Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Untuk Indonesia, istilah pluralisme memang merupakan barang impor dari Eropa atau Amerika, seperi halnya juga konsep demokrasi, berasal dari zaman Yunani kuno. Barang impor itu ada yang baik, ada pula yang harus ditolak, tergantung kepada saringan sosio-kultural khas yang dimiliki oleh sebuah masyarakat. Pluralisme juga berlaku di ranah agama. Dalam sejarahnya, pluralisme agama telah muncul setidak-tidaknya sejak abad ke-17 dan semakin populer pada abad ke-20 di Eropa Barat dan Amerika Utara.

Saya tidak menemukan dalam bacaan mana pun yang mengatakan bahwa pluralisme sama maknanya dengan “kebebasan menukar agama sesuka hati,” ibarat orang menukar pakaian. Bagi saya agama dengan segala perangkat doktrinnya adalah sesuatu yang sangat serius, sangat dalam, dan bertahta dalam hati dalam bentuk keimanan kepada Allah, hari akhir, para rasul, kitab-kitab, dan prinsip-prinsip eskatologis yang tidak dapat dicerna oleh kemampuan intelektual manusia.

Di antara agama-agama yang kita kenal, memang ada persamaan perintah untuk berbuat baik kepada sesama. Dalam agama Buda, agama Kristen, dan agama Islam misalnya, ada perintah untuk membela orang miskin dan orang tertindas, untuk tidak berbohong, dan sebagainya. Agar pembelaan ini lebih masif dan efektif, tidak ada salahnya jika ketiga agama itu saling bekerja sama. Inilah cita-cita yang terdapat dalam konsep gerakan lintas agama. Dalam agama Kristen dan agama Islam terdapat kepercayaan tentang keesaan Tuhan, tetapi definisi kedua agama itu tentang Tuhan berbeda dan tidak dapat didamaikan, dan memang tidak mesti didamaikan. Yang diperlukan adalah sikap untuk saling menghargai perbedaan definisi itu agar tidak menghalangi prinsip hidup berdampingan secara damai dan tolong menolong dalam suatu komunitas.

Resep yang sudah saya sampaikan kepada tokoh-tokoh lintas iman selama bertahun-tahun adalah: “Bersaudara dalam perbedaan, dan berbeda dalam persaudaraan.” Dalam pengalaman dengan berbagai penganut agama itu, resep ini terasa manjur dengan syarat masing-masing pihak punya ketulusan dalam mengembangsumburkan sikap saling menghargai dan saling memahami. Tanpa sikap ini, planet bumi yang satu ini akan menjadi kawasan panas yang sarat dengan konflik yang menguras energi kemanusiaan kita. Alangkah biadabnya jenis manusia yang mau menumpahkan darah lantaran adanya perbedaan yang merupakan sunnah Allah itu. Sebagai sebuah sunnah, maka pluralisme adalah modal sosio-kultural yang sangat berharga, sama sekali bukan ancaman, asal pengertiannya difahami dengan benar, tanpa prasangka.

Ada pula yang menjelaskan bahwa pluralisme itu adalah: “satu situasi yang di dalamnya orang-orang yang berbeda dalam kelas-kelas sosial, agama, ras, dan sebagainya siap hidup bersama dalam sebuah masyarakat, tetapi tetap memelihara perbedaan tradisi dan kepentingannya masing-masing.” Jangankan mereka yang berbeda agama, dalam lingkungan agama yang sama, perbedaan penafsiran juga biasa berlaku. Ini adalah fakta keras dalam sejarah kemanusiaan, selama perbedaan itu tidak merusak bangunan kemanusiaan itu sendiri. Maka seorang pluralis sejati adalah manusia yang berdada lapang, empati, dan tidak mudah sesak nafas dalam lingkungan yang berbeda, siap menolong siapa saja yang memerlukan, tanpa mempertimbangkan asal-usul, agama, dan kelas sosial.

Bagi saya, sekalipun pluralisme itu berasal dari barang impor, tidak salahnya diambil untuk memperkaya wawasan sosial kemanusiaan bangsa ini. Dalam ranah teologis, Hinduisme, Budisme, Islam, agama Kristen, dan lain-lain, bukankah semuanya itu berasal dari barang impor yang kemudian diserap oleh bangsa ini untuk dijadikan miliknya? Maka sasanti Mpu Tantular pada abad ke-14, sekian ratus tahun yang lalu, dalam format bhinneka tunggal ika (beragam, satu itu) adalah warisan sejarah penting untuk diabadikan, demi menjaga keutuhan bangsa Indonesia yang pluralistik ini. Mpu Tantular sendiri sebagai penganut Buda Tantrayana merasa aman dan nyaman hidup di lingkungan istana Majapahit yang resminya bercorak Hindu-Syiwa itu. Sebagai pujangga yang peka, Mpu Tantular menyadari benar akibat perpecahan dan perseteruan karena berlainan agama akan sangat merusak, dan bahkan bisa menghancurkan, fabrik sosial.

Penghormatan Indonesia modern terhadap sasanti itu menunjukkan bahwa secara kultural sebenarnya bangsa ini mampu berfikir dialektik, melestarikan warisan mana yang baik, membuang mana yang buruk, tanpa melihat latar belakangnya dan siapa penciptanya. Bertenggernya ungkapan bhinneka tunggal ika pada lambang negara adalah pertanda bahwa bangsa ini memang dibangun atas landasan nilai-nilai kultural yang beragam dan kaya dalam rentangan waktu yang panjang dan berliku. Dalam kitab Nahju al-Balâghah yang dikatakan sebagai warisan ‘Ali bin Abi Thalib terbaca ungkapan ini: “Khudzi al-hikmah walau min ahli al-nifâq” (Pungutlah kearifan itu sekalipun berasal dari kelompok munafik). Islam dalam maknanya yang autentik sangat menghargai warisan-warisan kuno selama semuanya itu tidak berlawanan dengan doktrin tauhid (monoteisme ketuhanan).

Akhirnya, mari sama kita fahami dan hormati prinsip-prinsip pluralisme dalam agama, sosiologi, dan kultur yang beragam dan kaya itu. Bukan untuk apa-apa, tetapi semata-mata untuk meneguhkan persaudaraan sebangsa dan persaudaraan universal kemanusiaan. Sikap anti pluralisme berasal dari ketidakfahaman dan bersifat a-historis.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

13 − 12 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.