Ivan Aditya, Kamis, 19 Januari 2017
YOGYA (KRjogja.com) – Setelah era reformasi yang berlangsung hampir 20 tahun, masyarakat Islam di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Termasuk adanya Aksi Bela Islam yang banyak dikatakan sebagai tonggak gerakan sosial Islam.
“Apakah memang benar pandangan seperti itu? Apakah nanti pengaruhnya akan cepat hilang hanya dalam hitungan bulan ke depan? Banyak yang bertanya. Apa yang sedang terjadi? Bagi mereka yang selama ini mengamati gerakan Islam di Indonesia tentu tidak heran. Tapi bagi masyarakat awam mungkin muncul keheranan,” tutur Zaenal Abidin Bagir dari UGM mengawali Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Maarif Institute mengangkat tema ‘Setelah Aksi Bela Islam: Gerakan Sosial Islam, Demokratisasi dan Keadilan Sosial’ di Kantor PP Muhammadiyah Jalan Cik Ditiro Yogyakarta, Kamis (19/01/2017).
Menurut Bagir, munculnya Aksi Bela Islam sebenarnya merupakan kumpulan dari kejadian yang tidak terlihat hingga menjadi akumulasi. Dalam kesempatan tersebut Bagir juga melontakan pertanyaan pada posisi apa Muhamamdiyah dan NU yang selama ini memainkan peran besar dalam gerakan baru tersebut.
“Karena itulah perlu dibuat semacam jurnal yang tentang adanya gerakan Aksi Bela Islam tersebut. Sehingga fasilitasi Maarif Institute menjadi hal yang sangat penting untuk menghadirkan jurnal yang lengkap, akurat demi kemaslahatan umat,” tuturnya.
Sementara Ahmad Najib Burhani dari LIPI mengatakan terjadinya sejumlah kegiatan Aksi Bela Islam tidak akan merubah karakter Islam Indonesia yang berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Najib menyebut, banyaknya aksi kadang didasari dengan pengetahuan keagamaan yang kurang sehingga seperti menunjukkan peta baru keberagamaan di Indoensia.
“Sehingga otoritas keagamaan sudah terfragmentasi. NU dan Muhamamdiyah masih relevan untuk pendidikan, kesehatan dan lainnya. Tapi bukan lagi rujukan utama untuk bertanya soal agama karena sudah terpolarisasi. Sehingga, ustadz atau kyai yang bicara soal keagamaan yang mudah dicerna jadi rujukan karena tidak perlu pikir panjang. Sementara kyai yang sebetulnya punya keilmuan mendalam tidak lagi jadi rujukan karena dipandang responnya terlalu lama,” ucap Najib.
Sementara itu Nur Ichwan yang lebih menyoroti soal MUI mengutarakan banyak tentang sejarah dan perkembangan organisasi ulama Indonesia tersebut. Hingga kemudian adanya infiltrasi dari kelompok kanan ke tubuh MUI yang masuk dari berbagai pintu. Hal ini yang kemudian membuat fatwa MUI lebih sarat kepentingan tertentu.
“Tidak dipungkiri ada kelompok yang butuh fatwa MUI untuk legitimasi gerakannya. Padahal MUI tidak dalam posisi proaktif. Kadang juga kurang dipahami mendalam, apakah fatwa itu. Karena bisa saja merupakan ijtihad ulama atau tausiah yang disampaikan,” ucapnya.
Tidak ketinggalan M Iqbal Ahnaf juga menyoroti perubahan lanskap Islam Indonesia. Sehingga seakan wajah Islam moderat di Indonesia sangat sulit di rubah. Ia juga tidak sependapat jika lahirnya kelompok intoleran karena negara yang lemah.
“Intoleransi bukan pada permasalahan negara yang lemah. Tapi mereka mendapat ruang. Bahkan struktur mereka mendapat tempat untuk berkembang sehingga memungkinkan memperoleh kemapanan di masyarakat,” tegasnya.
Direktur Riset Maarif Institute Ahmad Imam Mujadid Rais menjelaskan, Maarif Institute yang lebih delapan tahun menerbitkan Jurnal Maarif beruaya merespon fenomena yang berkembang saat ini. Agenda ini juga upaya membaca situasi kekinian dalam lanskap akademik menggandeng cendekiawan dan akademisi. (R-7)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!