-cita reformasi yang berarti penataan ulang sistem kenegaraan Indonesia telah berujung dengan sebuah kesia-siaan.
Para negarawan yang diimpikan untuk membenahi sistem politik kita yang rusak tidak cukup jumlahnya. Bahkan, tidak jarang di antara mereka yang sedikit itu jika perlu ditebas di kuncupnya. Maka, jadilah Era Reformasi terjepit di bawah kangkangan kaum idealis musiman itu. Oleh sebab itu, tuan dan puan tak perlu menangisi karena sistem demokrasi dalam lingkungan peradaban politik yang tunamartabat adalah mustahil untuk setia pada gagasan reformasi yang manis, tetapi sarat euforia itu.
Nah, bagaimana dengan Pilpres 9 Juli 2014? Apakah masih akan memunculkan para idealis musiman yang menjadi kanker demokrasi itu? Semua kita berharap, pembenahan sistem politik Indonesia akan berlangsung lebih baik dan lebih bermutu di tangan para negarawan yang autentik.
Tetapi, manakala yang terjadi nanti sebaliknya, maka bangsa dan negara ini harus siap menderita lebih lama lagi, tetapi siapa yang masih tahan? Atau memang kita sedang menggali kuburan masa depan kita karena demokrasi yang telah dipilih tidak kunjung menjawab masalah fundamental ini: tegaknya keadilan bagi terwujudnya kesejahteraan merata bagi seluruh rakyat.
Di tangan para idealis musiman, nilai-nilai luhur Pancasila telah lama menjerit kesakitan, sementara mulut mereka tetap saja berbusa-busa meneriakkan filsafat dasar kenegaraan itu. Bukankah drama semacam ini adalah sebuah pertunjukan hipokrit yang harus dihalau untuk selama-lamanya?
Akhirnya, jangan sampai sesak napas, mari kita semua melaksanakan tugas demokrasi dengan meluangkan waktu pergi ke tempat pemungutan suara (TPS) pada 9 Juli 2014 untuk ikut memilih presiden/wakil presiden, dan tidak lagi ragu dalam menentukan pilihan, sesuai dengan suara hati nurani masing-masing. Demokrasi memang lamban dan melelahkan, tetapi peradaban umat manusia belum lagi menemukan sistem politik yang lebih baik dari itu. Selamat memilih!
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!