Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Adonis (nama dewa kesuburan Yunani kuno) dipakai sebagai nama pena oleh penyair Suria kenamaan Ali Ahmad Said (84) sejak usia 17 tahun. Bermukim di Paris sejak 1985, meninggalkan ibu kandungnya di Suria yang pada tahun 2012 berumur 107 tahun. Adonis bukan hanya sekadar penyair, tetapi seorang pemikir revolusioner tentang bangsa dan peradaban Arab-Islam yang renta karena menurut pendapatnya sedang dihadapkan kepada masa depan yang suram. Bukan sebagai sebagai bangsa, tetapi sebagai “kehadiran yang kreatif” (a creative presence) di tengah dunia yang sedang berubah kencang karena perkembangan ilmu dan teknologi. Dunia Arab dan bahkan seluruh dunia Islam hanyalah sebagai konsumen belaka, karena lumpuhnya inovasi dan kreativitas selama kurun yang panjang. Dihimpit oleh perasaan kelumpuhan ini, Adonis telah menjadi seorang sekularis yang kontroversial, tetapi karya-karyanya patut dibaca untuk memahami akar tunggang kegelisahannya.
Berbeda dengan Iqbal (1877-1938) atau Fazlur Rahman (1919-1988), keduanya dari Pakistan, yang sangat yakin bahwa Islam dengan al-Qur’annya, jika difahami benar dan kontekstual, dapat dijadikan rujukan utama untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan sejagat, Adonis sudah tidak berminat berfikir ke arah itu. Baginya, kelumpuhan peradaban Arab-Islam tidak bisa dicarikan obatnya dalam teks, apalagi bila teks itu difahami melalui metode konvensional yang sudah ketinggalan zaman. Dalam usianya yang sudah lanjut, Adonis tetap saja bersikap garang dalam mengeritik kultur kelompok mapan Arab yang dinilainya sudah membeku dan menfosil.
Sebenarnya sekitar 2-3 tahun yang lalu Bung Ahmad Fikri (dari penerbit LKIS-Jogja) telah menghadiahi saya terjemahan oleh Khairon Nahdyyin atas karya utama Adonis dalam bentuk prosa (2 jilid tebal), tetapi baru sebagian sempat dibaca. Karya ini merupakan disertasi Adonis pada Universitas St. Joseph (Beirut) dengan judul Al-Tsâbit wa al-Mutahawwil: Bahtsun fî al-Ittibâ’ wa al-Ibda’ ‘inda al-‘Arab (Yang Tetap dan yang Berubah: Pembahasan tentang Konsevatisme dan Kreativitas dalam Pandangan Manusia Arab).
Karena sikap intelektual dan puitik Adonis dinilai sudah melenceng dari dan menggoncang kepercayaan publik yang sudah mapan, maka sebutan murtad, kafir, perusak nasionalisme Arab, dan bahkan sebagai berhala kejahatan telah dipasangkan orang kepada penyair ini. Nasib hampir serupa juga dialami oleh Fazlur Rahman (Pakistan), Khaled Abou El Fadl (Kuwait), Nashr Hamid Abu Zaid (Mesir), dan nama-nama lain yang ingin meniciptakan perubahan mendasar dalam cara berfikir keislaman yang tetrbuka dan bebas. Tanpa kebebasan berfikir, tuan dan puan janganlah bermimpi peradaban Islam ini akan terangkat tinggi.
Sayang sekali terjemahan karya Adonis ini belum dibincangkan secara luas oleh kaum intelektual Indonesia, padahal penting sekali. Dalam disertasi inilah Adonis membedah struktur mentalitas bangsa Arab yang berorientasi ke masa lampau tetapi gagal menjawab tantangan kekinian (modernitas). Kegagalan ini di mata Adonis terutama disebabkan oleh ulah para penguasa tiran yang korup dan kelompok ulama dan pengikutnya yang puritan (untuk meminjam kategori Khaled Abou El Fadl). El Fadl memang menghindari ungkapan fundamentalis atau islamis untuk kelompok yang membela kemapanan dan berfikir politis ini. Adonis memang sudah tidak betah hidup di Suria, sebuah lingkungan kultur yang dirasakannya tidak bersahabat dengan kemerdekaan berfikir dan berkarya kreatif yang bisa saja memicu kontroversi panas.
Adonis banyak disebut sebagai seorang yang layak menerima Hadiah Nobel di bidang sastra dan pemikiran peradaban. Di antara sastrawan Arab, baru Naguib Mahfouz (Mesir) saja yang pernah dihadiahi penghargaan bergensi itu pada tahun 1998. Adonis baru diberi Penghargaan Goethe di Frankfurt, tempat kelahiran Goethe (Jerman) pada 28 Agustus 2011 dengan hadiah sebesar 50.000 euro atas dasar karyanya yang bercorak kosmopolitan dan sumbangannya terhadap sastra internasional. Penghargaan ini agak mencengangkan sementara pihak karena Adonis dinilai tidak memberikan perlawanan terbuka terhadap rezim Bashar al-Assad yang autokratik yang telah membunuh puluhan ribu rakyatnya sendiri.
Bersambung…
Resonansi Republika 7 Jan. 2014
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!